being stone

Menjadi Batu (Being Stone)

Fiksi Kilat Ragil Koentjorodjati

 

Entah sejak kapan ia mulai belajar berubah, yang aku tahu, tidak banyak orang yang bersedia berubah. Tentu berubah menjadi lebih baik, maksudku. Buat apa kita membicarakan perubahan ke yang lebih buruk. Secara alamiah, setiap orang memburuk. Itu sebabnya kita berbicara supaya tidak semakin buruk. Persoalannya, siapa yang sungguh-sungguh terurapi untuk menunjukkan perihal baik buruk ini.
Aku tidak ingin berdebat denganmu. Aku ingin bercerita tentang seseorang. Seseorang yang ingin menjadi batu. Mungkin kamu berpikir ini absurd. Jika demikian, itu persis dengan yang ada di benakku. Tetapi coba simak penjelasannya padaku. Begini kata-katanya waktu itu: “pada awalnya, aku bukan apa-apa, hingga aku belajar menjadi segala sesuatu karena seseorang memberitahuku, jadilah orang yang berguna.”
Aku pikir, kamu pun pernah mendengar nasehat yang sama: jadilah orang yang berguna. Celakanya, aku tidak paham arti “menjadi segala sesuatu”, dan ini kusampaikan padanya. Inilah jawabannya.
being stone
gambar diunduh dari syahyudhi.blogspot.com
“Lebih banyak orang yang hanya mau mendengar apa yang ingin didengarnya,” jelasnya suatu hari. “Itu sebabnya banyak nasehat yang tidak jujur.”
Kamu tahu, jawabannya semakin membuatku bingung. Dan itu menyedihkan.
“Segala sesuatu bukanlah manusia,” lanjutnya. Untung hari itu bukan malam Jumat. Aku lupa memberitahumu, kami biasa berbincang di malam purba nyaris larut. Andai waktu itu malam Jumat, mungkin pikiranku lari ke hantu atau segala macam jenis bukan manusia. Untungnya hari itu Sabtu malam di awal Desember. Itu sungguh menyenangkan. Tanpa bulan dan bintang, ia menyalakan lampu minyak. Lindap cahayanya resap ke dada. Suasana tenang. Begitu tenang hingga kadang kamu dapat mendengar degup jantungmu. Lalu dingin itu, begitu sempurna serupa tangan lembut udara malam menyentuh kulitmu, membangkitkan gairah terdalam sebuah kerinduan. Tangan lembut beraroma bunga kopi di atas tanah yang sedikit basah. Suara jengkerik atau serangga malam menjadi sesuatu yang biasa saja. Wajar jika ia memilih tinggal di sana, di tepi belantara.
Aku menatap teduh matanya, mencari sesuatu yang lebih jauh.
“Ketika manusia berambisi menjadi sangat berguna, tidak jarang terjebak menjadi bukan manusia. Tega membunuh. Tega mencuri. Tega menjual diri sendiri. Menjadi mesin, menjadi robot, menjadi tumbuhan, menjadi hewan, menjadi batu bahkan menjadi hantu. Ia menjadi segala sesuatu yang bukan manusia.”
Butuh waktu cukup lama bagiku untuk menangkap maksud kata-katanya. Dari rekam jejak yang kuselusuri, ia pernah menjadi kuli, pedagang asongan, penjudi, pengamen, dan ….pencuri. Tentu saja, semua itu masih tergolong manusia.
“Aku pernah menjadi batu!” Ia seperti tahu jalan pikiranku.
“Batu?” tegasku.
“Ya. Batu!” tegasnya. Sekali lagi. “Dan aku di sini untuk kembali menjadi batu.”
Aku pernah mendengar, setidaknya beberapa cerita tentang manusia yang kemudian menjadi batu, tapi cerita-cerita itu semacam mitos buatku. Kisah Malin Kundang, aku yakin kamu pun tahu persis jalan ceritanya. Yang lebih tua lagi, kisah Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang, – kamu dapat melihat patung Roro Jonggrang di candi Prambanan. Manusia yang dikutuk menjadi batu. Jika kamu menyukai Yogyakarta, cobalah sesekali berkunjung ke candi Prambanan. Itu hanya sedikit berjarak ke arah timur, megah menantang langit Merapi di utara, dan kokoh serupa benteng bagi komplek keraton jaman purba, Candi Boko. Pada musim hujan begini, ia begitu tenteram dengan hamparan hijau bukit berpepohon di sekitarnya. Sunyi adalah candi, dan engkau dapat datang padanya saat ingin bersembunyi. Maaf, ceritaku sedikit menyimpang.
Kembali ke soal manusia menjadi batu, sekali lagi kutegaskan, itu mitos. Ada satu lagi kisah manusia menjadi batu, atau lebih tepatnya menjadi patung. (Entah setan mana yang merasuki Seno Gumira hingga mampu membuat cerita yang begitu gila). Jadi, ceritanya begini, kamu tahu, iblis tidak pernah mati, nah itulah judul bukunya. Judul buku Seno Gumira. Sudah tahu kalau iblis tidak pernah mati, namun ada saja orang yang mencoba membunuhnya. Dalam buku itu dikisahkan seseorang yang begitu membenci iblis dan ingin membunuhnya. Lalu pergilah orang itu ke barat. Seseorang itu, boleh kamu bayangkan sebagai sesosok pendekar sakti mandraguna dengan pedang di punggung. Barangkali pendekar itu pernah bertemu Sun Go Kong atau Pendeta Tong, kamu tahu, mereka sama-sama pergi ke barat. Bedanya, yang satu hendak membunuh iblis, sedang lainnya hendak mengambil kitab suci. Aku tidak mengerti mengapa iblis dan kitab suci berada di sudut yang sama: barat. Tapi itu akan menjadi kisah lain lagi. Yang menarik adalah bahwa Pendeta Tong dan Sang Pendekar, sama-sama selibat, artinya tidak menyentuh lawan jenis. Nah, mungkin di sini ada semacam kekacauan pikiran ketika seorang gadis menunggu Sang Pendekar pulang dari barat. Dengan setia sang gadis berdiri menghadap ke barat menunggu dan terus menunggu kekasihnya kembali hingga menjadi patung. Ya, patung. Hingga berlumut. Hingga ada lagi pendekar lain yang pergi ke barat. Hingga ada lagi gadis lain yang duduk di hadapannya, menunggu kekasihnya kembali dari barat. Hingga dia tahu akan ada manusia menjadi patung serupa dirinya, membeku dan berlumut. Sendiri dan kesepian. Dan pertarungan melawan iblis menjadi pertarungan setiap orang.
Itu kisah manusia menjadi batu versi abad ini. Dan semua itu hanya dongeng.
“Tapi aku pernah menjadi batu!” ulangnya,” hingga aku belajar tidak lagi menjadi segala sesuatu, tetapi menjadi seseorang.”
“Ah, kata-katamu terlalu sulit kumengerti,” ucapku.
“Menjadi berguna itu baik, asal kamu tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Dan itulah arti menjadi seseorang.”
Malam itu, ya itulah percakapan di malam nyaris larut itu, di sebuah gubug sederhana di tepi belantara. Sangat hutan hingga bagiku kadang pekatnya terasa menjepit dada. Siapa yang dapat bertahan dalam sepi begini, pikirku saat itu. Ia yang dulu pernah menjadi pencuri, lalu berkuasa bagai raja, entah mengapa, ia kini menjadi bukan siapa-siapa.
Ia seperti membaca keraguanku.
“Jika engkau belum siap menjadi bukan siapa-siapa, jadilah seseorang di luar sana,” katanya penuh kasih.
“Aku ingin membunuh iblis. Harus selalu ada orang yang melawan iblis, meski iblis tidak pernah mati,” kataku mengulang kalimat di buku Seno Gumira. Entah mengapa, aku tidak merasa segagah para pendekar itu. Bahkan aku berlalu dari hadapannya dengan muka berlumur malu. Sangat sedikit orang yang bersedia berubah. Barangkali ia kini sudah moksa. Atau mungkin telah menjadi batu. Batu penjuru yang kuharap menuntunku kembali menjadi batu.
 
 
Being Stone
 
Flash Fiction Ragil Koentjorodjati
I don’t know since when he started learning to change, I know, not many people are willing to change. Certainly changed for the better, I mean. Why should we talk about a change to the worse. Naturally, everyone is getting worse. That’s why we talk so as not to get worse. The issue is, who is truly anointed to show the good and bad.
I don’t want to argue with you. I want to tell you about someone. Someone who wants to be a stone. Maybe you think this is absurd. If so, that is exactly what I had in mind. But try to see his explanation. Here’s his words at the time: “at first, I was nothing, until I learned to be everything because someone told me, be useful.”
I thought you had heard the same advice: be a handy person. Unfortunately, I don’t understand the meaning of “be all things”, and I told him about this. Here’s the answer.
“More and more people who just want to hear what tehy want to hear,” he said one day. “That’s why a lot of advice is unhonest.”
You know, his answer is getting me confused. And that’s sad.
“Everything is not human,” he continued. Fortunately, that day is not Friday night. I forgot to tell you, we used to talk late at night almost primeval. If time was a Friday night, my mind might run into a ghost or all sorts of non-human. Fortunately it was Saturday night in early December. It was really fun. Without the moon and the stars, he lit the oil lamp. Shade of light penetrating into the chest. The atmosphere is quiet. So quiet until sometimes you can hear the pounding of your heart. So cold, so perfect night air like a gentle hand touches your skin, arousing the deepest longing. Hand gently scented flowers of coffee which grown on a little wet ground. Insect cicada sound into something ordinary. Understandable if he chose to live there, at the edge of the wilderness.
I looked shady eyes, searching for something more.
“When people are ambitious to be very useful, it is not uncommon to be stuck not being a human. The heart to kill. The heart to steal. The heart to sell yourself. Being a machine, a robot, a plant, a pet, a rock and even a ghost. He became everything that is not human. ”
It took a while for me to catch the words mean. From the track record I’ve searched, he had become porters, hawkers, gamblers, singers, and …. thieves. Of course, all of that is still quite human.
“I’ve been a stone!” He seemed to know the way my mind.
“Stone?” I said.
“Yes. Stones!” he said. Once again. “And I’m here to get back into stone.”
I’ve heard, at least some of the stories about the man who became a stone, but the stories of myth for me. Story Malin Kundang, I’m sure you also know exactly how the story goes. The older again, the story of Bondowoso and Jonggrang, – you can see the statue of Jonggrang in the Prambanan temple. Condemned man to stone. If you like Yogyakarta, try an occasional visit to Prambanan temple. It is just a little to the east, the magnificent sky challenging Merapi in the north, and a similar strong fort for ancient palace complex, Boko temple. In this rainy season, he was so serene with the green hills surrounding by trees. Silent is a temple, and you can come to him when you want to hide. Sorry, my story a little distorted.
Return to the story of man who turned into stone, once again I assure, it’s a myth. There’s another story of a man into stone, or rather into a statue. (I do not know where the demon possessed Seno Gumira to be able to create a story that is so crazy). So, the story goes like this, you know, the devil never dies, well that’s the title of his book. The title of the book Seno Gumira. Already know that the devil never dies, but there are people who try to kill him. In the book it is told someone that hates the devil and wanted to kill him. Then the man went to the west. Someone that you think may be as powerful as warrior with a sword on his back. Perhaps swordsman that ever met Sun Go Kong or Tong Priest, you know, they both went to the west. The difference is, the one try to kill the devil, while others want to take the holy book. I do not understand why the devil and the holy book is in the same corner: west. But that would be another story. What’s interesting is that the Tong priest and the Swordsman, both celibate, that is not touching the opposite sex. Well, maybe here there is such a mess of mind when a girl waiting for the Warrior returned from the west. Faithfully the girl stood facing west waited and waited until his girlfriend back into a statue. Yes, sculpture. Until the moss. Until there is again another swordsman who went west. Until there is again another girl who sat in front of her, waiting for her lover back from the west. Until she knew there would be people like her, turned into statue, frozen and mossy. Alone and lonely. And the battle against the devil is become the battle of everyone.
That’s the version of a man who turned into a stone on this century. And it’s all just a fairy tale.
“But I’ve become a stone!” he repeated, “until I learned to no longer be everything, but to be someone.”
“Ah.., your words are too difficult to understand,” I said.
“Being useful is good, as long as you do not become a stumbling block for others., And that’s what it means to be a person.”
That night, yes, that’s a conversation late at night almost, in a simple hut on the edge of the wilderness. Very woods to me untill the feeling of the darkness pinch my chest. Who can survive in a quiet way, I thought at the time. He who used to be a thief, then ruling like a king, for some reason, he has become a nobody.
He was like reading my doubts.
“If you are not ready to be a nobody, be someone out there,” she said lovingly.
“I want to kill the devil. Should always be people who resist the devil, although the devil is never dead,” I said, repeating the phrase in the book Seno Gumira. Somehow I do not feel as strong as warriors. Even, I left him with a face covered in shame. Very few people are willing to change. Perhaps now he is moksha. Or may have been a stone. I hope capstone which led me back into the stone.

3 tanggapan untuk “Menjadi Batu (Being Stone)”

Beri Tanggapan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s