Gerundelan Ragil Koentjorodjati
To be a guru you have to say,” I Know and I can teach you.” But, if I say that, well, I’m finished. I can never learn anything else. I have shut myself off from anything new. If I remain a student all my life, though, I will always be ready to learn new things. ( At the Left Hand of God)
Begitu banyak “seni” dalam melukiskan kecintaan manusia pada kehidupan. Salah satu yang dapat diambil contoh adalah bagaimana membangun komunitas. Komunitas sebagai wahana manusia untuk tinggal dan hidup sesuai dengan kodratnya sebagai mahkluk sosial. Komunitas yang diharapkan sehat sehingga menumbuhkan manusia yang sehat pula sehingga keberlangsungan hidup manusia dan kehidupan terjaga serta bermakna.
Kecintaan pada kehidupan itu pula yang mendorong sebagian orang untuk berperan aktif mengelola komunitas, mulai di lingkup yang luas, seperti negara, sampai pada lingkungan terkecil, yaitu keluarga, tidak terkecuali komunitas keluarga yang terbentuk karena adanya rasa senasib sepenanggungan entah karena merantau atau menjadi korban bencana. Dalam keluarga, masing-masing anggota “keluarga” berkontribusi, baik dalam bentuk pemikiran, tenaga, atau materi yang diharapkan memberi kebaikan bagi orang lain.
Tidak jarang kita dapati, keinginan yang begitu besar agar pemikiran kita diterima orang lain menggiring kita untuk menjadi “seolah-olah” guru bagi orang lain. Tanpa sadar “rumongso bisa” terbersit dalam batin,“Aku tahu dan aku akan mengajarimu”. Lalu kata-kata mengalir begitu mudah, sesekali dengan pembenaran ayat-ayat atau entah argumen siapa, mewujud dalam ucapan dan terkadang tindakan yang mengarah pada sikap intoleran. Sikap intoleran di sini diartikan sebagai sikap yang tidak menghargai perbedaan, tidak punya tenggang rasa, (tidak terbatas pada persoalan agama, tetapi juga cara pandang maupun pendirian orang lain). Orang lain dianggap seperti bodoh atau “dibodohi” dan tidak tahu apa-apa sehingga perlu diajar dan diceramahi dengan lebih keras, jika perlu. Ketika bantah berbantah terjadi, sebagian orang terjebak pada kebanggan “aku tahu” sehingga ketika ketidaktahuaannya terkuak segera terburu-buru mencari pembenaran agar tetap dianggap tahu.
Memang sulit untuk mengatakan tahu atau tidak. Sama sulitnya dengan mengatakan benar atau tidak. Kesulitan yang menjebak sebagian orang terburu-buru menyerah dan mengatakan sebuah relativitas. Hidup ini tidak sekedar hitam dan putih, kata orang. Relativitas. Relativitas yang terjebak menjadi relative juga, mengatakan bahwa ini relative atau itu relative tanpa dasar pijakan yang jelas sebagai pembanding mengapa dikatakan relative. Akibatnya relativisme yang terbentuk menjadi liar serta mengarah pada nihilism -segala sesuatu menjadi salah-.
Menjadi seorang guru, memang seharusnya tahu dan mampu untuk mengajari apa yang diketahuinya. Menjadi guru juga seharusnya tahu kapan tidak tahu. Guru bukan juga orang yang serba tahu, tetapi orang yang menumbuhkan rasa ingin tahu. Sekalipun akan tampak lebih bodoh dibandingkan dengan sang murid. Jangankan hanya sekedar tampak bodoh, guru sejati bahkan mengorbankan dirinya sendiri agar sang murid belajar. Demikan juga dengan guru-guru kehidupan yang mengajarkan kehidupan. Terlalu kecil manusia untuk dengan sombong merasa mengetahui kehidupan serta tahu segala sesuatu. Pada titik ini, kejujuran yang akan menentukan kapan kita harus kembali belajar. Menjadi guru sekaligus menjadi murid, setidaknya bagi diri sendiri. Dengan sesekali berbagi ilmu kepada orang lain tanpa meninggalkan sikap tenggang rasa.
Maaf, jika tulisan ini pun menggurui.
Oktober 2010
suka dengan closing nya..”sesekali berbagi ilmu kepada orang lain tanpa meninggalkan sikap tenggang rasa”
SukaSuka
terima kasih sudah suka Mbak Vivi…
SukaSuka
membedakan sisi kebenaran dan relativitas.. sungguh membutuhkan pandangan yang luas.
saya juga suka dengan bagian penutupnya ^^
SukaSuka
terima kasih sudah suka dan berkunjung di sini. salam ^_^
SukaSuka