Arsip Tag: embun

24 Posisi Matahari ( 4 )

Kolom John Kuan

☉處暑

  ——— elang giat memburu; alam gugur luruh; bulir padi penuh

Seperti apa musim gugur itu? Musim gugur pernah adalah milik Qu Yuan, milik Du Fu dan Li Shangyin. Namun musim gugur kali ini milik Rilke. sebab musim gugur saya begini datangnya, malam buka jendela membaca, melihat orang lalu-lalang dengan langkah-langkah gegas, teringat Rilke; di dalam riuh rendah seharian merasa sangat lelah dan bosan, teringat Rilke; bertemu orang asing, berbincang dengan orang asing, berpisah dengan orang asing, pulang sendiri ke kamar hotel, juga teringat Rilke.

Musim gugur tidak perlu basa-basi, dia begitu saja tiba. Sebab itu daun musim gugur yang diselip di halaman buku akhirnya tinggal urat-urat daun, semua urat daun juga memiliki masa lalu, juga pernah memikirkan isi hati. Musim gugur sering tiba di saat isi hati semua orang membisu, memberi isyarat kepada saya hidup pada dasarnya hanya mengikuti hati bagai awan berarak, namun juga dalam terukir bagai cetakan besi. Tetapi saya tetap ingin melakukan sesuatu, di saat mengutip selembar daun kuning tergenang air hujan, ada pergolakan yang bernama [sia-sia], sebab itu saya baca kembali Rilke:

Herbsttag

Herr: es ist Zeit. Der Sommer war sehr groß.
Leg deinen Schatten auf die Sonnenuhren,
und auf den Fluren laß die Winde los.

Befiel den letzten Früchten voll zu sein;
gib ihnen noch zwei südlichere Tage,
dränge sie zur Vollendung hin und jage
die letzte Süße in den schweren Wein.

Wer jetzt kein Haus hat, baut sich keines mehr.
Wer jetzt allein ist, wird es lange bleiben,
wird wachen, lesen, lange Briefe schreiben
und wird in den Alleen hin und her
unruhig wandern, wenn die Blätter treiben.

 

Musim Gugur

Tuan: ini saatnya. Musim panas pernah begitu montok.
Lemparkan bayang pekatmu ke arah jam matahari,
dan biarkan angin gila meniup lewat padang liar.

Perintahkan buah terakhir segera ranum;
tambah lagi dua hari terik tanah selatan,
desak mereka sintal dan penuh, agar harum
manis terakhir, tenggelam di anggur kental

Siapa kini tiada rumah, tidak usah lagi dibangun
Siapa kini sendiri, biarkan dia selamanya sepi
terjaga, membaca: menulis surat-surat panjang
dan biarkan dia mondar-mandir di setapak
melangkah ke dalam tarian daun gugur

☉白露

  ——— angsa liar terbang selatan; burung layang-layang ke utara; semua burung berbekal

Saya duduk menyandar di jendela kereta api, kereta melaju dengan ritme yang stabil dan teratur, bagai sebuah nyanyian yang akrab, saya mengatupkan mata merasakan bunyi repetisi begini. Setengah tertidur, seolah di mulut jendela mimpi. Tiba-tiba merasa ada sebiji mata lain terbuka, tampak benda-benda yang biasanya tidak mudah kelihatan. Saya melihat di atas punggung gunung ada bayang awan berpindah perlahan. Sepotong bayang hitam di atas punggung gunung yang amat hijau, bagai tanda lahir di tubuh manusia, seperti sedang mengisyaratkan sesuatu yang telah lama kita lupakan. Sebuah mitos purba yang menghubungkan lanskap dan gejala alam dengan tubuh manusia. Dan seluruh garis lekuk pegunungan, juga karena sepotong bayang awan yang bergerak itu, kelihatan luar biasa indah.

Perlahan tapi pasti, saya merasa cahaya matahari musim gugur miring menembus masuk dari jendela kereta, melumuri sebagian lengan dan wajah. Cahaya warna kuning emas dan hangat, mengikuti goyangan kereta sebentar kuat sebentar lemah. Di dalam cahaya matahari keemasan juga diaduk sedikit bayang hitam sekuntum awan itu, sedikit hijau ladang di dua sisi rel, dan sedikit silau pantulan air sungai yang bertebaran batu-batu bulat telur.

Kereta masuk terowongan, cahaya matahari disimpan di luar gua. Derit gesekan rel dan roda kereta kian tajam, seluruh gua penuh gema. Di dalam sebuah gua gelap dan panjang, segala mata di dalam setengah tidurku terbuka. Saya melihat cahaya-cahaya lemah berseliwer, berkedip-kedip di dinding gua.

Di dalam indera penglihatan tidak ada gelap absolut, di dalam penglihatan batin juga tidak ada kegelapan absolut.

Di dalam gelap penuh dengan cahaya yang bergetar, persis seperti melihat lukisan Rembrandt, pertama kali melihat adalah selapis hitam; tenangkan pikiran sedetik lalu cermati, akan menemukan sebersit cahaya.

Rembrandt di abad ke-17 melukis di dalam cahaya lilin dan obor. Dia juga mengamati cahaya dari fajar menyingsing hingga matahari terbenam, lalu dari matahari terbenam hingga bulan muncul. Di musim dingin negeri utara yang kelam, dia akan konsentrasi menatap sedikit cahaya di atas salju malam yang tidak mudah terasa, dia akan konsentrasi hingga lelah, lalu mengatup mata.

Saya selalu merasa, setelah mengatup mata, Rembrandt baru benar-benar melihat cahaya yang paling indah. Cahaya itu bergerak di punggung telapak tangan renta ibu yang membuka kitab suci, punggung telapak tangan yang penuh garis-garis keriput, di celah garis-garis keriput yang gelap penuh berisi cahaya tipis.

Cerita yang Lewat di Depan Pintu

Fiksi-fiksi Mini Ragil Koentjorodjati

1. Lonceng Tengah Malam.

Hari hampir natal. Maria, aku mengenalnya sebagai perempuan berkubang kemiskinan, seperti biasa menunggu lonceng tengah malam. Hari gelap memanggil, gegas ia bersimpuh di depan altar, berdoa pada malaikat pelindung. Kemiskinan, siapapun tidak menginginkannya. Itu sebabnya ia rajin berdoa.

Lalu malam itu, malam menyambut saat Sang Juruselamat dilahirkan, kyrie eleison mengema di kejauhan. Maria bersimpuh di depan gua. Airmatanya berlinang, ia menunggu lonceng tengah malam. Menunggu Sang Juruselamat. Hingga larut. Tepat tengah malam, sepi pecah berkelontang. Bukan lonceng yang berdentang, hanya sebuah bom yang diletakkan dan meledak tidak pada tempatnya. Maria lumat. Sepertinya Tuhan punya cara yang berbeda untuk menyelamatkannya.

2. Tekad

Ia tidak menyangka kekasihnya akan menulis begini di fesbuk: yakinlah, orang baik pasti indah pada akhirnya; orang jahat bisa saja indah pada akhirnya.
Sejak membaca status kekasihnya itu, ia memilih untuk menjadi orang jahat yang mencintai kekasihnya.

3. Saksi Hidup

Sepertinya sudah cukup lama ia di sana, menyaksikan nyawa-nyawa meregang lepas dari raga, satu demi satu. Tidak sekedar satu dua musim, barangkali bermusim-musim sebanyak bilangan terhitung dari helai-helai uban ibuku yang tercerabut dan tumbuh berulang kali. Itu lebih dari sangat lama aku kira. Ia sudah berdiri tegak pada saat ibuku seumur anak pemain boneka. Dan ia masih tegak hingga ibuku menimang cucunya. Entah berapa nyawa yang telah disaksikannya pergi pada masa sepanjang itu.

Meski tak lagi setegar dulu, tetapi basah embun pagi dan terik matahari tetap semacam hiburan baginya. Ia telah banyak menyaksikan orang mati. Kadang memang ada yang cukup mengerikan, misalnya, aku juga ingat kejadian itu, seorang lelaki terseret mobil di dingin aspal pagi hari, terseret 200 meter sebelum sebuah bus melaju melindasnya dari arah berlawanan. Terlalu pagi kejadian itu hingga orang mengira sebatang pelepah pohon kelapa luruh ke jalan. Semacam krak mendadak tanpa bunyi decit rem. Deru mesin lebih keras dari jerit kematian. Memang, lelaki itu tengah memanggul pelepah kelapa untuk bahan kayu bakar di pagi hari. Rupanya pelepah itu terlalu panjang hingga membawanya ke alam baka.

Aku yakin ia tahu betul kejadian itu sebab ia di sana lebih dulu daripada aku. Para pengendara itu tak pernah ditemukan, sebab pagi terlalu asyik dengan dirinya sendiri. Ia tetap diam, meski pembunuhan demi pembunuhan terjadi. Memang, bukan lagi sekedar kematian, tetapi lebih tepatnya pembunuhan. Suara dor di pagi buta, -itu berarti seorang bandeng mati-, atau lengking sirine menyayat di malam purba, -itu tandanya seseorang akan dikubur di bukit kopi-, adalah parade pembunuhan di sepanjang jalan kaki merbabu. Merapi Merbabu Komplek menjadi semacam catatan sejarah orang-orang mati tanpa sempat diadili. Dan ia di sana begitu menikmati takdirnya sebagai sepi.

Sahaja Embun

Puisi Binandar Dwi Setiawan

sebening-embun
gambar diunduh dari photoppi.com

Aku masih tidak mengerti mengapa harus merasa senang untuk semua hal yang tak kutahu apakah itu memang baik. Aku, sekaligus juga masih tidak mengerti mengapa harus berduka untuk semua hal yang tak kutahu apakah itu memang buruk. Aku masih tak sempat untuk memberi pakaian kepada sebuah kejadian, nilai. Aku tak ingin dan tak hendak berurusan dengan batas batas. Aku hanya ingin menari dengan pepohonan, tak lagi penting apakah cemara apakah sakura. Aku hanya ingin melihat sebagaimana adanya, dalam realitas yang tak butuh dinamai. Aku ingin setiap mata berkata jujur tentang apa yang dilihatnya, aku ingin aku percaya kepada mata mata itu. Aku telah terlampau lelah ditipu seumur hidup, aku ingin mengakhiri memaksakan kesaksian berkepanjangan ini, aku ingin aku sendiri yang melihatnya. Semua berita, apakah benar apakah salah. Masih perlukah sebagai benar, masih perlukah sebagai salah. Bukankah telah jelas bahwa terlalu banyak ragam, dan tak berguna apa apa untuk kita menariknya sebagai yang berdua kutub.

Tidak menjadi musuh seseorang, kecuali dirinya sendiri. Tidak menjadi kekasih seseorang, kecuali dirinya sendiri. Sepanjang hidup aku hanya berurusan dengan diriku sendiri, menyelesaikan setiap hal yang masih menjadi kebutuhan baginya, aku menghabisinya perlahan tetapi meyakinkan, terus kuburu setiap jatah waktu. Dan tak akan berhenti sampai dia menyadari ketidakbutuhannya untuk ada. Aku hanya ingin menjadi lebih dekat kepada apa yang seharusnya memang aku lebih dekat. Agar aku tidak bertanya lagi tentang maksud segala maksud. Tetapi kudapati marathon ini tak diawali oleh garis starts dan tak diakhiri oleh garis finish. Aku sendiri masih tidak mengerti apakah ujung memang ada. Apakah aku sedang pergi atau aku sedang pulang. Seluruh keutuhan diriku dipaksa menyadari kesendirian yang luar biasa hebatnya. Dan lantas bagaimana bisa kutemukan jawabnya jika aku hanya berbincang dengan diriku. Maka menguaplah air, dan ia benar benar uap, bukan lagi air.

Semua keindahan itu berasal dari akar yang sama. Mengembang dengan kembangan yang diluar benak setiap kehidupan. Maka tidak didapati keadaan kecuali kebingungan. Dan jalan mencari jawaban adalah jalan menuju sesuatu yang tiada habis, sebab tidak disertakan oleh sebuah jawaban kecuali seribu pertanyaan. Yang selamanya sedang menghadap kepada kita ini adalah wujud dari dia yang selamanya sedang berada dalam diri kita. Maka pada jalan yang sama sebagian menganggap pulang, sebagian yang lain menganggap pergi. Pada pembagian yang sama sebagian menganggap pemberian, sebagian yang lain menganggap penolakan. Nama adalah sesuatu yang terlahir dari keangkuhan dan kebodohan. Temaramnya gelisah meracik rasa takut dalam sebuah sudut ketika aku ditodong oleh sejuta ketergesaan, aku tiba tiba saja memanggilmu, itu dosa pertama yang seluruh waktuku kuhabiskan untuk merajukmu melupakan itu. Jika saja aku bercinta dengan dirimu yang sesungguhnya, sebelum akhirnya aku memanggilmu.

Aku sebenarnya bukan masih mengingatmu, tetapi masih mengalamimu. Aku dengan kamu, tak bisa dijarak oleh lupa. Tetapi engkau masih saja bersikeras untuk berusaha menipuku, sedangkan kau tahu aku tak lagi peduli kepada diri yang engkau kirimkan sebagai engkau. Adalah tentang kamu, ketika aku berjuang untuk membunuh seluruh sifat sifatmu, aku hanya tak mau jatuh cinta pada mereka. Aku terlalu murni, tak butuh untuk menunggu engkau suap dengan sifat sifatmu agar aku membersamaimu. Akulah singgasana terluas yang bisa kau tempati. Maka bersenang senanglah sekehendakmu. Dan singgasanamu akan tetap saja sesurga yang kau bisa kerjakan. Tak perlu beresah tentang akan menjadi seperti apa aku nanti, sebab aku ada hanya untukmu. Kau tahu seberapa rindunya aku terhadap pulang, juga seberapa bersikerasnya aku melalui jalan ini, bahkan seberapa hebatnya aku menafikan setiap kepahitan, tetapi tidak tahukah kamu bahwa aku bahkan tidak tahu sama sekali tentang bagaimana ini akan berakhir atau diakhiri.

Tetap saja semua terlihat begitu seimbang dimataku. Karya maha sempurna yang mewah yang tak memberiku setitik ruangpun untuk berkeluh.

Dilema

Puisi Alvino Aryo Nugroho

Bimbang temani dalam jiwa yang sesak akan tanya
terus bertanya di antara waktu yang berputar singkat
aku dan cintanya . . terambang di tengah ketakutan akan sebuah kebenaran
aku takut akan kenyataan, ia takut untuk mengungkapkan . .

Aku mengendap di antara malam yang berbisik sunyi
tergopoh melangkah penuh kegontaian
berpijak diri seperti sebuah angan yang takkan menjadi realita . .
hatiku seperti sepi, karena fikir selalu berusaha untukku menebak sebuah mimpi

Aku sudah di tengah-tengah lautan hujan badai. .
angin tak mengizinkan ku kembali . .
tapi melangkah jauh ke depan, juga kenyataan untukku mati . .

masihku terduduk dalam buaian lamunan perih
hati ini selalu menjerit akan kebebasan sebuah cinta,
ia berteriak melafalkan arti sejati,
tapi sebenarnya hanya mengingkari sebuah luka . .
yang digores perlahan . . dibuat indah agar tak terasa pilu . .

aku benar-benar ragu . .
seperti sebuah embun yang takut terjatuh dari helaian hijau kehidupan . .
takut murninya ternodai hitam tanah kenistaan . .

masihku mengelak dalam kata manis terselubung
yang padahal hanya lari dari kenyataan sakit . .
tersenyum hanya hiasan latar sarat makna
yakinkan dirinya bahwa ku tak apa ..

aku punya pertanyaan untukku . .
masih sanggupkah aku merangkai perjalanan ini?
atau aku palingkan saja jalan panjang ini?

dan aku punya pertanyaan untuknya . .
buang jauh-jauh dirinya?
atau aku yang keluar dari cerita ini?