Arsip Tag: Albert Camus

Dunia Kita Bukan Dunia Keinginan

Resensi Riza Fitroh Kurniasih*

Buku ini berisi tujuh belas cerpen dari 17 penulis berbagai negara (tujuh di antaranya adalah peraih nobel) dengan cerita yang sanggup menggugah pembaca. Sang penulis mampu menggiring pembaca pada dunia yang belum pernah dihadiri sekalipun. Pembaca seakan-akan dibawa masuk ke dalam dunia baru yang sama sekali asing untuk diwujudkan dalam dunia nyata, namun dengan gaya penuturannya kita bisa mengikuti alur cerita yang dihadirkan.

Dengan seting tempat yang menarik dan lakon cerita yang dihadirkan penulis dalam buku ini mampu menghadirkan dinamika tersendiri bagi pembaca. Pembaca memiliki kebebasan dalam membayangkan latar tempat berlangsungnya alur cerita. Dengan pembawaan tokoh yang memiliki karakter sendiri-sendiri tidak membuat pembaca terasing dengan alur yang disajikan oleh penulis. Penulis hanya perlu mengikuti pikirannya untuk dapat memahami dan menikmati buku ini.

Bagian awal dari cerpen ini diawali dengan cerpen berjudul “Sang Putri” persembahan terbaik dari Irena Ioannidou Adamidou, pengarang asal Siprus, mewakili kawasan Yunani dan sekitarnya yang di masa silam merupakan cikal bakal peradaban Eropa. Dengan tidak menghilangkan ciri khas bangsa eropa, Irena mampu membawa pembaca untuk menikmati hasil tuangan penanya.

 Irena menceritakan bagaiman pentingnya dunia pendidikan, pun bagi seorang putri yang rupawan dan memiliki materi yang cukup. Namun dengan tetap menyisipkan ciri khas bangsa eropa yang menjunjung tinggi arti pentingnya pendidikan. Dia menggambarkan bagaimana seorang gadis yang semasa mudanya menjadi idaman para pujangga karena kecantikan yang dimilikinya, sehingga kelebihan ini membuat banyak yang terpesona padanya. Namun siapa sangka kelak di masa tuanya ia tak memiliki apapun kecuali seorang nenek tua yang menemaninya dan seorang suami yang selalu dengan mudah menjual barang-barang miliknya.

Perceraian bagi sang putri sangatlah memalukan, setidaknya begitu stigma yang ada pada masyarakat desa tempat ia tinggal. Sang putri yang rupawan dan mampu mengundang setiap laki-laki yang melihatnya semasa muda, kini hanya bisa diam. Dia tak terbekali dengan tangan-tangan pendidik dan bangku-bangku keras pendidikan untuk melawan ketertindasan.

Irene mampu menyadarkan kita akan pentingnya arti pendidikan, pun bagi seorang perempuan yang rupawan, pendidikan menjadi harga mati untuk dimiliki setiap orang yang berkembang. Perkawinan tak menjamin kita pada dunia status quo kenyamanan. Justru perkawinan menjadi bencana ketika kita buta dengan dunia nyata sekitar kita.

Disusul kmudian dengan cerita karangan Heinrich Boll, yang berasal dari Jerman. Jerman merupakan salah satu Negara Eropa dengan ciri khas tradisi sastranya paling kuat. Heinrich berkesempatan memperoleh hadiah nobel sastra. Dengan cerpen berjudul Wajah Sedih mampu mengajak pembaca untuk menguji daya imajinasinya. Dengan satu inti cerita, sang peraih nobel sastra dari Jerman ini memperlihatkan keahliannya dalam menuangkan kata-katanya.

Seorang pemuda yang baru saja dibebaskan dari ruang tahanan karena dia berekspresi dengan dirinya sendiri. Sebuah cerita yang mengesankan. Menggambarkan bagaimana seharusnya kita mampu menghargai sebuah perjuangan, menghargai bagaimana arti pentingnya mengenang pejuang dan mengerti bagaimana pentingnya mengingat sejarah.

Cerita dimulai dengan seorang penjaga keamanan yang memborgol tangannya dengan besi halus. Keasyikannya saat menikmati burung-burung yang melayang, melesat, dan menukik sia-sia mencari makanan rupanya harus terhenti karena borgol jeruji itu. Pelabuhan yang begitu sunyi, airnya kehijau-hijauan, kental karena minyak kotor dan di permukaannya yang berkerak mengapung berbagai macam sampah, harus terganti dengan pemandangan sama ketika ia dimasukkan kedalam sel dikarenakan wajah senangnya. Dan kini sang pemuda ini masuk ke sel kembali karena berwajah sedih.

Perkara ia pernah masuk ke dalam sel tahanan karena wajah bahagianya saat berlangsungnya peringatan kepala negara. Dan karena menurut pihak kepolisisan, menunjukkan wajah bahagia saat ada peringatan kematian dari orang penting di negaranya merupakan sebuah penghinaan. Sang pemuda terkena hukuman penjara lima tahun. Dengan kelakuan ini membuatnya mennyandang penjahat di negaranya.

Di sisi lain, Heinrich menggambarkan bagaimana kerasnya siksa fisik bagi orang yang melanggar aturan. Selain masuk ke dalam tahanan, ia harus merasakan pukulan dari para petugasnya. Melalui cerita ini Heinrich mewakili kejujurannya dengan gambaran bahwa sang pemuda yang menerima hukuman tahanan tersebut harus merasakan bagaimana pukulan dari Petugas Interogator, Interogator Senior, Kepala Interogator, Hakim pendahulu, dan hakim akhir. Kekerasan ini masih ditambah dengan polisi yang melaksanakan tindakan fisik yang diperintahkan hukum.

Mereka menghukum sang pemuda ini selama sepuluh tahun karena wajah sedihnya, sama seperti lima tahun yang lalu ketika mereka menghukumnya selama lima tahun karena wajahnya yang bahagia saat peringatan upacara kematian kepala negara tersebut. Ia harus mencoba tidak punya wajah lagi, jika ia berhasil bertahan selama sepuluh tahun berikutnya dengan kebahagiaan yang ia miliki.

Keliaran dalam bermain dengan kata-kata dalam Antologi Cerpen Eropa ini tidak hanya sampai di sini. Albert Camus sang pengarang modern peraih hadiah nobel sastra dari negara Perancis, yang merupakan sebuah negara dengan tradisi sastra yang mapan. Albert Camus memilih judul cerpennya “Perempuan Tak Setia”, Albert menggambarkan bagaimana perjuangan seorang suami yang selalu setia mendampingi istrinya meski ia tak yakin kalau istrinya benar-benar mencintainya. Yang ada dia yakin akan keputusannya itu.

Janine yang telah dua puluh tahun berada di samping Marcel tak pernah benar-benar bisa mengerti apa yang menjadi kebutuhan dari suaminya tersebut. Marcel dengan pembawaan cuek terus saja berjalan melalui liku-liku hidupnya dengan tetap tenang dan ia yakin suatu saat Janine akan membutuhkan kehangatan darinya. Marcel selalu berhasil membuat Janine sadar bahwa ia ada di dunia ini untuk lelaki yang telah membuatnya ada dalam kenyataan ini, menyadarkan ia bahwa ia tak sendirian.

Janine yang memang berwatak pendiam selalu mengikuti apa yang dikata suaminya, Marcel. Suatu ketika Janine merasakan badai dingin dalam hatinya yang tak pernah ia alami selama ini. Di suatu malam dalam pemukiman Janine terbangun, ia merasakan kesunyiaan yang mengelilinginya begitu merajalela. Namun, di ujung kota, anjing mengaung di malam sunyi dan membuat Janine gemetar. Ia berpaling dan kembali berbalik, dirasanya bahu suaminya yang keras mengenai tubuhnya, dan tiba-tiba setengah tertidur, ia memeluk suaminya. Ia berbicara, tapi ia sendiri sulit mendengar apa yang ia katakana. Yang bisa dirasakannya hanyalah kehangatan Marcel.

Marcel memang selalu berhasil membuat janine selalu merasa dibutuhkan. Mungkin Marcel tak mencintainya. Cinta, bahkan bisa berisi benci. Dia tak pernah tahu. Namun dia tahu bahwa Marcel membutuhkannya dan bahwa ia butuh untuk dibutuhkan, bahwa ia hidup dengan hal itu siang dan malam. Terutama di malam hari, setiap malam, saat ia tak ingin sendirian.

Dalam kegelapan tiba-tiba Janine kembali dihampiri rasa kesedihan dan kesakitan yang begitu mendalam, sebuah kesaksian tentang dirinya bahwa Marcel hanya takut jika ia tak ada. Memunculkan kembali angan-angan yang tak semestinya. Kesaksian bahwa seharusnya mereka sudah berpisah sejak dahulu sampai akhir zaman. Ia menarik dari suaminya, ia pergi keluar menyendiri, duduk menatap langit-langit, mendengarkan gonggongan anjing serta kesakitan tubuhnya yang ditempa angin. Ia tiba-tiba merasakan kesunyian yang begitu dahsyatnya. Ia kembali lagi dan hanya bisa terduduk. Marcel berbicara dan Janine tak mengerti apa yang Marcel katakan. Marcel bangkit dengan pandangan tak mengerti ke arah Janine. Janine menangis tak mampu menenangkan diri.

Pada bagian akhir dari buku ini diwakili cerpen berjudul Perkawinan karangan August Strindberg, seorang pengarang asal Skandinavia, yang merupakan dramawan terkemuka asal Swedia yang banyak melahirkan karya prosa. Dia menggambarkan bagaimana sebuah perkawinan tak mesti harus memendamkan bakat dalam berkarya dan hanya bergantung pada suami.

Seorang perempuan dengan jengkelnya melihat para gadis-gadis yang berubah hanya menjadi pengurus rumah tangga bagi para suaminya setelah perkawinan. Maka ia belajar melakukan sebuah bisnis yang bisa membuatnya tetap merasa hidup jika ia sudah menikah. Ia merintis usaha kembang tiruan.

Seorang lelaki menyesali bahwa para gadis cenderung menunggu datangnya seorang suami yang akan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ia ingin menikahi seorang perempuan yang mandiri dan bisa mencari uang sendiri, semacam perempuan yang sejajar dengannya dan bisa menjadi teman sepanjang hidupnya, bukan sebagai seorang pengurus rumah tangga.

August mampu menghadirkan gaya perkawinan yang berbeda dalam cerpennya. Digambarkan dalam cerpennya bahwa gaya perkawinan yang dilakukan sepasang muda-mudi ini layaknya kakak-adik. Memiliki 3 buah ruang, dengan satu ruang untuk kamar sang suami, satu ruang untuk kamar sang istri dan satu ruang netral untuk mereka gunakan bertemu bersama. Selama hampir dua tahun mereka hidup dengan bahagianya, seakan-akan membuat isi dunia cemburu. Hingga akhirya sang istri harus menekuni pekerjaan rumah tangganya sebagai hadiah dia telah bekerja selama lebih dari dua tahun. Menekuni pekerjaan rumah tangga sebagai buah hasil perkawinan mereka. Sebagai wujud adanya rasa kasih dan sayang di antara keduanya. Mereka dikaruniai seorang buah hati.

Antologi Cerpen Eropa yang disusun oleh Anton Kurnia ini menjadi salah satu buku pengetahuaan akan kekayaan karya saatra di Indonesia. Menandakan adanya kebebasan untuk mengekspresikan karya sastra dengan gayanya masing-masing dengan tetap mengedepankan kreatifitas sebagai pegangannya. Karya sastra yang mengacu pada referensi kekhasan sastra barat menjadi salah satu karya besar untuk semakin menambah kekayaan hasil karya sastra selanjutnya.

cerpen-cerpen-terbaik-eropa

Judul Buku: ANTOLOGI CERPEN EROPA: Seorang lelaki Dengan Bekas Luka di Wajahnya

Penyusun: Anton Kurnia

Penerbit: Jalasutra

Tahun: 2003

Tebal: 291 halaman

Harga: Rp. 25.000,-

ISBN: 979-96337-32-4

*) peresensi adalah Alumni Mahasiswa Biologi FKIP UMS

Revolusi dan Kesusastraan

Goenawan Muhammad
Goenawan Muhammad (Photo credit: Wikipedia)

Gerundelan Goenawan Mohamad

Jika revolusi adalah “pengejawantahan budi-nurani kemanusiaan”, seperti dikatakan Presiden Soekarno, bisakah kita menolak menempatkan diri di dalamnya? Di tahun 1948, di Perancis, Albert Camus berkata: “Bukan karena perjuanganlah kita menjadi seniman, tetapi karena kita seniman maka kita menjadi pejuang-pejuang”. Dengan kata lain ada hubungan yang wajar dan logis antara keduanya. Kita tak perlu melepaskan kesenian dari diri kita dalam revolusi atau perjuangan itu. Kesenian dan kesusastraan juga suatu “revolusi”:secara langsung atau tak langsung ia memperjuangkan kembali untuk hati nurani yang pada suatu masa dikaburkan, atau belum ditemukan, oleh suatu sejarah. Maxim Gorky, Multatuli, Jose Rizal. Dalam kenyataan juga sering terlihat, bagaimana benih dan semangat revolusi terungkap dengan jelas dalam karya-karya sastra.

Tapi tidakkah dengan begitu kesusastraan akan merupakan propaganda revolusi, suatu alat? Kesusastraan bukanlah semata-mata alat, meskipun mempunyai aspek itu, seperti kita mengakui bahwa kesusastraan bukanlah pensil atau pistol. Sebab kesusastraan mengandung fungsi komunikasi yang langsung. Ia membutuhkan faktor kemerdekaan, agar sifatnya tetap otentik. Jika kita memang membutuhkan kesusastraan sekarang dan di sini untuk itu, keretakan antara kesusastraan dan revolusi tidak harus terjadi.

Keretakan antara kesusastraan dan revolusi terjadi bila salah satu menjadi reaksioner, menyimpang dari cita-cita semula. Dalam sejarah memang terjadi hal itu, ketika kekuatan revolusi berpindah kepada kekuatan kekuasaan. Di situ sebenarnya telah terjadi sektarisme. Di situ sebenarnya telah terjadi penganutan paham, aliran atau sistim pemikiran secara dogmatis serta tegar, dan telah tumbuh sikap tak terbuka dalam menghadapi persoalan, dalam mencari kebenaran suatu masalah. Di situ telah terjadi kecenderungan kuat untuk menolak atau memalsukan kebenaran-kebenaran yang tidak tercakup oleh pemikiran sendiri. Dengan kata lain: satu proses kebohongan. Jika revolusi telah berpindah kepada kekuatan kekuasaan semata-mata, maka dasar kemanusiaan yang terdapat dalam tujuannya semula pun digilas dan dihancurkan.

Bagi kesusastraan itu merupakan suatu kontradiksi. Tak ada suatu kreasi kesusastraan yang berharga tanpa mempunyai dasar semacam kasih. Tentu saja harus dimaklumi, bahwa tindakan-tindakan politik, adanya penggunaan kekuasaan dalam revolusi – yang sering bisa mengganggu tidur nyaman dan hati nurani kita – merupakan suatu hal yang tak terelakkan sama sekali. Hanyalah harus dijaga, agar kita tidak kemudian menjadi kebal dan tebal muka akan kejadian-kejadian demikian. Saya kira justru di situlah letak kesusastraan dalam revolusi: di satu pihak ia adalah kritik terhadap kebudayaan yang harus tumbang oleh revolusi, di lain pihak ia adalah kritik terhadap ekses-ekses revolusi sendiri.

15 September 1962

Naskah diambil dari Buku Kesusastraan dan Kekuasaan