mata air mata

Air Mata

Cerpen Ragil Koentjorodjati

mata air mata
Gambar diunduh dari bp.blogspot.com
Aku hampir tidak percaya ketika pagi itu, selepas bangun tidur, aku membuka tudung saji dan mendapati hanya ada dua tetes air dalam gelas bening di meja. Tidak ada nasi. Tidak ada lauk. Tidak juga sayuran. Hanya dua tetes air dalam gelas bening di meja. Tanpa harum wangi rempah-rempah digoreng. Tanpa aroma masakan, bahkan aroma asap pun tak ada. Udara begitu bersih dan segar, tidak seperti biasa. Tanpa bau keringat manusia. Entah ke mana perginya istriku. Biasanya, pagi begitu riuh dengan bebunyi alat dapur dan dendang riang istriku, sebelum aku terbangun karena basah bibir menindih kelopak mataku, aneka hidangan telah tersaji di meja makan. Tapi kali ini tidak. Pagi menjadi sungguh tidak biasa. Hanya ada sunyi. Hampa. Aku sendirian.Aku alihkan pandangan mataku ke dispenser. Kosong. Perihal ini aku sedikit ingat, sudah dua hari pabrik air olahan isi ulang macet produksi. Terakhir kali ada sesuatu, serupa cacing, berenang di air dalam botol isi ulang. Berenang dengan riang. Mungkin sebab itu pabriknya tutup. Kabar yang kudengar terlalu banyak keluhan tentang cacing dalam botol, meski sebenarnya bukan cacing. Hanya serupa cacing. Dan dispenserku menjadi hiasan dapur. Tidak lagi berisi. Seekor kecoa paruh baya asyik bermain sungut di atasnya. Meski cukup haus dan lapar, tetapi aku belum berpikir untuk menjadikan kecoa sebagai lauk hari itu. Kecoa bukanlah hewan yang baik bagi manusia.

Mungkin masih ada sesuatu di kulkas. Aku buka kulkas. Tidak ada yang bisa dimakan. Tidak ada yang bisa diminum. Hanya sedikit aroma debu dan bau sangit menyeruak, semacam aroma kebakaran listrik dalam skala kecil. Aku mencoba mengingat, sejak kapan kulkas itu kosong. Lalu aku menyadari aroma itu. Listrik mati beberapa hari lalu menyisakan kebakaran ringan pada alat elektronik murahan. Tentu saja kebakaran semacam itu tidak boleh diperhitungkan sebagai kerugian yang bisa dimintakan ganti ke perusahaan listrik. Aku tidak terlalu ambil pusing meski seharusnya mengajukan keberatan atas iuran bulanan yang mulus-mulus saja. Pagi itu aku lebih butuh minum daripada ribut soal bayar listrik.

Aku perhatikan gelas bening di meja makan. Masih di sana. Sepertinya tidak lagi dua tetes air di sana. Ada empat atau lima tetes barangkali. Aku tidak habis pikir dari mana tambahan air itu. Mungkin air dari atap rumah yang lalu rembes, menetes melalui retakan genteng atau lubang semut. Entah. Air bisa lewat mana saja, lewat tempat yang tidak pernah kauduga, lalu mungkin menetes masuk ke dalam gelas. Atau barangkali kencing kecoa yang sebelumnya asyik bermain sungut di atas dispenser. Itu pun sebuah kemungkinan lain. Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja air dalam gelas itu lebih banyak dari yang sebelumnya. Mungkin saja aku rabun usai bangun tidur, belum sepenuhnya sadar. Atau lebih tepatnya kesadaranku baru sebatas rasa bahwa aku kehausan. Tapi aku belum sudi minum air kencing kecoa, andai benar tambahan air dalam gelas itu bersumber dari kencing kecoa. Tidak sudi juga aku minum air dari atap bocor. Aku hidup di negeri yang kaya raya, tempat air berlimpah ruah bahkan bila batu dipecah, air akan membuncah. Masak harus minum air kencing kecoa, pikirku.

Sudah jadi kebiasaanku bahwa ketika bangun tidur aku minum dua-tiga gelas air putih sebelum kemudian melanjutkan aktivitas. Tetapi pagi itu memang lain dari biasanya. Tidak ada yang dapat kuminum. Aku berpikir, mungkin lebih baik memasak air dari sumur atau air ledeng daripada minum kencing kecoa atau air dari atap bocor. Segera aku mencari perlengkapan memasak, maklum sejak ada dispenser aku hampir tidak pernah memasak air lagi. Aku cari kompor. Kompor minyak kutemukan di bawah meja dapur, tidak ada minyaknya. Aku lupa kalau sudah tidak jaman lagi masak memakai minyak tanah. Aku coba kompor gas. Masih tersisa nyala api sedikit biru kemerah-merahan. Aku tersenyum sedikit lega. Tinggal mencari panci dan tentu saja air. Aku masih belum ingat, mengapa istriku tidak memasak air jika dispenser kosong.

Panci tidak sulit kutemukan. Teronggok masih kotor di kamar mandi, belum di cuci. Sisa bumbu mie instan menempel di kanan kiri panci. Bergegas aku hendak mencucinya. Tetapi alangkah terkejutnya ketika kudapati tidak ada air dalam bak mandi. Habis tandas. Seingatku, pada malam terakhir aku mandi, air  masih ada, setidaknya setengah bak mandi. Ke mana perginya air itu, tanyaku dalam hati. Memutar kran, tidak ada yang keluar. Hanya desis angin bercampur bau karat.

Aku tidak habis mengerti mengapa air bisa lenyap dari rumah ini hanya dalam waktu semalam. Jam dinding masih berdetak seperti biasa. Jarum panjang berputar sangat perlahan menunjuk angka 7. Jarum pendek malas beringsut dari angka 6. Masih pagi. Masih tidak salah untuk bangun tidur. Penanggalan tergantung setengah miring pada tembok yang lancang menonjolkan bata merahnya.

“Wahai, siapa yang mengubah angka tahun itu?” bisikku terperangah.

Angka 2078 bertengger di atas gambar gadis sampul tanpa celana. Selembar daun seolah menutup sesuatu yang gagal untuk tidak diperlihatkan. Wajahnya bukan wajah istriku. Wajah gadis itu sedikit keriput. Hanya buah dadanya tetap penuh. Silikon tidak mengenal usia rupanya. Dan istriku tidak menggunakan silikon hanya untuk mempermontok payudara. Tahun 2078. Aku bingung. Aku mencoba mengingat. Tapi aku lupa ingatan. Tidak ada yang kuingat.  Air dalam gelas bening setengah penuh. Apa yang sebenarnya terjadi, bingungku menjadi-jadi.

Perlahan kulangkahkan kakiku keluar rumah. Tidak peduli andai wajahku tampak kusut dan rambut awut-awutan. Sepintas aku dapat mencium bau busuk tubuhku sendiri. Biarlah, pikirku. Tidak ada air untuk mandi atau hanya untuk cuci muka. Mungkin di tempat tetangga ada sedikit air tersisa. Aku tertawa. Hanya sedikit tertawa, sebab hatiku sesungguhnya tidak tertawa. Waktu satu malam sepertinya mengubah segalanya.

Matahari mulai meninggi. Udara terasa begitu panas. Rumah-rumah berderet rapi. Tanpa pepohon di sepanjang jalan. Tempat yang tidak kukenali. Entah ke mana perginya para tetangga. Entah di mana pohon berpindah tempat untuk tumbuh. Rumah-rumah megah di depanku sunyi sepi. Di ujung jalan kulihat dua bocah kecil menari. Aku datangi mereka sambil tersenyum mesra. Begitu mesra.

“Orang gila! Orang gila!”

Mereka berteriak sejadi-jadinya. Tarian buyar berganti gerakan liar memungut apa saja yang ada di dekatnya yang lalu dilemparkan ke arahku. Tanah, batu, pasir, kayu dan ranting kering, terbang ke arahku. Tepat ke arahku.

“Hei!” teriakanku putus di ujung bibir. Segumpal tanah menutup mulutku. Mereka lari lintang pukang.

Aku cengengesan sebelum kemudian tidak lagi mempedulikan mereka. Kulangkahkan kakiku menuju rumah-rumah megah. Masih sunyi dan sepi. Tetap sunyi dan sepi. Tanpa penghuni. Kota apakah ini, tanyaku dalam hati. Sunyi dan sepi seperti kota mati. Kering dan gersang seperti kota usang. Tidak ada manusia. Tidak lagi kutemui para tetangga. Mungkinkah mereka mengungsi mencari air dan aku tertinggal di belakang? Aku memilih pulang sembari berharap keajaiban terjadi. Aku berharap istriku sudah kembali dari mana saja ia telah pergi.

Di meja, air dalam gelas bening terisi penuh. Aku berkaca padanya. Tak kukenali wajahku. Wajah siapa, entah, plethat plethot tanpa bentuk. Begitu abstrak. Perlahan, aku reguk sedikit air dalam gelas bening. Alangkah terkutuknya hari ini, gumamku, sekedar untuk minum saja tidak ada air kudapati. Air dalam gelas bening terasa asin. Seperti rasa air mata. Aku tidak peduli meski ada semacam rasa nelangsa menusuk dada. Mungkin tanpa kusadari air mataku menetes di sana.

Dengan gelas masih di tangan aku menuju ke kamar mandi sekedar ingin membasahi muka dengan sedikit air tersisa di gelas bening. Cermin retak berlumut memantulkan wajah kusut awut-awutan. Semakin abstrak. Wajah dalam cermin berurai air mata. Aku ingin meminum air yang berlimpah di sana. Air dari air mata. Air mata dari wajah yang pernah kukenal. Lalu gelas bening di tanganku tiba-tiba terisi  penuh air. Aku tuang sedikit ke mukaku. Basah. Wajah dalam cermin basah. Cermin basah. Tanganku basah.

Air dalam gelas bening tidak berkurang. Mataku basah. Bak mandi basah. Kran air, basah. Semua menjadi basah. Aku menangis bahagia sejadi-jadinya. Rumahku berlimpah ruah dan membasah. Air rembes dari mana saja. Dari mataku mengalir air tak berkesudahan. Membanjiri rumah. Membanjiri segala. Sejak itu aku terbiasa minum air mata dan memasak dengan air mata.

 

Ujung Mendung, Desember 2011

8 tanggapan untuk “Air Mata”

Beri Tanggapan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s