Arsip Kategori: Kolom John Kuan

Pergi ke Museum

Oleh John Kuan

wisata-keluarga
Gambar dari http://www.laba.ws

1.

Melati Suryodarmo  sedang  menggiling arang, pagi Januari, dinding  kaca, cahaya matahari mengaduk  partikel hitam, entah  perlu  berapa  kalori  lelah  gelisah buat satu kilogram serbuk arang. Satu pasangan muda masuk ke dalam  restoran, lelaki membawa  sebuah MacBook,  segepok  Straits Times, perempuan  menggendong bayi,  duduk   di atas  kursi melepaskan   karbon dioksida,  lelaki  mengaduk  satu cangkir putih  kopi  hitam, molekul saling  tabrak  di ujung sendok  terbang  ke atas menjadi  awan,  barangkali  dicicipnya, lalu amat  terlatih  memeriksa  isi sandwich, giliran   gendong   bayi.  Perempuan   segera  periksa mangkuk  salad,  memindai MacBook  selayang  pandang  Straits  Times, gigit  satu  sudut sandwich, dua  tiga garpu  salad, kembali  gendong bayi, lelaki   mengaduk  lagi, molekul saling tabrak terbang ke atas menjadi hujan, barangkali  dicicipnya, buka halaman  kriminal, gigit sudut   lain  sandwich.  Tidak  ada   percakapan,  tidak   ada  tukar  pandang,  mata mereka  berenang di dalam akuarium teks dan gambar, sesekali  baru  terlihat naik ke atas permukaan  air  mengambil  nafas  sebelum  kembali  menyelam  ke dasar samudera  aksara. Sementara itu  saya  sedang  menikmati  saat-saat  hening  tak terkira,  bayi  amat  kerjasama, Melati Suryodarmo  sedang  dengan  duabelas  jam asam  arang  dan  basi   keringat menyiksa  orang-orang  tidak  punya   bakat  dan kapasitas menderita, -apa itu lapar takut dan putus asa, dan masih membara, bagai arang,  semula  pohon, lalu mati, sekarang  lewat  api merah  membakar  di dalam tubuhnya,  kembali  hidup,  namun  segera  akan  menjadi  abu, kata Eileen Chang, hidup   pertamanya  adalah  hijau  terang,  hidup  keduanya   adalah merah gelap, seperti  alga  atau  jamur di dahan  pohon waktu, pengubah  nitrogen, sel  demi sel, kata  demi kata, bercampur mineral-mineral pilu, babak-belur hingga sebuah dunia layak hidup. Tapi  satu pasangan  muda ini tampak begitu rukun, baca koran, cicip kopi, salad dan roti, suhu  sangat  pas, bayi sedang tidur nyenyak pada satu sudut terang, dunia dan seluruh kemungkinannya.

2.

Berdiri  di depan kamar  pas  sejarah melihat Titarubi gantung sebuah jubah emas, banyak orang  datang  mencobanya, Albuquerque pernah, Houtman pernah, Coen pernah,  Courthope pernah.  Dua   orang  Eropa   menerobos   ke dalam  radarku, seperti  sedang  mencocokkan ukuran dan model, masih  muda, pakai  headphone, kulit agak  udang  rebus, sejenak   sudah berlayar keluar dari  batu  karang jaman. Tinggal  saya sendiri  kandas pada sehamparan pasir waktu, melihat  jubah emas hilang  batang  tubuh  dan  wajah  sejarah,  sisa   sepasang  tangan hangus,  satu memegang buku,  satu   menunjuk  lampu  langit-langit,  entah  terlalu  terang atau terlalu redup. Sementara itu  seorang prajurit  bayaran dari Swiss: Elie  Ripon  telah bersandar  di bawah   jubah   menulis  jurnal.  Tidak   ada   yang   penting,  bahasa terpelintir, misal halaman  bertanda  tahun 1622; di sana  tumbuh  semacam  buah, penduduk  setempat sebut  jaca, seperti labu air, buah yang tumbuh dari pohon ini berbeda   dengan   pohon   lain; bunganya   tumbuh   keluar  dari  kelompok  daun, langsung jadi buah,  empat  musim   tersedia; Pala  bentuknya  seperti  persik  kita, bunganya seperti cangkang juga seperti selaput tipis, pohonnya  kembaran pohon apel, daun juga persis. Durian dan nenas  bersifat  panas, bisa  menyebabkan  luka seperti terbakar, juga bisa membuat nafsu  lelaki menyala. Lalu saya meninggalkan kamar pas sejarah, berjalan masuk ke dalam iklan cokelat  dan  jam  tangan Zurich, pasangan-pasangan berbaju rapi terbingkai di dalam  restoran penuh  sesak, menu utama adalah daging rusa campur  sauerkraut dan kastanye, pada  sepotong  jalan bagai  kartu pos,  saya  cuma  beli  sebungkus  kastanye  panggang, kulit garing isi manis seperti semua rasa kampung halaman, di dalam begitu banyak godaan, saya hanya    memilih   sebungkus kecil  kastanye   panggang.  Sebiji-sebiji, pelan-pelan menghabiskan.  Hujan,  saya berlindung   ke dalam  gereja,  ada  orang    sedang merenung, ada orang sedang bekerja. Sudah   berapa  tahun  kau di sini? Lampaui berapa  kali  perang  dan  damai? Apakah lukamu sudah diurus? Saya menyeka air hujan   di leher,  suasana  dingin  dan   medung memang  cocok   buat   merenung. Namun   apakah  kamu  juga  merasa  letih?  Kau tidak   menjawab,  suara  mesin penyedot debu terlalu nyaring, kau sedang sibuk  dengan pembersihan setiap pagi.

Kuli Kontrak, Bengkalis, 1921

Puisi John Kuan

5 euro mengunduh kau dari sebuah pusat arsip kolonial

bersama sebatang kayu terjepit di antara paha dan betis

bersama sepotong tali yang terikat di luar waktu.

Sedang di dalam waktu aku bisa mencium bau sedihmu

dan rindu dan fermentasi daun gugur.

Apa kisahmu? Aku kira aku tahu, kau tentu diperdaya

di sebuah losmen murah, di sebuah rumah gadai, di sebuah agen kerja

bisa saja di Amoy, bisa saja di Quanzhou, bisa saja di Kanton, bisa saja di Kuilin.

Siapa peduli. Kalian semua disebut [ anak babi ], kalian dihitung kiloan

demi beberapa tahil perak buat ibu di kampung halaman.

 

Sepasang matamu menyimpan ombak dan badai

Beberapa garis petir menggores keningmu, segaris senyum sinis

telah menutup satu abad kekalahanmu. Aku kira aku kenal kau

Wong Feihung? Huo Yuanjia? 72 Jurus Shaolin? Akhirnya kau kalah jurus

pada selembar kontrak kerja, disusun ke dalam palka kapal uap

seperti daging kalengan. Membelah samudera, keluar masuk novel-novel kolonial

Hindia Belanda, tanpa meninggalkan nama, tanpa raut, sekalipun

cuma fiksi belaka. Malam ini aku melihat kau adalah sebongkah batu

kungkum di dalam kristal cair, ingin bertapa seribu tahun lagi

menjelma jadi satu jurus telapak tangan Buddha.

jurus-telapak-tangan-buddha
Gambar disediakan oleh John Kuan

Belajar Menulis pada Yu Xiuhua

Oleh John Kuan

Saya sudah jarang membaca puisi hingga gemetar, hingga hilang tumpuan, hingga mata berkaca-kaca. Ternyata setelah hidup hampir setengah abad dan 40 tahun membaca puisi, masih dikasih kemurahan dan kemewahan begini. Teman kirim saya sebuah buku kumpulan puisi Yu Xiuhua ( 余秀华 ).

penulis yang menderita sakit
Sumber Gambar China Daily

Dia adalah seorang penyair yang menderita CP ( Cerebral Palsy ), seorang perempuan juga seorang petani. Yu Xiuhua lahir pada tahun 1976 di sebuah dusun di Hebei, karena lahir dalam posisi sungsang, kekurangan oksigen menyebabkan dia lumpuh otak, syaraf motorik terganggu. Setelah tamat Sekolah Menengah dia membantu di rumah, pada tahun 1998 mulai menulis puisi.

Sebagai seorang petani yang menderita CP, menulis baginya adalah sebuah cita-cita yang tak mungkin tercapai. Namun, dia mengeluarkan seluruh tenaga memaksa tangan kiri menekan pergelangan tangan kanan, menggores satu per satu kata yang bengkok dan berantakan. Dia memilih puisi yang paling hemat kata, mengabarkan kepada pembaca perjalanannya melawan nasib. Setiap orang yang menulis puisi dengan jiwa dan hidupnya adalah seorang pemberani. Mereka memperoleh sangat sedikit, mereka memberikan amat banyak. Mereka harus bertarung dengan kelumrahan, dengan budaya populer, dengan kehidupan, dengan harta dan kuasa, bahkan juga teman dan keluarga.

Dia mengambil puisi sebagai senjata, namun bukan buat membalas dendam, bukan buat menyakiti diri sendiri, tetapi ingin menunjukan bahwa dia bisa memandang enteng nasib dan kehidupan yang telah demikian keras terhadapnya, dengan puisi dia mengabarkan kepada pembaca, ketulusan tingkah lakunya yang tanpa basa-basi, keyakinannya terhadap hidup.

Dan apa itu puisi? Susah diberitakan, mungkin adalah sekelumit rasa yang berdenyut, atau sekelumit rasa yang mengendap. Namun ketika hati berseru, ia akan tiba dengan gaya seorang anak yang polos, dan ketika seseorang terhuyung-huyung melangkah di dunia yang terombang-ambing, ia akan tiba sebagai sebatang tongkat.

Mencintaimu

Begitu gagap hidup, setiap hari timba air, masak, makan obat tepat waktu
Saat matahari bagus taruh diri ke dalamnya, seperti sepotong kulit jeruk
Daun teh gonta-ganti minum: krisan, melati, mawar, lemon.
Perihal bagus begini seolah membawa aku ke arah jalan musim semi
Sebab itu aku berulang kali menahan salju di hati
Mereka terlalu bersih terlalu mendekati musim semi

Di dalam pekarangan bersih membaca puisimu. Kisah asmara dunia
Sekejap bagai burung pipit tiba-tiba terbang melintas
Dan waktu begitu putih bersih. Aku tidak cocok sedih pedih
Andai kirim sebuah buku buatmu, aku tidak akan mengirim puisi
Aku akan beri kau sejilid tentang tumbuhan, tentang ladang
Beritahu kau perbedaan lalang dan gandum

Beritahu kau musim semi sebatang lalang yang cemas

Porselin

Cacatku adalah dua ekor ikan terukir di atas vas porselin
Di dalam sungai sempit, saling lawan arah

Hitam dan putih dua ekor ikan
Tidak bisa gigit ekor sendiri, juga tidak bisa gigit ekor lawan

Hitam mau, putih juga mau
Aku hanya membisu, tidak ingin bertanya, tidak mau bertanya

Mereka selalu di tengah malam berenang 
lewat beberapa garis retak vas porselin
Terhadap benda-benda yang terlihat, memilih tutup mulut.

Seandainya aku adalah normal, juga akan diukir di tempat sama
Agar orang tidak tahu bagaimana mengeluh.

Issa di Ruang Transit

Puisi John Kuan

Sebagai secangkir teh kau di ruang
transit Frankfurt atau Taipei
perlahan menguap dan ambar.
Tidak peduli 17 silabel atau 200 tahun
cuma diberi 2 jam menginjak bumi

O semut transit
termangu di tepi cangkir
kita pergi atau pulang

.
Bayang pesawat di dalam cangkir
udara mekar harum melati, terhadap waktu
lengket di atas koper, tahu almond
bertabur bintik matahari, daun teh melayang
turun, ke arah kenangan kita bergeser

Mozart di dalam iPod
86 miliar neuron
Mondar-mandir, buang waktu

.
Kau melewati jembatan Jepang
kolam teratai Monet, berhenti pada sekeping
dinding kaca. Dunia luar senyap, satu pesawat melintas
dua kali kau hilang anak istri: “ Apakah hidup pahit? “
“ Anicca, gradasi cahaya kukurung dalam 17 silabel “

Kikuk, lupa hafal dialog drama
Sepasang kecoa beradu antena:
kirim sinyal cinta

.
Dengan sepasang mata haiku kau mengukur
stamina Wordsworth membaca Prelude: Akhirnya
kau membuat aku mengerti, apa artinya waktu
secangkir teh, begitu penuh di celah perjalanan beku
hati-hati tambah susu, gula, perlahan dicicip, diaduk

Kirim 1 giga salju
sebelum jadi Buddha
di atas tusam tua

.
Secangkir teh, dari panas lalu hangat lalu dingin
Sekelumit perasaan, dari puisi lalu mimpi lalu hidup
Di duniamu, tempo secangkir teh adalah kau angkat kepala
telah menemukan sebuah dunia mungil utuh, bagai sebutir
embun menetes ke dalam secangkir teh di ruang transit sibuk

Satu partikel melati
kecap, cuka, wasabi
Dunia transit

Melihat Jianzhen di Jepun

Puisi John Kuan

golden-hall
Toshodaiji Nara Nara pref02s3s4560” by 663highland663highland. Licensed under CC BY 2.5 via Wikimedia Commons

Setelah kau nirwana lebih dari 12 abad

Sepasang matamu yang buta masih belum lelap

Berpijar, menyorot ke dalam kelam dunia

若葉して 御目の雫    ぬぐはばや

wakaba shite / onme no shizuku / muguwabaya

Basho ingin dengan tetesan hijau tunas baru

Menyeka duka di dalam bola matamu

Awal musim dingin tahun pertama tarikh Tianpo

Dua biksu Jepang dari Chang’an ke Yangzhou

mohon di depan Kuil Daming

bertemu denganmu di antara pagoda dan kuil agung

kau tegak kokoh bagai sebuah candi

dua biksu kelana gugup membuka mulut

Bahasa Tang logat Jepun bagai angin subuh lembut bercampur kukuh

pelan dan tegas melewati puncak pagodamu

Kau berkata gunung dan sungai negeri berbeda,

angin dan bulan pada langit serupa

Dharma Buddha Negeri Jepang walau jaya, namun belum ada

orang menyebarkan Vinaya, tumben hari ini ada undangan,

saudara-saudara yang duduk bersila, siapa mau ikut

menyeberang? Murid-muridmu saling tatap

bagai air muka kolam beku, tak tampak satu riak pun

Kau lalu dari ujung kerongkongan lempar kepada mereka sebiji

batu maha besar: menyeberang laut kelabu

Aku mau coba jalan susah, hari ini tiada orang pergi

Ai, pergi aku!

Begitu kau gerak, Buddhisme baru dan sejarah penyebaran

benda seni Tiongkok juga bergerak, dan selembar

sejarah baru maritim ikut terbuka

Begitu kau gerak, air di kanal yang membelah Kota Yangzhou,

murid-muridmu yang tertegun dan bimbang,

semua roh generasi setelahmu juga ikut bergerak

( dan saya mesti bagaimana gerak pena, di dalam syair, menulis ceritamu

seolah sungguh seolah tidak itu? Bagaimana menarik kursor

buka jendela baru, membuktikan makna hidupmu? )

[ Shoku Nihongi ] menggunakan seratus kata

Membonsai 12 tahun penyeberanganmu yang lima kali

ingin hemat tinta mencatat detil perjalananmu yang gagal

serta orang-orang yang kau bawa:

Pengrajin giok, tukang gambar, tukang ukir, tukang sulam,

Pematung, tukang batu, kelasi lebih kurang 185 orang

Juga daftar barang-barang yang siap kau bawa:

Avatamsaka Sutra aksara emas 1 jilid. Mahaprajnaparamita Sutra aksara emas 1 jilid.

Mahasamnipata Sutra aksara emas 1 jilid. Mahaparinirvana Sutra aksara emas 1 jilid.

Tripitaka 100 buku. gambar Manjusri 1 lembar

gambar Buddha 1 lembar. patung tembikar sepuh emas 1 buah.

Shoji enam daun gambar Bodhisatwa 1 papan. Shoji gambar peredaraan bulan 1 papan.

Panji dojo 120 lembar. Panji manik 14 potong.

Kotak kitab berlapis kulit mutiara 50 buah. Bejana tembaga 20 buah.

Permadani 24 lembar. Kasaya 1.000 helai. Baju biksu 1.000 pasang.

Tempat duduk 1.000 buah. Ember tembaga 4 buah. Piring tembaga besar 40 buah.

Piring tembaga sedang 20 buah. Piring tembaga kecil 44 buah

Tikar rotan putih 14 lembar. Tikar rotan pancawarna 6 lembar

Wangi kasturi 20 formula. Gaharu, wangi operculum, wangi sumbul,

damar kruing, benzoin, akar puyan, kemenyan arab

lebih dari 600 kati. Haritaki, getah hingu, gula merah, gula tebu

lebih dari 500 kati. Madu 10 botol, tebu 80 ikat,

koin perunggu 10.000 ikat, koin kepala tungku 10.000 ikat,

koin tepi ungu 5.000 ikat, sepatu serat ganja 30 kotak.

Tentu, juga tidak mencatat kapal menabrak karang, seluruh muatan

kurang lebih terbawa ombak, deskripsi gerak hati kalian yang terkurung di pantai

Lebih tidak usah sebut penelusuran terhadap hal-hal abstrak

semacam kesabaran, ketidakpastian, keyakinan

Pelayaran kelima, tetap bertolak dari Yangzhou

Angin badai membuat kapal kalian mabuk pusing haluan

Hanyut 14 hari mendarat di ujung selatan Pulau Hainam

Bulan Yangzhou merah bara terbit

di langit Laut Cina Selatan. Di antara pokok kelapa

dan pokok pinang, suara seruling merembes dari celah mimpi

udara kering, pantai pasir putih, kalian lewat segugus-segugus

bunga warna-warni, sepanjang jalan kau bangun

kuil, ceramah Vinaya, sebar Dharma dari Danzhou sampai Sanya

Saya tidak pasti apakah kalian juga mencerahkan

penduduk asli yang suka main tato ngecat gigi

tapi saya bisa pasti sederet pohon ara di luar kuil Kaiguan

pasti pernah mendengar kau menyebar Dharma, bahkan amat sukacita

Setelah menyeberang Selat Hainam, panorama Guilin juga tidak mampu

menyembuhkan kawan seperjalananmu, biksu Jepun

Seperti dicatat buku sejarah, mati ( di tengah perjalanan ), dia datang

ke tanah leluhurmu mengajak kau terapung ke tanah leluhurnya: di atas peta waktu

dia telah mendorong Tiongkok ke arah timur ½ centimeter

tentu kau akan tersedu, ada versi mengatakan kau buta karena itu

ada versi mengatakan cuaca dan stamina jatuh

ada versi mengatakan pada pelayaran ke enam yang sukses

kau baru buta mendarat di Okinawa  pada tahun 753 Masehi

Bulan 2 Tahun 6 Tenpyo-shoho, kalian tiba

di Osaka, Bulan 4 sampai di Nara kau lakukan prosesi jukai

kepada Kaisar Shomu dan putrinya Kaisar Koken di Todai-ji

tahun itu, kau telah 67, sejarah peradaban Jepang

Kuno baru mulai ke dalam mesin pencari data simpan dokumen

Tahun 3 Tenpyo-hoji, Toshodai-ji berdiri

Di sini kau ceramah Dharma, mengajar Vinaya, Hondo yang hening

Di dalam cahaya petang berpijar bagai mimpi

Bagai bayangan utuh Dinasti Tang. Murid-murid dan tukang-tukang

yang mengikuti kau menyeberang, satu papan satu papan

satu genteng satu genteng membangun kuilmu. Bayang kuil

bersambung bayangmu, bersambung senyum Kwan Im

di atas altar, bersambung wangi rumput dan jamu di udara, tumbuh

tumbuh, memantul ke dalam selembar-selembar sejarah arsitektur,

sejarah kerajinan, sejarah seni, sejarah pengobatan Jepang…

Kau tentu tidak bisa melihat bunga teratai dan sakura di sisi setapak

tapi kau bisa menciumnya, kau tahu hilang penglihatan bagai seekor anjing buru

terikat di dalam bola mata, kau tahu kau dan tanah lelehurmu terpisah sebentang

laut dan sebuah negeri kepulauan yang susah payah, namun kau berdiri

kau duduk kau tidur kau berjalan: seorang biksu kelana dengan langit dan bumi

sebagai atap meja dan tikar, seorang warga semesta

yang tidak bisa melihat cahaya bintang semesta

rindu kampung halaman, tentu masih punya…

terhadap gugus awan di atas kepala, terhadap jerit serangga,

terhadap umat. Kau rindu bayang dedalu di Yangzhou, rindu

kitab kau salin karam ke dasar laut. Dan laut

juga satu bagian kekaisaranmu yang misterius, serupa derita

adalah laku dan tobat selalu ada di dalam hidup. Kau tentu

tidak kelihatan gagah pucuk atap kuilmu , tapi kau tahu

di ujung lintang atapmu, ada genteng menonjol lengkung

bagai tanduk mimpi, bagai ekor burung, bagai sepasang

ikan sisa nabi, berenang di dalam akuarium semesta. Mereka adalah

kacamata selammu, sepasang mata kau yang lain

Mata yang berpijar di dalam kelam malam

Musim semi tahun 7 Tenpyo-hoji, muridmu bermimpi balok lintang rubuh

Buru-buru mematungmu, dua tiga bulan

kemudian kau meninggal dunia. Balok tetap kokoh,

yang patah terbang naik jadi cakrawala, di puncak mimpi

Tentu kau masih punya airmata, gelantung

di dalam malam lembab yang ingin menetes, atau biarkan

ia menetes, menyusuri elevator waktu yang transparan dan terang

dari Dinasti Tang milikmu, dari cakrawalamu

mengalir lewat daun pisang muda Basho

mengalir lewat gunung dan sungai pelukis Kaii Higashiyama

mengalir lewat jaring maya bermata jarang

menetes di atas jendela layarku

di Kuil Daming, matamu berpijar

di Tosodai-ji, di Balai Bayangan

kau mengatup, mata yang telah buta

bukankah itu juga benderang?

Inti hidup pada suka duka

Saling mengikat, pahit seolah manis

Inti seni pada cermin

ilusi, memantul inti hidup, saya mengambil

Pelepah Basho, mencuri peti kemas tukang cerita 

di dalam jendelaku yang tidak nyata, kau

demikian hidup, pakai jubah

duduk bersila, buka mata tersenyum

di atas sungai, awan tipis angin sepoi

Jariku menyentuh layar kristal

Mengayuh di atas gelombang elektron

Perlahan menabrak buka

tirai matamu, biarkan yang di dasar sungai

sebutir airmata mengarung ribuan tahun

masih belum sampai tepian, meluap

ke permukaan, perlahan

menetes: sebagai bukti

kesungguhanku

welas asi

mu

Catatan:

Jianzhen adalah seorang pendeta Budha dari Cina yang menyebarkan ajaran Budhisme di Jepang. Lihat referensi.

100 Baris Hujan dan Ombak Buat Fa Hien

Puisi John Kuan

Kadang  membacamu  di depan jendela,  beri  titik

dan koma  pada perjalananmu   yang  tanpa tanda

baca.  Di luar jendela adalah laut kelabu dan hujan

Satu  kapal melintas.  Entah pukul  berapa  petang

Kadang    menerka  perjalananmu   sampai  di tepi

Sungai Musi, duduk di ujung dermaga melihat riak,

belajar tegar bagai sebuah jangkar.Di sana kadang

ada  kapal kadang  ada  badai kadang  cuma  sisa

ombak  putih segerombol. Perjalananmu  memang

tidak  pernah mudah, salju  dan pasir gurun penuh

catatan  kakimu. Angin beku buih ombak melewati

celah-celah  aksaramu. Sulit  membayangkan kau

yang enam puluh melangkah keluar gerbang Kota

Chang’an,  bertahun-tahun  jalan kaki  kau simpul

jadi  sebaris  kalimat  pendek: [  di atas  tidak  ada

burung   terbang,  di bawah  tidak   ada   binatang

merangkak, tulang belulang putih sebagai markah

jalan. ]  Lalu  kau melewati  Dataran  Tinggi Pamir,

mengutip   jejak    Buddha   dari   Mingora  hingga

Pataliputra, menyalin kitab 3 tahun. Kau sudah 68.

 

Saya  sedang  mengatur sudut  pandang berbeda,

menarik   titik   temu  jejak   kakimu  dan kata-kata

mati   semu.   Sekuntum   awan    tengger   di luar

jendela,   sekelompok-sekelompok   turis   sedang

membentuk  garis  pantai. Bunyi-bunyi  Sanskerta

terbang  keluar  kitab  tua  berbaur dengan aroma

kopi dan lembaran kontrak dagang. Setelah tanda

tangan, sepotong basa-basi, sedikit mitos,saatnya

makan siang.  Orang memang  bukan terbuat dari

angan-angan dan tanah liat saja. Pada satu sudut

panorama laut sewaan, melihat  kapal datang dan

pergi, melihat  kau ikut Air Gangga mengalir turun

18   yojana    berlabuh   di Campa,   konon   dekat

Bhagalpur,  ke hulu  50  yojana  merapat  di mulut

Teluk   Benggala.   Kau   catat  nama   negeri   ini:

Tamralipti.  Awan bergeser keluar sudut pandang,

sebuah   kapal   mengisinya,  bentuk  sepenuhnya

ditentukan muatan, warna dermaga dengan corak

Dun Huang, arah angin dengan suka duka,2 tahun

kau salin kitab buat gambar. Tahun itu 410 Masehi

 

Gelas  dan  sendok garpu  tidak  mampu menahan

angin  meniup naik taplak meja, menelanjangi satu

kaki  meja  serat kasar, berkibas  dan mengancam

dari  badai laut jauh. Awan hitam mengusir orang-

orang  kopi  petang,  ada  pohon begitu  saja luluh

daun.  Dua  biksu  tua   berlindung   di mulut  pintu

pencakar  langit.  Kau  melanjutkan perjalananmu,

numpang sebuah kapal niaga. Menyusuri bau kari

ditiup  Angin Musim Barat, sepanjang pantai timur

India, lalu barat  daya. 14  siang dan malam. Saya

mencegat  sebuah   taksi  berlari keluar gumpalan

awan hitam, sodor satu alamat asing kepada supir,

dari Pakistan katanya, serahkan pada Google Map

Hujan turun,  gudang-gudang  mengelupas, orang

sedang bongkar muat, rintih gerigi motor bergetar

melawan rintik hujan.  Apa kau juga bawa kompas,

jubah usang,patung Buddha gaya Gandhara?Baca

rasi bintang  dan  arah angin? Salin Dirgha-agama

dan   Samyukta-agama,   mendalami  tata  bahasa

Sanskerta 2 tahun. Kau  sebut  negeri  ini:  Sinhala

 

Apa  bisa  menerjemah  bulan Kowloon  jadi bulan

Maladewa? Taifun di Shatin menjadi badai di atas

Samudera  Hindia?  Angin  mengiris  kaca jendela

perpustakaan, saya sedang melihat  apa yang kau

kemas, bergulung-gulung Agama dan Vinaya,buat

mencerahkan  kampung halaman? Kau naik kapal,

isi 200 orang, 2 hari layar  berkembang, lalu badai

naik  kapal  pecah,  kau  diseruduk  13  hari  angin

ganas. Kandas di atol. Saya juga kemas, bergegas

keluar  kamar   hotel  berbau  insomnia dan kukus

ikan. Mengejar jatuh tempo  tiket  kelana  di awan,

mimpi  memang  mudah  jadi material: terjemahan

catatanmu,  titik  koordinat, membawa  ingatan 16

abad  ke dalam   perut Airbus  350.  Duduk di atas

awan,  baca  perjalananmu   yang  disalin seorang

misionaris:  James  Legge, dia  juga  pipa  budaya

seperti kau. Membentang dari Barat ke Timur. Kita

suka  membawa  barang   aneh  menerjang waktu.

Demikian  kau  ombak  dan  angin  90 hari, masuk

Selat  Malaka, berlabuh di kota  pelabuhan: Javadi

 

Melewati sebaris gugusan cahaya perak, kita telah

sampai   di mana?  Biru  di bawah   itu  langit  atau

lautan?  Lewat  puncak salju, tampak lagi satu tahi

lalat    dunia.  Tidak    peduli     orang-orang   demi

sepotong  agar-agar  di dalam mangkuk Laut Cina

Selatan baku hantam,  kita  bicara. Bicara tentang

perjalananmu  yang 14.600 kata  hanya  750  buat

angin dan ombak laut, sisa 4 patah buatku[ Javadi.

Mayoritas agama Hindu. Dharma Buddha tak usah

cerita. Menetap 5 bulan ]  Saya mendarat di dalam

hangat    tropis.  Pulang.  Kau  juga,  kapal   tujuan

Guangzhou,  di atas  ombak  85  siang dan malam

mendarat   di Laoshan.   Hujan   turun  lagi,  entah

berapa petang. Tahun 414,saya melihat kau mulai

menerjemah;  genteng   memutih;   pintu  tertutup.

Koi    sembunyi   di dasar    kolam;  warna    emas

terpendam  di bawah  air keruh. Pekarangan batu;

kerikil   hitam   di atas batu  putih. Helai rambutmu;

uban dan salju. Kita berjalan ke ujung lorong, buka

secelah pintu kayu, melihat  pelangi  di ujung  atap

Jalur Maritim, Mademe Bovary dan Bisbol

Oleh John Kuan

++
Sudah hampir dua tahun saya memusatkan jelajah baca pada jalur perdagangan antara Tiongkok dengan Asia Tenggara dari berbagai jaman, berharap suatu hari dapat menulis sebuah buku tentang para pelaku sejarah di dalam jalur perdagangan ini, namun sampai hari ini masih belum menunjukkan hasil. Saya juga sangat serius mengikuti setiap berita yang berhubungan dengan tema di atas, sehingga sering menemukan berita-berita yang tak terduga. Misalnya, beberapa waktu lalu di dalam kamar sebuah hotel, saya menonton sebuah berita dari salah satu stasiun tivi di Tiongkok tentang sebuah tempat yang bernama [ Kampung Taiwan ] di Henan. Berita ini bisa merebut perhatian saya karena menurut cerita tivi pemukiman tersebut dimulai oleh seorang penjaga kuda. Apa pula hubungannya penjaga kuda denganku? Tentu ada. Ceritanya dia adalah penjaga kuda seseorang yang bernama Huang Ting, dan Huang Ting ceritanya lagi adalah anak buah Koxinga, sekarang hubungannya dengan tema abadi saya sudah sangat erat. Koxinga adalah Zheng Chenggong, dan mungkin adalah Orang Asia pertama yang mengalahkan Kekuatan Maritim Barat pada abad ke-17. Kembali lagi ke berita tivi, diceritakan bahwa setelah Zheng Chenggong meninggal dunia, seorang bawahannya bernama Huang Ting bagaimana dan bagaimana menyerah pada Pemerintah Qing, lalu membawa seorang penjaga kuda bersamanya menyeberangi Selat Taiwan menetap di Henan, Huang Ting tidak meninggalkan jejak, malah keturunan penjaga kuda ini yang terus berkembang, dan dari sanalah cikal-bakal [ Kampung Taiwan ] di Henan. Tivi bercerita bahwa penjaga kuda ini adalah orang suku asli Taiwan, juga ada prasasti didirikan di kampung tersebut untuk mengenangnya. Buat membuktikan di dunia ini memang ada perihal begini, Tivi juga menegaskan bahwa penduduk kampung ini [ memiliki sifat khas suku asli Taiwan yang pintar menunggang kuda dan berpanah, suka berburu ]; selain itu, tata cara pemakaman di kampung tersebut juga sangat unik, mesti di dasar liang kubur diletakkan sekeping papan, agar roh yang meninggal dunia bisa mengarungi lautan balik ke Taiwan dan sebagainya dan seterusnya.

++
Cerita [ Kampung Taiwan ] ini saya duga hanya bual belaka.
Apakah Zheng Chenggong punya seorang bawahan bernama Huang Ting atau tidak? Patut dicurigai. Andai ada, Huang Ting yang diceritakan menyerah kepada Pemerintah Qing sekitar 20 tahun setelah Zheng Chenggong meninggal dunia, tentu sudah seorang jenderal renta, apakah masih harus menunggang kuda ke atas perahu menyeberangi lautan untuk menyerah diri kepada Pemerintah Qing? Sangat mencurigakan. Andai tidak naik kuda, darimana pula datang penjaga kuda suku asli itu? Sesungguhnya pada jaman Klan Zheng, di Taiwan ada berapa ekor kuda juga pantas dipertanyakan. Berdasarkan surat Zheng Chenggong kepada penguasa Belanda di Taiwan, meminta si bule menyerah, di akhir surat dia berkata akan [ naik kuda menunggu ], kalau begitu, di luar Fort Zeelandia setidaknya ada satu ekor kuda; sekalipun ada bukti teks, saya tetap curiga ini hanya sekedar ungkapan yang berkembang biak dari retorika seorang ahli perang. Lagipula, penjaga kuda yang dikatakan adalah suku asli Taiwan itu, sekalipun suku asli Taiwan cukup banyak, masing-masing memiliki kelebihan, tetapi saya belum pernah mendengar ada yang sangat mahir menunggang kuda. Sebenarnya saya kira pada era Kangxi ( 1661 – 1722 ), kuda itu macam apa rupanya mereka juga tidak begitu tahu, bagaimana pula sudah dituduh sebagai penjaga kuda? Mungkin orang yang mengarang cerita Tivi ini sangka semua suku asli pasti mahir menunggang kuda dan memanah, maka jalan pikirannya kian tarik kian serong, sehingga menyebut penduduk kampung tersebut memiliki sifat khas, yaitu [ mahir menunggang dan memanah, suka berburu ]. Berpikir yang bukan-bukan saja.
Mengenai di dasar liang kubur diletakkan sekeping papan, agar roh yang meninggal dunia mudah pulang dan sebagainya dan sebagainya itu, kemungkinan adalah penemuan besar yang dikocok keluar dari suatu tim kecil dari semacam [ Akademi Sains Sosial ] mereka. Saya juga pernah membaca cerita dengan semangat gaya bicara penelitian [ Akademi Sains Sosial ] begini, tentang rahang Orang Batak dan rahang Orang Shaanxi yang katanya besar dan kotak dan sebagainya dan seterusnya, bahkan menuduh orang-orang dari kampung anu dan anu yang kemungkinan adalah keturunan Batak atau Shaanxi dengan menunjukkan ciri khas mereka: berahang besar. Waktu itu reaksi pertama saya adalah: Yang berahang besar takutnya bukan orang-orang kampung anu dan anu, tapi kuda nil.

++
[ Akademi Sains Sosial ] adalah kata benda yang suka menakuti orang.
Sains saja sudah sangat menegangkan, Sains Sosial lebih tegang lagi. Sekarang ini seperti banyak sekali ilmu pengetahuan dilahirkan di bawah nama ini, amat rumit, kadang-kadang sebelum masuk menelusuri sudah sesat di ambang pintu.
Beberapa waktu lalu membaca sebuah buku terbitan Tiongkok, di dalam kata pengantar menabrak kalimat begini: [ Pokoknya, saya bersuka cita merayakan buku ini bisa diterbitkan secara terbuka; saya yakin buku ini akan membantu membangun dan mengembangkan Mitologi Komunisme negara kita. ]
Oh, Budha! Apa itu [ Mitologi Komunisme ]?

++
Saya pernah mendengar juga pernah membaca beberapa mitos penciptaan, amat beragam, namun seringkali bisa menemukan benang merah yang menyambung bagian masing-masing, saling terhubung, datang dari berbagai tempat di dunia, seolah mereka pernah bertemu, bersentuhan, dan saling menyebabkan pengaruh. Hanya saja para pakar tidak mengakui itu adalah disebabkan oleh saling mempengaruhi, dengan ketus menganggap semua itu memang terjadi secara alamiah, ini adalah satu hal yang betul-betul aneh.

++
Tetapi sepotong yang di bawah ini sungguh membuat saya merana:
Awalnya bumi kacau dan kosong, namun di langit sudah tumbuh pohon teh di setiap sudut, bahkan roh daun teh telah berubah jadi bintang matahari dan bulan yang menyinari seluruh langit. Daun teh melihat bumi gelap gulita, memohon Pencipta yang maha bijak mengijinkan mereka turun ke bumi, berharap dapat membuat bumi menjadi indah, sekalipun harus menanggung dosa serta bersusah payah juga tidak peduli. Pencipta yang maha bijak memetik 102 lembar daun teh, dengan angin badai mengantar mereka melayang ke bumi, maka di dalam perjalanan meluncur ke bumi ini, daun yang berangka ganjil menjelma jadi 51 bujang perkasa, daun yang berangka genap menjelma jadi 51 gadis jelita. Waktu itu bumi dikuasai oleh roh jahat, merah putih hitam kuning empat roh jahat yang merajalela. Bujang dan gadis daun teh berperang melawan roh jahat, setelah menghabiskan sembilan puluh ribu tahun akhirnya berhasil memusnahkan roh jahat, lalu mengembangkan berbagai macam tumbuhan, dan mereka sendiri yang ganjil dan yang genap saling berpasangan, maka terciptalah manusia.

++
Mitos penciptaan begini tiada duanya, adalah milik suku minoritas Tiongkok barat daya yang dipanggil suku Palaung. Menurut cerita, budidaya dan pengolahan daun teh adalah pusat kehidupan ekonomi suku ini, sebab itu daun teh mereka pantunkan sebagai leluhur. Garis besar ceritanya kurang lebih begini, detilnya saya juga tidak sepenuhnya tahu. Narator mampu melekatkan mitologi dengan kehidupan ekonomi, bisa jadi yang beginilah yang disebut [ Mitologi Komunisme ]
Kalau mengikuti jalur ini, maka mitos penciptaan Venezuela atau Kuwait atau Brunei mestinya dengan Minyak Bumi sebagai leluhur, Jerman dengan Bir dan Sosis, Amerika Serikat dengan Coca Cola dan McDonald, Hawaii dengan Industri Pariwisata, Jepang dengan Toyota, Selandia Baru dengan Buah Kiwi, Thailand dengan Durian Montong sebagai leluhur, masing-masing turun ke bumi berperang dengan roh jahat sembilan puluh ribu tahun.

++
Mitos sejak mula memang sudah ada
Yang disebut [ Mitologi ] awalnya memang tidak ada, suatu hari orang ingin menceritakan mitos dengan [ penjelasan yang tepat ], maka diadakan, dirancang agar siap dipergunakan, oleh sebab itu [ Mitologi ] adalah menggunakan landasan XX mengembangkan seperangkat cara dan teori yang berhubungan dengan mitos.
[ Mitologi Komunisme ], saya terka adalah dengan Komunisme sebagai landasan, lalu mengembangkan seperangkat cara dan teori yang berhubungan dengan mitos.

++
Tao sejak mula sudah ada, namun [ Taoisme ] awalnya memang tidak ada.
Suatu hari Taoisme berjaya, setiap fraksi memiliki pemikiran sendiri, lalu saling membuat garis pemisah, lalu perlahan mengeliat keluar Taoisme Guru A, Taoisme Guru B dan Taoisme Guru C, saling berebut hak suara, saling menyingkirkan. Sesungguhnya setiap orang yang mampu merenung pasti tahu, tidak peduli Taoisme Guru A Guru B atau Guru C semuanya adalah sudah di ujung aliran, atau bahkan ujung aliran juga bukan.

++
Puisi juga begitu.
Ada puisi terlebih dahulu baru kemudian ada Ars Poetica.
Setelah ada Ars Poetica, lalu ada Ars Poetica dengan XY-isme dan Ars Poetica dengan YX-isme, serta berbagai isme-isme lain yang berbeda
Puisi dengan adanya Ars Poetica lalu menjadi gundul licin, lalu menjadi pucat pasi; dan dengan adanya Ars Poetica XY-isme dan Ars Poetica YX-isme, puisi pun habis. Sebab itu Tao berkata: Orang suci tidak mati, penjahat besar tidak berhenti.

++
Tuhan?
Tuhan ada atau tidak? ( Ini sangat tergantung manusia )
Teologi? Andai Tuhan seolah seakan semacam seperti anggap saja ada, atau pernah ada, atau akan ada, maka biarkan saja Tuhan ada bersama kasus yang belum diputuskan ini. Sekalipun demikian, Teologi awalnya memang tidak ada, kalau begitu apakah masih perlu membahas Teologi MN-isme atau NM-isme?

++
Kita membiarkan segala macam aliran Ars Poetica eksis, maka kita juga harus berlapang dada biarkan mereka eksis dengan bebas, biarkan mereka menentukan yang mereka sendiri anggap benar sebagai benar, dan yang tidak sebagai tidak, menyanjung, membual, mengencet, mendakwa, dengan suara bising menara Babel, hiruk-pikuk, hingga selamanya. Satu-satunya syarat kita adalah: Jangan menggunakan Ars Poetica intervensi denyut nadi dan wajah puisi, juga pilihan organis puisi
Pilihan organis puisi.

++
Pilihan organis puisi berada pada puisi sendiri, atau dalam praktek, dikendalikan oleh penyair. Seorang penyair yang fokus dan progresif akan menggunakan tameng struktur organis ini di atas prinsip keindahan dan superioritas menceritakan isi hati pikiran dalam mengejar ketertarikan, disebut sebagai daya cipta. Daya cipta yang dengan penyelesaian gaya khas penyair sendiri sebagai tujuan ini, sebutlah, di saat gaya selesai, juga merupakan saatnya topik tersebut secara penuh telah disampaikan.
Gaya adalah segala-galanya.
Ketika Flaubert sedang menulis sebuah buku yang benar-benar dia inginkan, waktu itu adalah tahun 1852, sebuah buku yang tidak menggambarkan realitas dan dunia manusia: [ Sebuah buku yang tidak bersentuhan dengan perihal apapun, sebuah buku yang tidak bisa ditarik hubungan dengan unsur-unsur masyarakat luar. ] Dia berkata: [ Sebuah buku dengan kekuatan dan kelenturan yang menonjol begini, dan tidak pecah dijungkir balik. ]
Inilah [ Madame Bovary ]

++
[ Madame Bovary ] tidak ada hubungannya dengan dunia nyata.
Siapa mau percaya sebuah novel klasik yang menulis realisme ternyata tidak ada hubungannya dengan [ realita ]? Sebuah buku dengan pemaknaan paling ketat boleh disebut sebagai karya klasik novel realis abad ke -19, apa yang ditulis ternyata tidak ada hubungannya dengan perihal apapun dengan dunia luar.
Gaya itulah segala-galanya. [ Akulah Madame Bovary, ] kata Flaubert.

++
[ Realita ] tidak mungkin menjadi sastra, hanya gaya bisa menjadi sastra.
Realisme mulai populer di Perancis tepat pada masa Flaubert menulis [ Madame Bovary ], awalnya adalah sekelompok pelukis ingin memindah dan menuangkan realita ke atas kanvas, sebagai semacam gerakan kesenian melawan Romantisme. Baudelaire menganggap Realisme adalah tidak pantas ( decorum ), jauh dari estetika, sebab ia tidak mampu dengan efektif membuat daya khayalmu bekerja, demi sastra atau seni bekerja. Flaubert lebih selangkah lagi mengungkapkan, [ Madame Bovary ] yang dia tulis itu berpijak pada posisi anti Realisme.
Namun kau bagaimana bisa menolak realita? Tidak bisa.
Tetapi [ deskripsi jujur ] atau [ reaksi ] terhadap realita tidak akan menjadi sastra. Kau mesti menggunakan kepekaan daya imajinasimu dan kekuatan pengetahuanmu mengumpul, mengembang, menyerang, memasuki semua unsur, kualitas, kejadian dalam luar realita itu, mengelola ia dan melatih kekuatan teks mu, membuat ia dicabut seolah tidak usah didorong, namun tetap bulat dan utuh, sendiri menjadi satu telaah, tafsiran, sistem yang tidak perlu menunggu benda luar membantu dan akan terus berdenyut, inilah gaya yang kau ciptakan, dan yang kau andalkan untuk mencipta lebih banyak gaya lain lagi. Oleh sebab itu dikatakan gaya itulah segalanya, memang gaya adalah segalanya.

++
Ketika Flaubert mulai menulis [ Madame Bovary ] umurnya sudah lewat tiga puluh, masih belum pernah menerbitkan karya, samasekali tidak dikenal, tapi sesungguhnya dia telah menyelesaikan tidak sedikit cerpen dan dua buah naskah novel, salah satu adalah yang berbentuk otobiografi [ L’Education Sentimentale ], satu lagi adalah yang luar biasa itu [ La Tentation de Saint Antoine ]. Sebelumnya dia pernah membacakan semua bagian [ La Tention de Saint Antoine ] untuk kawannya; kawannya setelah mendengar, memberi saran agar dia nyalakan api dibakar saja. Flaubert tidak membakarnya, kemudian menghabiskan sekitar dua puluh tahun memperbaiki, hingga tahun 1874 baru diterbitkan, angin kritik Paris tidak terlalu buruk.

++
[ Yang saya kuatir adalah buku ini sifat hiburannya banyak atau sedikit. ] Satu tahun lebih setelah Flaubert menyelesaikan [ Madame Bovary ], begini dia menulis surat kepada seorang temannya: [ Sisi itu agak lemah, aksi adegan tidak cukup. Tetapi, saya juga menganggap konsep sudah merupakan aksi, sekalipun dengan konsep mengendalikan perhatian pembaca agak sulit. Andai gaya sudah tepat dan menonjol, seperti masih bisa dilakukan. Saya sudah tanpa henti menulis lima puluh lembar naskah tanpa aksi apapun… ]
[ Hidup, ] lanjutnya sambil berpikir: [ memang seharusnya demikian. Bercinta adalah aksi, ujung pangkal mungkin hanya satu menit, namun waktu buat masa persiapan mungkin saja beberapa bulan. ]

++
Gerak dan diam.
Konkret dan abstrak.
Lima puluh lembar naskah tanpa aksi apapun, apakah mungkin?
Dengan konsep menjaring pembaca, membuat dia tidak buyar konsentrasi, apakah mungkin? Hanya ketika konsep itu, serangkaian konsep itu dihadirkan dengan gaya yang bagus, saya pikir, mulai ada sedikit kemungkinan.
Seorang novelis jika mempunyai keberanian secara terus-menerus menulis lima puluh halaman penuh tanpa terjadi plot cerita apapun, malah di dalam penjabaran, perubahan, dan penjelasan yang berulang terhadap konsep bisa didorong ke depan, menitip gerak pada diam, maka dia akan termasuk seseorang yang luar biasa di dalam kelas elit seni, tidak lagi seorang novelis biasa. Tentu, nasibmu ada pada tingkatan saya terpesona dan terpukau pada lima puluh lembar naskahmu itu sebagai bukti. Terima kasih.
Andai kau adalah seorang penyair
Bagaimana tidak mencoba abstrak? Silakan pakai
Konkret menjelma jadi abstrak
Tidak bisa diukur, dikategori
dibanding, dideskripsi, diungkapkan bahkan
Juga bukan konsep, adalah abstrak

++
Mencoba. Bereksperimen. Mengarang.
[ Kalau diceritakan agak sedikit absurd, ] Flaubert berkata: [ Saya kira saya bisa menggunakan ritme puisi buat esai, dengan catatan tanpa mengubah tampil luar dan format esai; juga menduga bisa meniru kegagahan orang menulis kitab sejarah atau epik yang megah itu menulis suka duka kehidupan biasa… namun bagaimanapun juga, ini tetap merupakan sebuah eksperimen yang sulit dan berat, karangan yang memikat. ]
Dia memang dengan semacam struktur kalimat esai menulis novel, juga seolah menulis dengan nafas puisi, kadang-kadang memang bisa membuat orang terpukau setengah mati. Misalnya menulis muncul dan pencarian cinta nafsu, air salju menetes dari payung kecil Emma yang kencang, ketika dia dan Rodolphe sedang dibelit asmara, buah-buah ranum dari pucuk pohon menggelantung, binatang malam di dalam taman bunga kasak-kusuk…

++
Membaca bab sembilan [ Madame Bovary ] memang seperti membaca sebuah puisi:
Bagian 1: Telah berlalu enam minggu, Rodolphe juga belum kembali, lalu ada suatu senja, tiba-tiba dia muncul
Bagian 2: Putaran waktu baru sampai Oktober, alam luar dikurung dalam kabut.
Bagian 3: di antara dedaunan, di atas tanah, di setiap sudut ada pantulan cahaya, bergoyang berpijar, seolah helai-helai bulu kolibri yang jatuh. Sekeliling sehamparan hening. Ada rasa manis menyebar datang dari pepohonan.
Bagian 4: Tiba-tiba dia teringat tokoh-tokoh perempuan di dalam buku-buku yang pernah dia baca; seorang dan seorang perempuan yang berselingkuh sedang dengan panduan suara menguraikan perasaan mereka buat membangkitkan ingatannya.
Bagian 5: Sejak hari itu mereka setiap malam akan saling menulis surat. Emma menyimpan suratnya pada celah dinding batu di bawah balkoni di ujung taman, dekat tepi sungai, kemudian Rodolphe akan datang mengambil, dan meninggalkan suratnya di tempat yang sama. Dia selalu merasa suratnya terlalu pendek.
Bagian 6: Pagi itu, hari belum terang Charles sudah berangkat, dia tiba-tiba ingin seketika pergi melihat Rodolphe sekejap mata.
Bagian 7: Kadang-kadang papan yang dilintangkan buat sapi menyeberang hilang, dia mesti berjalan menyusuri dinding di sepanjang sungai. Tepi sungai amat basah dan licin, dia memegang akar dan batang bunga layu yang tumbuh di sela-sela tembok melangkah, kemudian memutar masuk ke dalam ladang, di atas tanah bajak yang lembut berburu langkah, sepatu botnya penuh dengan tanah lumpur, dan ketika dia melewati padang rumput, sepotong syal melilit di lehernya ikut angin menari.
Bagian 8: Perpisahan selalu memakan seperempat jalan baru selesai. Setiap kali Emma menangis.
Bagian 9: Suatu hari ketika dia juga begitu saja datang tanpa janji, tiba-tiba sudah muncul di rumahnya, Rodolphe mengerutkan dua alis, jelas menunjukkan tidak senang. [ Kenapa? ] Dia bertanya: [ Sakit? Ada apa? Beritahu aku ]

++
Flaubert: Menurut pandangan saya, novelis tidak memiliki hak sembarangan mengeluarkan pendapat terhadap hal apapun di dunia ini. Di dalam mengarang, dia seharusnya meniru tuhan: Menyelesaikan pekerjaan dengan baik, tutup mulut.

++
Menyelesaikan pekerjaan dengan baik, adalah menaruh kata pada posisi yang tepat, sehingga menyebabkan ia dan kata-kata yang berdekatan atau bahkan berjauhan dengannya dapat menghasilkan interaksi yang berlapis, oleh sebab itu akan memberikan seluruh kekuatan yang terpendam, memperagakan sepenuhnya penyampaian maksud yang khas dan fungsi yang spesifik, melalui gabungan bentuk, suara, makna, melalui gerak gelombang frekuensi yang tumpang tindih menyediakan makna kepada teks yang ikut dibangunnya, makna dasar dan makna asosiasi.
Inilah maksud menyelesaikan pekerjaan dengan baik, seperti yang kita ketahui, kurang lebih begini.
Flaubert selangkah lagi berpendapat, di dalam proses mengajak kata-kata ikut membangun agar bisa menyediakan makna, kau seharusnya memilih semacam teknik representasi atau demonstrasi, seperti bab 9 [ Madame Bovary ], sekalipun sedemikian hancur dipetik saya lalu disusun kembali menjadi sebuah puisi narasi sembilan bagian, juga dapat kelihatan Flaubert bagaimana fokusnya representasi, demonstrasi, dan tidak ingin dengan mudah membiarkan pendapat subjektif pengarang menerobos masuk — sering lebih hati-hati menjaga jarak plot cerita dengan pengarang daripada filem-filem modern.
Inilah maksud pengarang mesti [ tutup mulut ]

++
Pengarang tidak mengeluarkan pendapat, sisa pekerjaan tentu harus ditanggung pembaca — dengan bahasamu menyampaikan pendapat. Sangat alamiah, seandainya pembaca ingin duduk dan berdiri sama rata dengan penulis, mesti konsentrasi melihat semua kemungkinan dari kata-kata yang hadir di depan mata, mengail pengalaman, masuk ke tubuh teks, coba menemukan hatinya waktu mengarang.

++
Suatu petang tahun lalu, cahaya matahari yang kuning pucat melewati mulut jendela menempel di atas [ Madame Bovary ] Bahasa Mandarin terjemahan Li Jianwu ( 1906 -1982 ), seorang penerjemah yang saya hormati, koleksi seorang kenalan, terbitan 1948, karena usia dan cahaya redup, buku itu tampak makin lapuk tergeletak di atas meja, hanya daya tariknya masih menggebu, membuat pikiran mondar-mandir. Di sampingnya ada sebuah buku A. Barlett Giamatti, sebuah buku yang menelaah tentang tanah impian pada Jaman Renainsans. Selain dikenal sebagai sarjana sejarah Renainsans, Barlett Giamatti juga sangat terkenal di dunia bisbol.
Ada satu masa saya juga terpaksa mempelajari dan menyukai bisbol untuk bertahan hidup; agar orang-orang Amerika yang datang sarapan pagi di kedai saya tidak terlalu bosan. Untung sekarang saya tidak usah terpaksa menyukai dan mempelajari sepak bola, kadang-kadang saya bangun tengah malam dan melihat beberapa orang lelaki dewasa duduk di depan tivi menahan kantuk, selain iba, saya merasa hidup terlalu tragis; bagaimana bisa memaksa Orang Indonesia atau dalam lingkup lebih luas Orang Asia Tenggara, atau lebih luas lagi Orang Asia hidup dalam waktu Eropa? Tetapi segala pengorbanan tentu ada gunanya. Tentu saya juga mendapat sesuatu dari bisbol, seperti yang pernah dikatakan Giamatti, di dalam permainan bisbol kita berharap pemain bisa terus maju ke base depan, tetapi kita juga meminta mereka berani [ pulang ] ke base awal — bukankah ini sama dengan jejak langkah tokoh-tokoh yang terus-menerus kita saksikan di dalam sastra? Pergi merintang bahaya, tumbuh dewasa, lalu pulang — bukankah di sini juga tersembunyi semacam filosofi pergi mencari tanah impian kemudian membiarkan pijar gemilang kembali ke dalam kebersahajaan?

24 Posisi Matahari ( 9 )

Kolom John Kuan

musim dingin
gambar diunduh dari guim.co.uk

☉小雪

——— bianglala hilang; qi langit dan bumi berpisah; tersumbat jadi musim dingin.

      Di meja saya ada beberapa benda.

      Dua buah botol plastik transparan: sebotol adalah merica abu kecokelatan, sebotol adalah garam putih halus.

      Satu botol besar merah saus tomat, satu botol kecap

      Sebuah vas bunga porselin putih berleher jenjang mekar sekuntum bunga kertas warna ungu.

      Masih ada sebotol tusuk gigi dan sebuah asbak kaca.

      Mereka bersama saya menikmati saat ini, restoran ini, satu sudut kecil tiada orang ini.

 ☉大雪

——— tupai terbang senyap; harimau kawin; rumput liting bertunas

Membaca email seorang kawan. Sudah tengah malam, dia menulis bagaimana dia kehabisan kata menggambarkan seluruh musim gugur yang baru berlalu di kotanya. Bagaimana alam perlahan matang, ranum lalu menguning. Juga tentang bagaimana pohon ginkgo di depan rumahnya dalam semalam meluruhkan seluruh daun kuningnya. Saya berjalan ke sisi jendela, melihat sebatang bintaro menutup seluruh tubuhnya dengan bunga putih. Dingin, seolah berpijar di dalam gelap malam. Dingin dan sedih, semacam tragedi, karena seluruh tubuhnya berlumur racun? Saya jarang mempunyai perasaan begini ketika melihat tumbuhan di kampung halaman, mereka penuh gairah, hangat juga rindang. Malam ini saya teringat pohon ceri hitam itu lagi.

Mungkin sekitar musim ini, awal musim dingin, saya melihat dia yang telah gundul diam berdiri di dalam angin, tiada suara, tiada warna, juga tidak lagi gemulai. Saat itu saya sedang membaca sebuah buku, karena tidak ingin tinggalkan di atas meja, saya menjepit halaman yang sedang kubaca dengan jari, berdiri di sisi jendela melihatnya. Di bawah pohon ceri hitam, bertumpuk daun-daun gugur, kecil kuning keemasan, bahkan telah menutup sehamparan padang rumput. Saya tahu kerja keras dan keteguhannya selama satu tahun, proses memupuk dan menahan diri yang memakan waktu itu telah sampai pada satu titik ekstrem, dan mulai dari saat ini hingga pecah kecambah di tahun depan, adalah masa dia istirahat heningkan diri, tiada suara, tiada warna, tidak juga gemulai. Ini seperti mengandung semacam berita tentang hidup, cemerlang dan polos, montok berisi dan kurus kering, seolah mengirim semacam tema filsafat, tentang berbagai persoalan, kerja keras, panen, kehampaan, juga keindahan, tampak amat abstrak, namun bisa juga sangat nyata, tentang emosi yang meluap, apatis, pencarian, lupa, dan keindahan, saya seakan terperangkap oleh pemandangan, hati dan pikiran mengikuti perubahan luar mengambang, tidak mampu menguasai diri, namun pada sesaat itu juga seperti telah melampui, tidak tampak lagi pemandangan itu. Saya duduk kembali, menyadari jari tangan masih menyepit halaman buku yang belum selesai kubaca, buka, pikiran kacau, rupanya memang sudah lupa apa yang sedang kubaca. Saya berusaha mengingat, lihat kembali bab tersebut, ternyata sedang mendeskripsikan Lenin:

Sekali lagi, dia bersama Gorky sedang mendengar Appasionata Beethoven. “Di dunia tidak ada lagi musik yang lebih agung daripada Appasionata,” Katanya: “aku sungguh berharap tiap hari bisa dengar satu kali, tak terbayangkan, benar-benar musik jenius! Saya sering karena ini menyombongkan diri ——— mungkin saya terlalu naif ——— manusia ternyata mampu menciptakan benda yang demikian menakjubkan. “

Sampai di sini, bahkan tidak sulit juga mengerti Lenin. Kekuatan musik Beethoven juga bisa membuat orang semacam dia mau mengumumkan takluk, saya demikian berpikir, lanjut membaca:

lalu matanya berbinar, tersenyum pahit berkata: ” Namun saya ini tidak boleh sering mendengar musik. Musik menggetarkan syaraf-syarafmu, membuat kau ingin pergi menghormati orang-orang yang sekalipun hidup di nereka yang kotor tetapi masih bisa menciptakan keindahan demikian, ingin mengucapkan beberapa kata baik, mengelus kepala mereka. Pada jaman ini ——— kau tidak mungkin mengelus kepala mereka, mungkin orang akan balik menggigitmu. Kau harus sekuatnya mengetuk kepala mereka, terhadap siapapun mesti menggunakan tekanan. Ai, ehm, kewajiban kita luar biasa besar, payah dan berat. “

Saya meletakkan buku, tiba-tiba sadar, Lenin dkk rupanya begini, ternyata dengan ideologi menghakimi perasaan manusia dan teori seni juga ada sebuah dasar yang berlinang airmata.

Saya seolah hilang waktu berdiri memandang bintaro di depan jendela, penuh bunga putih dan rindang. Sulit membayangkan bintaro gundul sendiri dalam satu malam. Kembali ke meja, di ujung emailnya kawan bertanya, pil daun ginkgo yang dia kirim beberapa waktu lalu apakah sudah saya coba? Katanya bagus untuk melawan alzheimer. Saya sudah minum, cuma belum tahu hasilnya.

24 Posisi Matahari ( 8 )

Kolom John Kuan

awal musim dingin
gambar diunduh dari desktopnexus.com

☉立冬

——— air jadi es; tanah membeku; ayam pegar masuk air jadi lokan.

Sepotong lorong sempit tepat di depan jendela. Hujan sedang membasuh ke dua tembok yang mengapitnya. Uap air dan cahaya petang mengisi sepanjang lorong, saya melihat sepasang kaki jenjang di bawah payung merah sedang terapung di tengah lorong. Petang Hangzhou, akhir musim gugur, gambar ini begitu akrab, saya pasti pernah mengenalnya. Sepuluh tahun lalu, dua puluh tahun lalu? Saya di dalam kamar yang nyaman dan hangat terus membaca dia yang basah kuyup mengalir ke ujung lorong, hilang bersama uap air dan rabun senja. Setelah menuang secangkir teh saya kembali berdiri di mulut jendela, berusaha keras ingin membuktikan kepada malam Hangzhou yang baru melangkah masuk bahwa kami memang pernah saling kenal. Mungkin setengah jam demikian berlalu, membuka gumpalan awan, menyibak tirai hujan, menerobos pancaran cahaya matahari, akhirnya saya sampai di suatu petang 1927 yang muram. Suatu petang milik Dai Wangshu:

Lorong Hujan

Dengan sepucuk payung kertas,

limbung sendiri pada sepi

dan panjang lorong hujan,

aku ingin bertemu dia

bagai bunga lilac memendam

sedih dan kesal, seorang gadis

serupa warna bunga lilac

serupa wangi bunga lilac

serupa risau bunga lilac

pilu lara di tengah hujan

melankoli juga gelisah

Dia bingung di sepi lorong hujan

dengan sepucuk payung kertas

serupa aku ini,

serupa aku ini sedang

diam-diam mondar-mandir

menyendiri, senyap, juga melankoli

Tanpa kata dia perlahan mendekat

kian dekat, lalu melempar

sorot mata bagai keluhan,

dia melayang lewat

seolah mimpi

pedih dan kabur seolah mimpi.

Bagai melayang lewat sekuntum

bunga lilac di tengah mimpi,

gadis yang melayang lewat di sisiku;

dia senyap menjauh, telah menjauh

sampai di tembok reruntuhan

melangkah habis lorong hujan

Warnanya pupus

wanginya lenyap

di dalam nyanyian pilu hujan

telah pupus lenyap, bahkan

sorot mata seolah keluhan itu

serupa melankoli bunga lilac.

Dengan sepucuk payung kertas

limbung sendiri pada sepi

dan panjang lorong hujan

aku ingin dia melayang lewat

gadis serupa bunga lilac

pendam sedih dan kesal

雨巷

撑着油纸伞,独自

彷徨在悠长、

悠长 又寂寥的雨巷,

我希望逢着

一个丁香一样的

结着愁怨的姑娘。

她是有

丁香一样的颜色,

丁香一样的芬芳,

丁香一样的忧愁,

在雨中哀怨,

哀怨又彷徨。

她彷徨在这寂寥的雨巷,

撑着油纸伞

像我一样,

像我一样地

默默彳亍着,

冷漠、凄清,又惆怅。

她静默地走近

走近,又投出

太息一般的眼光,

她飘过

像梦一般的,

像梦一般的凄婉迷茫。

像梦中飘过

一枝丁香的,

我身旁飘过这女郎;

她静默地远了,远了,

到了颓圮的篱墙,

走尽这雨巷。

在雨的哀曲里,

消了她的颜色,

散了她的芬芳

消散了,甚至她的

太息般的眼光,

丁香般的惆怅。

撑着油纸伞,独自

彷徨在悠长、悠长

又寂寥的雨巷,

我希望飘过 一

个丁香一样的

结着愁怨的姑娘。

24 Posisi Matahari ( 7 )

Kolom John Kuan

musim dingin
gambar diunduh dari guim.co.uk

☉霜降

——— serigala mempersembah hasil buru; tumbuhan kuning luruh; serangga hibernasi

Duduk membaca teks berjalan di kaca jendela gerimis. Kadang puisi, kadang cerita pendek, kadang flash fiction, terutama di malam hujan. Hari itu saya membaca sebuah roman, sedikit picisan, tapi khas teks berjalan.

Mobil biru keabuan, bersih mengkilap, hatinya demikian juga, dinihari pukul dua lewat lima menit masih belum dapat penumpang, memilih pulang. Hujan berhenti, menurunkan kaca jendela, isap rokok. Tiba-tiba hati sangat kacau, sering seolah teringat sesuatu, lalu tidak teringat lagi. Di mulut jalan depan berdiri satu bayang memutih, matikan rokok, mobil dibawa mendekat… muda… anggun… sudah melambai… Dia buka pintu, perempuan muda masuk ke tempat duduk depan, agar mudah menunjuk jalan?

“Ke mana?”

Dia membantunya menyulut rokok…

“Ingin ke mana?”

“Terserah kamu “

“Maksud saya mesti mengantar kamu ke mana?”

“Oh, my god!”

“Maaf, aku yang salah!”

Perempuan itu bergegas keluar mobil, mengucapkan selamat malam, dengan pinggul menutup kembali pintu mobil.

Mobil tidak bergerak. Perempuan itu juga tidak bergerak.

Dia melongok keluar jendela

Perempuan itu melangkah ke arah berlawanan.

Setelah perlahan mengemudi lewat beberapa mulut jalan, putar balik, jalanan sangat lengang, membuat dia merasa kekacauan tadi telah meresap, matanya menyapu dua sisi jalan, bangunan, bayang lampu lalu lintas, suara mobil lain, dia merasakan semuanya telah menyatu jadi sebuah tubuh besar, dan perempuan tadi adalah selembar bentuk manusia digunting dari kertas putih, entah basah kuyup menempel ke mana.

Perempuan itu di bawah kanopi sebuah bar, sedang membuka pintu, tiba-tiba menoleh, seolah ada orang memanggilnya. Dia mengajak perempuan itu minum, menari, tidak usah lihat arloji, akhirnya perempuan itu melihat. Mengantarnya pulang ke Greenwich Village. Pemandangan jalan kabur menyatu, gerimis lagi.

“Hagan… Sejak kapan mulai?”

” … dua tahun lalu… Kamu?”

“Apa?”

“Sudah berapa lama bawa taksi?”

“Juga hampir dua tahun “

“Sepenuhnya mengandalkan tip?”

“Iya, siang hari bolak-balik Long Island, jauh lebih baik daripada di dalam kota.”

“Tidak akan seumur hidup begini?”

“Iya, tidak tahu kapan-kapan menukar yang lain.”

 “Tim, kau memang luar biasa.”

“Mana ada… lagipula, memandang ekspresi orang, enakan pemandangan jalan.”

“Keras kepala adalah tabiat paling susah berubah.”

“Seandainya mau berubah, juga mesti dengan keras kepala mengubahnya.”

“Tidak usah diubah, orang keras kepala paling lembut.”

“Macam mana tahu?”

“Umpama, sangat memperhatikan cara berpakaian, demikian sudah sangat lembut terhadap dirinya.”

“ Kalau begitu kamu lebih luar biasa…. aku sungguh tidak mengerti… kamu…”

“Ibu, adik, aku, buru-buru ingin menyelesaikan kuliah pergi kerja.”

“Sudah mau nikah, besok dia ulang tahun.”

“Selamat ulang tahun!”

“Terima kasih, kami ingin makan malam di Village, restoran mana bagus? Okra?”

“Setelah koki Okra meninggal dunia, sekarang tinggal orang dari luar kota yang datang mencicipi nama.”

“Assam, bagaimana?”

“Bagus sekali, jika kau berminat boleh bertemu pemiliknya, bilang dari nona Ula Hagan, penutupnya akan disajikan teh Pangeran Wales… berhenti di sini, Tim, terima kasih!”

“Hagan!”

“Apa?”

“Nomor telepon.”

Hagan menyambut pena, ditulisnya di atas telapak tangannya.

Menyusuri sebentar sisi Sungai Hudson, dia memutar balik ke sudut jalan Hagan turun, apartemen hitam di dalam gerimis, terasa seolah tebing curam.

Di bawah cahaya kapsul telepon umum, angka di telapak tangan, berbaur dengan keringat, sisa 2, 5 bisa dikenali.

Pagi berikutnya menemukan di tempat duduk Hagan ada sebuah tas. Malam Tim bersama tunangannya datang ke Assam, tas dititip ke pemilik restoran untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Selesai makan, teh Pangeran Wales bening warna amber, kental dan harum, monopoli pedagang teh kesohor Twinings.

Saat mau bayar, pelayan bergegas datang berkata: “Sudah dibayar nona Hagan, dia memberi selamat ulang tahun kepada kalian.”

 Tim dicurigai, penjelasan demi penjelasan, pernikahan tetap dibatalkan ——— akhirnya dia baru jelas dicerca hanya alasan belaka. Prelude perkawinan terlalu panjang. Juga berarti ikatan kasih sayang pendek.

Bahkan ke Assam minum secangkir teh juga tidak ada semangat, terhadap makanan kian tajam mengkritik, badan makin kurus, samasekali tak beriak.

Pada acara wisuda Ula Hagan, Tim hadir, sepatah dua patah kata, apapun tidak beritahu.

Lewat satu tahun, Hagan menikah, pengantin lelaki bukan Tim.

Lewat tiga tahun, Tim menikah, pengantin perempuan Ula Hagan, keluar dari gereja, sepenuh jalan adalah gerimis yang sama.

Perkawinan perak, perkawinan emas, ingat selalu gerimis, kemudian, tidak lagi berhubungan dengan gerimis, abadi jadinya.

24 Posisi Matahari (6)

Kolom John Kuan

morning_dew
Gambar dari http://www.historylines.net

 ☉寒露

 ——— angsa liar berbaris terbang selatan; pipit menjelma kerang; bunga krisan mekar.

Sepotong jalan ini empat musim indah, terutama mapel merah di kedalaman musim gugur, saya melangkah sendiri, melihat di bawah sebatang pohon besar di jauh berdiri dua gadis kecil sedang bertepuk tangan ke arahku, kenapa? Mereka salah mengenal orang?

Makin dekat, makin jelas mereka memang bertepuk tangan menyambut saya. Sebuah rumah warna putih dan anggun, menjulur selapangan rumput hijau, di luar pagar barulah jalan, meja bundar kecil diletakkan di sisi jalan, dua buah kursi anak-anak, mereka berdua jelas adalah kakak beradik, gaun chiffon putih dengan warna-warni serpihan bunga, di atas meja bundar dipajang beberapa untai kalung dan gelang, manik-maniknya juga berwarna-warni, amat pastel ——— mereka adalah pedagang, sendiri merangkai, sendiri menentukan harga, berharap laku, labanya kakak beradik bagi rata.

Sepotong jalan ini jarang dilalui orang, apalagi pembeli potensial, saya berlagak serius memilih, ambil empat untai, bertanya:

       [Apakah kalian merasa empat untai ini paling cantik?]

       [Iya, ini adalah empat untai tercantik!]

Saya membayar, mereka menyerahkan barang, saling terima kasih.

Terus melangkah, berpikir: Seandainya menoleh lihat, mereka telah lenyap tanpa jejak, maka mereka adalah peri yang datang ke dunia manusia, dan saya adalah seorang anak kecil beruntung; seandainya menoleh lihat mereka masih di bawah pohon menunggu, maka mereka adalah pedagang kecil, dan saya adalah pelanggan yang selangkah-selangkah membungkuk tua.

24 Posisi Matahari ( 5 )

Kolom John Kuan

☉秋分

 ——— guruh mulai diam; serangga menutup sarang; air menyurut

Membawa beberapa lembar peta dan sekepala labirin sejarah, saya sampai di Alhambra. Jauh-jauh datang mendengar kisahnya, sebuah kisah musim gugur:

Sekitar abad ke-7 Masehi ada sekelompok Orang Arab dan Orang Berber menyeberang dari Afrika Utara bagian barat masuk Semenanjung Iberia, membangun sebuah rezim, sejarah memanggilnya [Orang Moor]. Sampai di abad ke-15 Masehi, Orang Moor telah memerintah tanah ini lebih dari 700 tahun, darah persaudaraan dan bahasa telah lama terbaur, mereka samasekali tidak pernah curiga terhadap kepatutan mereka memerintah. Cuma beberapa catatan sejarah awal mengutarakan, nenek moyang mereka bagaimana mengarung dari Afrika Utara ke sini pada masa itu.

Namun, orang Spanyol tidak lupa, mereka sudah sejak awal memupuk gerakan merebut kembali tanah yang dirampas. Gerakan inilah yang mengingatkan Orang Moor, urusannya sedikit merepotkan. Pada masa itu Orang Moor dilihat dari segi apapun jauh lebih kuat daripada Orang Spanyol, sebab itu sekalipun merasa repot, mereka tetap bisa hadapi dengan tenang. Namun bibit yang ditanam dalam-dalam begini, sungguh memiliki waktu.

Seratus tahun, seratus tahun perlahan berlalu, kekuatan politik daerah utara mulai bangkit, gerakan perebutan kembali tanah yang dirampas pelan-pelan juga memiliki pemimpin dan momentumnya. Akhirnya, berubah menjadi operasi militer yang kuat dan bergaung. Ketika Orang Moor sadar, mereka telah dikepung, dan lingkaran kepungan makin lama makin mengecil, sudah tidak bisa diterobos.

Solusi paling masuk akal adalah dengan sukarela pergi. Namun mereka bukan baru datang puluhan tahun, masih bisa menemukan titik awal berangkat, di tempat ini mereka telah puluhan generasi mengakar, sudah tidak tahu harus balik ke mana.

Hal paling mengejutkan adalah, Orang Spanyol yang telah menaklukkan sebagian besar daerah selatan, seperti sengaja menyisakan Granada terisolir, dan pengepungan ini ternyata bisa berlangsung lebih dari 200 tahun!

Para sejarawan menyampaikan banyak alasan dan teori untuk menjelaskan kenapa pengepungan ini bisa berlangsung demikian lama, namun saya paling tertarik adalah psikologi silang budaya kedua pihak selama lebih dari 200 tahun itu.

Orang Moor tentu membuka banyak rapat, menggunakan banyak akal, memikirkan banyak jalan keluar, namun setelah berulang kali gagal, mereka terpaksa harus mengakui, ini adalah dinasti terakhir Orang Moor di Semenanjung Iberia. Keputus-asaan begini pada tahap awal adalah pedih pilu dan amarah, tapi karena waktu diundur terlalu lama, pelan-pelan mengerut jadi hening. Dan keputus-asaan yang hening selalu indah.

Istana Alhambra yang diukir dan dipahat demikian persisi dan indah ini adalah diselesaikan dalam keputus-asaan yang hening. Oleh sebab itu, segala ketelitiannya bukanlah demi diwariskan ke generasi berikutnya, lebih bukan demi pamer, namun adalah memasuki suatu tahap nirguna.

Saya pikir, perumpamaan yang paling tepat untuknya adalah berhias di depan maut. Tahu ajal sudah menyusul, namun masih memiliki sedikit waktu, sendiri masih penuh daya, indera bekerja sempurna, sebab itu dengan perlahan dan teliti mulai menghias diri. Sudah tidak peduli lagi esok, tidak peduli lagi penonton, tidak peduli lagi penilaian, seluruhnya adalah buat dinikmati sendiri, seluruh akal pikiran yang halus dan rumit telah ditaruh di dalamnya.

Kapan pasukan musuh akan datang menyerang, membakar, membinasakan seluruh ini? Mungkin saja besok, mungkin juga ratusan tahun. Tidak peduli, hanya ingin sedikit-sedikit dibangun, sepenggal-sepenggal diukir. Suasana hati dan pikiran begini masih belum pernah saya alami di tempat lain.

Sekarang kita lihat di luar benteng. Pada waktu itu pasukan dipimpin langsung oleh Fernando II dan Isabel I, perkawinan Raja Aragon dan Ratu Kastilia ini telah mendorong Spanyol bersatu, hanya sisa Granada sebagai batu sandungan terakhir. Dan di dalam benteng, di antara pilar dan dinding berukir sedang bertahta seorang raja berusia muda, namanya Abu Abdullah Muhammad XII. Orang Spanyol memanggilnya el chico, saya tidak tahu ini keluar dari simpati atau penghinaan. Ayahnya karena mencintai seorang pengikut agama Kristen dan diturunkan dari tahta, dan Abdullah sendiri setelah memegang tampuk kuasa langsung berhadapan dengan sebuah kondisi kacau yang tak terurai. Keabsurdan ayahnya adalah menggunakan cinta mengkhianti politik, sudah tahu seluruh rakyat sedang mengangkat panji agama melawan musuh di luar benteng, sebab selain itu sudah tidak ada panji lain bisa dilambaikan, dia justru menyerahkan cintanya kepada agama di luar benteng. Abdullah tidak tahu yang dilakukan ayahnya ini mau disebut berdamai, menerobos kepungan, atau menyerah, yang jelas dia sendiri tiba-tiba sudah diletakkan di atas batu menjadi domba korban.

Semua inilah yang menyebabkan pilihan Abdullah yang terakhir: Menyerah. Sebab itu tenda-tenda Fernando dan Isabel yang rapat berlapis-lapis menjadi tidak berguna. Orang Spanyol anggap ini adalah mujizat, puluhan ribu orang setelah mendengar kabar ini langsung berlutut di bawah benteng bersyukur, saya kira mereka semestinya berterima kasih kepada raja yang muda dan berakal jernih ini. Seandainya waktu itu pikirannya menjadi keruh, atau ingin memperagakan sedikit gaya ksatria, mungkin saja menyebabkan ujung tombak bertemu ujung tombak, bumi bersimbah darah dan entah berapa banyak nyawa akan melayang.

Raja yang masih muda itu mencari sebuah pintu samping istana, berjalan sampai di atas bukit jauh baru menoleh, diam-diam meneteskan airmata. Menurut cerita saat itu ibunya berdiri di sisinya berkata: “Tangislah, anakku, seorang lelaki yang tidak mampu membela dirinya, semestinya menetes sedikit airmata!”

Sebuah dinasti, sepotong sejarah, ternyata bisa berakhir demikian damai. Sebab itu, bahkan setiap lekuk motif yang paling halus di dalam Istana Alhambra hingga hari ini pun masih bisa tersenyum tanpa pernah diusik.

Hari itu, adalah 2 Januari 1492