Puisi Ahmad Yulden Erwin

Tak ada secangkir kopi untukmu, Kawanku, tak ada ruang tamu.
Kau pun tak hadir di situ, hanya keramik angsa, boneka-
boneka tua, porselin cina, atau sebingkai lukisan rimba.
Kukatakan kepadamu, Kawanku: di sini, di ruang tamu ini,
aku merasa begitu sunyi.
Masih terkenang juga suaramu, sebentuk perlawanan pada batu-
batu. Lantas kita pun seru berdebat: tentang sajak-sajak
awan dan sungai, tentang debur ombak gelisah mencapai
pantai, juga kalimat cemas dalam puisi-puisi Paz.
Siang ini aku merasa sedikit asing, Kawanku, merasa seakan
cemas telah meruncing pada meja dan kursi tamu. Di luar
jendela, langit begitu kering, cuaca membentur dinding.
‘Kini, apa makna kebebasan bagiku?’ tanyamu, suatu ketika.
Lantas kau pun bercerita tentang teater luka, mencoba
menafsir duka dalam pantun melayu dan syair-syair tua,
atau tenggelam dalam diksi-diksi Akutagawa.
Lewat teng 12 siang, aku merenungkan budaya yang hilang,
atau negara yang tak pernah bisa berdaulat, mirip kisah
apel yang penuh ulat. Terkadang kita pun mencoba untuk
reda, abai pada suasana, tapi di luar kita, cuma pertikaian
dan hunus senjata.
‘Ideologi begini, sebutir peluru dan batu-batu, apa peduliku!’
gerutumu, suatu pagi, sambil mencatat kalimat-kalimat
nyeri, mencoba mengaitkan rindu pada rintik-rintik sunyi,
hingga awan-awan dan sungai dalam puisimu: mendadak
kehilangan dasar imaji.
Di sini, di ruang tamu yang sunyi ini, bersama secangkir kopi:
aku menyesali suatu bangsa….. yang tak pernah dewasa.