Namrudz

Cerpen Bruno Schulz
Alih Bahasa John Kuan

anjing
Gambar diunduh dari flickrhivemind.net

Agustus tahun itu, aku senantiasa bermain dengan seekor anjing kecil yang amat lucu. Ia suatu hari begitu saja muncul di atas lantai dapur kami, gerakannya kikuk, terus-menerus mendecit halus, tubuhnya membawa aroma bayi dan susu. Kepalanya bulat, agak bergetar, belum sepenuhnya terbentuk; dua kaki depannya terbuka ke samping seperti tikus tanah, dan bulu yang menutupi tubuhnya halus tak terkira, amat lembut.

Sejak pandangan pertama, benda kecil ini langsung menaklukkan hatiku yang belum ranum, membuat aku kelabakan jatuh cinta padanya.

Benda kecil kesayangan para dewa ini, yang melebihi segala macam mainan paling indah dan menyenangkan ini bisa jatuh dari surga mana? Sungguh tak terbayangkan, tukang cuci piring yang tua dan membosankan itu ternyata bisa mencetuskan ide yang begini cemerlang, pada pagi buta, pada saat yang belum disentuh orang sudah membawa seekor anjing kecil dari pinggiran kota ke dalam dapur kami!

Ah! Pada saat ——— sungguh disayangkan ——— kita masih belum berada di tempat kejadian, pada saat kita masih belum terlahir dari rahim kelam dunia mimpi, perihal bahagia ini sudah terjadi, menunggu kita. Dia dengan kikuk berbaring di atas lantai dapur yang dingin, sedikitpun tidak dihargai oleh Adela dan orang-orang rumah. Kenapa mereka tidak lebih awal membangunkan aku! Piring yang penuh berisi susu di lantai dapur menunjukkan naluri keibuan Adela, sungguh tidak beruntung, dan juga membuktikan ini adalah kenyataan ——— sudah ada yang merasakan kegembiraan sebagai ibu angkat, tetapi aku tidak ada kesempatan terlibat di dalamnya. Bagiku, sepenggal sukacita ini telah hilang buat selamanya.

Namun di depanku masih terpampang sepotong  masa depan yang indah. Betapa kaya dan menakjubkan segala pengalaman, eksperimen, penemuan yang terbentang di saat ini! Saripati rahasia hidup, sekarang telah menjelma jadi bentuk yang begini sederhana, praktis, dan menarik, terkuak di depan keingin-tahuanku yang tidak pernah terpuaskan. Ini benar-benar luar biasa menarik ——— dapat memiliki sepotong kehidupan di dalam genggaman tangan, partikel-partikel rahasia kekekalan, eksis di dalam bentuk yang begini baru dan menakjubkan. Sebab ia berbeda dengan kita, maka mengobarkan keingin-tahuan kita yang tak bertepi dan rasa hormat yang misterius. Ini sungguh fantastik ——— di dalam tubuh hewan yang samasekali berbeda dengan kita, ternyata memiliki percikan hidup yang sama.

Binatang! Objek yang selamanya tidak akan memuaskan rasa ingin-tahu kita, sampel dari teka-teki hidup, seolah tujuan mereka diciptakan adalah untuk memperagakan kepada manusia dirinya yang lain, menjabarkan keragaman dan kompleksitas mereka dengan ribuan kemungkinan serupa kaleidoskop, dan setiap jalur akan menembus batas kontradiksi, menembus perkembangan keluar batas yang penuh karakater. Binatang tidak ada beban keegoisan, tidak usah memikul hubungan antar manusia yang kacau dan berat, terhadap kehidupan lain yang asing mereka selalu membuka diri, penuh kebaikan, juga rasa suka yang meluap, kuriositas untuk bekerjasama, tersembunyi di bawah rasa lapar dan haus yang mereka sendiri amat sadar.

Anjing kecil itu memiliki bulu kulit seperti beledu dan tubuh yang hangat. Ketika kau meletakkan tangan di atas tubuhnya, dapat meraba denyut nadinya yang lebih cepat dari manusia biasa. Dia punya dua lembar daun telinga yang lembut, sepasang mata kebiruan keruh, mulut yang berwarna merah jambu (  kau bisa memasukkan jari, sedikitpun tidak berbahaya ), empat tungkai yang halus dan lugu ——— di tumit kaki depan juga ada tonjolan daging berwarna merah jambu yang mempesona. Dia dengan kaki-kaki ini jatuh bangun berlari sampai di depan piring berisi susu, dengan rakus dan tergesa menggunakan lidahnya yang berwarna merah mawar menjilat susu. Setelah kenyang, ia dengan kecewa mendongak wajahnya yang kecil, di dagunya masih melekat setetes susu, lalu tunggang-langgang berlari meninggalkan kolam mandi susu.

Cara jalannya seolah berguling yang canggung, tubuhnya bergerak miring, tidak berarah, sempoyongan seperti orang mabuk. Emosinya yang paling utama adalah semacam rasa pilu yang tak terukur, kesepian terhadap ketidak-berdayaan dan ketelantaran ——— dia masih belum mengerti bagaimana menutup kekosongan hidup di antara  jam makan yang penuh sensasi. Semua emosi itu ditunjukkan dengan gerakannya yang tidak beraturan dan tidak berkelanjutan, tidak logika, melankoli yang tiba-tiba menyerang, diikuti dengan suara-suara ratapan, serta tidak mampu menemukan tempat yang menjadi milik sendiri. Bahkan di dalam alam mimpi sekalipun, ia juga masih perlu menggulung diri jadi segumpal tubuh yang menggigil agar dipeluk, didukung ———  yang menemaninya tetap adalah kesepian yang tiada rumah untuk pulang. Ah, hidup ——— hidup yang muda, rapuh, ditarik keluar dari kegelapan yang ia andalkan, didorong dari rahim hangat yang memeluknya ke sebuah dunia yang besar, asing dan terang, tubuhnya mengerut jadi satu gumpalan, terus mundur, menolak sebuah pesta perayaan yang disiapkan orang-orang buatnya ——— penuh dengan kejijikan dan ketidak-ikhlasan.

Namun perlahan, Namrudz kecil ( ia memperoleh nama membanggakan, khusus buat petarung ini ) telah mulai menikmati citarasa hidup. Dunianya yang pada awal ditentukan oleh tubuh ibu, sekarang telah berubah menjadi dikendalikan oleh daya tarik hidup yang penuh ragam.

Dunia mulai menciptakan berbagai macam jebakan buatnya: makanan berbeda memiliki rasa yang asing namun fantastik, cahaya matahari pagi berbentuk persegi empat yang menempel di atas lantai adalah tempat paling enak untuk berbaring di dalamnya. Gerakan tubuhnya ——— misalnya kaki dan ekor ——— dengan jenaka menggodanya, ingin ia bermain dengan mereka. Ia dapat merasakan tangan manusia yang merabanya, di bawah tangan ada semacam hasrat keusilan yang mulai terbentuk, tubuhnya dengan riang bergerak, mulai menghasilkan semacam keinginan pada gerakan yang sepenuhnya baru, kasar dan berbahaya ——— semua ini telah menaklukkan, menyemangati ia untuk menerima, setuju dengan eksperimen hidup.

Ada satu hal lagi ——— Namrudz mulai mengerti, hal-hal yang mendekati ia sekalipun tampak luar amat baru, namun sesungguhnya sudah pernah terjadi, mereka telah terjadi berpuluh ribu kali, sesungguhnya sudah tak terhitung. Tubuhnya sudah bisa mengenali berbagai situasi, kesan, dan objek begini, pada dasarnya, segala hal sudah tidak akan membuat dia terlalu kaget lagi. Setiap kali berhadapan dengan keadaan baru, dia akan menyelam ke dalam ingatan sendiri, menyelam di kedalaman ingatan tubuhnya, meraba gelap, sangat hafal mencari jawaban di sana ——— kadangkala, di dalam tubuh sendiri menemukan jawaban tepat yang telah disiapkan: ini adalah warisan turun-temurun, bersembunyi di dalam cairan darahnya dan kearifan di sistem sarafnya. Ia menemukan beberapa tindakan dan keputusan  yang telah matang di dalam tubuhnya ( bahkan ia sendiri juga tidak tahu ), hanya menunggu saat yang tepat untuk meloncat keluar.

Lapangan hidupnya yang muda adalah dapur yang memiliki ember yang berbau sedap, di dalamnya juga ada tergantung kain lap yang rumit, aroma yang menarik perhatian, bunyi sandal Andela yang menepuk lantai, dan suara-suaranya yang diperas keluar ketika dia mengerjakan pekerjaan rumah tangga ——— semua ini sudah tidak mengejutkan ia lagi. Ia sudah terbiasa menganggap dapur sebagai teritori dan kampung halamannya, dan bersamanya telah berkembang jadi semacam, yang seolah ada seolah tidak, menyerupai hubungan dengan tanah leluhur.

Mungkin satu-satunya pengecualian adalah  ketika kegiatan mencuci lantai tiba-tiba sudah seolah bencana alam yang menimpanya. Seluruh hukum alam dibuat terbalik, seketika cairan alkali yang hangat sudah disiram di atas lantai dan seluruh perabot rumah, di tengah udara juga penuh dengan suara penyikat di tangan Andela yang sangat mengancam.

Namun bahaya juga ada saatnya berlalu. Penyikat reda kembali, samasekali tidak bergerak, dengan tenang berbaring di satu sudut dapur, lantai mengeluarkan aroma kayu basah yang sedap dicium. Namrudz kembali lagi ke dalam aturan yang biasa dan akrab, kembali pada kebebasan sesuka hati berkegiatan di atas teritori sendiri. Dia merasakan sejurus hasrat yang bergelora, ingin dengan gigi menarik karpet tua yang ditaruh di atas lantai, lalu dengan seluruh tenaga menghempasnya ke kiri ke kanan. Berhasil menekan kekuatan alamiah, membuat dia mempunyai suatu rasa senang yang tak terucapkan.

Tiba-tiba, seluruh tubuhnya terpaku di atas lantai: kurang lebih tiga langkah di depannya (tentu adalah tiga langkah anjing kecil) ada satu monster yang hitam pekat amat buruk, menggunakan kakinya yang kusut seperti kawat besi bergerak dengan cepat. Namrudz yang amat terkejut dengan sorot mata mengikuti serangga mengkilap yang mondar-mandir di atas lantai itu, panik memperhatikan tubuh yang pipih, buta, tak berkepala ditarik oleh satu gerombolan yang berlari amat cepat seperti kaki laba-laba.

Ada sesuatu di dalam tubuhnya yang disebabkan oleh pemandangan di depan mata ini lalu menyatu, matang, berkecambah, sesuatu yang ia sendiri belum mengerti, seolah adalah amarah atau takut, sekalipun itu termasuk menyenangkan, disertai dengan getaran kekuatan, emosi, dan sifat menyerang.

Mendadak kedua kakinya menginjak ke depan, mengeluarkan suara yang ia sendiri juga belum begitu kenal, samasekali berbeda dengan jeritannya yang biasa.

Ia berulang kali menggunakan suaranya yang melengking, beberapa kali terdengar sumbang karena terlalu bersemangat meninggikan suaranya.

Ia ingin dengan bahasa baru yang ditemukan seketika ini buat berkomunikasi dengan serangga, namun ini hanya sia-sia. Di dalam otak kecoa tidak ada tempat buat memuat paparan yang panjang lebar begini, oleh sebab itu makhluk menjijikan ini melewati ruangan, dengan langkah-langkah biasa yang seperti prosesi, terus masuk ke salah satu sudut.

Namun, di dalam jiwa anjing kecil, rasa benci masih belum memiliki daya tahan, dan juga masih belum alot. Sukacita hidup yang baru dibangunkan itu telah membuat seluruh perasaan berubah menjadi keriangan. Namrudz masih terus menyalak, namun tanpa ia sadar makna ketika ia menyalak telah berubah, berubah menjadi parodi ——— sesungguhnya ia ingin mengatakan keberhasilan pesta kehidupan yang tak terucapkan itu, penuh dengan pertemuan tak terduga, getaran dan kesenangan yang memuncak.

24 Posisi Matahari ( 9 )

Kolom John Kuan

musim dingin
gambar diunduh dari guim.co.uk

☉小雪

——— bianglala hilang; qi langit dan bumi berpisah; tersumbat jadi musim dingin.

      Di meja saya ada beberapa benda.

      Dua buah botol plastik transparan: sebotol adalah merica abu kecokelatan, sebotol adalah garam putih halus.

      Satu botol besar merah saus tomat, satu botol kecap

      Sebuah vas bunga porselin putih berleher jenjang mekar sekuntum bunga kertas warna ungu.

      Masih ada sebotol tusuk gigi dan sebuah asbak kaca.

      Mereka bersama saya menikmati saat ini, restoran ini, satu sudut kecil tiada orang ini.

 ☉大雪

——— tupai terbang senyap; harimau kawin; rumput liting bertunas

Membaca email seorang kawan. Sudah tengah malam, dia menulis bagaimana dia kehabisan kata menggambarkan seluruh musim gugur yang baru berlalu di kotanya. Bagaimana alam perlahan matang, ranum lalu menguning. Juga tentang bagaimana pohon ginkgo di depan rumahnya dalam semalam meluruhkan seluruh daun kuningnya. Saya berjalan ke sisi jendela, melihat sebatang bintaro menutup seluruh tubuhnya dengan bunga putih. Dingin, seolah berpijar di dalam gelap malam. Dingin dan sedih, semacam tragedi, karena seluruh tubuhnya berlumur racun? Saya jarang mempunyai perasaan begini ketika melihat tumbuhan di kampung halaman, mereka penuh gairah, hangat juga rindang. Malam ini saya teringat pohon ceri hitam itu lagi.

Mungkin sekitar musim ini, awal musim dingin, saya melihat dia yang telah gundul diam berdiri di dalam angin, tiada suara, tiada warna, juga tidak lagi gemulai. Saat itu saya sedang membaca sebuah buku, karena tidak ingin tinggalkan di atas meja, saya menjepit halaman yang sedang kubaca dengan jari, berdiri di sisi jendela melihatnya. Di bawah pohon ceri hitam, bertumpuk daun-daun gugur, kecil kuning keemasan, bahkan telah menutup sehamparan padang rumput. Saya tahu kerja keras dan keteguhannya selama satu tahun, proses memupuk dan menahan diri yang memakan waktu itu telah sampai pada satu titik ekstrem, dan mulai dari saat ini hingga pecah kecambah di tahun depan, adalah masa dia istirahat heningkan diri, tiada suara, tiada warna, tidak juga gemulai. Ini seperti mengandung semacam berita tentang hidup, cemerlang dan polos, montok berisi dan kurus kering, seolah mengirim semacam tema filsafat, tentang berbagai persoalan, kerja keras, panen, kehampaan, juga keindahan, tampak amat abstrak, namun bisa juga sangat nyata, tentang emosi yang meluap, apatis, pencarian, lupa, dan keindahan, saya seakan terperangkap oleh pemandangan, hati dan pikiran mengikuti perubahan luar mengambang, tidak mampu menguasai diri, namun pada sesaat itu juga seperti telah melampui, tidak tampak lagi pemandangan itu. Saya duduk kembali, menyadari jari tangan masih menyepit halaman buku yang belum selesai kubaca, buka, pikiran kacau, rupanya memang sudah lupa apa yang sedang kubaca. Saya berusaha mengingat, lihat kembali bab tersebut, ternyata sedang mendeskripsikan Lenin:

Sekali lagi, dia bersama Gorky sedang mendengar Appasionata Beethoven. “Di dunia tidak ada lagi musik yang lebih agung daripada Appasionata,” Katanya: “aku sungguh berharap tiap hari bisa dengar satu kali, tak terbayangkan, benar-benar musik jenius! Saya sering karena ini menyombongkan diri ——— mungkin saya terlalu naif ——— manusia ternyata mampu menciptakan benda yang demikian menakjubkan. “

Sampai di sini, bahkan tidak sulit juga mengerti Lenin. Kekuatan musik Beethoven juga bisa membuat orang semacam dia mau mengumumkan takluk, saya demikian berpikir, lanjut membaca:

lalu matanya berbinar, tersenyum pahit berkata: ” Namun saya ini tidak boleh sering mendengar musik. Musik menggetarkan syaraf-syarafmu, membuat kau ingin pergi menghormati orang-orang yang sekalipun hidup di nereka yang kotor tetapi masih bisa menciptakan keindahan demikian, ingin mengucapkan beberapa kata baik, mengelus kepala mereka. Pada jaman ini ——— kau tidak mungkin mengelus kepala mereka, mungkin orang akan balik menggigitmu. Kau harus sekuatnya mengetuk kepala mereka, terhadap siapapun mesti menggunakan tekanan. Ai, ehm, kewajiban kita luar biasa besar, payah dan berat. “

Saya meletakkan buku, tiba-tiba sadar, Lenin dkk rupanya begini, ternyata dengan ideologi menghakimi perasaan manusia dan teori seni juga ada sebuah dasar yang berlinang airmata.

Saya seolah hilang waktu berdiri memandang bintaro di depan jendela, penuh bunga putih dan rindang. Sulit membayangkan bintaro gundul sendiri dalam satu malam. Kembali ke meja, di ujung emailnya kawan bertanya, pil daun ginkgo yang dia kirim beberapa waktu lalu apakah sudah saya coba? Katanya bagus untuk melawan alzheimer. Saya sudah minum, cuma belum tahu hasilnya.

24 Posisi Matahari ( 8 )

Kolom John Kuan

awal musim dingin
gambar diunduh dari desktopnexus.com

☉立冬

——— air jadi es; tanah membeku; ayam pegar masuk air jadi lokan.

Sepotong lorong sempit tepat di depan jendela. Hujan sedang membasuh ke dua tembok yang mengapitnya. Uap air dan cahaya petang mengisi sepanjang lorong, saya melihat sepasang kaki jenjang di bawah payung merah sedang terapung di tengah lorong. Petang Hangzhou, akhir musim gugur, gambar ini begitu akrab, saya pasti pernah mengenalnya. Sepuluh tahun lalu, dua puluh tahun lalu? Saya di dalam kamar yang nyaman dan hangat terus membaca dia yang basah kuyup mengalir ke ujung lorong, hilang bersama uap air dan rabun senja. Setelah menuang secangkir teh saya kembali berdiri di mulut jendela, berusaha keras ingin membuktikan kepada malam Hangzhou yang baru melangkah masuk bahwa kami memang pernah saling kenal. Mungkin setengah jam demikian berlalu, membuka gumpalan awan, menyibak tirai hujan, menerobos pancaran cahaya matahari, akhirnya saya sampai di suatu petang 1927 yang muram. Suatu petang milik Dai Wangshu:

Lorong Hujan

Dengan sepucuk payung kertas,

limbung sendiri pada sepi

dan panjang lorong hujan,

aku ingin bertemu dia

bagai bunga lilac memendam

sedih dan kesal, seorang gadis

serupa warna bunga lilac

serupa wangi bunga lilac

serupa risau bunga lilac

pilu lara di tengah hujan

melankoli juga gelisah

Dia bingung di sepi lorong hujan

dengan sepucuk payung kertas

serupa aku ini,

serupa aku ini sedang

diam-diam mondar-mandir

menyendiri, senyap, juga melankoli

Tanpa kata dia perlahan mendekat

kian dekat, lalu melempar

sorot mata bagai keluhan,

dia melayang lewat

seolah mimpi

pedih dan kabur seolah mimpi.

Bagai melayang lewat sekuntum

bunga lilac di tengah mimpi,

gadis yang melayang lewat di sisiku;

dia senyap menjauh, telah menjauh

sampai di tembok reruntuhan

melangkah habis lorong hujan

Warnanya pupus

wanginya lenyap

di dalam nyanyian pilu hujan

telah pupus lenyap, bahkan

sorot mata seolah keluhan itu

serupa melankoli bunga lilac.

Dengan sepucuk payung kertas

limbung sendiri pada sepi

dan panjang lorong hujan

aku ingin dia melayang lewat

gadis serupa bunga lilac

pendam sedih dan kesal

雨巷

撑着油纸伞,独自

彷徨在悠长、

悠长 又寂寥的雨巷,

我希望逢着

一个丁香一样的

结着愁怨的姑娘。

她是有

丁香一样的颜色,

丁香一样的芬芳,

丁香一样的忧愁,

在雨中哀怨,

哀怨又彷徨。

她彷徨在这寂寥的雨巷,

撑着油纸伞

像我一样,

像我一样地

默默彳亍着,

冷漠、凄清,又惆怅。

她静默地走近

走近,又投出

太息一般的眼光,

她飘过

像梦一般的,

像梦一般的凄婉迷茫。

像梦中飘过

一枝丁香的,

我身旁飘过这女郎;

她静默地远了,远了,

到了颓圮的篱墙,

走尽这雨巷。

在雨的哀曲里,

消了她的颜色,

散了她的芬芳

消散了,甚至她的

太息般的眼光,

丁香般的惆怅。

撑着油纸伞,独自

彷徨在悠长、悠长

又寂寥的雨巷,

我希望飘过 一

个丁香一样的

结着愁怨的姑娘。

Overdosis Beragama

Gerundelan Hendi Jo

agama cinta
Mahatma Gandhi, gambar diunduh dari Kaskus

New Delhi, 30 Januari 1948. Hari baru saja memasuki malam. Seorang lelaki tegap bemata tajam memasuki Gedung Birla. Sejenak ia terdiam dan beberapa detik kemudian dengan langkah santai menuju seorang renta yang tengah berdoa. Sambil sedikit membungkuk, tangan kanannya yang menggengam sepucuk Baretta lantas diacungkan ke tubuh ringkih nan kurus tersebut. Tiga kali senjata semi otomatis itu menyalak. Dan dunia kemudian kehilangan seorang humanis besar bernama Mahatma Gandhi.
Godse Nathuram, sang eksekutor tersebut bukan seorang penjahat kambuhan. Alih-alih dikenal sebagai pendosa, ia kadung dikenal sebagai seorang Hindu yang sangat “saleh”: rajin pergi ke kuil dan aktif di Mahasabha Hindu, sebuah organisasi nasionalis Hindu yang selalu memilih jalan berlawanan dengan Liga Muslim pimpinan Ali Jinnah. Rupanya Godse kecewa dengan Gandhi. Ia menilai tokoh Hindu India itu memiliki sikap lemah sehingga menjadikan orang-orang Islam memisahkan diri dan membentuk Pakistan.
Empat puluh tujuh tahun kemudian hal yang sama dialami oleh Yitzhak Rabin. Perdana Menteri Israel yang memilih jalan kompromis dengan Palestina itu pun harus tewas dengan cara dan motif yang sama di tangan kaum ekstrimis agama. Yigal Amir, sang pembunuh mengaku marah kepada Rabin yang ia nilai “tidak peka terhadap harga diri orang Yahudi dengan meretas jalan damai dengan kaum goyim (orang luar Yahudi yang memiliki derajat rendah)”.
Ada rasa arogan dan paling benar sendiri dalam gaya beragama seperti Godse dan Yigal ini. Mereka seolah lupa, jalan kekerasan tak akan pernah menemui jalan keluar. Ia hanya akan menjadi sejenis cul de sac yang berapi-api dan alih-alih berakhir sentosa malah akan membakar dirinya sendiri. Bahkan bukan hanya dirinya sendiri, orang-orang yang tak berdosa dan tak memiliki keterkaitan apapun ikut menjadi korban termasuk para bocah dan tua renta.
Inilah yang disebut Erich Fromm sebagai gaya beragama yang otoriter (authoritarian religion). Biasanya gaya beragama seperti ini hanya akan bermuara kepada kekerasan dan kekerasan semata. Tak ada damai dan saling hormat. Para penganutnya selalu mengapreasiasi dirinya tak lebih sebagai para serdadu tuhan. Tuhan yang mana? Kita tak pernah bisa memastikan itu.
Dr. Yusuf Qadharawi, seorang pemikir Islam dari kalangan Ikhwanul Muslimin pernah menyebut sikap ini sebagai sikap ghuluw (berlebihan) alias overdosis beragama. Menurut ulama asal Mesir itu, sikap ghuluw akan selalu berkelindan dengan sikap-sikap negatif lainnya seperti tanatthu’ (arogan secara intelektual) dan tasydid (mempersulit).
“Semua sikap itu tentunya sangat dikecam dalam Islam,”tulis Qadharawi dalam Islam Ekstrem. Di Sorbone, seorang pemikir Islam sekelas Mohammad Arkoun bahkan menyebut ekstremisme adalah perubah puisi Islam dari sesuatu yang ekspresif menjadi sebuah ideologi yang formalistik serta elitis.
Sikap ghuluw di setiap agama memiliki sikap universal: pro terhadap kekerasan dan meyakini diri sebagai “yang terbenar”. Mereka merasa apa yang diyakininya merupakan jalan terbaik buat dunia. Anehnya, realitas ambigu justru terpapar di antara orang-orang ini dengan saling mengakbarkan permusuhan abadi. Hingga rasanya tidak salah jika saya meyakini: pusat konflik dunia sebenarnya terletak di orang-orang ekstrem ini. Sungguh, di antara kita sebenarnya tak memiliki masalah. “Perang agama” yang terjadi hari ini tak lebih perang antara mereka: kaum ekstremis vs kaum ekstremis, bukan agama vs agama.(hendijo)

24 Posisi Matahari ( 7 )

Kolom John Kuan

musim dingin
gambar diunduh dari guim.co.uk

☉霜降

——— serigala mempersembah hasil buru; tumbuhan kuning luruh; serangga hibernasi

Duduk membaca teks berjalan di kaca jendela gerimis. Kadang puisi, kadang cerita pendek, kadang flash fiction, terutama di malam hujan. Hari itu saya membaca sebuah roman, sedikit picisan, tapi khas teks berjalan.

Mobil biru keabuan, bersih mengkilap, hatinya demikian juga, dinihari pukul dua lewat lima menit masih belum dapat penumpang, memilih pulang. Hujan berhenti, menurunkan kaca jendela, isap rokok. Tiba-tiba hati sangat kacau, sering seolah teringat sesuatu, lalu tidak teringat lagi. Di mulut jalan depan berdiri satu bayang memutih, matikan rokok, mobil dibawa mendekat… muda… anggun… sudah melambai… Dia buka pintu, perempuan muda masuk ke tempat duduk depan, agar mudah menunjuk jalan?

“Ke mana?”

Dia membantunya menyulut rokok…

“Ingin ke mana?”

“Terserah kamu “

“Maksud saya mesti mengantar kamu ke mana?”

“Oh, my god!”

“Maaf, aku yang salah!”

Perempuan itu bergegas keluar mobil, mengucapkan selamat malam, dengan pinggul menutup kembali pintu mobil.

Mobil tidak bergerak. Perempuan itu juga tidak bergerak.

Dia melongok keluar jendela

Perempuan itu melangkah ke arah berlawanan.

Setelah perlahan mengemudi lewat beberapa mulut jalan, putar balik, jalanan sangat lengang, membuat dia merasa kekacauan tadi telah meresap, matanya menyapu dua sisi jalan, bangunan, bayang lampu lalu lintas, suara mobil lain, dia merasakan semuanya telah menyatu jadi sebuah tubuh besar, dan perempuan tadi adalah selembar bentuk manusia digunting dari kertas putih, entah basah kuyup menempel ke mana.

Perempuan itu di bawah kanopi sebuah bar, sedang membuka pintu, tiba-tiba menoleh, seolah ada orang memanggilnya. Dia mengajak perempuan itu minum, menari, tidak usah lihat arloji, akhirnya perempuan itu melihat. Mengantarnya pulang ke Greenwich Village. Pemandangan jalan kabur menyatu, gerimis lagi.

“Hagan… Sejak kapan mulai?”

” … dua tahun lalu… Kamu?”

“Apa?”

“Sudah berapa lama bawa taksi?”

“Juga hampir dua tahun “

“Sepenuhnya mengandalkan tip?”

“Iya, siang hari bolak-balik Long Island, jauh lebih baik daripada di dalam kota.”

“Tidak akan seumur hidup begini?”

“Iya, tidak tahu kapan-kapan menukar yang lain.”

 “Tim, kau memang luar biasa.”

“Mana ada… lagipula, memandang ekspresi orang, enakan pemandangan jalan.”

“Keras kepala adalah tabiat paling susah berubah.”

“Seandainya mau berubah, juga mesti dengan keras kepala mengubahnya.”

“Tidak usah diubah, orang keras kepala paling lembut.”

“Macam mana tahu?”

“Umpama, sangat memperhatikan cara berpakaian, demikian sudah sangat lembut terhadap dirinya.”

“ Kalau begitu kamu lebih luar biasa…. aku sungguh tidak mengerti… kamu…”

“Ibu, adik, aku, buru-buru ingin menyelesaikan kuliah pergi kerja.”

“Sudah mau nikah, besok dia ulang tahun.”

“Selamat ulang tahun!”

“Terima kasih, kami ingin makan malam di Village, restoran mana bagus? Okra?”

“Setelah koki Okra meninggal dunia, sekarang tinggal orang dari luar kota yang datang mencicipi nama.”

“Assam, bagaimana?”

“Bagus sekali, jika kau berminat boleh bertemu pemiliknya, bilang dari nona Ula Hagan, penutupnya akan disajikan teh Pangeran Wales… berhenti di sini, Tim, terima kasih!”

“Hagan!”

“Apa?”

“Nomor telepon.”

Hagan menyambut pena, ditulisnya di atas telapak tangannya.

Menyusuri sebentar sisi Sungai Hudson, dia memutar balik ke sudut jalan Hagan turun, apartemen hitam di dalam gerimis, terasa seolah tebing curam.

Di bawah cahaya kapsul telepon umum, angka di telapak tangan, berbaur dengan keringat, sisa 2, 5 bisa dikenali.

Pagi berikutnya menemukan di tempat duduk Hagan ada sebuah tas. Malam Tim bersama tunangannya datang ke Assam, tas dititip ke pemilik restoran untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Selesai makan, teh Pangeran Wales bening warna amber, kental dan harum, monopoli pedagang teh kesohor Twinings.

Saat mau bayar, pelayan bergegas datang berkata: “Sudah dibayar nona Hagan, dia memberi selamat ulang tahun kepada kalian.”

 Tim dicurigai, penjelasan demi penjelasan, pernikahan tetap dibatalkan ——— akhirnya dia baru jelas dicerca hanya alasan belaka. Prelude perkawinan terlalu panjang. Juga berarti ikatan kasih sayang pendek.

Bahkan ke Assam minum secangkir teh juga tidak ada semangat, terhadap makanan kian tajam mengkritik, badan makin kurus, samasekali tak beriak.

Pada acara wisuda Ula Hagan, Tim hadir, sepatah dua patah kata, apapun tidak beritahu.

Lewat satu tahun, Hagan menikah, pengantin lelaki bukan Tim.

Lewat tiga tahun, Tim menikah, pengantin perempuan Ula Hagan, keluar dari gereja, sepenuh jalan adalah gerimis yang sama.

Perkawinan perak, perkawinan emas, ingat selalu gerimis, kemudian, tidak lagi berhubungan dengan gerimis, abadi jadinya.

Dunia Kita Bukan Dunia Keinginan

Resensi Riza Fitroh Kurniasih*

Buku ini berisi tujuh belas cerpen dari 17 penulis berbagai negara (tujuh di antaranya adalah peraih nobel) dengan cerita yang sanggup menggugah pembaca. Sang penulis mampu menggiring pembaca pada dunia yang belum pernah dihadiri sekalipun. Pembaca seakan-akan dibawa masuk ke dalam dunia baru yang sama sekali asing untuk diwujudkan dalam dunia nyata, namun dengan gaya penuturannya kita bisa mengikuti alur cerita yang dihadirkan.

Dengan seting tempat yang menarik dan lakon cerita yang dihadirkan penulis dalam buku ini mampu menghadirkan dinamika tersendiri bagi pembaca. Pembaca memiliki kebebasan dalam membayangkan latar tempat berlangsungnya alur cerita. Dengan pembawaan tokoh yang memiliki karakter sendiri-sendiri tidak membuat pembaca terasing dengan alur yang disajikan oleh penulis. Penulis hanya perlu mengikuti pikirannya untuk dapat memahami dan menikmati buku ini.

Bagian awal dari cerpen ini diawali dengan cerpen berjudul “Sang Putri” persembahan terbaik dari Irena Ioannidou Adamidou, pengarang asal Siprus, mewakili kawasan Yunani dan sekitarnya yang di masa silam merupakan cikal bakal peradaban Eropa. Dengan tidak menghilangkan ciri khas bangsa eropa, Irena mampu membawa pembaca untuk menikmati hasil tuangan penanya.

 Irena menceritakan bagaiman pentingnya dunia pendidikan, pun bagi seorang putri yang rupawan dan memiliki materi yang cukup. Namun dengan tetap menyisipkan ciri khas bangsa eropa yang menjunjung tinggi arti pentingnya pendidikan. Dia menggambarkan bagaimana seorang gadis yang semasa mudanya menjadi idaman para pujangga karena kecantikan yang dimilikinya, sehingga kelebihan ini membuat banyak yang terpesona padanya. Namun siapa sangka kelak di masa tuanya ia tak memiliki apapun kecuali seorang nenek tua yang menemaninya dan seorang suami yang selalu dengan mudah menjual barang-barang miliknya.

Perceraian bagi sang putri sangatlah memalukan, setidaknya begitu stigma yang ada pada masyarakat desa tempat ia tinggal. Sang putri yang rupawan dan mampu mengundang setiap laki-laki yang melihatnya semasa muda, kini hanya bisa diam. Dia tak terbekali dengan tangan-tangan pendidik dan bangku-bangku keras pendidikan untuk melawan ketertindasan.

Irene mampu menyadarkan kita akan pentingnya arti pendidikan, pun bagi seorang perempuan yang rupawan, pendidikan menjadi harga mati untuk dimiliki setiap orang yang berkembang. Perkawinan tak menjamin kita pada dunia status quo kenyamanan. Justru perkawinan menjadi bencana ketika kita buta dengan dunia nyata sekitar kita.

Disusul kmudian dengan cerita karangan Heinrich Boll, yang berasal dari Jerman. Jerman merupakan salah satu Negara Eropa dengan ciri khas tradisi sastranya paling kuat. Heinrich berkesempatan memperoleh hadiah nobel sastra. Dengan cerpen berjudul Wajah Sedih mampu mengajak pembaca untuk menguji daya imajinasinya. Dengan satu inti cerita, sang peraih nobel sastra dari Jerman ini memperlihatkan keahliannya dalam menuangkan kata-katanya.

Seorang pemuda yang baru saja dibebaskan dari ruang tahanan karena dia berekspresi dengan dirinya sendiri. Sebuah cerita yang mengesankan. Menggambarkan bagaimana seharusnya kita mampu menghargai sebuah perjuangan, menghargai bagaimana arti pentingnya mengenang pejuang dan mengerti bagaimana pentingnya mengingat sejarah.

Cerita dimulai dengan seorang penjaga keamanan yang memborgol tangannya dengan besi halus. Keasyikannya saat menikmati burung-burung yang melayang, melesat, dan menukik sia-sia mencari makanan rupanya harus terhenti karena borgol jeruji itu. Pelabuhan yang begitu sunyi, airnya kehijau-hijauan, kental karena minyak kotor dan di permukaannya yang berkerak mengapung berbagai macam sampah, harus terganti dengan pemandangan sama ketika ia dimasukkan kedalam sel dikarenakan wajah senangnya. Dan kini sang pemuda ini masuk ke sel kembali karena berwajah sedih.

Perkara ia pernah masuk ke dalam sel tahanan karena wajah bahagianya saat berlangsungnya peringatan kepala negara. Dan karena menurut pihak kepolisisan, menunjukkan wajah bahagia saat ada peringatan kematian dari orang penting di negaranya merupakan sebuah penghinaan. Sang pemuda terkena hukuman penjara lima tahun. Dengan kelakuan ini membuatnya mennyandang penjahat di negaranya.

Di sisi lain, Heinrich menggambarkan bagaimana kerasnya siksa fisik bagi orang yang melanggar aturan. Selain masuk ke dalam tahanan, ia harus merasakan pukulan dari para petugasnya. Melalui cerita ini Heinrich mewakili kejujurannya dengan gambaran bahwa sang pemuda yang menerima hukuman tahanan tersebut harus merasakan bagaimana pukulan dari Petugas Interogator, Interogator Senior, Kepala Interogator, Hakim pendahulu, dan hakim akhir. Kekerasan ini masih ditambah dengan polisi yang melaksanakan tindakan fisik yang diperintahkan hukum.

Mereka menghukum sang pemuda ini selama sepuluh tahun karena wajah sedihnya, sama seperti lima tahun yang lalu ketika mereka menghukumnya selama lima tahun karena wajahnya yang bahagia saat peringatan upacara kematian kepala negara tersebut. Ia harus mencoba tidak punya wajah lagi, jika ia berhasil bertahan selama sepuluh tahun berikutnya dengan kebahagiaan yang ia miliki.

Keliaran dalam bermain dengan kata-kata dalam Antologi Cerpen Eropa ini tidak hanya sampai di sini. Albert Camus sang pengarang modern peraih hadiah nobel sastra dari negara Perancis, yang merupakan sebuah negara dengan tradisi sastra yang mapan. Albert Camus memilih judul cerpennya “Perempuan Tak Setia”, Albert menggambarkan bagaimana perjuangan seorang suami yang selalu setia mendampingi istrinya meski ia tak yakin kalau istrinya benar-benar mencintainya. Yang ada dia yakin akan keputusannya itu.

Janine yang telah dua puluh tahun berada di samping Marcel tak pernah benar-benar bisa mengerti apa yang menjadi kebutuhan dari suaminya tersebut. Marcel dengan pembawaan cuek terus saja berjalan melalui liku-liku hidupnya dengan tetap tenang dan ia yakin suatu saat Janine akan membutuhkan kehangatan darinya. Marcel selalu berhasil membuat Janine sadar bahwa ia ada di dunia ini untuk lelaki yang telah membuatnya ada dalam kenyataan ini, menyadarkan ia bahwa ia tak sendirian.

Janine yang memang berwatak pendiam selalu mengikuti apa yang dikata suaminya, Marcel. Suatu ketika Janine merasakan badai dingin dalam hatinya yang tak pernah ia alami selama ini. Di suatu malam dalam pemukiman Janine terbangun, ia merasakan kesunyiaan yang mengelilinginya begitu merajalela. Namun, di ujung kota, anjing mengaung di malam sunyi dan membuat Janine gemetar. Ia berpaling dan kembali berbalik, dirasanya bahu suaminya yang keras mengenai tubuhnya, dan tiba-tiba setengah tertidur, ia memeluk suaminya. Ia berbicara, tapi ia sendiri sulit mendengar apa yang ia katakana. Yang bisa dirasakannya hanyalah kehangatan Marcel.

Marcel memang selalu berhasil membuat janine selalu merasa dibutuhkan. Mungkin Marcel tak mencintainya. Cinta, bahkan bisa berisi benci. Dia tak pernah tahu. Namun dia tahu bahwa Marcel membutuhkannya dan bahwa ia butuh untuk dibutuhkan, bahwa ia hidup dengan hal itu siang dan malam. Terutama di malam hari, setiap malam, saat ia tak ingin sendirian.

Dalam kegelapan tiba-tiba Janine kembali dihampiri rasa kesedihan dan kesakitan yang begitu mendalam, sebuah kesaksian tentang dirinya bahwa Marcel hanya takut jika ia tak ada. Memunculkan kembali angan-angan yang tak semestinya. Kesaksian bahwa seharusnya mereka sudah berpisah sejak dahulu sampai akhir zaman. Ia menarik dari suaminya, ia pergi keluar menyendiri, duduk menatap langit-langit, mendengarkan gonggongan anjing serta kesakitan tubuhnya yang ditempa angin. Ia tiba-tiba merasakan kesunyian yang begitu dahsyatnya. Ia kembali lagi dan hanya bisa terduduk. Marcel berbicara dan Janine tak mengerti apa yang Marcel katakan. Marcel bangkit dengan pandangan tak mengerti ke arah Janine. Janine menangis tak mampu menenangkan diri.

Pada bagian akhir dari buku ini diwakili cerpen berjudul Perkawinan karangan August Strindberg, seorang pengarang asal Skandinavia, yang merupakan dramawan terkemuka asal Swedia yang banyak melahirkan karya prosa. Dia menggambarkan bagaimana sebuah perkawinan tak mesti harus memendamkan bakat dalam berkarya dan hanya bergantung pada suami.

Seorang perempuan dengan jengkelnya melihat para gadis-gadis yang berubah hanya menjadi pengurus rumah tangga bagi para suaminya setelah perkawinan. Maka ia belajar melakukan sebuah bisnis yang bisa membuatnya tetap merasa hidup jika ia sudah menikah. Ia merintis usaha kembang tiruan.

Seorang lelaki menyesali bahwa para gadis cenderung menunggu datangnya seorang suami yang akan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ia ingin menikahi seorang perempuan yang mandiri dan bisa mencari uang sendiri, semacam perempuan yang sejajar dengannya dan bisa menjadi teman sepanjang hidupnya, bukan sebagai seorang pengurus rumah tangga.

August mampu menghadirkan gaya perkawinan yang berbeda dalam cerpennya. Digambarkan dalam cerpennya bahwa gaya perkawinan yang dilakukan sepasang muda-mudi ini layaknya kakak-adik. Memiliki 3 buah ruang, dengan satu ruang untuk kamar sang suami, satu ruang untuk kamar sang istri dan satu ruang netral untuk mereka gunakan bertemu bersama. Selama hampir dua tahun mereka hidup dengan bahagianya, seakan-akan membuat isi dunia cemburu. Hingga akhirya sang istri harus menekuni pekerjaan rumah tangganya sebagai hadiah dia telah bekerja selama lebih dari dua tahun. Menekuni pekerjaan rumah tangga sebagai buah hasil perkawinan mereka. Sebagai wujud adanya rasa kasih dan sayang di antara keduanya. Mereka dikaruniai seorang buah hati.

Antologi Cerpen Eropa yang disusun oleh Anton Kurnia ini menjadi salah satu buku pengetahuaan akan kekayaan karya saatra di Indonesia. Menandakan adanya kebebasan untuk mengekspresikan karya sastra dengan gayanya masing-masing dengan tetap mengedepankan kreatifitas sebagai pegangannya. Karya sastra yang mengacu pada referensi kekhasan sastra barat menjadi salah satu karya besar untuk semakin menambah kekayaan hasil karya sastra selanjutnya.

cerpen-cerpen-terbaik-eropa

Judul Buku: ANTOLOGI CERPEN EROPA: Seorang lelaki Dengan Bekas Luka di Wajahnya

Penyusun: Anton Kurnia

Penerbit: Jalasutra

Tahun: 2003

Tebal: 291 halaman

Harga: Rp. 25.000,-

ISBN: 979-96337-32-4

*) peresensi adalah Alumni Mahasiswa Biologi FKIP UMS

24 Posisi Matahari (6)

Kolom John Kuan

morning_dew
Gambar dari http://www.historylines.net

 ☉寒露

 ——— angsa liar berbaris terbang selatan; pipit menjelma kerang; bunga krisan mekar.

Sepotong jalan ini empat musim indah, terutama mapel merah di kedalaman musim gugur, saya melangkah sendiri, melihat di bawah sebatang pohon besar di jauh berdiri dua gadis kecil sedang bertepuk tangan ke arahku, kenapa? Mereka salah mengenal orang?

Makin dekat, makin jelas mereka memang bertepuk tangan menyambut saya. Sebuah rumah warna putih dan anggun, menjulur selapangan rumput hijau, di luar pagar barulah jalan, meja bundar kecil diletakkan di sisi jalan, dua buah kursi anak-anak, mereka berdua jelas adalah kakak beradik, gaun chiffon putih dengan warna-warni serpihan bunga, di atas meja bundar dipajang beberapa untai kalung dan gelang, manik-maniknya juga berwarna-warni, amat pastel ——— mereka adalah pedagang, sendiri merangkai, sendiri menentukan harga, berharap laku, labanya kakak beradik bagi rata.

Sepotong jalan ini jarang dilalui orang, apalagi pembeli potensial, saya berlagak serius memilih, ambil empat untai, bertanya:

       [Apakah kalian merasa empat untai ini paling cantik?]

       [Iya, ini adalah empat untai tercantik!]

Saya membayar, mereka menyerahkan barang, saling terima kasih.

Terus melangkah, berpikir: Seandainya menoleh lihat, mereka telah lenyap tanpa jejak, maka mereka adalah peri yang datang ke dunia manusia, dan saya adalah seorang anak kecil beruntung; seandainya menoleh lihat mereka masih di bawah pohon menunggu, maka mereka adalah pedagang kecil, dan saya adalah pelanggan yang selangkah-selangkah membungkuk tua.

Elegi untuk Ibu

Puisi-puisi Ragil Koentjorodjati

elegi untuk
Ilustrasi diunduh dari community.imaginefx.com

#1 Elegi untuk Ibu

Ibu, inilah anakmu,
dalam kesendirian yang sunyi,
aku pernah melata di rahim kudusmu.

Enam belas tahun sudah usiaku,
mungkin tak sudi kauingat ini,
lahirku yang bagai perkosaan kedua bagimu.

Ibu, nyatanya aku ada,
bersamamu rasakan hidup tanpa martabat.
melolong-lolongkan luka yang makin nganga.

Martabat itu, Ibu,
bagaimanakah kita merayapinya dari titik terendah manusia,
sedang kau pun tak pernah menginginkanku,
buah yang kauanggap lahir dari perzinaan di pelacuran.

 

#2 Di Tikungan Itu

Di tikungan itu,
orang gegas berbelok,
dan aku terjerumus
hanya karena ingin berjalan lurus.

 

# Kepada Calon Presiden

Bukan politisi berpuisi yang kami cari,
Tapi politisi yang mengilhami lahirnya puisi-puisi.
Bukan politisi yang tahu betul teori di buku-buku yang kami mau,
Tapi politisi yang mengilhami lahirnya buku-buku.
Cerdaskan anak-anak, cerdaskan guru-guru.
bimbing kami jadi bangsa maju.
Sebab sesungguhnya, kesejahteraan adalah buah pohon-pohon pengetahuan.

Secangkir Kopi untuk Ari Pahala

Puisi Ahmad Yulden Erwin

puisi dan kopi
Ilustrasi diunduh dari kolom.abatasa.co.id

Tak ada  secangkir kopi untukmu, Kawanku, tak  ada ruang tamu.

          Kau  pun  tak  hadir di situ, hanya keramik angsa, boneka-

          boneka  tua, porselin  cina,  atau  sebingkai  lukisan rimba.

          Kukatakan  kepadamu, Kawanku: di sini, di ruang tamu ini,

          aku merasa begitu sunyi.

Masih terkenang juga suaramu, sebentuk perlawanan pada batu-

          batu.  Lantas kita pun seru  berdebat:  tentang  sajak-sajak

          awan  dan sungai, tentang debur ombak gelisah mencapai

          pantai, juga kalimat cemas dalam puisi-puisi Paz.

Siang  ini  aku merasa  sedikit  asing, Kawanku,  merasa seakan

          cemas telah meruncing  pada meja dan kursi tamu. Di luar

          jendela, langit begitu kering, cuaca membentur dinding.

‘Kini,  apa  makna  kebebasan  bagiku?’  tanyamu,  suatu ketika.

         Lantas  kau  pun  bercerita  tentang  teater  luka, mencoba

         menafsir duka dalam  pantun  melayu  dan syair-syair  tua,

         atau tenggelam dalam diksi-diksi Akutagawa.

Lewat  teng  12  siang,  aku  merenungkan  budaya yang hilang,

         atau  negara  yang  tak pernah bisa  berdaulat, mirip kisah

         apel yang penuh ulat. Terkadang  kita pun mencoba untuk

         reda, abai pada suasana, tapi di luar kita, cuma pertikaian

         dan hunus senjata.

‘Ideologi  begini,  sebutir  peluru  dan  batu-batu,  apa peduliku!’

         gerutumu,  suatu  pagi,  sambil  mencatat  kalimat-kalimat

         nyeri, mencoba  mengaitkan  rindu pada rintik-rintik sunyi,

         hingga awan-awan dan sungai dalam puisimu: mendadak

         kehilangan dasar imaji.

Di sini, di ruang  tamu  yang sunyi ini, bersama  secangkir kopi:

         aku menyesali suatu bangsa….. yang tak pernah dewasa.

24 Posisi Matahari ( 5 )

Kolom John Kuan

☉秋分

 ——— guruh mulai diam; serangga menutup sarang; air menyurut

Membawa beberapa lembar peta dan sekepala labirin sejarah, saya sampai di Alhambra. Jauh-jauh datang mendengar kisahnya, sebuah kisah musim gugur:

Sekitar abad ke-7 Masehi ada sekelompok Orang Arab dan Orang Berber menyeberang dari Afrika Utara bagian barat masuk Semenanjung Iberia, membangun sebuah rezim, sejarah memanggilnya [Orang Moor]. Sampai di abad ke-15 Masehi, Orang Moor telah memerintah tanah ini lebih dari 700 tahun, darah persaudaraan dan bahasa telah lama terbaur, mereka samasekali tidak pernah curiga terhadap kepatutan mereka memerintah. Cuma beberapa catatan sejarah awal mengutarakan, nenek moyang mereka bagaimana mengarung dari Afrika Utara ke sini pada masa itu.

Namun, orang Spanyol tidak lupa, mereka sudah sejak awal memupuk gerakan merebut kembali tanah yang dirampas. Gerakan inilah yang mengingatkan Orang Moor, urusannya sedikit merepotkan. Pada masa itu Orang Moor dilihat dari segi apapun jauh lebih kuat daripada Orang Spanyol, sebab itu sekalipun merasa repot, mereka tetap bisa hadapi dengan tenang. Namun bibit yang ditanam dalam-dalam begini, sungguh memiliki waktu.

Seratus tahun, seratus tahun perlahan berlalu, kekuatan politik daerah utara mulai bangkit, gerakan perebutan kembali tanah yang dirampas pelan-pelan juga memiliki pemimpin dan momentumnya. Akhirnya, berubah menjadi operasi militer yang kuat dan bergaung. Ketika Orang Moor sadar, mereka telah dikepung, dan lingkaran kepungan makin lama makin mengecil, sudah tidak bisa diterobos.

Solusi paling masuk akal adalah dengan sukarela pergi. Namun mereka bukan baru datang puluhan tahun, masih bisa menemukan titik awal berangkat, di tempat ini mereka telah puluhan generasi mengakar, sudah tidak tahu harus balik ke mana.

Hal paling mengejutkan adalah, Orang Spanyol yang telah menaklukkan sebagian besar daerah selatan, seperti sengaja menyisakan Granada terisolir, dan pengepungan ini ternyata bisa berlangsung lebih dari 200 tahun!

Para sejarawan menyampaikan banyak alasan dan teori untuk menjelaskan kenapa pengepungan ini bisa berlangsung demikian lama, namun saya paling tertarik adalah psikologi silang budaya kedua pihak selama lebih dari 200 tahun itu.

Orang Moor tentu membuka banyak rapat, menggunakan banyak akal, memikirkan banyak jalan keluar, namun setelah berulang kali gagal, mereka terpaksa harus mengakui, ini adalah dinasti terakhir Orang Moor di Semenanjung Iberia. Keputus-asaan begini pada tahap awal adalah pedih pilu dan amarah, tapi karena waktu diundur terlalu lama, pelan-pelan mengerut jadi hening. Dan keputus-asaan yang hening selalu indah.

Istana Alhambra yang diukir dan dipahat demikian persisi dan indah ini adalah diselesaikan dalam keputus-asaan yang hening. Oleh sebab itu, segala ketelitiannya bukanlah demi diwariskan ke generasi berikutnya, lebih bukan demi pamer, namun adalah memasuki suatu tahap nirguna.

Saya pikir, perumpamaan yang paling tepat untuknya adalah berhias di depan maut. Tahu ajal sudah menyusul, namun masih memiliki sedikit waktu, sendiri masih penuh daya, indera bekerja sempurna, sebab itu dengan perlahan dan teliti mulai menghias diri. Sudah tidak peduli lagi esok, tidak peduli lagi penonton, tidak peduli lagi penilaian, seluruhnya adalah buat dinikmati sendiri, seluruh akal pikiran yang halus dan rumit telah ditaruh di dalamnya.

Kapan pasukan musuh akan datang menyerang, membakar, membinasakan seluruh ini? Mungkin saja besok, mungkin juga ratusan tahun. Tidak peduli, hanya ingin sedikit-sedikit dibangun, sepenggal-sepenggal diukir. Suasana hati dan pikiran begini masih belum pernah saya alami di tempat lain.

Sekarang kita lihat di luar benteng. Pada waktu itu pasukan dipimpin langsung oleh Fernando II dan Isabel I, perkawinan Raja Aragon dan Ratu Kastilia ini telah mendorong Spanyol bersatu, hanya sisa Granada sebagai batu sandungan terakhir. Dan di dalam benteng, di antara pilar dan dinding berukir sedang bertahta seorang raja berusia muda, namanya Abu Abdullah Muhammad XII. Orang Spanyol memanggilnya el chico, saya tidak tahu ini keluar dari simpati atau penghinaan. Ayahnya karena mencintai seorang pengikut agama Kristen dan diturunkan dari tahta, dan Abdullah sendiri setelah memegang tampuk kuasa langsung berhadapan dengan sebuah kondisi kacau yang tak terurai. Keabsurdan ayahnya adalah menggunakan cinta mengkhianti politik, sudah tahu seluruh rakyat sedang mengangkat panji agama melawan musuh di luar benteng, sebab selain itu sudah tidak ada panji lain bisa dilambaikan, dia justru menyerahkan cintanya kepada agama di luar benteng. Abdullah tidak tahu yang dilakukan ayahnya ini mau disebut berdamai, menerobos kepungan, atau menyerah, yang jelas dia sendiri tiba-tiba sudah diletakkan di atas batu menjadi domba korban.

Semua inilah yang menyebabkan pilihan Abdullah yang terakhir: Menyerah. Sebab itu tenda-tenda Fernando dan Isabel yang rapat berlapis-lapis menjadi tidak berguna. Orang Spanyol anggap ini adalah mujizat, puluhan ribu orang setelah mendengar kabar ini langsung berlutut di bawah benteng bersyukur, saya kira mereka semestinya berterima kasih kepada raja yang muda dan berakal jernih ini. Seandainya waktu itu pikirannya menjadi keruh, atau ingin memperagakan sedikit gaya ksatria, mungkin saja menyebabkan ujung tombak bertemu ujung tombak, bumi bersimbah darah dan entah berapa banyak nyawa akan melayang.

Raja yang masih muda itu mencari sebuah pintu samping istana, berjalan sampai di atas bukit jauh baru menoleh, diam-diam meneteskan airmata. Menurut cerita saat itu ibunya berdiri di sisinya berkata: “Tangislah, anakku, seorang lelaki yang tidak mampu membela dirinya, semestinya menetes sedikit airmata!”

Sebuah dinasti, sepotong sejarah, ternyata bisa berakhir demikian damai. Sebab itu, bahkan setiap lekuk motif yang paling halus di dalam Istana Alhambra hingga hari ini pun masih bisa tersenyum tanpa pernah diusik.

Hari itu, adalah 2 Januari 1492

PENJARA KEKASIH

Puisi Ahmad Yulden Erwin

kekasih
Ilustrasi oleh AYE

 / 1 /

Di satu negeri bernama Dusta-Nan-Lazim, tiadalah orang menyangka kebenaran akan semata zahir, laksana bayang di satu dinding penjara; begitulah Tuan al-Hallaj tiada lagi peduli akan hukuman matinya, yang sebentar besok akan tiba. Tuan tampaklah duduk di sebentang sajadah kusamnya, maka tuan pun tafakurlah, maka mata tuan mulai menyala, maka zikir tuan terasalah manis di lidah, maka hilanglah tuan di dalam jaga, maka mimpi segala mimpi tuan pun tiada.
Maka usai tuan bertafakur begitu, tuan usaplah telapak tangan tuan ke wajah; kelana panjang tuan terasa akan sampai semula langkah, mewujud akhir nan baru, yang bahkan tiada seorang di tanah Arab dan Persia akan mengira: isak tuan telah digenapkan dengan sempurna.
Maka sebelum pagi penghakiman kaum pendusta itu tiba, sebelum darah para mujahid-sunyi tertumpah kembali seturut sejarah hina, sebelum oase dan pohon-pohon kurma menyimpan setiap rintik air mata para sahabat, sebelum setangkai mawar merah (yang telah tuan bayangkan) akan disambit dengan tulus ke dada tuan oleh tangan seorang pecinta, adalah sempat tuan terkenang akan istri tuan di rumah.
Maka sekerjap ada tuan berpikir tentang sehelai rambut puan yang terjuntai keluar di sebalik hijab hitamnya. Maka terbayanglah saat puan mencium basah punggung tangan tuan, sebelum lengan kurus tuan diseret oleh pasukan pengawal sultan ke penjara, delapan tahun lalu. Maka masihlah jelas dalam relung ingatan tuan saat penculikan selepas tengah malam itu: bentakan para pengawal, ringkik-ringkik kuda, sekedip bintang utara, lalu satu cambukan menghantam ke belakang telinga; maka hingga saat menjelang hukuman mati tuan ditetapkan harinya, sama sekali tuan tiadalah hendak bertanya mengapa benar tuan bisa diseret ke penjara.
Maka kini duduklah tuan kembali di sudut kanan remang penjara, di atas sejadah tuan yang kusam, dihela napas sedikit berat, sebab tuan hanya sendiri; ada terkenang juntai ujung sehelai rambut di kening istri, bayang-bayang wajah cucu yang tiada pernah tuan azani, juga ingatan kering desir angin pada reranting pohon cedar di halaman rumah selepas musim semi; sebab tuan tiada lagi bisa bermimpi.
Maka itu empat dinding penjara, maka itu atap dan lantai penjara, maka itu tiadalah lain kerut dan kelim di jubah tuan belaka. Tuan bukan lagi penebak cahaya, bukan pula ceruk dan nyala suatu pelita; tuan bukan pula minyak yang berkilau dalam kegelapan, bukan, sebab kini tuan sepenuhnya adalah kegelapan. Maka tuan menatap semula bayang tuan di dinding penjara, maka perlahan tuan mulailah merasai tubuh ringkih tuan akan segera menjemput mati, namun bayang tubuh tuan telah dinasabkan sebagai abadi.
Bangkitlah tuan dari duduk, seolah untuk pertama kali, menatap benang-benang cahaya matahari terbit dari celah jeruji jendela, setengah badan jaraknya dari ubun kepala. Sayup tuan dengarlah gerincing senjata dan derap langkah para pengawal Sultan al-Makmun. ‘Sekarang khatamnya engkau tinggalkan penjara, tubuhmu itu, menghadap Duli Sang Maha Cinta,’ bisik entah semacam ilham, entah desah pikiran belaka; maka dalam sendiri, tersenyumlah tuan, tipis hanya, sekerjap lihat bayang tubuh tuan adalah seberkas

/ 2 /

Maka beginilah kemudian sahaya baca hikayat akhir hidup tuan:
‘Maka pada tanggal 25 Dzul Qa’dah tahun 309 Hijriah, jatuhlah hukuman bagi Tuan al-Hallaj, mursyid dan sahabat kami tercinta, oleh pengadilan para ulama yang alangkah rakus dan penuh tipu daya. Maka setahu kami tiadalah bersalah Tuan al-Hallaj itu, maka tiadalah layak pula tuan mendapat siksa keji begitu. Maka setelah tuan dipenjara selama lebih dari delapan tahun, maka tubuh tuan dicambuklah 300 kali, maka disayatlah, maka ditetak pula kaki dan tangan tuan, maka disalibkan pula tubuh tuan yang tiada utuh lagi itu.
‘Maka di kayu salib itu, berserulah tuan: Duhai, betapa hamba-hambaMu yang kini berkumpul inginkan betul kematian sahaya, sebab sangka mereka beginilah benar jalan berhampir menujuMu. Ampuni mereka, Ya Rahman….. Tersebab apabila Engkau bukakan pula Kebenaran kepada mereka seperti yang Engkau telah singkapkan kepada sahaya, niscaya mereka akan tersenyum, lalu segeralah lari mereka dari penjara prasangka.
‘Maka tersebab malaikat maut tiada hendak pula ambil nyawa tuan, maka dengan bengis itu para algojo penggal leher tuan. Maka tubuh tanpa kepala itu disiramlah dengan satu tong minyak lemak domba, maka dibakarlah, maka abu jenazah tuan lekas dibawa ke menara pengintai di barat gerbang kota, maka ditaburlah, maka berhanyutlah abu jenazah tuan di arus sungai Tigris, maka…’
Maka tiadalah sanggup sahaya teruskan lagi membaca itu catatan sahabat tuan, tersebab telah basah mata sahaya. Maka setelah reda badai di kembar pelupuk sahaya, terbacalah kembali catatan yang tuan letakkan di sebalik selimut wol tenunan tuan, seuntai puisi, begini indahnya:

ألا يا ليل محبوبى تجلى ألا يا ليل للغفران هلا
الا يا ليل ما ابهى واحلى ألا يا ليل اكرمنى وجلى
ألا يا ليل فى الحضرة سقانى ألا يا ليل من خمر الدنان

O, malam, Kekasih telah datang
O, malam, ampunan itu telah datang
O, malam, duhai Keindahan, duhai Kekasih tersayang
O, malam, Kekasih telah muliakan daku, Dia datang
O, malam, Kekasih tuangkan minuman
Ke dalam cawan, duhai anggur alangkah

/ 3 /

Duhai, Tuan al-Hallaj, suami dan kekasih tercinta, ijinkan sahaya kenangkan Tuan kembali. Ijinkan sejenak, dalam taman kenangan yang Tuan bangun di sebalik hati ini, ijinkan sahaya ciumkan punggung tangan Tuan kembali, di sini, di depan pintu rumah Tuan yang telah sunyi, kian dan kian sunyi.

24 Posisi Matahari ( 4 )

Kolom John Kuan

☉處暑

  ——— elang giat memburu; alam gugur luruh; bulir padi penuh

Seperti apa musim gugur itu? Musim gugur pernah adalah milik Qu Yuan, milik Du Fu dan Li Shangyin. Namun musim gugur kali ini milik Rilke. sebab musim gugur saya begini datangnya, malam buka jendela membaca, melihat orang lalu-lalang dengan langkah-langkah gegas, teringat Rilke; di dalam riuh rendah seharian merasa sangat lelah dan bosan, teringat Rilke; bertemu orang asing, berbincang dengan orang asing, berpisah dengan orang asing, pulang sendiri ke kamar hotel, juga teringat Rilke.

Musim gugur tidak perlu basa-basi, dia begitu saja tiba. Sebab itu daun musim gugur yang diselip di halaman buku akhirnya tinggal urat-urat daun, semua urat daun juga memiliki masa lalu, juga pernah memikirkan isi hati. Musim gugur sering tiba di saat isi hati semua orang membisu, memberi isyarat kepada saya hidup pada dasarnya hanya mengikuti hati bagai awan berarak, namun juga dalam terukir bagai cetakan besi. Tetapi saya tetap ingin melakukan sesuatu, di saat mengutip selembar daun kuning tergenang air hujan, ada pergolakan yang bernama [sia-sia], sebab itu saya baca kembali Rilke:

Herbsttag

Herr: es ist Zeit. Der Sommer war sehr groß.
Leg deinen Schatten auf die Sonnenuhren,
und auf den Fluren laß die Winde los.

Befiel den letzten Früchten voll zu sein;
gib ihnen noch zwei südlichere Tage,
dränge sie zur Vollendung hin und jage
die letzte Süße in den schweren Wein.

Wer jetzt kein Haus hat, baut sich keines mehr.
Wer jetzt allein ist, wird es lange bleiben,
wird wachen, lesen, lange Briefe schreiben
und wird in den Alleen hin und her
unruhig wandern, wenn die Blätter treiben.

 

Musim Gugur

Tuan: ini saatnya. Musim panas pernah begitu montok.
Lemparkan bayang pekatmu ke arah jam matahari,
dan biarkan angin gila meniup lewat padang liar.

Perintahkan buah terakhir segera ranum;
tambah lagi dua hari terik tanah selatan,
desak mereka sintal dan penuh, agar harum
manis terakhir, tenggelam di anggur kental

Siapa kini tiada rumah, tidak usah lagi dibangun
Siapa kini sendiri, biarkan dia selamanya sepi
terjaga, membaca: menulis surat-surat panjang
dan biarkan dia mondar-mandir di setapak
melangkah ke dalam tarian daun gugur

☉白露

  ——— angsa liar terbang selatan; burung layang-layang ke utara; semua burung berbekal

Saya duduk menyandar di jendela kereta api, kereta melaju dengan ritme yang stabil dan teratur, bagai sebuah nyanyian yang akrab, saya mengatupkan mata merasakan bunyi repetisi begini. Setengah tertidur, seolah di mulut jendela mimpi. Tiba-tiba merasa ada sebiji mata lain terbuka, tampak benda-benda yang biasanya tidak mudah kelihatan. Saya melihat di atas punggung gunung ada bayang awan berpindah perlahan. Sepotong bayang hitam di atas punggung gunung yang amat hijau, bagai tanda lahir di tubuh manusia, seperti sedang mengisyaratkan sesuatu yang telah lama kita lupakan. Sebuah mitos purba yang menghubungkan lanskap dan gejala alam dengan tubuh manusia. Dan seluruh garis lekuk pegunungan, juga karena sepotong bayang awan yang bergerak itu, kelihatan luar biasa indah.

Perlahan tapi pasti, saya merasa cahaya matahari musim gugur miring menembus masuk dari jendela kereta, melumuri sebagian lengan dan wajah. Cahaya warna kuning emas dan hangat, mengikuti goyangan kereta sebentar kuat sebentar lemah. Di dalam cahaya matahari keemasan juga diaduk sedikit bayang hitam sekuntum awan itu, sedikit hijau ladang di dua sisi rel, dan sedikit silau pantulan air sungai yang bertebaran batu-batu bulat telur.

Kereta masuk terowongan, cahaya matahari disimpan di luar gua. Derit gesekan rel dan roda kereta kian tajam, seluruh gua penuh gema. Di dalam sebuah gua gelap dan panjang, segala mata di dalam setengah tidurku terbuka. Saya melihat cahaya-cahaya lemah berseliwer, berkedip-kedip di dinding gua.

Di dalam indera penglihatan tidak ada gelap absolut, di dalam penglihatan batin juga tidak ada kegelapan absolut.

Di dalam gelap penuh dengan cahaya yang bergetar, persis seperti melihat lukisan Rembrandt, pertama kali melihat adalah selapis hitam; tenangkan pikiran sedetik lalu cermati, akan menemukan sebersit cahaya.

Rembrandt di abad ke-17 melukis di dalam cahaya lilin dan obor. Dia juga mengamati cahaya dari fajar menyingsing hingga matahari terbenam, lalu dari matahari terbenam hingga bulan muncul. Di musim dingin negeri utara yang kelam, dia akan konsentrasi menatap sedikit cahaya di atas salju malam yang tidak mudah terasa, dia akan konsentrasi hingga lelah, lalu mengatup mata.

Saya selalu merasa, setelah mengatup mata, Rembrandt baru benar-benar melihat cahaya yang paling indah. Cahaya itu bergerak di punggung telapak tangan renta ibu yang membuka kitab suci, punggung telapak tangan yang penuh garis-garis keriput, di celah garis-garis keriput yang gelap penuh berisi cahaya tipis.

Karena Setiap Kata Punya Makna