Arsip Tag: guruh

Kabar Lengkung Pelangi

Fiksi Kilat A.Kohar Ibrahim
KILAT cahya itu sekilat seterang kilat pedang tajam tapi ketajamannya begitu panjang membelah langit berselubung mega biru kehitam-legaman. Cahya belah bedahan yang teriring denyar guruh mengejutkan. Teriring hujan deras seperti air mancur tertumpah dari langit-langit megah yang bolong melompong. Kederasan hujan yang menggugah gelisah resah: apakah banjir akan kembali melanda lembah?
eagle
Elang – karya lukis Abe alias Aki
Seketika sekali lagi pedang cahaya yang besar-panjang luarbiasa itu beraksi pun teriring denyar halilintar menggelegar, sepintas lintas pandang mataku tertumpu tuju pada lembah. Pada jalur jemalur pematang sawah. Akan tetapi hujan deras pun seketika terhenti; gerimis mengganti. Kabut mengikut. ; lalu tersapu sang bayu. Meski langit masih berselimut mega biru kelabu kehitam-legaman, nun jauh di balik puncak gunung berapi yang tertidur, segoresan panjang kaki langit menampakkan kecerahan. Cahya bak pertanda pesan terkesankan : Jangan sampai kehilangan harapan.
Seketika pula aku menghela nafas panjang lega. Iya, selayaknyalah demikian itu begitu. Tanpa pernah kehilangan asa. Sekali pun batu batu ujian ringan pun berat selalu sering jadi penghalang sepanjang jalan. Jangankan dalam perjalanan panjang kehidupan, dari sejarak tempat kediaman hingga di ketinggian lereng di mana aku berdiri ini saja pun berapa kali aku tersandung sandung, nyaris jatuh mencium bumi. Tapi untunglah aku tak terjatuh. Dan hasrat keinginan mendapatkan kabar dari sorang lelaki yang aku sayang tak pernah punah. Sebaliknya malah. Aku ingin sekali menerima kabar darinya. Kabar bagaimana dan di mana kini dia berada sebenar benarnya.
Lagi dan sekali lagi kilat berdenyar guruh menggelegar tapi agak di kejauhan dan gemanya pun semakin jauh semakin lemah kedengaran. Terganti sunyi sepi. Tertinggalkan berkas luas kecerahan di tengah lembah lintang melintang pematang. Cahya dari kaki langit nun jauh di sana dan yang dari celah mega mendung jadi penambah penerang ingatanku serta kangenku pada sorang lelaki. Sorang lelaki yang suka terlentang di pematang sana; hanya mengenakan celana panjang hitam komprang berkaos merah dalu, kadang berikat kepala hitam atau merah pula, jika tidak merah-putih. Itulah makanya, aku pun mengenakan paduan warna yang dia suka. Berkerudung merah marong. Hadiah darinya.
Dia memang penggemar warna warni bervariasi, tetapi busana yang dikenakannya seringkali warna hitam hitam dan merah. Katanya, dulu, bahkan ketika ikut berjuang di Sumatera dan Sulawesi menumpas pemberontakan reaksioner dan bahkan seketika dalam perjuangan pembebasan Irja, busana yang dikenakan pun demikian warna-warninya. Alasannya, katanya, nyaman. Lebih lincah dalam mengayun gerak jejaknya. Sekalipun, ada perkecualiannya; terutama dalam masa genting, dalam perjuangan hidup-mati. Pada saat saat gawat malah dikenakannya ikat-kepala warna dwiwarna. Warna Sangsaka Merah-Putih.
Sekali dan sekali lagi kilat berdenyar guruh menggelegar, meski nampak dan gemanya di kejauhan. Kian jauh melemah lambat lamat. Tapi tak urung, cahya kilat meninggalkan bekas di seberkas pertengahan lembah. Di lintang melintang pematang. Oh, sepertinya aku menampak sosok sorang lelaki yang berbusana sederhana: bercelana panjang hitam komprang berkaos oblong merah dalu berikat kepala merah-putih. Aku buka mata lebar-lebar. Tetapi seketika dia sudah tiada. Seketika aku tutup mulut dengan tapaktangan kananku. Menahan jerit ekspresi kangenku. Hanya untuk mendengar ujar katanya yang pernah dibisikkan ke telingaku: “Kalau dikau sangat rindu, upaya menampak lengkung warna warni di atas puncak gunung. Jika warna merah Pelangi itu cerah, jangan nangis tapi senyum meski meringis miris: aku pasti pulang. Bukan berpulang….”
Dari menutup mulut, tapak tanganku beralih ke sepasang mataku, mengusap basah titik air bening yang tak tertahankan mengalir. Seketika aku nampak benar benarlah warna merah lengkung pelangi itu merahnya cerah. Secerah darah lelaki Sang Pemberani. Kekasihku.

 

27 September 2011

 

A.KOHAR IBRAHIM

Nama lengkap: Abdul Kohar Ibrahim
Nama Pelukis (tandatangan pelukis): Abe

Kelahiran Jakarta 1942.
MULAI kegiatan tulis menulis dalam usia belasan tahun di media massa Ibukota, terutama sekali Harian Bintang Timur, Bintang Minggu (BT Edisi Minggu), Warta Bhakti, Harian Rakyat, HRM (Harian Rakyat edisi Minggu) dan majalah seni & sastera Zaman Baru.
Pada tanggal 27 September berangkat ke Beijing sebagai anggota Delegasi Pengarang Indonesia atas undangan Himpunan Pengarang Tiongkok untuk menghadiri perasyaan Ultah Ke-XVI berdirinya RRT dan peninjauan kebudayaan.
Pernah bekerja di Majalah Tiongkok Bergambar edisi bahasa Indonesia.
Medio 1972, atas kemauan sendiri, bersama beberapa teman meninggalkan RRT, membelah benua dengan keretapi Trans Siberia. Sampai ujung Eropa Barat, Brussel, Belgia.

Menerima pendidikan terakhir di Akademi Seni Rupa — : Académie Royale des Beaux-Arts de Bruxelles, Brussel, Belgia.

Alamat:
Belgia : Bruxelles, Belgique.
Indonesia : Batam ; Jakarta, Ciputat Tangerang Selatan, Indonesia.

Penghargaan / Diploma:

(1) Brevet d’Exellence & Diplôme de Fin d’Etude de l’Académie Royale des Beaux-Arts de Bruxelles (1975, 1979).
(2) Prix de Gouden Pluim (Spectraal, Gent, 1981).
(3) Médaille d’Argent du Mérite Artistique Européen (Coxyde, 1987).
(4) Médaille d’Argent de l’Académie Internationale des Arts Contemporains et Diplôme d’Officier (pour reconnaître et protéger sa valeur artistique) 1986.
(5) Médaille d’Or (1987) et Médaille de Platine de l’AIAC (Enghien, 1988).

Biodata. Bibliographie :

(1) Media Massa, antara lain : Le Soir, La Lanterne, La Dernière Heure, L e Pourquoi Pas ? Le Jalon des Arts, Gazet Van Antwerpen, Het Laste Nieuws, De Autotoerist, Sontags Kurier, Cellerche Zeitung. Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Harian Sijori Pos, Harian Batam Pos, KB Antara dan media online: SwaraTV, DepokMetroNet, CybersastraNet, CimbuakNet. Sedangkan buku-buku dan kamus yang memuat biodata, antara lain :
(2) Spectraal Kunstkijkboek VI, éd. Spectraal, Gent 1984.
(3) 50 Artistes de Belgique, par Jacques Collard, critique d’art, éd. Viva Press Bruxelles 1986.
(4) Art Information, éd. Delpha, Paris 1986.
(5) Who’s who in Europe, éd. Database, Waterloo 1987.
(6) Who’s who in International Art, international biographical Art dictionary, éd. 1987-1996, Lausanne, Suisse.
(7) Dictionnaire des Artistes Plasticiens de Belgique de XIXe et XXe Siècles – Editions Art in Belgium 2005.
(8) Artis Peintre Abe Alias A.Kohar Ibrahim dan Karya Lukisnya oleh Lisya Anggraini, Batam, Indonesia 2005.

Exposisi :

Sejumlah eksposisi individual maupun kolektif. Antara lain : Galerie Hendrik De Braekeler (Antwerpen, 1977). Galerie Rik Wauters (Bruxelles, 1977). Galerie Van de Velde (Gent, 1979). Les Arts en Europe (Bruxelles, 1979). Galerie APAC (Schaerbeek, Bruxelles, 1980). Mérite Artistique Européen (Coxyde, 1980, 1987, 1990). Galerie Escalier (Bruxelles, 1980). Spectraal (Gent, 1981). Galerie Gouden Pluim (Gent, 1982). Galerie Erasme (Anderlecht, 1983, 1990). Galerie Schadow (Celle, RFA, 1986). Europa Bank (Gent, 1987, 1988, 1990). 50 Artistes de Belgique (Bruxelles, 1986). A.I.A.C. (Enghien, 1987). Spectraal (Nieuwpoort, 1988). Galerie Het Eeuwige Leven (Antwerpen, 1993). De Kreiekelaar (Schqerbeek 1997). Parcours d’Atistes (Commune de Schaerbeek, 1998). En Modus Vivendi (Oude Kerk, Vichte, 2003). Galeri Novotel (Batam, Kepri, 2004). Museum Haji Widayat (Magelang, Indonesie, 2004). Galeri Novotel (Batam, Kepri, 2006). Ruang Expo Balaikota Hotel Communale de Schaerbeek, Brussel 2007. Guilliaum & Caroline Gallery, Bruxelles 2008.

Sebagai Penulis:

Sebagai penulis, A. Kohar Ibrahim mulai banyak menulis prosa dan puisi serta esai atau kritik sastra dan seni sejak akhir tahun 50-an di beberapa media massa Ibukota, antara lain Bintang Timur, Bintang Minggu, HR Minggu, Warta Bhakti dan Zaman Baru. Setelah Era Reformasi, berkas-berkas karya tulisnya ada yang disiarkan di media massa cetak dan online. Anatara lain : Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Harian Sijori Pos, Harian Batam Pos, Majalah Gema Mitra, Majalah Budaya Duabelas (Penerbit : Dewan Kesenian Kepri), Cybersastra, Depokmetro.com, Swara.tv, Bekasinews.com, Art-Culture Indonesia, Multiply.
Dari tahun 1989-1999, selama sedasawarsa mengeditori terbitan yang tergolong pers alternatip, terutama sekali berupa terbitan Majalah Sastra & Seni « Kreasi » ; Majalah Budaya & Opini Pluralis « Arena » dan Majalah Opini « Mimbar ».

Sejumlah esai seni-budayanya, antara lain :

(1).“Sekitar Tempuling Rida K Liamsi », telaah buku kumpulan puisi Rida, terbitan Yayasan Sagang, Pekanbaru 2004.
(2).« Identitas Budaya Kepri », kumpulan esai bersama, terbitan Dewan Kesenian Kepri, Tanjungpinang 2005.
(3).« Kepri Pulau Cinta Kasih », kumpulan esai berddua dengan Lisya Anggraini, Yayasan Titik Cahaya Elka, Batam 2006.
(4).« Catatan Dari Brussel : Dari Bumi Pijakan Kaum Eksil »
(5).« Sekitar Tembok Berlin : Lagu Manusia Dalam Perang Dingin Yang Panas »
(6).« Hidup Mati Penulis & Karyanya : Polemik Pramoedya-Lekra vs Manikebu », penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, 2008-09.
(7).”Sekitar Prahara Budak Budaya”.
(8).« Sekitar Aktivitas Kreativitas Tulis Menulis Di Luar Garis ».

Buku dan atau kumpulan tulisan bersama berupa kucerpen dan kupuisi, antara lain :
(1).Kumpulan cerpen « Korban » , penerbit Stichting Budaya, Amsterdam, 1989.
(2).Kumpulan puisi « Berkas Berkas Sajak Bebas », penerbit Stichting Budaya, Amsterdam, Kreasi N° 37 1998.
(3).Kumpulan esei bersama : « Lekra Seni Politik PKI », Stichting Budaya, Amsterdam, Kreasi N° 10 1992.
(4).Kumpulan sajak bersama : « Puisi », Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 11 1992.
(5).Kumpulan esei bersama : « Kritik dan Esei », Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 14 1993.
(6).Kumpulan cerpen bersama: « Kesempatan Yang Kesekian », Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 26 1996.
(7).Kumpulan sajak bersama : « Yang Tertindah Yang Melawan Tirani » I, Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 28 1997.
(8).Kumpulan sajak bersama : « Yang Tertindas Yang Melawan Tirani » II, Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 39 1998.
(9).Kumpulan sajak : « Di Negeri Orang », penerbit Yayasan Lontar Jakarta & YSBI Amsterdam, 2002.
(10).Kumpulan tulisan bersama: Antologi Puisi Cerpen Curhat Tragedi Nasional 1965-2005, penerbit Sastra Pembebasan & Malka, 2005.
(11).Novel : « Sitoyen Saint-Jean – Antara Hidup Dan Mati », penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, 2008.
(12).Kumpulan puisi : « Untukmu Kekasihku Hanya Hatiku », penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, 2008-09.
(13).Kumpulan cerpen berdua Lisya Anggraini-A.Kohar Ibrahim : « Intuisi Melati », penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, 2008-09.

Yang belum atau dalam perencanaan untuk dibukukan : Berkas berkas naskah kumpulan esai seni budaya, kumpulan cerpen, kumpulan puisi, Nota Puitika (sebanyak 700-an) dan lain sebagainya lagi.

SEGERA TERBIT:

(1).Kumpulan 30 Cerpen A.Kohar Ibrahim: “Seusai Badai & Korban”.
(2).Kumpulan 40 Esai Sastra: “CdB Dari Bum Pijakan Kaum Eksil.”
Penerbit: Titik Cahaya Elka, Batam Kepri. Editor: Lisya Anggraini.
 
Catatan : Nama asli, alias dan samaran. Sejak mulai melakukan kegiatan tulis menulis medio tahun 50-an, sebagai tanda-tangan digunakan nama asli A.Kohar Ibrahim atau lengkapnya : Abdul Kohar Ibrahim. Tanda-tangan untuk semua karya lukis : Abe. Sedangkan nama samaran atau pen-name : Aki, A. Brata Esa, Rahayati, Bande Bandega, DT atau Dipa Tanaera (Dipa Tanahaer Rakyat).

Tujuh Jurus dari Nyonya Wei ( 7 )

Gerundelan John Kuan

Jurus Ketujuh: Ombak Berkejar Guruh Menggelinding
Kaligrafi Huang Tingjian ( 1045 -1105, Dinasti Song )
Jurus terakhir dari Formasi Tempur Kuasadalah satu goresan yang sering disebut ‘ Kereta Jalan ‘, yakni goresan terakhir dari karakter 道 ( baca: dao, artinya: jalan,… ). Saat dengan kuas menggoreskan garis ini, akan terasa tidak putus diseret dan ditarik. Seperti kaligrafi Huang Tingjian ——— [ Satu gelombang tiga putar ]. Seperti satu goresan itu terus diseret dan diseret, di dalam kekuatan timbul lagi kekuatan, kekuatan menyambung kekuatan.

    Saya sangat tertarik bagaimana Nyonya Wei mengajari Wang Xizhi jurus terakhir ini? Bagaimana merasakan goncangan, gulungan di dalam goresan ini, bagaimana merasakan hubungan tarik menarik antara ketegangan dengan ketegangan? mengenai satu goresan ini, Nyonya Wei seperti biasa tetap memberikan empat kata: Ombak Berkejar Guruh Menggelinding

Gelombang di laut atau di sungai, bergerak berkejaran ke depan, sambung menyambung, terus menggulung tanpa henti. Pada masa Nyonya Wei mengajari Wang Xizhi kaligrafi, dia sedang menetap di Cina Selatan yang dekat laut, mungkin di sekitar Nanjing atau Zhejiang. Mereka mempunyai kesempatan bertemu laut, dapat merasakan gemuruh pasang surut air laut atau pun sungai, dapat merasakan ombak berkejar. Gelombang saat air pasang naik, segulung segulung berlari menerjang datang, sampai di tepi tanggul, tiba-tiba seluruhnya menghantam pecah berderai, seperti ombak kaget meretak tebing, pecah menjadi selapis bunga gelombang.

Wang Xizhi yang belajar kaligrafi sudah bukan seorang anak kecil lagi, dia telah mengalami berat dan kecepatan batu jatuh, mengalami gerakan lapisan awan di atas cakrawala, mengalami ketegaran rotan kering sepuluh ribu tahun di kedalaman hutan; hidupnya telah menumpuk cukup banyak rasa, menumpuk cukup banyak cerita dan fenomena alam semesta. Dia telah mengenal cula badak, gading gajah yang ditebas putus; dia juga telah mengenal kekuatan dan kelenturan luar biasa ketika menarik lengkung sebuah busur.

Seorang guru yang menuntun masuk ke dalam keindahan hidup, pada pelajaran-pelajaran terakhir, mungkin tidak perlu lagi menjelaskan terlalu banyak.

Nyonya Wei dan Wang Xizhi mungkin bersama-sama berdiri di tepi sungai atau di tepi laut, bersama-sama mendengar suara air pasang dan surut, pada musim yang berbeda, waktu yang berbeda, purnama atau bulan sabit, subuh atau senja, keadaan air pasang dan surut juga akan berbeda. Kadang-kadang suara ‘ sha, sha ‘ seperti daun bergesekan dalam hujan dan angin, seperti ulat sutera menguyah daun murbei; ada juga kalanya ‘ gong ‘ gong ‘ , seperti sepuluh ribu barisan kuda berpacu menerjang.

Berdiri di tepi pantai, guru dan murid sama-sama dapat merasakan kekuatan yang terpendam di dalam kejaran ombak yang menggetarkan hati. Kekuatan ini berbeda dengan kekuatan lepas dari Busur Melepas Seratus Pikul; ‘ Ombak Berkejar ‘ adalah kekuatan yang lebih kalem, lebih terpendam, sambung menyambung, tidak putus tidak selesai, berkejar menuju pukulan terakhir yang sudah ditakdirkan.

Kaligrafi Huang Tingjian ( 1045 – 1105, Dinasti Song )

Pada masa peralihan antara musim semi dan musim panas, persentuhan antara hangat dan dingin Kanglam yang segera berakhir, panas dan dingin tumpang tindih, Yin dan Yang saling mendorong, di udara ada kegerahan yang siap meledak, dari jauh terdengar suara guruh yang terpendam, teriakan yang tertahan dalam geram, seperti sesaat tidak dapat menemukan mulut keluar. Di antara langit dan bumi yang luas, mengikuti sabetan halilintar, satu-satu suara guruh, juga mirip suara kejaran ombak yang datang dari jauh.

Suara guruh pada musim panas, bagaikan menggelinding datang dari tempat yang jauh, suaranya dari kecil lalu pelan-pelan menjadi besar, segelombang segelombang, ada kekuatan yang bersambungan tanpa jeda, ini yang disebut ‘ guruh menggelinding ‘, yaitu goresan terakhir ketika menulis karakter 道. Satu goresan yang diseret panjang, berkelanjutan, adalah ombak laut menerjang, adalah guruh mengemuruh.

Ombak Berkejar Guruh Menggelinding ——— empat kata ini, adalah ingatan pada ombak laut dan suara guruh. Bukan cuma mata melihat ombak laut, Nyonya Wei seolah ingin Wang Xizhi berubah jadi ombak, merasakan tubuhnya bergerak, menggelegak. Demikian juga dengan guruh yang menggelinding. Di dalam semesta yang luas, ada suara terus menerus menyiar, seperti ada kegerahan luar biasa, mirip guruh di musim panas. Dari dalam kegerahan dan tekanan yang tak terkira, tiba-tiba melepaskan teriakan, agak terpendam, selapis-selapis menumpuk datang.

Mungkin banyak yang mengenal seorang kaligrafer besar bernama Wang Xizhi, dan mungkin juga mesti tahu dia ada seorang guru yang mahir membukakan jiwanya dan menuntun hidupnya ——— Nyonya Wei.

 

SELESAI

Baca Jurus Nyonya Wei sebelumnya