Arsip Tag: abdul kohar ibrahim

Soal Ham dan Pemberangusan: Sekitar Polemik Pramoedya Lekra vs Manikebu

Oleh A.Kohar Ibrahim

polemik kebudayaanBung GM, dalam tanggapannya, antara lain menegaskan:

“Bagi saya, yang perlu adalah merintis bersama sebuah masa baru bagi Indonesia, setelah kita menempuh sebuah masa silam yang berdarah, kotor dan penuh kebencian – agar semua itu tak terulang lagi.”

Implementasi kongkritnya bagaimana? Secara prinsip saya setuju sekali dengan itikad yang luhur itu, dengan menarik pelajaran dari pengalaman. Tetapi baru pendapat orang perseorangan macam Bung GM. Hanya seorang penandatangan Manikebu juga peserta KKPI atau anggota PKPI. Tapi bagaimana yang lainnya? Seantero anggota, sponsor dan pendukungnya. Terutama sekali kaum militeris yang kemudian memegang tampuk kekuasaan Orba Jendral.

“Sudah lama saya telah memilih jalan ini, dan melakukan apa yang saya bisa, di tengah situasi yang tak mudah di bawah pengawasan Orde Baru,” tegas GM.

Iya. Bagaimana pula dalam praktek atau kenyataannya? Untuk itu saya acungkan jempol. Namun, lagi-lagi hanya “sebatas” skop “ke-saya-an” Bung GM sendiri. Bagaimana kongkritnya yang lain? Yang bersifat kolektif, terorganisasi atau kelembagaan. Baik berupa penerbitan majalah Horison, pendudukan di lembaga-lembaga penerbitan lainnya maupun berupa Dewan Dewan Kesenian, seminar, konferensi ini dan itu? Bukankah semua posisi penting aktivitas kebudayaan dan kesenian tersebut telah dihegemoni kaum Manikebuis alias pendukung Orba Jenderal belaka? Sedangkan orang-orang macam Pram atau orang-orang Lekra dan lainnya tetap saja berada di luar pagar, difitnah dan dimusuhi? Bahkan ketika ada pujian, penghargaan atau pembelaan secara obyektif atas hasil kreasi mereka pun, terhadap kaum yang peduli bukan saja tak diucapkan terima kasih malah dimusuhi pula adanya?

Sungguh, saya pun masygul, Bung GM. Jika mengingat bagaimana perilaku kaum penguasa kebudayaan Orba Jendral mengibar panji humanisme universil, pembela dan yang mempersucikan Pancasila dengan Sila Perikemanusiaan, namun dalam prakteknya berkenaan dengan kekuasaan, ternyata hanya menjalani tongkat komando kaum militeris anti-komunis. Mengucilkan semua mereka yang diberi cap terlibat “G30S/ PKI”, sebagai kaum penganut ideologi diharamkan: MarxisLeninis-Komunis. Makanya sah-sah saja terus diberangus, tidak diizinkan mengekspresikan diri yang merupakan hak azasi baik dengan tulisan (di penerbitan berupa majalah dan koran-koran) maupun secara lisan di berbagai forum seminar atau konferensi.

Iya mengingat semua itu, sungguh saya masygul, Bung GM. Kemasygulan yang agak terlipur ketika berupaya memahami persoalan, dan mendapatkan informasi seorang Indonesianis macam David Hill, dari makalahnya berjudul “Siapa Yang Kiri” (Sastra Indonesia Pada Mula Tahun 80-an). Menurut David Hill, konferensi atau seminar di TIM (diorganisir oleh Horison dan Tempo), dan penerbitan majalah adalah dalam rangka implementasi politik anti-komunis. Majalah Horison, yang didirikan dalam bulan Juni 1966, selama bulan-bulan sengit setelah coup yang menaikkan kaum konsevatif ke atas tahta adalah barisan depan seniman sayap kanan. Dengan menggelarkan Mochtar Lubis sebagai pimpinan, yang kepadanya seniman-seniman muda menganggapnya sebagai tokoh pimpinan politik dan kesenian, maka dewan redaksi mengumpulkan banyak penanda-tangan Manifes Kebudayaan dan mengabadikan pandangan seni dan sastra tersebut.”

Begitulah, antara lain, fakta yang mencerminkan betapa pesta kemenangan kekuasaan yang berjaya dari kaum Manikebuis. Dalam kaitan penikmat menikmati kekuasaan di institusi kebudayaan, saya jadi teringat akan adanya (lagi, seperti diinfokan David Hill) Seminar yang diorganisir Horison bulan Agustus 1982. Dengan topik tentang “Peranan Sastra Dalam Perubahan Sosial” yang diilhami oleh polemik antara Goenawan Mohamad dan Sutan Takdir Alisyahbana, mengenai fungsi sosial kesusastraan dan nilai tulisan berkonteks sosial. Muncul beberapa komentar. Akan tetapi, menurut David Hill, “penyair Sutardji Calzoum Bachri umpamanya, tidak melihat keharusan menggunakan puisinya sebagai mekanisme perubahan sosial. Ia mentertawakan dan meremehkan soal itu dengan menyatakan bahwa seorang penyair itu bodoh untuk membacakan sajak ketika berhadapan dengan tank yang sedang maju.”

Tetapi, tertawaan dan opini Tardji itu bisa jadi inspirasi untuk menggubah parodi: Bagaimana kalau para penyairnya itu bukan dalam posisi berhadapan dengan tank, melainkan membonceng atau ngintilin di belakang? Seperti yang terjadi di tahun 1966: Bersama pasukan militer “Yang Menang Sebelum Bertempur!”

Duh! Ironisnya! Tak urung para penyair, pengarang dan jurnalis macam itu juga yang setelah terjadinya kudeta militer berhasil, jadi bagian pelaksana mesin propaganda Orba Jendral. Menduduki posisi-posisi penting berbagai lembaga media ma-ssa maupun dewan-dewan kesenian di Jakarta maupun di dae-rah. Maka pemberangusan terhadap para wartawan, budayawan, seniman, sastrawan dan penyair oleh penguasa Orba Jenderal dilanggengkan. Bukan setahun dua tahun, tapi ber-dasa-dasa-warsa lamanya!

Ah, Bung GM, bagaimana orang semacam saya tak masygul mengingat kenyataan ini? Dan korbannya bukan hanya saya seorang, melainkan syak-gudang banyaknya! Termasuk yang paling kondang: Pramoedya Ananta Toer.

Lantas saya jadi tergugah seraya menggugat karena ujar kata Voltaire: “Sungguh pun aku benci pandanganmu, tapi akan kubela dengan jiwaku sendiri hakmu untuk mengutarakannya.” (MIMBAR N 1, 1990; Amsterdam, Editor: Dipa Tanaera alias A.Kohar Ibrahim).

Sungguh! Kisah-kisah ragam macam lagu manusia itu memang bisa merupakan tragedi dan bisa sebagai komedi, bahkan bisa digubah ubah jadi parodi!

Dalam soal pemberangusan untuk berekspresi menyatakan perasaan dan pikiran yang merupakan salah satu hak azasi manusia, agaknya sikap dan kesadaran orang memang ternyata tidaklah seragam. Bisa cepat sadar bisa pula bebal tak ketulungan! Ada juga yang menafsirkan atau memberi warna menurut selerasanya sendiri-sendiri. Seperti tafsiran ala Ikra dan semacamnya. Sedangkan bagi saya: Humanisme hanya satu! Yakni Humanisme itu sendiri. Karena, meskipun sekian miliar jumlahnya, sekian banyak macam warna dan besar kecilnya, umat manusia itu ya seumat manusia belaka yang jadi penghuni bola bumi yang bundar dan indah ini. Iya, tak?

Oleh karena itu, kiranya bisa Bung GM ketahui sudah, dengan penerimaan saya atas HAM yang dideklarasikan 10 Desember 1948 oleh PBB, dan penganut opini Voltaire tersebutkan itu, maka jelaslah posisi saya.

Akan halnya untuk memberikan pembuktian, akan jejak langkah saya atau aktivitas-kreativitas saya, memang tidak nampak oleh Bung GM, yah? Bukan salah Bung. Pun bukan salahku! Tapi terutama sekali salahnya sang penguasa Orba Jendral itu, lho!

Tapi, bagaimana pun juga, meski bak setetes air di samudera, bisalah dilacak jejak-langkah saya itu. Baik dalam karya lukis atau gambar maupun karya tulis atau penerbitan. Termasuk yang membela penerbitan Bung ketika dibredel Orba Jendral. (Simak Majalah ARENA N 14 1995, Culemborg. Editor : A.Kohar Ibrahim).

*

Catatan:

(1).Naskah ini pertama kali disiar milis ACI – Art-Cultur Indonesia, kemudian beberapa media internet lainnya.

Dipetik dari buku: “Sekitar Polemik Pramoedya-Lekra vs Manikebu” Penerbit: Titik Cahaya Elka, Batam.

(2).Biodata: tertuju bagi peminat dan pembaca mengetahui tonggak-tonggak jejak akivitas kreativitas Abe A.Kohar Ibrahim.

Terowongan Maut

Cerpen A. Kohar Ibrahim

Sitoyen Sant-Jean
Novel “Sitoyen Sant-Jean – Antara Hidup Dan Mati” oleh A.Kohar Ibrahim; Penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, Kepri 2008. Editing: Lisya Anggraini.
KISAH sekitar atau berkaitan dengan terowongan seringkali sarat akan perasaan gairah penuh asa bisa sekalian juga tak lepas rasa was-was. Seperti kisah dalam cerpen Maxim Gorky yang justeru berjudul ‘Terowongan’. Seperti kisah kapal tenggelam Titanic. Juga seperti perasaan yang timbul campur imajinasi ketika mengunjungi terowongan yang digunakan Tentara Merah dalam sejarah Perang Rakyat Tiongkok. Dan juga ketika kami sempat mengunjungi musium tambang batu bara Bligny di daerah Walonia Belgia. Yang kesemuanya, kisah-kisah itu saling silang seling berkaitan dengan makna operasi, makna kekerasan dalam aksi peperangan maupun aksi kerja keras rakyat pekerja.
Sungguh sesungguhnyalah kata operasi adalah kata yang jarang aku gunakan. Kata yang kedengarannya tak aku suka, lantaran secara subyektif kontan mengingatkan pada tindakan kekerasan. Apa pula ditambah kata bedah atau pembedahan. Lebih-lebih lagi operasi pembedahan itu bukan tertuju pada orang lain, melainkan pada diriku sendiri. Pada tubuhku sendiri. Pada perutku sendiri. Kedua kata itu – operasi bedah – sungguh membuat aku terkejut melongok, tercenung merenung, bingung.

Aku rasakan, aku bayangkan, diriku bagai sehelai daun menguning nyaris kering di ujung ranting. Antara asa dan putus asa. Runtuh jatuh melayang-layang antara bumi dan kahyangan. Betapa gamang kegamangan ini begitu mengerikan dalam kelengang-hampaan. Takut. Rasa takut ketakutan menerjang sekalian menyergap, menikung jiwa-ragaku dalam kurungan. Aku berteriak. Memberontak. Aku tak mau dikurung pun terkurung dalam kebingungan sekalian dirajam ketakutan.

Dalam mengayunkan langkah menelusuri perjalanan hidup kehidupanku tidaklah sederhana dan mudah. Seperti tertera dalam catatan atau kenangan tertulisku, sejak masa muda remaja sampai lansia. Antara lain pengakuanku: Iya, aku terjatuh jatuh bangun. Namun jejak langkah terus kuayun. Menelusuri rimba raya, lembah, lereng bukit dan gunung atau pun gurun. Ya Allah, Allahu Akbar! Betapa tabah ketabahan bermakna besar, seraya setia menjaga marwah dalam gairah maupun dalam susah payah. Tak kan sekali kali kubertekuk lutut sekalipun garangnya musuh dan maut. Sekali pun sekali terjatuh aku bangun lagi, mengayun langkah dengan tabah sekalian menjaga marwah.

Aku jatuh terjatuh lalu bangkit kembali menegakkan langkah yang jadi kebiasaanku selama ini. Begitulah. Tekadku tak berubah. Meski aku ngaku, ragaku tidak lagi dalam masa remaja sampai dewasa yang gagah; memasuki masa lansia terasa keperkasaannya berangsur melemah. Apa pula jatuh terajam penyakit yang tak pernah aku suka pun tak pernah aku duga. Hingga menjadi lemah lantaran kekurangan darah: Anemia adanya. Lantas mesti mengalami operasi bedah? Ah… !

Operasi dioperasi dibedah, sungguh aku tak suka mendengar ujar kata itu. Apa pula mesti aku sendiri yang akan mengalaminya. Tapi apa daya, hal itu sudah merupakan keputusan dari tim kedokteran dan pengobatan Klinik Saint-Jean. Sebagai diagnosa dari pemeriksaan-pengobatan-perawatan sejak aku masuk rumah sakit atau klinik ini. Jelasnya, sebagai hasil kesimpulan dari pemeriksaan yang terakhir aku jalani. Yakni gastroskopi dan kolonoskopi.

Dua pemeriksaan yang aku jalani Jumat kemarin — pagi-pagi sekali kemudian siang hari — macam pemeriksaan keadaan kesehatan badan yang paling berat aku rasakan.

Yang pertama. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Jam enam. Badanku yang sudah lemas bertambah lemas lantaran puasa. Tidak boleh makan dan minum sejak kemarin malam. Pagi hari tentu saja tanpa sarapan pagi. Pada jam delapan seorang juru-rawat sudah siap mengantarku, dengan menggunakan kursi-dorong, dari kamar biasa di tingkat tiga turun ke ruangan lantai bawah-tanah. Perutku yang memang sering terasa sakit dan mual, kian bertambah mual saja, ketika turun menggunakan lift.

“Courage, Monsieur“, ujar sang juru-rawat asal Afrika bernama Clemantine – seperti tertera di kartunama tanda pengenal yang nyantel di dadanya. “Gastroskopi merupakan pemeriksaan yang tak menyenangkan. Harap sabar dan tabah.”

Harus tabah dan bersabar, itulah nasihat sang juru-rawat berkulit-hitam manis teriring senyum, menyerahkanku kepada seorang juru-rawat yang bertugas di lantai bawah-tanah. Di ruangan yang cukup luas memanjang, dengan warna dinding tembok yang putih keabu-abuan. Rasanya dingin kebanding di ruang lantai atas. Dan aku dideret-jajarkan dengan para pasien lainnya. Lantas menyuruhku meminum segelas besar air yang sebenarnya dicampur zat obat pengobatan. Rasanya agak aneh sekalipun ada aroma jeruknya. Setelah tiga perempat jam baru aku dibawa masuk ke ruang khusus untuk gastoskopi. Dibaringkan dengan posisi miring sebelah kiri, di atas meja yang mirip ranjang berseprei putih. Lantas seorang dokter datang menyapa dengan ramah seraya minta kerjasamaku. Agar supaya pemeriksaan berlangsung secara lancar dan mencapai hasil yang diperlukan. Ketika aku penasaran tanya,” Kerjasamanya bagaimana, Tuan Dokter?”

Sang dokter tersenyum. “Mudah saja,” katanya. “Jaga ketenangan, jangan panik. Meski nanti terasa haus dan hangat di tenggorokan. Dan bernafaslah dengan mulut, setuju?”

Oui, Docteur. D’accord,” jawabku polos.

Jawaban polosku itu sesungguhnya berupa kepasrahan saja, meski sarat nekad sekalian itikad untuk memulihkan kembali kesehatanku. Dengan mencari sekaligus menemukan sebab-musabab keadaan anemia lantaran terjadinya pendarahan. Maka aku tak berkutik pun tanpa berkata apa-apa lagi ketika menerima saluran oksigin via lubang hidungku. Ketika ada alat di mulutku supaya tetap mangap. Ketika menerima zat yang hangat-hangat panas mengalir di jalur kerongkonganku. Dan ketika, akhirnya, via kerongkongan sang dokter memasukkan pipa mungil yang dilengkapi kamera untuk mendeteksi sekaligus memotret panorama perutku — usus besar dan jalur kolon-nya sekalian. Rasa perasaan aneh menghujam-rajam diriku, seluruh jiwa-ragaku. Anehnya rasa haus kehausan dan sakit kesakitan yang luar biasa, ketika sang dokter melakukan pencariannya dengan alat yang bagiku aneh pula itu. Kadang rasa haus dahaga begitu terasa. Ah, kehaus-dahagaan melebihi ketika puasa di bulan Ramadan; mungkin lebih jitu kehaus-dahagaan seperti musyafir di padang pasir? Kadang pula terasa dingin, seperti terbenam di dasar laut. Tak ubahnya seperti kapal Titanic yang diselami penyelam dengan dilengkapi pipa berkamera untuk mendeteksi sekaligus memotret apa saja yang dianggap penting, sebagai penemuan yang layak disimak dan sebagai pengetahuan bermakna.

Selama beberapa saat panas-dingin merejam badan kian menigkat terasa, sepertinya aku telah kehabisan nafas, nyaris pingsan. Sampai saat sang dokter menarik kembali pipa secara keseluruhan, dan aku bisa bernafas kembali seperti biasanya. Aku pejamkan mata lantaran keletihan. Baru terjaga beberapa lama kemudian ketika sudah kembali berada di kamar pasien di lantai atas.

Agaknya selama dua jam lebih aku terlena dengan nyenyak, membikin badan terasa lebih enak. Hanya untuk mengalami pemeriksaan lainnya – kolonoskopi — beberapa jam kemudian. Yakni pada jam lima sore. Pemeriksaan yang juga aneh, menimbulkan rasa aneh keanehan akibat alat yang digunakan — semacam pipa yang juga dilengkapi pendeksi sekaligus pemotret keadaan kolon. Keanehan yang menerkam rejam jiwa raga terkesankan kenyerian dan kewaswasan serta penasaran. Meskipun berlangsung tidak lama dan betapa sigap-cakapnya sang dokter memanipulasi alat yang digunakannya – mulai dari mulut lubang dubur sampai masuk merasuk ke dalam perut, istimewa ke usus yang disebut kolon itu — namun kiranya, ya ampun, cukuplah sekali itu saja.

Iya. Sekali itu saja. Masing-masing sekali itu saja – pemeriksaan yang disebut gastroskopi dan kolonoskopi itu. Sekali itu saja dan terakhir kali, akupun bergerak secara otomatik begitu mendengar saran sang dokter supaya aku cepat ke toilet. Gerak cepat seperti robot otomatik dari meja pasien ke toilet hanya untuk secepatnya mengeluarkan isi perut sehabis-habisnya hingga kempis. Untuk kedua kalinya perasaan aneh lantaran keletihan menyergap jiwa-ragaku. Ketika sang juru-rawat menjemputku kembali ke ruang kamar pasien, aku segera terbaring di ranjang dan tertidur lelap.

Suasana kedua macam pemeriksaan medis itu layaknya membawaku pada kenangan sekaligus pengalaman yang menimbulkan perasaan sarat asa dan ketiadaan asa, campur-baur rasa ngeri dan was-was berkenaan dengan terowongan. Timbulnya rasa perasaan aneh di dalam terowongan sekaligus sebagai terowongan. Terowongan dalam perjuangan hidup-mati di medan laga peperangan, pekerjaan dan di dalam jiwa-raga diri sendiri.

Akan tetapi, suka tak suka, kedua macam pemeriksaan bagaikan terowongan itu, merupakan lanjutan yang wajar. Sebagai mata-rantai tak terpisahkan dari rangkaian pemeriksaan medis lainnya yang tidak bisa tidak dijalani. Karena atas dasar kesemuanya itulah team kedokteran menyatakan diagnosanya, menarik kesimpulan dan memutuskan cara terbaik untuk menghentikan pendarahan yang terjadi. Yakni dengan melakukan operasi pembedahan. Operasi untuk melikwidasi tumor yang mengidap di bagian kolon dalam perutku.

Iya. Kolon itu tak ubahnya bagai terowongan yang selain bisa hidup menghidupkan, sebagai saluran pembuangan sampah atau kotoran dari dalam perut, sekaligus juga bisa mematikan jika tersumbat atau diidapi tumor yang gawat jadi penyebab pendarahan hingga kehilangan darah.

Catatan:

Naskah “Terowongan Maut” bisa dianggap cerpen, meski merupakan bagian dari Novel berjudul “Sitoyen Sant-Jean – Antara Hidup Dan Mati” oleh A.Kohar Ibrahim, hlm 129-137; Penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, Kepri 2008. Editing: Lisya Anggraini.

Kabar Lengkung Pelangi

Fiksi Kilat A.Kohar Ibrahim
KILAT cahya itu sekilat seterang kilat pedang tajam tapi ketajamannya begitu panjang membelah langit berselubung mega biru kehitam-legaman. Cahya belah bedahan yang teriring denyar guruh mengejutkan. Teriring hujan deras seperti air mancur tertumpah dari langit-langit megah yang bolong melompong. Kederasan hujan yang menggugah gelisah resah: apakah banjir akan kembali melanda lembah?
eagle
Elang – karya lukis Abe alias Aki
Seketika sekali lagi pedang cahaya yang besar-panjang luarbiasa itu beraksi pun teriring denyar halilintar menggelegar, sepintas lintas pandang mataku tertumpu tuju pada lembah. Pada jalur jemalur pematang sawah. Akan tetapi hujan deras pun seketika terhenti; gerimis mengganti. Kabut mengikut. ; lalu tersapu sang bayu. Meski langit masih berselimut mega biru kelabu kehitam-legaman, nun jauh di balik puncak gunung berapi yang tertidur, segoresan panjang kaki langit menampakkan kecerahan. Cahya bak pertanda pesan terkesankan : Jangan sampai kehilangan harapan.
Seketika pula aku menghela nafas panjang lega. Iya, selayaknyalah demikian itu begitu. Tanpa pernah kehilangan asa. Sekali pun batu batu ujian ringan pun berat selalu sering jadi penghalang sepanjang jalan. Jangankan dalam perjalanan panjang kehidupan, dari sejarak tempat kediaman hingga di ketinggian lereng di mana aku berdiri ini saja pun berapa kali aku tersandung sandung, nyaris jatuh mencium bumi. Tapi untunglah aku tak terjatuh. Dan hasrat keinginan mendapatkan kabar dari sorang lelaki yang aku sayang tak pernah punah. Sebaliknya malah. Aku ingin sekali menerima kabar darinya. Kabar bagaimana dan di mana kini dia berada sebenar benarnya.
Lagi dan sekali lagi kilat berdenyar guruh menggelegar tapi agak di kejauhan dan gemanya pun semakin jauh semakin lemah kedengaran. Terganti sunyi sepi. Tertinggalkan berkas luas kecerahan di tengah lembah lintang melintang pematang. Cahya dari kaki langit nun jauh di sana dan yang dari celah mega mendung jadi penambah penerang ingatanku serta kangenku pada sorang lelaki. Sorang lelaki yang suka terlentang di pematang sana; hanya mengenakan celana panjang hitam komprang berkaos merah dalu, kadang berikat kepala hitam atau merah pula, jika tidak merah-putih. Itulah makanya, aku pun mengenakan paduan warna yang dia suka. Berkerudung merah marong. Hadiah darinya.
Dia memang penggemar warna warni bervariasi, tetapi busana yang dikenakannya seringkali warna hitam hitam dan merah. Katanya, dulu, bahkan ketika ikut berjuang di Sumatera dan Sulawesi menumpas pemberontakan reaksioner dan bahkan seketika dalam perjuangan pembebasan Irja, busana yang dikenakan pun demikian warna-warninya. Alasannya, katanya, nyaman. Lebih lincah dalam mengayun gerak jejaknya. Sekalipun, ada perkecualiannya; terutama dalam masa genting, dalam perjuangan hidup-mati. Pada saat saat gawat malah dikenakannya ikat-kepala warna dwiwarna. Warna Sangsaka Merah-Putih.
Sekali dan sekali lagi kilat berdenyar guruh menggelegar, meski nampak dan gemanya di kejauhan. Kian jauh melemah lambat lamat. Tapi tak urung, cahya kilat meninggalkan bekas di seberkas pertengahan lembah. Di lintang melintang pematang. Oh, sepertinya aku menampak sosok sorang lelaki yang berbusana sederhana: bercelana panjang hitam komprang berkaos oblong merah dalu berikat kepala merah-putih. Aku buka mata lebar-lebar. Tetapi seketika dia sudah tiada. Seketika aku tutup mulut dengan tapaktangan kananku. Menahan jerit ekspresi kangenku. Hanya untuk mendengar ujar katanya yang pernah dibisikkan ke telingaku: “Kalau dikau sangat rindu, upaya menampak lengkung warna warni di atas puncak gunung. Jika warna merah Pelangi itu cerah, jangan nangis tapi senyum meski meringis miris: aku pasti pulang. Bukan berpulang….”
Dari menutup mulut, tapak tanganku beralih ke sepasang mataku, mengusap basah titik air bening yang tak tertahankan mengalir. Seketika aku nampak benar benarlah warna merah lengkung pelangi itu merahnya cerah. Secerah darah lelaki Sang Pemberani. Kekasihku.

 

27 September 2011

 

A.KOHAR IBRAHIM

Nama lengkap: Abdul Kohar Ibrahim
Nama Pelukis (tandatangan pelukis): Abe

Kelahiran Jakarta 1942.
MULAI kegiatan tulis menulis dalam usia belasan tahun di media massa Ibukota, terutama sekali Harian Bintang Timur, Bintang Minggu (BT Edisi Minggu), Warta Bhakti, Harian Rakyat, HRM (Harian Rakyat edisi Minggu) dan majalah seni & sastera Zaman Baru.
Pada tanggal 27 September berangkat ke Beijing sebagai anggota Delegasi Pengarang Indonesia atas undangan Himpunan Pengarang Tiongkok untuk menghadiri perasyaan Ultah Ke-XVI berdirinya RRT dan peninjauan kebudayaan.
Pernah bekerja di Majalah Tiongkok Bergambar edisi bahasa Indonesia.
Medio 1972, atas kemauan sendiri, bersama beberapa teman meninggalkan RRT, membelah benua dengan keretapi Trans Siberia. Sampai ujung Eropa Barat, Brussel, Belgia.

Menerima pendidikan terakhir di Akademi Seni Rupa — : Académie Royale des Beaux-Arts de Bruxelles, Brussel, Belgia.

Alamat:
Belgia : Bruxelles, Belgique.
Indonesia : Batam ; Jakarta, Ciputat Tangerang Selatan, Indonesia.

Penghargaan / Diploma:

(1) Brevet d’Exellence & Diplôme de Fin d’Etude de l’Académie Royale des Beaux-Arts de Bruxelles (1975, 1979).
(2) Prix de Gouden Pluim (Spectraal, Gent, 1981).
(3) Médaille d’Argent du Mérite Artistique Européen (Coxyde, 1987).
(4) Médaille d’Argent de l’Académie Internationale des Arts Contemporains et Diplôme d’Officier (pour reconnaître et protéger sa valeur artistique) 1986.
(5) Médaille d’Or (1987) et Médaille de Platine de l’AIAC (Enghien, 1988).

Biodata. Bibliographie :

(1) Media Massa, antara lain : Le Soir, La Lanterne, La Dernière Heure, L e Pourquoi Pas ? Le Jalon des Arts, Gazet Van Antwerpen, Het Laste Nieuws, De Autotoerist, Sontags Kurier, Cellerche Zeitung. Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Harian Sijori Pos, Harian Batam Pos, KB Antara dan media online: SwaraTV, DepokMetroNet, CybersastraNet, CimbuakNet. Sedangkan buku-buku dan kamus yang memuat biodata, antara lain :
(2) Spectraal Kunstkijkboek VI, éd. Spectraal, Gent 1984.
(3) 50 Artistes de Belgique, par Jacques Collard, critique d’art, éd. Viva Press Bruxelles 1986.
(4) Art Information, éd. Delpha, Paris 1986.
(5) Who’s who in Europe, éd. Database, Waterloo 1987.
(6) Who’s who in International Art, international biographical Art dictionary, éd. 1987-1996, Lausanne, Suisse.
(7) Dictionnaire des Artistes Plasticiens de Belgique de XIXe et XXe Siècles – Editions Art in Belgium 2005.
(8) Artis Peintre Abe Alias A.Kohar Ibrahim dan Karya Lukisnya oleh Lisya Anggraini, Batam, Indonesia 2005.

Exposisi :

Sejumlah eksposisi individual maupun kolektif. Antara lain : Galerie Hendrik De Braekeler (Antwerpen, 1977). Galerie Rik Wauters (Bruxelles, 1977). Galerie Van de Velde (Gent, 1979). Les Arts en Europe (Bruxelles, 1979). Galerie APAC (Schaerbeek, Bruxelles, 1980). Mérite Artistique Européen (Coxyde, 1980, 1987, 1990). Galerie Escalier (Bruxelles, 1980). Spectraal (Gent, 1981). Galerie Gouden Pluim (Gent, 1982). Galerie Erasme (Anderlecht, 1983, 1990). Galerie Schadow (Celle, RFA, 1986). Europa Bank (Gent, 1987, 1988, 1990). 50 Artistes de Belgique (Bruxelles, 1986). A.I.A.C. (Enghien, 1987). Spectraal (Nieuwpoort, 1988). Galerie Het Eeuwige Leven (Antwerpen, 1993). De Kreiekelaar (Schqerbeek 1997). Parcours d’Atistes (Commune de Schaerbeek, 1998). En Modus Vivendi (Oude Kerk, Vichte, 2003). Galeri Novotel (Batam, Kepri, 2004). Museum Haji Widayat (Magelang, Indonesie, 2004). Galeri Novotel (Batam, Kepri, 2006). Ruang Expo Balaikota Hotel Communale de Schaerbeek, Brussel 2007. Guilliaum & Caroline Gallery, Bruxelles 2008.

Sebagai Penulis:

Sebagai penulis, A. Kohar Ibrahim mulai banyak menulis prosa dan puisi serta esai atau kritik sastra dan seni sejak akhir tahun 50-an di beberapa media massa Ibukota, antara lain Bintang Timur, Bintang Minggu, HR Minggu, Warta Bhakti dan Zaman Baru. Setelah Era Reformasi, berkas-berkas karya tulisnya ada yang disiarkan di media massa cetak dan online. Anatara lain : Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Harian Sijori Pos, Harian Batam Pos, Majalah Gema Mitra, Majalah Budaya Duabelas (Penerbit : Dewan Kesenian Kepri), Cybersastra, Depokmetro.com, Swara.tv, Bekasinews.com, Art-Culture Indonesia, Multiply.
Dari tahun 1989-1999, selama sedasawarsa mengeditori terbitan yang tergolong pers alternatip, terutama sekali berupa terbitan Majalah Sastra & Seni « Kreasi » ; Majalah Budaya & Opini Pluralis « Arena » dan Majalah Opini « Mimbar ».

Sejumlah esai seni-budayanya, antara lain :

(1).“Sekitar Tempuling Rida K Liamsi », telaah buku kumpulan puisi Rida, terbitan Yayasan Sagang, Pekanbaru 2004.
(2).« Identitas Budaya Kepri », kumpulan esai bersama, terbitan Dewan Kesenian Kepri, Tanjungpinang 2005.
(3).« Kepri Pulau Cinta Kasih », kumpulan esai berddua dengan Lisya Anggraini, Yayasan Titik Cahaya Elka, Batam 2006.
(4).« Catatan Dari Brussel : Dari Bumi Pijakan Kaum Eksil »
(5).« Sekitar Tembok Berlin : Lagu Manusia Dalam Perang Dingin Yang Panas »
(6).« Hidup Mati Penulis & Karyanya : Polemik Pramoedya-Lekra vs Manikebu », penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, 2008-09.
(7).”Sekitar Prahara Budak Budaya”.
(8).« Sekitar Aktivitas Kreativitas Tulis Menulis Di Luar Garis ».

Buku dan atau kumpulan tulisan bersama berupa kucerpen dan kupuisi, antara lain :
(1).Kumpulan cerpen « Korban » , penerbit Stichting Budaya, Amsterdam, 1989.
(2).Kumpulan puisi « Berkas Berkas Sajak Bebas », penerbit Stichting Budaya, Amsterdam, Kreasi N° 37 1998.
(3).Kumpulan esei bersama : « Lekra Seni Politik PKI », Stichting Budaya, Amsterdam, Kreasi N° 10 1992.
(4).Kumpulan sajak bersama : « Puisi », Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 11 1992.
(5).Kumpulan esei bersama : « Kritik dan Esei », Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 14 1993.
(6).Kumpulan cerpen bersama: « Kesempatan Yang Kesekian », Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 26 1996.
(7).Kumpulan sajak bersama : « Yang Tertindah Yang Melawan Tirani » I, Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 28 1997.
(8).Kumpulan sajak bersama : « Yang Tertindas Yang Melawan Tirani » II, Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 39 1998.
(9).Kumpulan sajak : « Di Negeri Orang », penerbit Yayasan Lontar Jakarta & YSBI Amsterdam, 2002.
(10).Kumpulan tulisan bersama: Antologi Puisi Cerpen Curhat Tragedi Nasional 1965-2005, penerbit Sastra Pembebasan & Malka, 2005.
(11).Novel : « Sitoyen Saint-Jean – Antara Hidup Dan Mati », penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, 2008.
(12).Kumpulan puisi : « Untukmu Kekasihku Hanya Hatiku », penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, 2008-09.
(13).Kumpulan cerpen berdua Lisya Anggraini-A.Kohar Ibrahim : « Intuisi Melati », penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, 2008-09.

Yang belum atau dalam perencanaan untuk dibukukan : Berkas berkas naskah kumpulan esai seni budaya, kumpulan cerpen, kumpulan puisi, Nota Puitika (sebanyak 700-an) dan lain sebagainya lagi.

SEGERA TERBIT:

(1).Kumpulan 30 Cerpen A.Kohar Ibrahim: “Seusai Badai & Korban”.
(2).Kumpulan 40 Esai Sastra: “CdB Dari Bum Pijakan Kaum Eksil.”
Penerbit: Titik Cahaya Elka, Batam Kepri. Editor: Lisya Anggraini.
 
Catatan : Nama asli, alias dan samaran. Sejak mulai melakukan kegiatan tulis menulis medio tahun 50-an, sebagai tanda-tangan digunakan nama asli A.Kohar Ibrahim atau lengkapnya : Abdul Kohar Ibrahim. Tanda-tangan untuk semua karya lukis : Abe. Sedangkan nama samaran atau pen-name : Aki, A. Brata Esa, Rahayati, Bande Bandega, DT atau Dipa Tanaera (Dipa Tanahaer Rakyat).