Arsip Tag: Lalu

Cerita yang Lewat di Depan Pintu

Fiksi-fiksi Mini Ragil Koentjorodjati

1. Lonceng Tengah Malam.

Hari hampir natal. Maria, aku mengenalnya sebagai perempuan berkubang kemiskinan, seperti biasa menunggu lonceng tengah malam. Hari gelap memanggil, gegas ia bersimpuh di depan altar, berdoa pada malaikat pelindung. Kemiskinan, siapapun tidak menginginkannya. Itu sebabnya ia rajin berdoa.

Lalu malam itu, malam menyambut saat Sang Juruselamat dilahirkan, kyrie eleison mengema di kejauhan. Maria bersimpuh di depan gua. Airmatanya berlinang, ia menunggu lonceng tengah malam. Menunggu Sang Juruselamat. Hingga larut. Tepat tengah malam, sepi pecah berkelontang. Bukan lonceng yang berdentang, hanya sebuah bom yang diletakkan dan meledak tidak pada tempatnya. Maria lumat. Sepertinya Tuhan punya cara yang berbeda untuk menyelamatkannya.

2. Tekad

Ia tidak menyangka kekasihnya akan menulis begini di fesbuk: yakinlah, orang baik pasti indah pada akhirnya; orang jahat bisa saja indah pada akhirnya.
Sejak membaca status kekasihnya itu, ia memilih untuk menjadi orang jahat yang mencintai kekasihnya.

3. Saksi Hidup

Sepertinya sudah cukup lama ia di sana, menyaksikan nyawa-nyawa meregang lepas dari raga, satu demi satu. Tidak sekedar satu dua musim, barangkali bermusim-musim sebanyak bilangan terhitung dari helai-helai uban ibuku yang tercerabut dan tumbuh berulang kali. Itu lebih dari sangat lama aku kira. Ia sudah berdiri tegak pada saat ibuku seumur anak pemain boneka. Dan ia masih tegak hingga ibuku menimang cucunya. Entah berapa nyawa yang telah disaksikannya pergi pada masa sepanjang itu.

Meski tak lagi setegar dulu, tetapi basah embun pagi dan terik matahari tetap semacam hiburan baginya. Ia telah banyak menyaksikan orang mati. Kadang memang ada yang cukup mengerikan, misalnya, aku juga ingat kejadian itu, seorang lelaki terseret mobil di dingin aspal pagi hari, terseret 200 meter sebelum sebuah bus melaju melindasnya dari arah berlawanan. Terlalu pagi kejadian itu hingga orang mengira sebatang pelepah pohon kelapa luruh ke jalan. Semacam krak mendadak tanpa bunyi decit rem. Deru mesin lebih keras dari jerit kematian. Memang, lelaki itu tengah memanggul pelepah kelapa untuk bahan kayu bakar di pagi hari. Rupanya pelepah itu terlalu panjang hingga membawanya ke alam baka.

Aku yakin ia tahu betul kejadian itu sebab ia di sana lebih dulu daripada aku. Para pengendara itu tak pernah ditemukan, sebab pagi terlalu asyik dengan dirinya sendiri. Ia tetap diam, meski pembunuhan demi pembunuhan terjadi. Memang, bukan lagi sekedar kematian, tetapi lebih tepatnya pembunuhan. Suara dor di pagi buta, -itu berarti seorang bandeng mati-, atau lengking sirine menyayat di malam purba, -itu tandanya seseorang akan dikubur di bukit kopi-, adalah parade pembunuhan di sepanjang jalan kaki merbabu. Merapi Merbabu Komplek menjadi semacam catatan sejarah orang-orang mati tanpa sempat diadili. Dan ia di sana begitu menikmati takdirnya sebagai sepi.

Perawi Rempah

Puisi Ahmad Yulden Erwin

1

 

Minggu  pagi  menggigil  di sayap  burung  undan, seperti ratusan

minggu pagi  lainnya, menyusun  sesatu  kenangan. Kau  mencari

beberapa  onggok pulau  di Timur dengan wangi  cengkih  tertiup

angin  muson, dan kelasi itu  berteriak,  ‘Surga telah  ditemukan!’

 

Ketika itu  di anjungan, kau  nampak berdiri menatap  selengkung

ombak biru, setapak  jejak  sepatu mengutuk layar  kapalmu; kini

kaubayangkan putri duyung  berbau  pala  di  ranjang  kabut pagi,

kaubayangkan  lidah jahe  menjilat  ususmu.  Saat itu angin mati,

 

separuh  kelasi  lapar  dihajar kudis.  ‘Bunuh saja aku!’ gerutumu.

Lalu kaukenang  janjimu, atau  mimpi  buruk itu:  berkarung  lada

dan kapulaga bagi tumbung gurita raksasa saat  kembali, delapan

tentakelnya membelit  sepeti  koin  emas, tentu  saja bajingan itu

 

keranjingan menuntut  balas andai tiada kautebus  amis mulutnya

dengan  kayu  manis, plus  bebiji lada, dari ladang rahasia. Maka,

demi berkah Yesua, kauburu rempah sepanjang bandar antik dan

teluk  Afrika:  ‘Meski  badai  mendampar  kami ke tengah pasifik.’

 

‘Surga  telah  dihamparkan!’  kelasi itu  kembali berteriak, ombak

mencium wangi  tangkai  cengkih  di puting  pelangi. Kau terjaga.

Bagai tak percaya  kaugosok  kedua  matamu  di bawah alis pagi:

Yesua telah berbaring nudis di pantai sunyi. ‘Haleluyah!’ Alangkah

 

bahagia: kau tengah menapak di pasir pantainya. Tentulah wajar

bila kaupungut  bebulir hitam  terserak di sana, surga akan selalu

berlimpah. Pantaslah  tamak-tamak  kauisi palka kapalmu dengan

bebiji rempah. Beginilah  hikayat  Nusa Permata sebelum dijarah.

 

 

2

 

Sesayat mimpi  bersama  irisan daging kering, kutu dan belatung

pasti  lebih  dulu menyantapnya, begitu  sarapan bagi para kelasi

hingga  makan siang  dan makan malam mereka; sesayat mimpi

demi  setimbun  rempah  eksotis  di pulau tropika. Mereka bukan

 

awak perompak  Selat  Malaka, mereka  lanun  penggila  misteri,

juru selamat  kaum kafir dari ketel neraka. Tiada gentar mereka,

sebab wahyu  telah  mekar di ladang nyali  musim  dingin Eropa,

sebab tukak dihangati lada, sebab tafsir tertera dalam sabdanya:

 

Setiap sebiji rempah kaurampas di tanah ini akan menjelma doa,

sebab  misi  sempurna, resah  tiada, kaulah wakil kerajaan Bapa.

Di  pantai itu  kau  berdoa: ‘Undanglah  kami, O Yesua, mencicipi

lezatnya gurita,  beraroma rempah, semeja-hidang Ratu Sheba.’

 

Fakta cogito akhirnya, bukanlah Yesua  undang kalian, melainkan

diseret  tentara  Sultan:  ‘Kalian  babi bulai pencuri  pala petani!’

Randai beriring  mereka  digiring  ke halaman istana; menanting

aneka  piring,  panci,  kuali dan peralatan makan lainnya –– juga

 

kompas  juru  peta,  juga  Kidung  Cinta Salomo  penakluk dunia:

kuasa gaharu  di hidung  surga.  ‘Kenapa Tuan Nakhoda  curi  itu

bebiji  pala?’  murka  Sultan Boalief.  ‘Sebab di sini tanah  Yesua,

segala bole  dipungut  seturut  kami suka,’ singut Tuan  Nakhoda,

 

sejenak  kecut,  ditatapnya  merah  jambul  kasuari di pici Sultan

dandan Persia.  ‘Di Nusa Tarnate  orang  bole ambil segala suka,

andailah  bisa Tuan  ganti  kami  punya!’  Ciutlah  nyali  nakhoda,

bekal segala habis di Sunda Kelapa, hanya jubah lusuh dan zirah

 

besi  miliknya semata. Cemas oleh gagal akan misinya, pias akan

cekik delapan  tentakel gurita, ia letakkan sarung  belati dan kitab

suci di duli kaki  Sultan Tarnate,  ‘Habis  kini  harta  tersisa.’ Haru

sebab siasah begini, setengah tertawa, Sultan berbagi jatah pala.

 

 

3

 

Mereka  membangun  benteng  kecil  di  tengah  padang  ilalang,

sebelum  kaum kafir itu  mengayunkan  pedang,  sebelum  tarian

bumbung hantu dikepung tabun perang. Cuaca melesit langit biru

jadi kelabu, disorot gahar sebiji mata kucing lapar. Dagumu naik,

 

sedikit bergetar, lekas  meracau kalimat jemu, ‘Salju tak laik ada

di lekang pulau tropika.’  Kecuali  batu dan  kepulan debu, musim

kemarau menyulut pasukan Tidore  membakar  benteng kecilmu,

melampuskan segenap harapmu; begitulah kauputuskan  segera

 

menikahi gadis  coklat itu, pentil  sepasang teteknya berbau pala.

Jadi, diam-diam  kautakik   tradisi  membenci, melawan nasibmu

sembari berburu babi, begitu  jelas taktik  paling minim, sebelum

fajar kaukirim sepucuk surat itu, sebelum  datang  penjarah baru

 

melocok  senapan  dengan mesiu; terayun  dari  moncong buaya

ke taring singa, begini nasibmu terbantun dikutuk aroma rempah

serupa kemaruk busuk mulut gurita. Tiada Yesua di pantai surga,

tiada Bapa, kecuali  sepasang  beruk  keling memanjat  sebatang

 

pohon Cockyane tumbuh subur di ranah mimpimu, mereka kawin

dan berpinak di sana, merekalah moyang segala penjarah terkeji

di  muka  bumi, pelahir  jadah-jadah  sinting  sejarah, penghasut

jenial cacing-cacing  pita  penafsir vagina-kedamaian paling suci;

 

‘Jadi begini  saat  paling  tepat  buat pembalasan, bukan?’ Begitu

kaucatat dalam  suratmu  ke Lisbon, usai  perjanjian  paling oon

membelah bumi semata milik dua kerajaan –– seekor paus putih

resmi melontarkan restu  dari moncongnya menganga kelaparan

 

melahap  segala  plankton, ubur-ubur,  plus  ganggang beracun;

teritip  di lambung kapalmu makin mengganas, kau tak berharap

bisa kembali, jadi  kauputuskan  wajib menjarah dan membantai

sepulau  penduduk  surga ini, meski Yesua mesti disalib dua kali.

 

perawi rempah

Catatan:

1. Cogito: aku berpikir; prinsip filsafat Descartes: Cogito Ergo Sum.

2. Bole: boleh.

3. Oon: dungu.

4. Gahar: garang.