Arsip Tag: laki laki

Perempuan Sekat Hidup

Fiksi Kilat Agus Sulistyo
 

gambar ilustrasi
gambar diunduh dari kompas.com
Pagi pelan beringsut. Sinarnya merangkak di sekat sebuah bilik. Pelan … tak sepelan hasrat perempuan empat puluhan tahun itu untuk meninggalkan tangis hatinya. Dengan segenggam harap di telapak tangan. Sekenanya dia rapikan tubuhnya. Sesaat dia hembuskan nafasnya untuk memuntahkan rasa salah di sudut hatinya. Sebelum sekat-sekat itu menyaksikan bayang tubuh lemahnya meninggalkan ruang itu. Meninggalkan seorang laki-laki yang menjadi bagian cerita salah satu malamnya. Laki-laki yang masih terlena. Bergulat mengembalikan tenaga yang dia pakai untuk mengabulkan hasratnya.

“Terima kasih ya Mas …” katamu pelan kepadaku. Aku tersenyum. Mataku enggan beralih dari dua bocah itu. Tertawa lepas. Tawa yang menari di sela-sela percik air. Butir-butir air yang melayang ke udara terantuk telapak-telapak mungil itu.
“Ayo Le … sudah mandinya, masuk angin nanti. Pakai baju terus nanti jalan-jalan liat kembang api ya Nak …”
Mata kedua bocah itu begitu berbinar. Menyorotkan rasa hati mereka. “Horeeee nanti liat kembang api … kembang api!”
Aku ambil nafasku, aku hentakkan kuat-kuat. Terbayar sudah ketidakmampuanku membuang tangis kedua bocah itu semalaman. Kedua bocah yang tidak sempat tuntaskan mimpinya. Menyayatkan rintihan di atas bantal. Tangis kehilangan kehangatan di pekat dingin malam. Di antara deras hujan. Menanti sang ibu kembali. Kembali dari mempertaruhkan jiwanya untuk kedua buah nafasnya.

“Maafkan aku ya Mas, selalu rmerepotkanmu …”
Dan selalu saja aku hanya tersenyum. Senyum getir menertawakan kebodohanku. Ketidakmengertianku terhadap sketsa hidup yang ada di hadapanku. Aku hanya bisa memelihara rasa ini di salah satu ruang batinku. Selalu terhenti pada sebuah keinginan. Dan aku selalu datang terlambat. Datang di saat tangis-tangis itu telah pecah.
“Pak, nanti ikut liat kembang api ya …” suara anak ragilku membuyarkan anyaman di kepalaku.

“Mas, aku titip anak-anakku sebentar ya …”
Aku hanya ternganga. Seperti biasa, sorot mataku tak pernah mampu hentikan langkahmu. “Hanya sebentar kok Mas, aku sudah janji sama anak-anak …” gema suaramu hilang ditelan deru motor yang membawa tubuhmu. Terbawa serta sepotong harapan kedua anakmu.

Malam begitu cepat merayap. Membelit sebuah penantian. Secepat kilat aku datangi kedua bocah itu. Kali inipun aku terlambat! Kedua bocah itu telah melukiskan kesendiriannya di atas bantal itu. Aku dekap erat. Aku tampar kedua pipiku untuk mengusir kelemahanku. “Kita lihat kembang api … Kita bersama melihat kembang api itu …”

Aku sendiri … ketiga anakku sendiri … kedua bocah amanah itu sendiri …. Artinya kini tidak ada yang sendiri. Aku tersenyum, semakin lebar … hingga membahanakan tawaku. Bersanding dengan tawa kelima anak manusia itu!
“Tetetet … teeeeet … teeeeet …. selamat tahun baru kelima anakku!”
Tawa kami pecah. Berhamburan ke udara. Berkumpul dengan tawa-tawa lain. Tawa pijakan untuk tetap menjaga keinginan baik. Keinginan baik untuk menyongsong pintu hari baru. Langit yang biasanya muram. Ikut terkekeh-kekeh. Geli digelitik si kembang api.
 
Solo, Des Buncit ‘12

Abelard, Heloise, Birahi dan Reinkarnasi

Gerundelan John Kuan

tragedy love story
Gambar diunduh dari http://www.derekdelintfansite.com

Sudah beberapa kali saya melepaskan kesempatan mengunjungi Cina, selalu merasa sebaiknya menjaga sedikit jarak, mungkin dengan begini akan lebih bagus terhadap panoramanya, produk budayanya, atau orang-orang yang hidup di dalam sejarahnya. Pernah seorang teman bertanya seandainya saya berkunjung ke Cina lagi, paling ingin kemana, saya menjawab Yicheng dan Tibet.    Yicheng dan sekitarnya adalah daerah pengembaraan dan tempat Li Bai menumpang hidup di masa tua. Nama tempat ini agak jarang disebut, ia terletak di barat laut provinsi Hubei, atau mungkin saya kasih titik koordinat saja: 111°57′-112°45′ bujur timur, 31°26′-31°54′ lintang utara.

Dan Tibet, adalah demi berbagai lapis perbandingan sejarahnya dan letak geografinya, tentu juga demi agamanya.

*

Reinkarnasi lama, saya kira, adalah satu hal yang paling misterius di dunia moderen ini. Dan yang percaya akan hal ini kelihatannya sungguh tidak sedikit ——— bahkan yang tidak percaya agama Buddha Tibet juga mengakuinya dalam diam. Ini adalah salah satu sisi yang memancarkan kebaikan dunia manusia, saya berharap akan terus berlangsung. Kadang-kadang penganut agama Kristen terhadap perihal tertentu bisa menjadi sangat ketat dan sempit, seringkali memiliki semacam gaya ‘ ketika menguasai sebuah perdebatan, akan mengejar hingga lawan kehabisan nafas ‘, tetapi terhadap reinkarnasi lama, seperti tidak ada orang yang tampil meragukannya. Mengikuti perkembangan ini, tampaknya kelanjutannya tidak ada masalah besar.

 

*

Reinkarnasi lama biasanya seperti tidak keluar dari lingkup Dataran Tinggi Tibet.

Pada 3 Maret 1984 Lama Yeshe mencapai nirwana di San Fransisco, tanggal 12 Februari tahun berikutnya ada seorang bayi laki-laki lahir di Granada, Andalusia Spanyol, ternyata adalah reinkarnasi sang lama. Granada adalah dunia agama Katolik Spanyol kuno, Federico Garcia Lorca pernah menulis sebuah puisi, judul dan temanya mengambil ‘ Santo Mikael ‘, dengan Malaikat Agung Santo Mikael sebagai malaikat pelindung Granada. Saya pernah coba menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia, puisinya sekitar enam puluh baris, bait pertama dan bait terakhir kira-kira begini:

 

Dari pagar balkon juga bisa kelihatan

bayang antara barisan keledai dan barisan keledai

penuh memikul bunga matahari, telah mendaki

gunung, gunung, gunung

 

……

 

Santo Mikael, raja segala benda Langit

raja diraja sejak dahulu kala

penuh dengan keagungan orang Berber

jeritan dan keanggunan jendela balkon

 

bagaimana seorang lama bisa memilih reinkarnasi di dunia seperti di atas? Tetapi menurut cerita, semasa hidup lama Yeshe pernah beberapa kali ke Granada menyebarkan Darma, dan kedua orangtua anak lelaki itu: Osel Hita Torres, adalah pengikut agama Buddha Tibet, ah, rupanya mereka adalah murid-muridnya!

Ketika Osel Hita Torres berumur dua tahun, dia dibawa orangtuanya ke India, Dalai Lama menatapnya dari dekat, memastikan bahwa anak Spanyol ini memang reinkarnasi lama Yeshe, maka prosesi masuk kuil dilakukan, dia menjadi pemimpin Kuil Kopan di Nepal, melanjutkan posisi lama Yeshe sebelumnya. Di seluruh dunia bukan sedikit orang yang tahu hal ini, saya kira, dan semua orang membelalakkan mata lihat, diam-diam mengakui maknanya yang penuh misteri itu, tanpa hingar-bingar.

Ini sungguh mitologi moderen yang paling menyentuh, sebuah kitab wahyu besar yang sulit dijelaskan. Saya sampai tidak tahan menulis sebuah puisi, meniru gaya nyanyian rakyat. Mengapa menggunakan gaya ini? Rupanya Malaikat Agung Santo Mikael yang di bawah pena Lorca membimbing saya, Granada yang dia lindungi membimbing saya.

 

     Datanglah datanglah, datang sampai di Andalusia

     Carilah daku carilah daku di Granada yang jauh…

 

*

Rasa kesunyian yang diberikan agama kepada manusia dapat saya bayangkan, bahkan saya percaya saya dapat menghargai kesunyian begini. Asketisme adalah sesuatu yang mulia, hal ini saya setuju juga, maka membaca karya sastra Barat abad pertengahan, masih bisa memahami.

Konon, agama juga memberi orang rasa khidmat dan puas. Mengenai ini saya masih belum bisa memahami. Kadang-kadang di dalam filem menunjukkan adegan demikian, misalnya seorang prajurit yang telah mengalami duka dan luka pelan-pelan bersujud menghadap angin dan awan di padang luas berdoa, rendah hati, lelah, dan di jauh seperti ada cahaya ilahi berpijar, menciptakan semacam rasa khidmat dan puas, seperti juga sangat mengharukan. Namun saya berpikir kembali, yang membuat hati tersentuh, bukan ‘ seperti ada cahaya ilahi berpijar ‘, bagi saya, yang menggetarkan hati, rupanya adalah efek yang dihasilkan dari crescendo musik latar.

*

Kesunyian relijius membuat orang tetap memiliki kesempatan kontemplasi, memang bagus.

Membuang dan menutup hawa nafsu seharusnya juga merupakan satu bagian dari kesunyian.

Saya sering berpikir: yang paling sulit di dalam kehidupan biara, pasti adalah membuang dan menutup hawa nafsu. Seorang lelaki atau perempuan di masa remaja karena hasutan sisi rohani meninggalkan kehidupan duniawi, masuk ke dalam kesunyian relijius, menjadi biarawan, memutuskan akar dari perasaan dan emosi alamiah, menekan birahi, bagaimanapun adalah sesuatu yang sulit dipercaya.

Walaupun sulit dipercaya, namun saya memilih sikap tidak begitu curiga ——— memang sulit, tetapi bukan samasekali tidak mungkin.

*

Perancis di abad ke-12 ada seorang teolog bernama Abelard, dengan pengetahuan yang luas dan penampilan yang menarik menjadi sangat terkenal di seluruh Eropa, kemudian karena hubungan percintaan dengan muridnya, seorang gadis bernama Heloise, dia menikah dan mempunyai anak secara rahasia, melanggar sumpahnya, mereka masing-masing dikurung di dalam biara, seumur hidup tidak bisa bertemu. Ada yang menceritakan bahwa di masa tua Abelard menulis surat kepada teman, menyayangkan cinta lamanya yang makin kabur; hal ini diketahui Heloise, lalu menulis surat mengutarakan cintanya yang masih tumbuh merambat. Setelah keduanya meninggal dunia, surat-surat cinta mereka dicetak dan dibaca, menjadi salah satu kisah legendaris abad pertengahan yang paling memilukan dan memukau. Penyair Inggeris abad ke-18 Alexander Pope menulis sebuah puisi panjang: Eloisa to Abelard, membayangkan penerimaan dan penolakan Heloise terhadap cinta dan nafsu, membuat orang tercengang. Salah satu bagian seperti begini:

 

Datanglah, Abelard! Apa yang membuat kau takut?

Obor Venus tidak dibakar untuk yang mati.

Kemampuan alamiah tidak teledor, hanya agama tidak perbolehkan;

sekalipun kau mati jadi dingin, Eloisa tetap mencintaimu.

Ah putus asa ini, lidah api tak padam! Seperti demi yang mati membakar

terang, percuma cahaya yang hangatkan tempat abu tulang.

 

Setiap kali aku beralih pandang, apa pula itu?

Paras yang akrab, ke arahnya aku terbang mengejar,

bangkit dari dalam pepohonan, bangkit di depan altar,

menodai jiwaku, membuat sepasang mataku berenang liar,

Berkeluh demi kau, meniup mati lampu doa subuh,

kau diam-diam ikut campur di antara aku dan tuhan,

di dalam setiap himne aku seperti bisa mendengar dirimu,

sebiji rosari dihitung, setetes airmata lembut jatuh,

dan di saat gulungan awan harum dari tungku membumbung,

suara organ penuh berisi naikkan jiwaku berkibar,

begitu teringat dirimu, semua kekhidmatan menghilang,

biarawan, lilin panjang, gereja, berenang di depan mataku:

jiwaku yang terempas karam di dalam lautan lidah api,

dan altar menyala, malaikat-malaikat geleng menoleh.

 

Aku menelungkup di dalam kesedihan yang rendah, di sini

butiran kelembutan, kebajikan berkumpul di dalam kelopak mata,

aku gementar berdoa, berguling di dalam debu dunia,

mulai tahu di kedalaman jiwa kehormatan berpijar bagai cahaya fajar ———

Datanglah, kau yang paling sempurna, jika berani

dengan diri melawan Langit, merebut hatiku,

datanglah, dengan lirikan sepasang mata yang menggoda

sirnakan seluruh gambaran benderang sepenuh langit!

Bawa seluruh kehormatan, kesedihan, airmata itu pergi,

bawa seluruh pengakuanku yang tak berbuah dan doa pergi,

renggut aku, satu tarikan ke atas, renggut aku dari tempatku yang diberkati,

bantu setan-setan merebut paksa diriku dari sisi tuhan!

 

Tidak, tinggalkan aku jauh-jauh bagai kutub selatan buat kutub utara!

biarkan Gunung Alpen memisahkan kita, lautan luas menggemuruh.

Jangan datang, jangan tulis surat, tolong jangan mengingat diriku,

juga jangan seperti aku karena dirimu hati menjadi pedih!

Sumpah dapat dibatalkan, aku akan menghapus kenangan masa lalu,

lupakan aku, buanglah aku, sungguh-sungguh membenciku.

Mata yang indah, tampang memikat ( aku bisa melihatnya )

adalah paras yang telah lama aku cinta dan harap, selamat tinggal!

Oh cahaya kehormatan khidmat, oh kebajikan seindah Langit,

kelupaan suci membebaskan kegelisahan rendah!

Harapan yang segar merekah, gadis riang lembut punya Langit,

dan Keyakinan, kekekalan dini kita!

Silakan masuk, setiap tamu yang damai, yang ramah,

terima diriku dan selimuti aku di dalam peristirahatan kekal.

 

 

Come, Abelard! for what hast thou to dread?

The torch of Venus burns not for the dead.

Nature stands check’d; Religion disapproves;

Ev’n thou art cold–yet Eloisa loves.

Ah hopeless, lasting flames! like those that burn

To light the dead, and warm th’ unfruitful urn.

 

What scenes appear where’er I turn my view?

The dear ideas, where I fly, pursue,

Rise in the grove, before the altar rise,

Stain all my soul, and wanton in my eyes.

I waste the matin lamp in sighs for thee,

Thy image steals between my God and me,

Thy voice I seem in ev’ry hymn to hear,

With ev’ry bead I drop too soft a tear.

When from the censer clouds of fragrance roll,

And swelling organs lift the rising soul,

One thought of thee puts all the pomp to flight,

Priests, tapers, temples, swim before my sight:

In seas of flame my plunging soul is drown’d,

While altars blaze, and angels tremble round.

 

While prostrate here in humble grief I lie,

Kind, virtuous drops just gath’ring in my eye,

While praying, trembling, in the dust I roll,

And dawning grace is op’ning on my soul:

Come, if thou dar’st, all charming as thou art!

Oppose thyself to Heav’n; dispute my heart;

Come, with one glance of those deluding eyes

Blot out each bright idea of the skies;

Take back that grace, those sorrows, and those tears;

Take back my fruitless penitence and pray’rs;

Snatch me, just mounting, from the blest abode;

Assist the fiends, and tear me from my God!

 

No, fly me, fly me, far as pole from pole;

Rise Alps between us! and whole oceans roll!

Ah, come not, write not, think not once of me,

Nor share one pang of all I felt for thee.

Thy oaths I quit, thy memory resign;

Forget, renounce me, hate whate’er was mine.

Fair eyes, and tempting looks (which yet I view!)

Long lov’d, ador’d ideas, all adieu!

Oh Grace serene! oh virtue heav’nly fair!

Divine oblivion of low-thoughted care!

Fresh blooming hope, gay daughter of the sky!

And faith, our early immortality!

Enter, each mild, each amicable guest;

Receive, and wrap me in eternal rest!

 

Bait pertama di atas dengan cahaya api melambangkan cinta, disebut ‘ obor Venus ‘, adalah biarawati memohon Abelard datang, masuk ke dalam hati dan pikirannya, hidup nyalakan cinta dan birahinya, membuka kemampuan alami hidup dan nafsu. Bait kedua makin jelas menggambarkan yang siang malam dibayangkan Heloise adalah paras Abelard, sekalipun di depan altar juga tidak sirna, sehingga merasa Abelard telah masuk mengacau penglihatannya, berdiri di antara dia dan tuhan. Empat baris di awal bait ketiga, Heloise sendiri merasa terguncang oleh lindungan tuhan, merasa telah kehilangan kekuatan hati buat memikirkan Abelard, maka kian tidak peduli dengan bergelora memanggil nama Abelard, memohon dia dengan cintanya melawan tuhan, merebut hatinya, menghapuskan gambaran-gambaran malaikat di depan matanya, lalu bergabung dengan setan, merampas dirinya dari dekapan tuhan. Sekarang kita tahu nafsu adalah tidak baik, atau setidaknya di depan altar adalah sesuatu yang buruk, yang berlumuran dosa, yang dikuasai setan ——— dan Heloise dengan lantang meminta Abelard bersama setan, menuntaskan cinta dan birahinya terhadapnya. Ini adalah klimaks dari cinta yang menggelora dan gila, membuat pikiran orang terombang-ambing. Bait terakhir dimulai dengan [ Tidak ], Heloise jatuh dari puncak kegilaan cinta ke dalam kenyataan yang mati senyap, kembali ke dalam kesunyian yang mengelilingi biara, lelah, takut, lemah, hilang rasa, memohon malaikat menerimanya sebagai seorang biarawati yang taat, dan [ menyelimutinya di dalam peristirahatan kekal ].

Puisi Pope ini, telah memiliki kerangka discovering psychology, beberapa ratus tahun setelahnya, bagi yang pernah bersentuhan dengan psikologi analisis Freud, pasti akan melihat isyarat-isyarat seksualitas yang kuat di dalamnya. Dengan sedikit lebih dekat memperhatikan penggalan puisi yang tidak sampai lima puluh baris ini, dapat menguak gambaran yang diberikan Pope, mungkin adalah semacam proses masturbasi, adalah proses segelombang-segelombang menggulung naik gemuruh tumpukan fantasi seks Heloise. [ Merebut paksa diriku dari sisi tuhan ] tentu adalah klimaks, selanjutnya pelan-pelan surut, masuk ke alam kegelisahan, bimbang, penyesalan, dan putus asa.

*

Sesuai data sejarah sastra, ketika Heloise digoda, dirinya masih seorang gadis muda, sedangkan Abelard sudah lama melampaui parobaya. Setelah skandal ini meletus, Abelard dikebiri, dikurung di biara, Heloise juga dikurung di biara perempuan, membawa kenangan yang tak terkira.

Bagi Abelard, menghadapi [ biarawan, lilin panjang, gereja ] tidak terlalu sulit, walaupun masa lalu membuat sedih dan putus asa. Bagi Heloise, semua itu adalah hukuman tambahan yang dipaksakan dunia luar kepadanya: dia kehilangan kekasih, anak, dusun dan ladang, disekap di balik tembok biara; masa lalu tentu membuat orang sedih dan putus asa, yang terpampang di depan mata juga membuat sedih dan putus asa.

 

*

Umpama Heloise tidak mengalami sepenggal kisah dengan Abelard itu, umpama dia sejak gadis dan masih perawan sudah dibawa masuk ke biara sebagai biarawati, dia tentu tidak akan mempunyai nafsu yang begitu kuat bagai arus pasang naik. Kita seperti bisa begitu mengumpamakan, namun juga belum pasti.

Dengan demikian, kesunyian seharusnya adalah ritme kehidupan yang paling alamiah. Dia menengadah ke arah tuhan dan malaikat, khusuk mendengar lonceng doa subuh, bayang cahaya lilin panjang membawa damai hening dan ketaatan. Di bawah situasi begini, Heloise mungkin tidak akan mengalami pertentangan antara tubuh dan jiwa. Kemungkinan akan begini, namun juga belum pasti. Hal ini begitu sulit, begitu sulit benar-benar dipahami.

*

Mengekang nafsu di mulut dan perut, kekuasaan dan harta, nama dan lain-lain bisa dipahami, bisa dilaksanakan, hanya mengekang birahi adalah tantangan paling besar dalam hidup, dan yang bisa benar-benar teguh melaksanakannya sepanjang hidup sungguh sangat sedikit.

*

Apakah tuhan juga perlu mengekang birahi?

*

Maksud saya tuhan yang esa, apakah dia perlu mengekang birahi? Saya pikir, tuhan, yang esa itu, awalnya juga tidak mengekang birahi, kalau tidak dia tentu hanya menjadi tuhan bagi biarawan-biarawan yang teguh dan suci, dan tidak akan sejak awal sudah menjadi tuhan yang kita menengadah bersama.

 

*

Agama mendidik penganutnya dengan ‘ pengekangan nafsu ‘ yang terkandung di dalamnya, adalah hal yang baik. Seandainya ingin melalui pengekangan nafsu, meraba ke arah pertapaan, kesunyian, kehampaan, maka pasti harus ada sedikit ketentuan ——— yang disebut terakhir itu bukan setiap orang memerlukannya. Menurut saya, melakukan pengekangan nafsu, manusia masih bisa terus berkembang biak dan berkelanjutan, namun terhadap yang lain-lain mungkin agak sulit diduga.

Kecuali kita sungguh percaya perihal reinkarnasi itu.

Betapa Jauhnya Indonesia

Cerpen Mohamad Ridwan
Editor Ragil Koentjorodjati

jalan jauh
ilustrasi dari 2.bp.blogspot.com

Saat  masih kecil aku tidak mengenal Indonesia. Dan setiap kali aku tanyakan tentang Indonesia tiada satu pun orang yang mengenalnya. Tapi pamanku bilang di  Indonesia itu rumahnya tinggi-tinggi dan menggapai langit. Di sana jika berjalan tidak perlu mengandalkan kaki, orang-orangnya bisa berjalan sambil duduk dan bernyanyi. Masih menurut pamanku, di sana cuacanya sanget aneh. Meski di luar hawanya begitu panas tapi di dalam ruangan akan terasa dingin. Sementara untuk makan mereka tidak perlu menanam padi, atau tanaman lainnya untuk kemudian di jual. Mereka dapat uang dengan duduk menghadap kotak aneh dengan gambar bergerak-gerak.

Tapi menurut Samuel, Indonesia  tidak seindah seperti yang dikatakan pamanku. Indonesia adalah tempat pembunuh. Mereka tidak berburu binatang seperti yang kami lakukan di desa pamilin di tengah belantara Kalimantan. Tapi mereka berburu manusia. Bukan saja menggunakan Mandau atau sumpit, mereka  menggunakan benda aneh berbentuk kelamin laki-laki yang bisa mengeluarkan benda bulat yang terbuat dari timah tapi panas. Bahkan Samuel juga bercerita jika kakaknya dibunuh oleh orang Indonesia saat berada di sana.

Saat aku Sekolah Dasar ibu guru Maria menjelaskan bahwa Indonesia adalah Negara kaya yang luas dan memiliki beragam suku dan budaya. Mereka hidup rukun dan bergotong royong seperti kehidupan di kampung ini. Sebuah kampung yang di kepung belantara Kalimantan, tempat di mana aku bisa bermain dengan otan dan waowao, serta berburu burung tiung untuk aku latih bicara seperti manusia. Dan ibu Maria juga mengatakan bahwa kampung Pamilin adalah wilayah Indonesia.  Tapi aku meragukannya,  karena di sini aku tidak menemukan rumah yang tinggi mencakar langit seperti kata pamanku. Aku juga tidak pernah melihat manusia membunuh manusia seperti kata Samuel. Hanya saja ibu Maria menjelaskan jika di Indonesia juga ada gereja.

“Ibu Maria! indonesia itu apa?” tanyaku lugu pada saat itu.

”Indonesia itu adalah negara kita, tanah air kita, tempat kita dilahirkan.”

“Indonesia itu jauh ya Bu?”

“Indonesia ada di sini, ada di hati kita seperti tuhan Yesus berada di hati kita.”

Begitulah tanyaku terus menerus karena ingin tahu apa itu Indonesia. Namun semakin Ibu menjelaskan tentang Indonesia, semakin aku mengerti jika Indonesia itu jauh. Jauh berbeda dengan bayanganku, juga jauh berbeda dengan keadaan di sini.

Pada buku yang aku baca, di Indonesia anak sekolah pakai seragam merah putih sementara aku dan teman-temanku tidak. Di Indonesia  ada lampu pijar yang bisa menyala siang dan malam sementara di sini tidak pernah ada lampu pijar kecuali saat aku menginap di rumah teman Ibu di Emplanjau sebuah kota kecil di Malaysia. Itupun karena kami kemalaman untuk pulang ke Pamilin setelah menjual beberapa karung gabah. Sementara di luar hujan sangat deras sehingga jalan menuju kampung tidak mungkin lagi untuk dilewati.

Setelah umurku lima belas tahun aku diajak teman ayahku untuk merantau di kota Kuching. Kota itu benar-benar menakjubkan. Rumah-rumah yang tinggi menggapai langit dan orang-orang  masuk dalam sebuah peti yang  mampu bergerak sendiri. Mirip seperti yang dikisahkan pamanku. Tapi  aku hanya mengagguminya dan tidak berbicara apa-apa. Aku malu jika Kai Apu teman ayah dan anak-anaknya mengejekku sebagai orang kampungan. Apalagi setelah aku bertanya pada anak gadis Kai Apu yang bernama Margaret itu.

“Apakah tempat ini adalah indonesia seperti yang dikatakan pamanku?”

“Ha ha ha……………..,” seketika Margaret tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang dia pikirkan. Aku berprasangka ia menertawakan ketololanku.

“Mico, ini adalah kota Kuching di Malaysia. Sedangkan yang berasal dari Indonesia adalah kamu,” terangnya yang semakin membuatku tidak mengerti.

Akhirnya aku berlaku sewajarnya seperti yang dicontohkan oleh orang yang ada di sekitarku. Aku bekerja seperti mereka,  mengangkat karung-karung kain  dari atas truk ke dalam pasar. Kemudian ada orang yang memberiku upah. Aku panggil dia Cik Lan dan Koh Yap, mereka sangat baik dan mengizinkan aku tinggal di rumahnya. Mereka adalah majikanku yang umurnya dua kali umur ibuku dan memiliki anak seumuran kakakku. Aku panggil dia Nona Mey.

Setelah tinggal dua tahun  bersama keluarga itu aku menjadi sangat akrab dengan Nona Mey. Diam-diam ia mengajari aku menyetir mobil dan mendaftarkanku ke sebuah sekolah berseragam. Sekolah itu adalah sekolah lanjutan khusus yang belajar pada malam hari. Karena umurku saat itu sudah tujuh belas tahun sementara Nona Mey tidak lagi mau aku panggil Nona. Ia minta dipanggil Mey saja.

Selama sekolah, aku bekerja di siang hari sebagai sopir keluarga Koh Yap. Tapi aku lebih sering  menghantarkan Nona Mey yang semakin sibuk mengurusi bisnis plasmanya. Dan saat itu pula aku juga semakin tahu mengenai Indonesia. Indonesia adalah negara tetangga Malaysia. Mereka sering berkonflik. Orang  Indonesia sering mengumbar ganyang Malaysia sebagai bentuk kekecewaan terhadap tentara Malaysia yang suka menangkap nelayan Indonesia di selat Melaka. Mereka benci perlakuan majikan asal malaysia yang menyiksa pembantu rumah tangga  bahkan juga mereka sangat tidak suka pada klub sepak bola Malaysia yang mereka rasa curang dalam memenangkan pertandingan.

Meski kata orang kampung Pamilin adalah bagian dari Indonesia, tapi selalu saja aku menganggap kampung kelahiranku itu begitu jauh dari Indonesia. Orang kampung Pamilin memandang orang malaysia  sebagai kawan sementara orang Indonesia sulit jangkauannya. Bahkan semua kebutuhan orang Pamilin dipenuhi dari Malaysia, apalagi tentara Diraja Malaysia tidak seseram seperti menurut orang Indonesia. Mereka justru sering membantu memperbaiki jalan menuju Pamilin, sementara tentara Indonesia tidak aku tahu apa pekerjaannya.

“Nona, saya hendak pulang sejenak,” aku mengutarakan pamitku pada Nona Mey untuk pulang ke kampung setelah mendapat sesuatu kabar.

”Pulang ke Indonesia?” tanya dia

“Bukan.., saya hendak pulang ke Pamilin,” jawabku ringan tapi Nona Mey justru tersenyum, bahkan menurutku dia menahan tawa. Kemudian ia mengangguk mengizinkan.

“Cepatlah kembali lagi, aku semakin sibuk hari-hari ini.”

“Baik Nona.”

Setelah dua hari perjalan darat aku tiba di Pamilin. Setelah dua tahun aku tinggal, keadaan tanah lahirku begitu porak poranda. Seolah terkena musibah atau bencana. Rumah-rumah sebagian hancur. Sementara belantara di sekeliling desa sudah hampir sirna karena telah terbakar dan hangus.

Tapi aku mencoba bersikap biasa saja, karena mungkin inilah yang di ceritakan Agustinus saat tiba di Kuching kemarin. Ia bercerita tentang musibah yang menimpa kampung dan memporakporandakannya. Kemudian aku ingat ibu dan ayahku yang tinggal di tabing tengah kampung di samping gereja. Dan di hari minggu seperti ini mereka pasti berada di gereja yang sedang ramai kebaktian. Maka  aku langsung memutuskan menuju gereja.

Tapi belum sampai halaman gereja, aku dapati penduduk  sudah bergerak beriringan meninggalkan gereja. Padahal ini masih pukul 09.00, biasanya kebaktian selesai pukul 11.00.  Namun yang paling aneh di antara orang yang berjalan beriringan menuju pohon besar  itu terdapat beberapa orang membawa Mandau dan kampak.  Sedangkan Romo Yosep justru berada di barisan paling belakang. Maka aku segera mengikuti barisan itu dan menuju Samuel yang aku lihat berjalan di samping Romo.

Setelah bergabung di barisan, aku mencium tangan romo dan berjabat tangan dengan Samuel.

“Apa yang terjadi?” tanyaku pada Samuel.

“Penduduk hendak menumbangkan pohon malapetaka itu.”

“Pohon malapetaka?”

“Iya, pohon itu sumber malapetaka,” jawabnya.

Samuel juga bercerita jika mula dari malapetaka itu ada pada pohon itu. Karena pada suatu hari ada seseorang dari Indonesia datang di kampung. Ia membawa benda kotak kecil yang bisa menyala-nyala. Dengan kotak kecil yang disebutnya telepon seluler itu ia berbicara sendiri di bawah pohon. Dan katanya hanya di bawah pohon itu ia bisa berbicara dengan dunia luar yang ia sebut sebagai Jakarta, Surabaya dan Samarinda. Katanya ia akan mengundang teman-temannya ke sini pada suatu hari yang telah ditentukan.

Di hari yang telah ditetapkan itu penduduk desa mengadakan upacara penyambutan dengan tarian dan makanan yang jarang sekali mereka nikmati sendiri. Tapi ternyata sambutan itu tidak pernah memberi apa-apa. Dan kedatangan orang Indonesia itu juga tidak membawa berkah apa-apa, malah mereka membawa malapetaka bagi kami. Mereka meminta penduduk kampung meninggalkan Pamilin pada hari yang telah ditentukan. Tapi penduduk tidak bersedia diusir begitu saja dari tanah kelahirannya oleh orang yang bahkan belum pernah mengenal Pamilin sebelumnya.

Mengantisipasi tantangan pengusiran itu beberapa orang atas persetujuan pemimpin adat menggeser patok perbatasan antara Republik dan Kerajaan. Mereka menggeser patok lebih dekat dengan wilayah Republik sehingga wilayah kerajaan bertambah beberapa kilometer persegi. Itu dilakukan agar Republik tidak menghancurkan hutan itu juga, hutan tempat hidup beragam binatang dan tumbuhan. Maka binatang yang hidup di selatan kampung digiring menuju arah kerajaan daripada mereka kehilangan rumah dan mati sia-sia di hari yang telah ditentukan.

“Hari ini adalah hari yang ditentukan itu, para pemburu manusia akan mengusir dan membunuh kita,” ucap Samuel mengakhiri kisahnya.

“Tenanglah anakku, Tuhan tidak akan membiarkan ini terjadi,” tiba tiba Romo berbicara. Ia menyesalkan arogansi orang Indonesia yang sebelum meratakan kampung ini ternyata telah lebih dulu memusnahkan hutan dan membakarnya. Mereka akan membuka lahan untuk dijadikan kebun sawit dan kami adalah hama bagi perkebunan itu kelak jika tidak dibinasakan.

“Apa yang bisa kita lakukan?” tanyaku di saat pohon meranti itu mulai roboh. Rebahannya menimpa rerimbunan pohon yang lebih kecil dan menghancurkannya. Seiring ranting yang bercerai berai penduduk justru mengangis tersedu. Sementara gemuruh mulai terdengar dari balik rerimbunan hutan, suaranya mengaum-aum menyeramkan.

“Pergilah kembali ke Kuching, datangilah tempat yang disebut stasion telefision dan kabarkan cerita ini. Sementara kami akan tetap bertahan di sini mempertahankan tanah ulayat kami,” perintah Kai Albertinus pemimpin adat Pamilin.

“Segera pergi sebelum malapetaka besar itu benar-benar datang!” perintah Kai itu sekali lagi. Mendengar perintahnya aku segera berlari kepada ayah dan ibu. Aku memeluk mereka erat dan mengajaknya ikut pergi.

“Pergilah sendiri Nak, Ayah dan Ibu lebih baik mati  mempertahankan tanah leluhur ini. Apalagi kami memang sudah pantas mati sebab usia sudah senja. Dan kau yang masih perkasa berjuanglah di luar. Masa depanmu masih cemerlang.”

Ujar ayahku meminta aku untuk tidak ikut bertahan di sini melainkan harus meninggalkan tempat ini sebagaimana pemuda seperti Agustinus, Yama serta remaja seumuranku lainnya.

“Pergilah anakku, kabarkan pada dunia tentang apa yang mereka sebut Indonesia.”

Maka sesegara mungkin aku berlari menjauh bersama Samuel. Kami berlari menuju gua walet di atas bukit yang dari sana kami bisa melihat Pamilin dengan jelas. Dengan jelas kami melihat truk besar, tank , dan mobil besar menerjang kampung serta merobohkan pohon-pohon dan rumah penduduk. Kemudian orang-orang berbadan tinggi dan berseragam loreng yang disebut Samuel sebagai pemburu manusia keluar dari dalam truk dan tank serta langsung memberondong seluruh penduduk kampung dengan senjatanya. Samar-samar aku dengar umpatan mereka.

“Dasar penghianat negara, penggeser patok perbatasan, menghina kedaulatan.”

Tapi seiring angin berhembus dan hujan turun berlahan kemudian melebat suara itu jadi menghilang. Begitupun gambarnya. Sementara Samuel masih saja bergumam,“ orang Indonesia, pembunuh sesama manusia.”

Melihat kondisi Samuel yang kurang stabil kejiwaannya karena kembali mengenang bagaimana kakaknya dibantai di kota Sampit beberapa tahun lalu, aku mengajaknya masuk ke dalam gua sarang wallet. Hawa dingin di luar segera menjadi hangat. Aku pun tidur pulas karena masih lelah melakukan perjalanan dari Kuching ke Pamilin. Namun begitu bangun aku sudah tidak melihat Samuel di sampingku seperti semula. Aku segera berlari keluar gua.

Di luar gua matahari telah mengintip di balik bukit karena ternyata pagi telah menjelang, kabut tipis pun mulai tersibak oleh hangat sinarnya. Begitu pun kabut yang menutupi pemandangan  Pamilin dari atas bukit. Seiring kabut yang tersibak berlahan-lahan, tampak kampung itu telah menjadi merah. Sungai-sungainya pun ikut menjadi merah dan pohon juga memerah. Burung gagak mulai terbang mengitari kampung . Di salah satu sudutnya masih ada manusia berseragam loreng dan di bagian lain mesin pemotong telah menumbangkan beberapa pohon.

Tanpa pikir panjang, juga tanpa berpikir tentang Samuel aku segera berlari menuruni bukit sambil mengingat perintah pemimpin adat untuk kembali ke Kuching dan mengabarkan tragedi ini di stasiun telefision. Aku kembali menembus hutan namun tidak berani menengok kampung Pamilin yang telah menjadi kampung merah.

***

Seperti biasa, cuaca kota Kuching terasa begitu panas. Tapi rupanya tidak sepanas hatiku. Sudah beberapa media cetak dan telefision yang aku temui tapi mereka tidak bersedia menanggapi kabar yang aku ceritakan. Meski awalnya mereka sangat antusias dan saling memandang tapi begitu mereka menelpon seseorang pasti kemudian mereka menolak memberitakan ceritaku atas tragedi yang menimpa Pamilin dan penduduknya.

“Maaf Tuan, kami tidak bisa memberitakan kisah anda. Kami takut akan terjadi konflik komunal yang lebih besar di negeri anda seperti yang terjadi di Kota Sampit beberapa tahun lalu.”

Begitulah kira-kira jawaban mereka kepadaku sebelum kemudian kami berjabat tangan. Senyum mereka mengembang seperti bunga cubung yang membuatku makin pusing dengan tingkah mereka.

Ketika harapanku pupus dan pikiranku kacau karena putus asa, media terakhir yang aku kunjungi menyarankan aku agar melapor ke NGO Lingkungan hidup. Dan dari NGO itu,  aku mendapat informasi bahwa media tidak bersedia memberitakan kisahku bukan karena takut konflik komunal yang akan terjadi. Karena mereka tidak berkepentingan terhadap konflik itu.  Mereka takut memberitakan kisahku  karena di balik perusakan hutan di Kalimantan pada umumnya dan pembantaian di kampungku pada khususnya ada perusahaan plasma kelapa sawit asal Malaysia. Dan biasanya perusahaan itu memiliki andil dalam hiruk pikuk media dalam negeri. Maka sangat wajar jika media takut memberitakan ceritaku karena akan sangat berpegaruh bagi kelangsungan hidup media mereka.

Tapi ada  satu hal yang membuatku terkejut dan begitu kecewa bahkan tidak ada dalam bayanganku sebelumnya. Ternyata  di balik pembantaian di Pamilin ada perusahaan kelapa sawit milik Nona Mey. Majikanku sendiri yang baik dan bersedia menyekolahkanku hingga setingkat SMA bahkan bersedia membiayai kuliahku .

Meski dengan kekacauan dan kegalauan yang berkecamuk di benaku.  Tanpa media aku menulis kisah ini. Kisah tentang betapa jauhnya Indonesia.

 

*) Penulis adalah mahasiswa IAIN Sunan Ampel, Surabaya.