Arsip Tag: kilat

Kabar Lengkung Pelangi

Fiksi Kilat A.Kohar Ibrahim
KILAT cahya itu sekilat seterang kilat pedang tajam tapi ketajamannya begitu panjang membelah langit berselubung mega biru kehitam-legaman. Cahya belah bedahan yang teriring denyar guruh mengejutkan. Teriring hujan deras seperti air mancur tertumpah dari langit-langit megah yang bolong melompong. Kederasan hujan yang menggugah gelisah resah: apakah banjir akan kembali melanda lembah?
eagle
Elang – karya lukis Abe alias Aki
Seketika sekali lagi pedang cahaya yang besar-panjang luarbiasa itu beraksi pun teriring denyar halilintar menggelegar, sepintas lintas pandang mataku tertumpu tuju pada lembah. Pada jalur jemalur pematang sawah. Akan tetapi hujan deras pun seketika terhenti; gerimis mengganti. Kabut mengikut. ; lalu tersapu sang bayu. Meski langit masih berselimut mega biru kelabu kehitam-legaman, nun jauh di balik puncak gunung berapi yang tertidur, segoresan panjang kaki langit menampakkan kecerahan. Cahya bak pertanda pesan terkesankan : Jangan sampai kehilangan harapan.
Seketika pula aku menghela nafas panjang lega. Iya, selayaknyalah demikian itu begitu. Tanpa pernah kehilangan asa. Sekali pun batu batu ujian ringan pun berat selalu sering jadi penghalang sepanjang jalan. Jangankan dalam perjalanan panjang kehidupan, dari sejarak tempat kediaman hingga di ketinggian lereng di mana aku berdiri ini saja pun berapa kali aku tersandung sandung, nyaris jatuh mencium bumi. Tapi untunglah aku tak terjatuh. Dan hasrat keinginan mendapatkan kabar dari sorang lelaki yang aku sayang tak pernah punah. Sebaliknya malah. Aku ingin sekali menerima kabar darinya. Kabar bagaimana dan di mana kini dia berada sebenar benarnya.
Lagi dan sekali lagi kilat berdenyar guruh menggelegar tapi agak di kejauhan dan gemanya pun semakin jauh semakin lemah kedengaran. Terganti sunyi sepi. Tertinggalkan berkas luas kecerahan di tengah lembah lintang melintang pematang. Cahya dari kaki langit nun jauh di sana dan yang dari celah mega mendung jadi penambah penerang ingatanku serta kangenku pada sorang lelaki. Sorang lelaki yang suka terlentang di pematang sana; hanya mengenakan celana panjang hitam komprang berkaos merah dalu, kadang berikat kepala hitam atau merah pula, jika tidak merah-putih. Itulah makanya, aku pun mengenakan paduan warna yang dia suka. Berkerudung merah marong. Hadiah darinya.
Dia memang penggemar warna warni bervariasi, tetapi busana yang dikenakannya seringkali warna hitam hitam dan merah. Katanya, dulu, bahkan ketika ikut berjuang di Sumatera dan Sulawesi menumpas pemberontakan reaksioner dan bahkan seketika dalam perjuangan pembebasan Irja, busana yang dikenakan pun demikian warna-warninya. Alasannya, katanya, nyaman. Lebih lincah dalam mengayun gerak jejaknya. Sekalipun, ada perkecualiannya; terutama dalam masa genting, dalam perjuangan hidup-mati. Pada saat saat gawat malah dikenakannya ikat-kepala warna dwiwarna. Warna Sangsaka Merah-Putih.
Sekali dan sekali lagi kilat berdenyar guruh menggelegar, meski nampak dan gemanya di kejauhan. Kian jauh melemah lambat lamat. Tapi tak urung, cahya kilat meninggalkan bekas di seberkas pertengahan lembah. Di lintang melintang pematang. Oh, sepertinya aku menampak sosok sorang lelaki yang berbusana sederhana: bercelana panjang hitam komprang berkaos oblong merah dalu berikat kepala merah-putih. Aku buka mata lebar-lebar. Tetapi seketika dia sudah tiada. Seketika aku tutup mulut dengan tapaktangan kananku. Menahan jerit ekspresi kangenku. Hanya untuk mendengar ujar katanya yang pernah dibisikkan ke telingaku: “Kalau dikau sangat rindu, upaya menampak lengkung warna warni di atas puncak gunung. Jika warna merah Pelangi itu cerah, jangan nangis tapi senyum meski meringis miris: aku pasti pulang. Bukan berpulang….”
Dari menutup mulut, tapak tanganku beralih ke sepasang mataku, mengusap basah titik air bening yang tak tertahankan mengalir. Seketika aku nampak benar benarlah warna merah lengkung pelangi itu merahnya cerah. Secerah darah lelaki Sang Pemberani. Kekasihku.

 

27 September 2011

 

A.KOHAR IBRAHIM

Nama lengkap: Abdul Kohar Ibrahim
Nama Pelukis (tandatangan pelukis): Abe

Kelahiran Jakarta 1942.
MULAI kegiatan tulis menulis dalam usia belasan tahun di media massa Ibukota, terutama sekali Harian Bintang Timur, Bintang Minggu (BT Edisi Minggu), Warta Bhakti, Harian Rakyat, HRM (Harian Rakyat edisi Minggu) dan majalah seni & sastera Zaman Baru.
Pada tanggal 27 September berangkat ke Beijing sebagai anggota Delegasi Pengarang Indonesia atas undangan Himpunan Pengarang Tiongkok untuk menghadiri perasyaan Ultah Ke-XVI berdirinya RRT dan peninjauan kebudayaan.
Pernah bekerja di Majalah Tiongkok Bergambar edisi bahasa Indonesia.
Medio 1972, atas kemauan sendiri, bersama beberapa teman meninggalkan RRT, membelah benua dengan keretapi Trans Siberia. Sampai ujung Eropa Barat, Brussel, Belgia.

Menerima pendidikan terakhir di Akademi Seni Rupa — : Académie Royale des Beaux-Arts de Bruxelles, Brussel, Belgia.

Alamat:
Belgia : Bruxelles, Belgique.
Indonesia : Batam ; Jakarta, Ciputat Tangerang Selatan, Indonesia.

Penghargaan / Diploma:

(1) Brevet d’Exellence & Diplôme de Fin d’Etude de l’Académie Royale des Beaux-Arts de Bruxelles (1975, 1979).
(2) Prix de Gouden Pluim (Spectraal, Gent, 1981).
(3) Médaille d’Argent du Mérite Artistique Européen (Coxyde, 1987).
(4) Médaille d’Argent de l’Académie Internationale des Arts Contemporains et Diplôme d’Officier (pour reconnaître et protéger sa valeur artistique) 1986.
(5) Médaille d’Or (1987) et Médaille de Platine de l’AIAC (Enghien, 1988).

Biodata. Bibliographie :

(1) Media Massa, antara lain : Le Soir, La Lanterne, La Dernière Heure, L e Pourquoi Pas ? Le Jalon des Arts, Gazet Van Antwerpen, Het Laste Nieuws, De Autotoerist, Sontags Kurier, Cellerche Zeitung. Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Harian Sijori Pos, Harian Batam Pos, KB Antara dan media online: SwaraTV, DepokMetroNet, CybersastraNet, CimbuakNet. Sedangkan buku-buku dan kamus yang memuat biodata, antara lain :
(2) Spectraal Kunstkijkboek VI, éd. Spectraal, Gent 1984.
(3) 50 Artistes de Belgique, par Jacques Collard, critique d’art, éd. Viva Press Bruxelles 1986.
(4) Art Information, éd. Delpha, Paris 1986.
(5) Who’s who in Europe, éd. Database, Waterloo 1987.
(6) Who’s who in International Art, international biographical Art dictionary, éd. 1987-1996, Lausanne, Suisse.
(7) Dictionnaire des Artistes Plasticiens de Belgique de XIXe et XXe Siècles – Editions Art in Belgium 2005.
(8) Artis Peintre Abe Alias A.Kohar Ibrahim dan Karya Lukisnya oleh Lisya Anggraini, Batam, Indonesia 2005.

Exposisi :

Sejumlah eksposisi individual maupun kolektif. Antara lain : Galerie Hendrik De Braekeler (Antwerpen, 1977). Galerie Rik Wauters (Bruxelles, 1977). Galerie Van de Velde (Gent, 1979). Les Arts en Europe (Bruxelles, 1979). Galerie APAC (Schaerbeek, Bruxelles, 1980). Mérite Artistique Européen (Coxyde, 1980, 1987, 1990). Galerie Escalier (Bruxelles, 1980). Spectraal (Gent, 1981). Galerie Gouden Pluim (Gent, 1982). Galerie Erasme (Anderlecht, 1983, 1990). Galerie Schadow (Celle, RFA, 1986). Europa Bank (Gent, 1987, 1988, 1990). 50 Artistes de Belgique (Bruxelles, 1986). A.I.A.C. (Enghien, 1987). Spectraal (Nieuwpoort, 1988). Galerie Het Eeuwige Leven (Antwerpen, 1993). De Kreiekelaar (Schqerbeek 1997). Parcours d’Atistes (Commune de Schaerbeek, 1998). En Modus Vivendi (Oude Kerk, Vichte, 2003). Galeri Novotel (Batam, Kepri, 2004). Museum Haji Widayat (Magelang, Indonesie, 2004). Galeri Novotel (Batam, Kepri, 2006). Ruang Expo Balaikota Hotel Communale de Schaerbeek, Brussel 2007. Guilliaum & Caroline Gallery, Bruxelles 2008.

Sebagai Penulis:

Sebagai penulis, A. Kohar Ibrahim mulai banyak menulis prosa dan puisi serta esai atau kritik sastra dan seni sejak akhir tahun 50-an di beberapa media massa Ibukota, antara lain Bintang Timur, Bintang Minggu, HR Minggu, Warta Bhakti dan Zaman Baru. Setelah Era Reformasi, berkas-berkas karya tulisnya ada yang disiarkan di media massa cetak dan online. Anatara lain : Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Harian Sijori Pos, Harian Batam Pos, Majalah Gema Mitra, Majalah Budaya Duabelas (Penerbit : Dewan Kesenian Kepri), Cybersastra, Depokmetro.com, Swara.tv, Bekasinews.com, Art-Culture Indonesia, Multiply.
Dari tahun 1989-1999, selama sedasawarsa mengeditori terbitan yang tergolong pers alternatip, terutama sekali berupa terbitan Majalah Sastra & Seni « Kreasi » ; Majalah Budaya & Opini Pluralis « Arena » dan Majalah Opini « Mimbar ».

Sejumlah esai seni-budayanya, antara lain :

(1).“Sekitar Tempuling Rida K Liamsi », telaah buku kumpulan puisi Rida, terbitan Yayasan Sagang, Pekanbaru 2004.
(2).« Identitas Budaya Kepri », kumpulan esai bersama, terbitan Dewan Kesenian Kepri, Tanjungpinang 2005.
(3).« Kepri Pulau Cinta Kasih », kumpulan esai berddua dengan Lisya Anggraini, Yayasan Titik Cahaya Elka, Batam 2006.
(4).« Catatan Dari Brussel : Dari Bumi Pijakan Kaum Eksil »
(5).« Sekitar Tembok Berlin : Lagu Manusia Dalam Perang Dingin Yang Panas »
(6).« Hidup Mati Penulis & Karyanya : Polemik Pramoedya-Lekra vs Manikebu », penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, 2008-09.
(7).”Sekitar Prahara Budak Budaya”.
(8).« Sekitar Aktivitas Kreativitas Tulis Menulis Di Luar Garis ».

Buku dan atau kumpulan tulisan bersama berupa kucerpen dan kupuisi, antara lain :
(1).Kumpulan cerpen « Korban » , penerbit Stichting Budaya, Amsterdam, 1989.
(2).Kumpulan puisi « Berkas Berkas Sajak Bebas », penerbit Stichting Budaya, Amsterdam, Kreasi N° 37 1998.
(3).Kumpulan esei bersama : « Lekra Seni Politik PKI », Stichting Budaya, Amsterdam, Kreasi N° 10 1992.
(4).Kumpulan sajak bersama : « Puisi », Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 11 1992.
(5).Kumpulan esei bersama : « Kritik dan Esei », Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 14 1993.
(6).Kumpulan cerpen bersama: « Kesempatan Yang Kesekian », Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 26 1996.
(7).Kumpulan sajak bersama : « Yang Tertindah Yang Melawan Tirani » I, Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 28 1997.
(8).Kumpulan sajak bersama : « Yang Tertindas Yang Melawan Tirani » II, Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 39 1998.
(9).Kumpulan sajak : « Di Negeri Orang », penerbit Yayasan Lontar Jakarta & YSBI Amsterdam, 2002.
(10).Kumpulan tulisan bersama: Antologi Puisi Cerpen Curhat Tragedi Nasional 1965-2005, penerbit Sastra Pembebasan & Malka, 2005.
(11).Novel : « Sitoyen Saint-Jean – Antara Hidup Dan Mati », penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, 2008.
(12).Kumpulan puisi : « Untukmu Kekasihku Hanya Hatiku », penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, 2008-09.
(13).Kumpulan cerpen berdua Lisya Anggraini-A.Kohar Ibrahim : « Intuisi Melati », penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, 2008-09.

Yang belum atau dalam perencanaan untuk dibukukan : Berkas berkas naskah kumpulan esai seni budaya, kumpulan cerpen, kumpulan puisi, Nota Puitika (sebanyak 700-an) dan lain sebagainya lagi.

SEGERA TERBIT:

(1).Kumpulan 30 Cerpen A.Kohar Ibrahim: “Seusai Badai & Korban”.
(2).Kumpulan 40 Esai Sastra: “CdB Dari Bum Pijakan Kaum Eksil.”
Penerbit: Titik Cahaya Elka, Batam Kepri. Editor: Lisya Anggraini.
 
Catatan : Nama asli, alias dan samaran. Sejak mulai melakukan kegiatan tulis menulis medio tahun 50-an, sebagai tanda-tangan digunakan nama asli A.Kohar Ibrahim atau lengkapnya : Abdul Kohar Ibrahim. Tanda-tangan untuk semua karya lukis : Abe. Sedangkan nama samaran atau pen-name : Aki, A. Brata Esa, Rahayati, Bande Bandega, DT atau Dipa Tanaera (Dipa Tanahaer Rakyat).

Menjadi Batu (Being Stone)

Fiksi Kilat Ragil Koentjorodjati

 

Entah sejak kapan ia mulai belajar berubah, yang aku tahu, tidak banyak orang yang bersedia berubah. Tentu berubah menjadi lebih baik, maksudku. Buat apa kita membicarakan perubahan ke yang lebih buruk. Secara alamiah, setiap orang memburuk. Itu sebabnya kita berbicara supaya tidak semakin buruk. Persoalannya, siapa yang sungguh-sungguh terurapi untuk menunjukkan perihal baik buruk ini.
Aku tidak ingin berdebat denganmu. Aku ingin bercerita tentang seseorang. Seseorang yang ingin menjadi batu. Mungkin kamu berpikir ini absurd. Jika demikian, itu persis dengan yang ada di benakku. Tetapi coba simak penjelasannya padaku. Begini kata-katanya waktu itu: “pada awalnya, aku bukan apa-apa, hingga aku belajar menjadi segala sesuatu karena seseorang memberitahuku, jadilah orang yang berguna.”
Aku pikir, kamu pun pernah mendengar nasehat yang sama: jadilah orang yang berguna. Celakanya, aku tidak paham arti “menjadi segala sesuatu”, dan ini kusampaikan padanya. Inilah jawabannya.
being stone
gambar diunduh dari syahyudhi.blogspot.com
“Lebih banyak orang yang hanya mau mendengar apa yang ingin didengarnya,” jelasnya suatu hari. “Itu sebabnya banyak nasehat yang tidak jujur.”
Kamu tahu, jawabannya semakin membuatku bingung. Dan itu menyedihkan.
“Segala sesuatu bukanlah manusia,” lanjutnya. Untung hari itu bukan malam Jumat. Aku lupa memberitahumu, kami biasa berbincang di malam purba nyaris larut. Andai waktu itu malam Jumat, mungkin pikiranku lari ke hantu atau segala macam jenis bukan manusia. Untungnya hari itu Sabtu malam di awal Desember. Itu sungguh menyenangkan. Tanpa bulan dan bintang, ia menyalakan lampu minyak. Lindap cahayanya resap ke dada. Suasana tenang. Begitu tenang hingga kadang kamu dapat mendengar degup jantungmu. Lalu dingin itu, begitu sempurna serupa tangan lembut udara malam menyentuh kulitmu, membangkitkan gairah terdalam sebuah kerinduan. Tangan lembut beraroma bunga kopi di atas tanah yang sedikit basah. Suara jengkerik atau serangga malam menjadi sesuatu yang biasa saja. Wajar jika ia memilih tinggal di sana, di tepi belantara.
Aku menatap teduh matanya, mencari sesuatu yang lebih jauh.
“Ketika manusia berambisi menjadi sangat berguna, tidak jarang terjebak menjadi bukan manusia. Tega membunuh. Tega mencuri. Tega menjual diri sendiri. Menjadi mesin, menjadi robot, menjadi tumbuhan, menjadi hewan, menjadi batu bahkan menjadi hantu. Ia menjadi segala sesuatu yang bukan manusia.”
Butuh waktu cukup lama bagiku untuk menangkap maksud kata-katanya. Dari rekam jejak yang kuselusuri, ia pernah menjadi kuli, pedagang asongan, penjudi, pengamen, dan ….pencuri. Tentu saja, semua itu masih tergolong manusia.
“Aku pernah menjadi batu!” Ia seperti tahu jalan pikiranku.
“Batu?” tegasku.
“Ya. Batu!” tegasnya. Sekali lagi. “Dan aku di sini untuk kembali menjadi batu.”
Aku pernah mendengar, setidaknya beberapa cerita tentang manusia yang kemudian menjadi batu, tapi cerita-cerita itu semacam mitos buatku. Kisah Malin Kundang, aku yakin kamu pun tahu persis jalan ceritanya. Yang lebih tua lagi, kisah Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang, – kamu dapat melihat patung Roro Jonggrang di candi Prambanan. Manusia yang dikutuk menjadi batu. Jika kamu menyukai Yogyakarta, cobalah sesekali berkunjung ke candi Prambanan. Itu hanya sedikit berjarak ke arah timur, megah menantang langit Merapi di utara, dan kokoh serupa benteng bagi komplek keraton jaman purba, Candi Boko. Pada musim hujan begini, ia begitu tenteram dengan hamparan hijau bukit berpepohon di sekitarnya. Sunyi adalah candi, dan engkau dapat datang padanya saat ingin bersembunyi. Maaf, ceritaku sedikit menyimpang.
Kembali ke soal manusia menjadi batu, sekali lagi kutegaskan, itu mitos. Ada satu lagi kisah manusia menjadi batu, atau lebih tepatnya menjadi patung. (Entah setan mana yang merasuki Seno Gumira hingga mampu membuat cerita yang begitu gila). Jadi, ceritanya begini, kamu tahu, iblis tidak pernah mati, nah itulah judul bukunya. Judul buku Seno Gumira. Sudah tahu kalau iblis tidak pernah mati, namun ada saja orang yang mencoba membunuhnya. Dalam buku itu dikisahkan seseorang yang begitu membenci iblis dan ingin membunuhnya. Lalu pergilah orang itu ke barat. Seseorang itu, boleh kamu bayangkan sebagai sesosok pendekar sakti mandraguna dengan pedang di punggung. Barangkali pendekar itu pernah bertemu Sun Go Kong atau Pendeta Tong, kamu tahu, mereka sama-sama pergi ke barat. Bedanya, yang satu hendak membunuh iblis, sedang lainnya hendak mengambil kitab suci. Aku tidak mengerti mengapa iblis dan kitab suci berada di sudut yang sama: barat. Tapi itu akan menjadi kisah lain lagi. Yang menarik adalah bahwa Pendeta Tong dan Sang Pendekar, sama-sama selibat, artinya tidak menyentuh lawan jenis. Nah, mungkin di sini ada semacam kekacauan pikiran ketika seorang gadis menunggu Sang Pendekar pulang dari barat. Dengan setia sang gadis berdiri menghadap ke barat menunggu dan terus menunggu kekasihnya kembali hingga menjadi patung. Ya, patung. Hingga berlumut. Hingga ada lagi pendekar lain yang pergi ke barat. Hingga ada lagi gadis lain yang duduk di hadapannya, menunggu kekasihnya kembali dari barat. Hingga dia tahu akan ada manusia menjadi patung serupa dirinya, membeku dan berlumut. Sendiri dan kesepian. Dan pertarungan melawan iblis menjadi pertarungan setiap orang.
Itu kisah manusia menjadi batu versi abad ini. Dan semua itu hanya dongeng.
“Tapi aku pernah menjadi batu!” ulangnya,” hingga aku belajar tidak lagi menjadi segala sesuatu, tetapi menjadi seseorang.”
“Ah, kata-katamu terlalu sulit kumengerti,” ucapku.
“Menjadi berguna itu baik, asal kamu tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Dan itulah arti menjadi seseorang.”
Malam itu, ya itulah percakapan di malam nyaris larut itu, di sebuah gubug sederhana di tepi belantara. Sangat hutan hingga bagiku kadang pekatnya terasa menjepit dada. Siapa yang dapat bertahan dalam sepi begini, pikirku saat itu. Ia yang dulu pernah menjadi pencuri, lalu berkuasa bagai raja, entah mengapa, ia kini menjadi bukan siapa-siapa.
Ia seperti membaca keraguanku.
“Jika engkau belum siap menjadi bukan siapa-siapa, jadilah seseorang di luar sana,” katanya penuh kasih.
“Aku ingin membunuh iblis. Harus selalu ada orang yang melawan iblis, meski iblis tidak pernah mati,” kataku mengulang kalimat di buku Seno Gumira. Entah mengapa, aku tidak merasa segagah para pendekar itu. Bahkan aku berlalu dari hadapannya dengan muka berlumur malu. Sangat sedikit orang yang bersedia berubah. Barangkali ia kini sudah moksa. Atau mungkin telah menjadi batu. Batu penjuru yang kuharap menuntunku kembali menjadi batu.
 
 
Being Stone
 
Flash Fiction Ragil Koentjorodjati
I don’t know since when he started learning to change, I know, not many people are willing to change. Certainly changed for the better, I mean. Why should we talk about a change to the worse. Naturally, everyone is getting worse. That’s why we talk so as not to get worse. The issue is, who is truly anointed to show the good and bad.
I don’t want to argue with you. I want to tell you about someone. Someone who wants to be a stone. Maybe you think this is absurd. If so, that is exactly what I had in mind. But try to see his explanation. Here’s his words at the time: “at first, I was nothing, until I learned to be everything because someone told me, be useful.”
I thought you had heard the same advice: be a handy person. Unfortunately, I don’t understand the meaning of “be all things”, and I told him about this. Here’s the answer.
“More and more people who just want to hear what tehy want to hear,” he said one day. “That’s why a lot of advice is unhonest.”
You know, his answer is getting me confused. And that’s sad.
“Everything is not human,” he continued. Fortunately, that day is not Friday night. I forgot to tell you, we used to talk late at night almost primeval. If time was a Friday night, my mind might run into a ghost or all sorts of non-human. Fortunately it was Saturday night in early December. It was really fun. Without the moon and the stars, he lit the oil lamp. Shade of light penetrating into the chest. The atmosphere is quiet. So quiet until sometimes you can hear the pounding of your heart. So cold, so perfect night air like a gentle hand touches your skin, arousing the deepest longing. Hand gently scented flowers of coffee which grown on a little wet ground. Insect cicada sound into something ordinary. Understandable if he chose to live there, at the edge of the wilderness.
I looked shady eyes, searching for something more.
“When people are ambitious to be very useful, it is not uncommon to be stuck not being a human. The heart to kill. The heart to steal. The heart to sell yourself. Being a machine, a robot, a plant, a pet, a rock and even a ghost. He became everything that is not human. ”
It took a while for me to catch the words mean. From the track record I’ve searched, he had become porters, hawkers, gamblers, singers, and …. thieves. Of course, all of that is still quite human.
“I’ve been a stone!” He seemed to know the way my mind.
“Stone?” I said.
“Yes. Stones!” he said. Once again. “And I’m here to get back into stone.”
I’ve heard, at least some of the stories about the man who became a stone, but the stories of myth for me. Story Malin Kundang, I’m sure you also know exactly how the story goes. The older again, the story of Bondowoso and Jonggrang, – you can see the statue of Jonggrang in the Prambanan temple. Condemned man to stone. If you like Yogyakarta, try an occasional visit to Prambanan temple. It is just a little to the east, the magnificent sky challenging Merapi in the north, and a similar strong fort for ancient palace complex, Boko temple. In this rainy season, he was so serene with the green hills surrounding by trees. Silent is a temple, and you can come to him when you want to hide. Sorry, my story a little distorted.
Return to the story of man who turned into stone, once again I assure, it’s a myth. There’s another story of a man into stone, or rather into a statue. (I do not know where the demon possessed Seno Gumira to be able to create a story that is so crazy). So, the story goes like this, you know, the devil never dies, well that’s the title of his book. The title of the book Seno Gumira. Already know that the devil never dies, but there are people who try to kill him. In the book it is told someone that hates the devil and wanted to kill him. Then the man went to the west. Someone that you think may be as powerful as warrior with a sword on his back. Perhaps swordsman that ever met Sun Go Kong or Tong Priest, you know, they both went to the west. The difference is, the one try to kill the devil, while others want to take the holy book. I do not understand why the devil and the holy book is in the same corner: west. But that would be another story. What’s interesting is that the Tong priest and the Swordsman, both celibate, that is not touching the opposite sex. Well, maybe here there is such a mess of mind when a girl waiting for the Warrior returned from the west. Faithfully the girl stood facing west waited and waited until his girlfriend back into a statue. Yes, sculpture. Until the moss. Until there is again another swordsman who went west. Until there is again another girl who sat in front of her, waiting for her lover back from the west. Until she knew there would be people like her, turned into statue, frozen and mossy. Alone and lonely. And the battle against the devil is become the battle of everyone.
That’s the version of a man who turned into a stone on this century. And it’s all just a fairy tale.
“But I’ve become a stone!” he repeated, “until I learned to no longer be everything, but to be someone.”
“Ah.., your words are too difficult to understand,” I said.
“Being useful is good, as long as you do not become a stumbling block for others., And that’s what it means to be a person.”
That night, yes, that’s a conversation late at night almost, in a simple hut on the edge of the wilderness. Very woods to me untill the feeling of the darkness pinch my chest. Who can survive in a quiet way, I thought at the time. He who used to be a thief, then ruling like a king, for some reason, he has become a nobody.
He was like reading my doubts.
“If you are not ready to be a nobody, be someone out there,” she said lovingly.
“I want to kill the devil. Should always be people who resist the devil, although the devil is never dead,” I said, repeating the phrase in the book Seno Gumira. Somehow I do not feel as strong as warriors. Even, I left him with a face covered in shame. Very few people are willing to change. Perhaps now he is moksha. Or may have been a stone. I hope capstone which led me back into the stone.