Arsip Tag: aku

Namrudz

Cerpen Bruno Schulz
Alih Bahasa John Kuan

anjing
Gambar diunduh dari flickrhivemind.net

Agustus tahun itu, aku senantiasa bermain dengan seekor anjing kecil yang amat lucu. Ia suatu hari begitu saja muncul di atas lantai dapur kami, gerakannya kikuk, terus-menerus mendecit halus, tubuhnya membawa aroma bayi dan susu. Kepalanya bulat, agak bergetar, belum sepenuhnya terbentuk; dua kaki depannya terbuka ke samping seperti tikus tanah, dan bulu yang menutupi tubuhnya halus tak terkira, amat lembut.

Sejak pandangan pertama, benda kecil ini langsung menaklukkan hatiku yang belum ranum, membuat aku kelabakan jatuh cinta padanya.

Benda kecil kesayangan para dewa ini, yang melebihi segala macam mainan paling indah dan menyenangkan ini bisa jatuh dari surga mana? Sungguh tak terbayangkan, tukang cuci piring yang tua dan membosankan itu ternyata bisa mencetuskan ide yang begini cemerlang, pada pagi buta, pada saat yang belum disentuh orang sudah membawa seekor anjing kecil dari pinggiran kota ke dalam dapur kami!

Ah! Pada saat ——— sungguh disayangkan ——— kita masih belum berada di tempat kejadian, pada saat kita masih belum terlahir dari rahim kelam dunia mimpi, perihal bahagia ini sudah terjadi, menunggu kita. Dia dengan kikuk berbaring di atas lantai dapur yang dingin, sedikitpun tidak dihargai oleh Adela dan orang-orang rumah. Kenapa mereka tidak lebih awal membangunkan aku! Piring yang penuh berisi susu di lantai dapur menunjukkan naluri keibuan Adela, sungguh tidak beruntung, dan juga membuktikan ini adalah kenyataan ——— sudah ada yang merasakan kegembiraan sebagai ibu angkat, tetapi aku tidak ada kesempatan terlibat di dalamnya. Bagiku, sepenggal sukacita ini telah hilang buat selamanya.

Namun di depanku masih terpampang sepotong  masa depan yang indah. Betapa kaya dan menakjubkan segala pengalaman, eksperimen, penemuan yang terbentang di saat ini! Saripati rahasia hidup, sekarang telah menjelma jadi bentuk yang begini sederhana, praktis, dan menarik, terkuak di depan keingin-tahuanku yang tidak pernah terpuaskan. Ini benar-benar luar biasa menarik ——— dapat memiliki sepotong kehidupan di dalam genggaman tangan, partikel-partikel rahasia kekekalan, eksis di dalam bentuk yang begini baru dan menakjubkan. Sebab ia berbeda dengan kita, maka mengobarkan keingin-tahuan kita yang tak bertepi dan rasa hormat yang misterius. Ini sungguh fantastik ——— di dalam tubuh hewan yang samasekali berbeda dengan kita, ternyata memiliki percikan hidup yang sama.

Binatang! Objek yang selamanya tidak akan memuaskan rasa ingin-tahu kita, sampel dari teka-teki hidup, seolah tujuan mereka diciptakan adalah untuk memperagakan kepada manusia dirinya yang lain, menjabarkan keragaman dan kompleksitas mereka dengan ribuan kemungkinan serupa kaleidoskop, dan setiap jalur akan menembus batas kontradiksi, menembus perkembangan keluar batas yang penuh karakater. Binatang tidak ada beban keegoisan, tidak usah memikul hubungan antar manusia yang kacau dan berat, terhadap kehidupan lain yang asing mereka selalu membuka diri, penuh kebaikan, juga rasa suka yang meluap, kuriositas untuk bekerjasama, tersembunyi di bawah rasa lapar dan haus yang mereka sendiri amat sadar.

Anjing kecil itu memiliki bulu kulit seperti beledu dan tubuh yang hangat. Ketika kau meletakkan tangan di atas tubuhnya, dapat meraba denyut nadinya yang lebih cepat dari manusia biasa. Dia punya dua lembar daun telinga yang lembut, sepasang mata kebiruan keruh, mulut yang berwarna merah jambu (  kau bisa memasukkan jari, sedikitpun tidak berbahaya ), empat tungkai yang halus dan lugu ——— di tumit kaki depan juga ada tonjolan daging berwarna merah jambu yang mempesona. Dia dengan kaki-kaki ini jatuh bangun berlari sampai di depan piring berisi susu, dengan rakus dan tergesa menggunakan lidahnya yang berwarna merah mawar menjilat susu. Setelah kenyang, ia dengan kecewa mendongak wajahnya yang kecil, di dagunya masih melekat setetes susu, lalu tunggang-langgang berlari meninggalkan kolam mandi susu.

Cara jalannya seolah berguling yang canggung, tubuhnya bergerak miring, tidak berarah, sempoyongan seperti orang mabuk. Emosinya yang paling utama adalah semacam rasa pilu yang tak terukur, kesepian terhadap ketidak-berdayaan dan ketelantaran ——— dia masih belum mengerti bagaimana menutup kekosongan hidup di antara  jam makan yang penuh sensasi. Semua emosi itu ditunjukkan dengan gerakannya yang tidak beraturan dan tidak berkelanjutan, tidak logika, melankoli yang tiba-tiba menyerang, diikuti dengan suara-suara ratapan, serta tidak mampu menemukan tempat yang menjadi milik sendiri. Bahkan di dalam alam mimpi sekalipun, ia juga masih perlu menggulung diri jadi segumpal tubuh yang menggigil agar dipeluk, didukung ———  yang menemaninya tetap adalah kesepian yang tiada rumah untuk pulang. Ah, hidup ——— hidup yang muda, rapuh, ditarik keluar dari kegelapan yang ia andalkan, didorong dari rahim hangat yang memeluknya ke sebuah dunia yang besar, asing dan terang, tubuhnya mengerut jadi satu gumpalan, terus mundur, menolak sebuah pesta perayaan yang disiapkan orang-orang buatnya ——— penuh dengan kejijikan dan ketidak-ikhlasan.

Namun perlahan, Namrudz kecil ( ia memperoleh nama membanggakan, khusus buat petarung ini ) telah mulai menikmati citarasa hidup. Dunianya yang pada awal ditentukan oleh tubuh ibu, sekarang telah berubah menjadi dikendalikan oleh daya tarik hidup yang penuh ragam.

Dunia mulai menciptakan berbagai macam jebakan buatnya: makanan berbeda memiliki rasa yang asing namun fantastik, cahaya matahari pagi berbentuk persegi empat yang menempel di atas lantai adalah tempat paling enak untuk berbaring di dalamnya. Gerakan tubuhnya ——— misalnya kaki dan ekor ——— dengan jenaka menggodanya, ingin ia bermain dengan mereka. Ia dapat merasakan tangan manusia yang merabanya, di bawah tangan ada semacam hasrat keusilan yang mulai terbentuk, tubuhnya dengan riang bergerak, mulai menghasilkan semacam keinginan pada gerakan yang sepenuhnya baru, kasar dan berbahaya ——— semua ini telah menaklukkan, menyemangati ia untuk menerima, setuju dengan eksperimen hidup.

Ada satu hal lagi ——— Namrudz mulai mengerti, hal-hal yang mendekati ia sekalipun tampak luar amat baru, namun sesungguhnya sudah pernah terjadi, mereka telah terjadi berpuluh ribu kali, sesungguhnya sudah tak terhitung. Tubuhnya sudah bisa mengenali berbagai situasi, kesan, dan objek begini, pada dasarnya, segala hal sudah tidak akan membuat dia terlalu kaget lagi. Setiap kali berhadapan dengan keadaan baru, dia akan menyelam ke dalam ingatan sendiri, menyelam di kedalaman ingatan tubuhnya, meraba gelap, sangat hafal mencari jawaban di sana ——— kadangkala, di dalam tubuh sendiri menemukan jawaban tepat yang telah disiapkan: ini adalah warisan turun-temurun, bersembunyi di dalam cairan darahnya dan kearifan di sistem sarafnya. Ia menemukan beberapa tindakan dan keputusan  yang telah matang di dalam tubuhnya ( bahkan ia sendiri juga tidak tahu ), hanya menunggu saat yang tepat untuk meloncat keluar.

Lapangan hidupnya yang muda adalah dapur yang memiliki ember yang berbau sedap, di dalamnya juga ada tergantung kain lap yang rumit, aroma yang menarik perhatian, bunyi sandal Andela yang menepuk lantai, dan suara-suaranya yang diperas keluar ketika dia mengerjakan pekerjaan rumah tangga ——— semua ini sudah tidak mengejutkan ia lagi. Ia sudah terbiasa menganggap dapur sebagai teritori dan kampung halamannya, dan bersamanya telah berkembang jadi semacam, yang seolah ada seolah tidak, menyerupai hubungan dengan tanah leluhur.

Mungkin satu-satunya pengecualian adalah  ketika kegiatan mencuci lantai tiba-tiba sudah seolah bencana alam yang menimpanya. Seluruh hukum alam dibuat terbalik, seketika cairan alkali yang hangat sudah disiram di atas lantai dan seluruh perabot rumah, di tengah udara juga penuh dengan suara penyikat di tangan Andela yang sangat mengancam.

Namun bahaya juga ada saatnya berlalu. Penyikat reda kembali, samasekali tidak bergerak, dengan tenang berbaring di satu sudut dapur, lantai mengeluarkan aroma kayu basah yang sedap dicium. Namrudz kembali lagi ke dalam aturan yang biasa dan akrab, kembali pada kebebasan sesuka hati berkegiatan di atas teritori sendiri. Dia merasakan sejurus hasrat yang bergelora, ingin dengan gigi menarik karpet tua yang ditaruh di atas lantai, lalu dengan seluruh tenaga menghempasnya ke kiri ke kanan. Berhasil menekan kekuatan alamiah, membuat dia mempunyai suatu rasa senang yang tak terucapkan.

Tiba-tiba, seluruh tubuhnya terpaku di atas lantai: kurang lebih tiga langkah di depannya (tentu adalah tiga langkah anjing kecil) ada satu monster yang hitam pekat amat buruk, menggunakan kakinya yang kusut seperti kawat besi bergerak dengan cepat. Namrudz yang amat terkejut dengan sorot mata mengikuti serangga mengkilap yang mondar-mandir di atas lantai itu, panik memperhatikan tubuh yang pipih, buta, tak berkepala ditarik oleh satu gerombolan yang berlari amat cepat seperti kaki laba-laba.

Ada sesuatu di dalam tubuhnya yang disebabkan oleh pemandangan di depan mata ini lalu menyatu, matang, berkecambah, sesuatu yang ia sendiri belum mengerti, seolah adalah amarah atau takut, sekalipun itu termasuk menyenangkan, disertai dengan getaran kekuatan, emosi, dan sifat menyerang.

Mendadak kedua kakinya menginjak ke depan, mengeluarkan suara yang ia sendiri juga belum begitu kenal, samasekali berbeda dengan jeritannya yang biasa.

Ia berulang kali menggunakan suaranya yang melengking, beberapa kali terdengar sumbang karena terlalu bersemangat meninggikan suaranya.

Ia ingin dengan bahasa baru yang ditemukan seketika ini buat berkomunikasi dengan serangga, namun ini hanya sia-sia. Di dalam otak kecoa tidak ada tempat buat memuat paparan yang panjang lebar begini, oleh sebab itu makhluk menjijikan ini melewati ruangan, dengan langkah-langkah biasa yang seperti prosesi, terus masuk ke salah satu sudut.

Namun, di dalam jiwa anjing kecil, rasa benci masih belum memiliki daya tahan, dan juga masih belum alot. Sukacita hidup yang baru dibangunkan itu telah membuat seluruh perasaan berubah menjadi keriangan. Namrudz masih terus menyalak, namun tanpa ia sadar makna ketika ia menyalak telah berubah, berubah menjadi parodi ——— sesungguhnya ia ingin mengatakan keberhasilan pesta kehidupan yang tak terucapkan itu, penuh dengan pertemuan tak terduga, getaran dan kesenangan yang memuncak.

Kopi Pagi Sri

Cerpen Imam Solikhi
Editor Ragil Koentjorodjati

Pagi. Kopi. Akhirnya aku bisa ngopi, meski dengan sembunyi-sembunyi. Ini adalah yang pertama kali di tahun ini. Karena sejak enam bulan yang lalu aku tidak bisa, dan tidak boleh meneguk kopi. Bukan hanya untuk dua bulan ke depan saja, tapi mungkin untuk selamanya, tidak ada kopi.

wanita kopi
Foto A cup of coffee by Elicice

Kopi, selalu identik dengan laki-laki. Kopi ditanam tidak untuk seorang perempuan. Khususnya di desa Guwalan. Lebih lagi, tidak untuk perempuan yang sedang mengandung 8 bulan. Dan yang lebih khusus dari semua itu, adalah aku. Sri. Perempuan yang pernah tinggal berbulan-bulan di rahim istri dari Pak Supri. Perempuan pecandu kopi, semenjak empat tahun waktu yang terlewati. Semenjak SMP kelas 3, atau semenjak aku mengenal cinta. Juga semenjak aku mengetahui fungsi kedua dari vagina.

Pagi ini, benar-benar sunyi. Benar-benar sepi. Bahkan kesunyian pun merasakan kesepian, dan kesepian pun merasakan kesunyian. Saat-saat seperti ini, aku sangat merindukan sebuah situasi yang biasa kusebut “sendiri”. Sendiri secara jiwa, maupun raga. Aku memang suka menyendiri. Persis seperti saat aku meringkuk di dalam rahim istri dari Pak Supri. Kini aku duduk di kursi dekat jendela kamar selebar seratus senti, meminum kopi yang sudah enam bulan tak kunikmati, dan yang lebih penting lagi, kini aku sendiri.

Daun-daun sudah nyaris sempurna menghijau kembali. Burung-burung kembali bercericit merayakan lepasnya musim kemarau. Bau tanah yang khas berulang kali merasuk ke dalam rongga hidungku. Langit pagi terkesan sendu, setelah tiga hari lamanya hujan menyapa desaku. Kulihat jarum pendek masih berkutat di angka tujuh. Itu artinya masih ada waktu sekitar empat jam sebelum aku kembali bertemu dengan orang-orang yang tertulis dalam KK sebagai keluargaku. Mereka yang bernama Pak Supri dan istrinya-yang kupanggil ibu-serta Dadang yang ditakdirkan sebagai pamanku. Mereka yang sekitar empat jam lagi akan kembali dari Kutu Wetan, setelah mereka merasa puas menyaksikan saudara mereka-saudaraku juga-melahirkan. Mungkin beberapa hari kemudian, mereka akan kembali menyaksikan. Kelahiran. Mungkin tak lama lagi aku juga akan merasakan sebagai salah satu tokoh utama dalam prosesi kelahiran. Meski masih sekitar satu bulan, tapi bisa kutebak itu akan terasa mendebarkan. Sama mendebarkannya ketika sekitar empat jam lagi mereka akan kembali. Lalu mengganggu waktuku untuk sendiri. Kembali memberikan perhatian dan bantuan yang nihil ekspresi. Kasih sayang yang tak berinduk dari hati.

“Tok.. Tok.. Tok..” suara pintu diketok. Sebisa mungkin aku segera bergegas merapikan gelas yang masih tersisa seperempat kopi hitam. Lalu sambil berusaha segera secepat mungkin menuju sumber suara yang berulang kali mengucapkan salam. Rasanya sangat sulit, berjalan dengan tubuh ringkihku ini yang kini dibalut perut yang kian membuncit.

“Ya, sebentar!” jawabku dengan sedikit berteriak. Jarak antara kamarku dan pintu depan terasa lebih jauh ketimbang saat beberapa bulan yang lalu. Perut dan tulangku terasa ngilu. Ditambah lagi kakiku pincang yang sebelah kiri. Bukan karena cacat, tapi kata orang-orang ini disebut gawan bayi. Punggung kaki kiriku telah lama membengkak. Jika tersentuh sedikit saja aku bisa teriak-teriak.

“Ada apa Bulik?” tanyaku pada orang yang mengetok pintu tadi, yang ternyata adalah Bulik Karmi. Tetanggaku. Tetangga yang kerap membantuku dengan kadar ikhlas yang lebih baik dari keluargaku.

“Bapak ibukmu belum pulang to Nduk?”

“Belum Bulik, nanti siang katanya…”

Oalah… Kamu sudah sarapan Nduk?” tanyanya dengan wajah terlihat khawatir.

“Belum bulik, nanti siang sekalian saja..”

Tanpa menunggu hitungan detik sampai ke delapan, Bulik Karmi langsung meninggalkanku sendirian. Di umurnya yang ke-54, jalannya masih terbilang cepat. Jariknya sudah terlihat lusuh, begitu pula dengan bajunya yang terlihat kumuh. Dari belakang terlihat jariknya yang dipenuhi tanah liat. Sudah pasti dia baru pulang dari sawah yang nyaris setiap hari ia datangi selepas salat. Tubuhnya kini lenyap ditelan rumahnya yang gelap. Aku memutar badan untuk kembali masuk. Tak lama, pintu kembali diketuk. Bulik Karmi datang membawa nasi pecel dan kerupuk. Aku tersenyum. Tapi tetap kalah manis dengan Bulik Karmi yang juga ikut tersenyum. Menyejukkan. Seperti tanah kering yang terkena hujan semalaman.

***

Pagi. Entah tinggal berapa pagi lagi aku masih bisa mengelus-elus perut buncitku ini. Memang semenjak beberapa bulan yang lalu, aku memiliki hobi baru. Mengelus-elus perut buncitku ini. Setiap hari, olehku sendiri. Kalau bukan aku sendiri yang mengelus-elus perutku sendiri, lantas siapa lagi? Tak akan ada yang sudi. Yang ada malah pandangan sinis dari orang-orang saat melihatku mengelus perut buncit ini sambil senyum-senyum sendiri. Keluargaku? Jangankan mengelus-elus, tidak membenci perut buncitku ini saja aku pasti sudah sujud syukur pada Gustiku.

Entah sudah elusan ke berapa. Entah sudah seberapa jauh lamunanku melanglang buana. Aku masih sering melamunkan bagaimana bentuk wujud dari janin yang selama ini hidup dalam perutku. Tapi semuanya terasa semu. Semu karena segala perasaan yang bercampur. Semu karena kebahagiaan dan ketakutan yang kian hari kian membaur. Bukan takut karena aku mungkin saja mati saat melahirkan, tapi ketakutan ini bermuara pada sebuah jawaban yang tak kunjung kutemukan. Kelak, ketika manusia yang saat ini masih dalam kandungan ini keluar dari rahimku. Kelak, ketika dia kerap menangis karena merindukan susu yang terkandung dalam payudaraku. Kelak, ketika dia sudah melepas statusnya sebagai balita. Kelak, ketika dia mulai menyadari bahwa ada yang berbeda dalam hidupnya. Kelak, ketika dia merasa asing melihat teman-teman sebayanya digendong atau dimarahi oleh seorang laki-laki yang ibunya sebut “bapaknya”. Dan kelak, ketika datanglah sebuah pertanyaan, “Ibuk, siapa bapak saya?”.

Mungkin aku ingin segera binasa sekarang juga. Detik ini juga. Sebelum ia keluar dari rahimku. Sebelum ia menyusu di payudaraku. Sebelum ia melepas statusnya menjadi balita dan mulai merasakan ada yang berbeda dalam hidupnya. Sebelum semuanya terjadi. Sebelum datangnya pertanyaan yang mengerikan ini. Dan jauh lebih dari itu semua, sebelum aku menjawabnya dengan terpaksa, “Bapakmu adalah pemerkosa…”.

***

Pagi. Jika saja aku bisa mengulang pagi-pagi yang sudah terlewati. Pasti aku akan kembali pada ratusan pagi sebelum ini. Sebelum perutku bisa sebesar ini. Sebelum Mas Karyo pergi ke Jakarta untuk yang pertama kali.

Dulu, atau 541 pagi yang lalu. Aku dan Mas Karyo adalah sebuah sinonim dari kata cinta sejati. Di mana kami adalah dua cucu Adam yang melewati kehidupan hanya berpedoman pada kata hati. Cinta. Terserah apapun namanya. Yang kutahu kami berdua satu hati, satu misi dan satu janji. Cukup sulit memang untuk menjelaskannya. Yang jelas, kami bahagia.

Mas Karyo adalah seorang pemuda yang berselisih umur sekitar 4 tahun denganku. Dia juga salah satu penghuni tanah desaku. Orangnya tidak terlalu tampan. Tapi tubuhnya yang kekar membuatnya terlihat menawan. Jelas dia sangat kuat, makanya orang-orang di desaku selalu mengandalkannya dalam urusan angkat-angkat. Mas Karyo dengan rambut cepaknya adalah sosok sempurna untuk dijadikan kuli bangunan. Sebuah pekerjaan yang ia geluti sejak berpuluh-puluh bulan.

Mas Karyo yang hanya tamatan SD adalah pemuda tersukses di desaku. Dia adalah salah satu dari segelintir pemuda yang mampu membeli sepeda onthel dan kebutuhan cerutunya dengan murni mengandalkan peluh yang keluar dari tubuhnya itu. Dia tidak seperti kebanyakan pemuda di desa Guwalan. Dia tidak suka minum-minuman, tidak suka berjudi sabung ayam, apalagi pergi ke tempat pelacuran. Sebaliknya, dia justru pandai mengaji dan menjadi muadzin tetap di langgar kami. Suaranya merdu, seperti burung Kutilang di pohon Randu. Tapi lupakan itu semua, bukan itu alasanku mencintainya. Sungguh, aku mencintainya tanpa alasan, tanpa tujuan. Hanya murni getaran jiwa yang tak terelakkan. Persis seperti yang sering ia ucapkan.

Dari Mas Karyo-lah aku mengenal cinta. Dan dari mas Karyo pula aku membenci Jakarta. Jakarta adalah tanah terkutuk yang lihai mengubah segalanya. Seperti sebuah mesin pendoktrin yang dapat mengubah siapapun yang berani datang ke sana.

Masih di pagi yang sama, masih di arah lamunan yang sama pula. Sudah sejuta kali lebih aku mencoba bersembunyi dari kenangan. Tapi perut buncit ini selalu hadir untuk kembali mengingatkan. Masa lalu yang belum lama berlalu, kembali hadir diantar lamunanku. Delapan belas bulan yang lalu tepatnya, ketika mas Karyo berpamitan padaku akan pergi ke Jakarta untuk bekerja. Hari itu hari Selasa. Tepat tiga hari setelah keluargaku menolak lamarannya. Bukan, ini bukan tentang masalah derajat ataupun masalah kekayaan. Ini semua hanya karena mitos konyol yang dipercayai orang-orang tolol. Hanya karena letak rumah kami, pernikahan ini selamanya mustahil akan terjadi. Di desa Guwalan, menikah dengan rute ngalor-ngulon (rumah pria berada di utara, sedangkan rumah wanita yang akan dinikahinya berada di barat) adalah sebuah pantangan. Orang-orang di desaku bilang, pernikahan ngalor-ngulon akan membawa musibah, perceraian bahkan kematian. Entah itu aturan macam apa, yang jelas aku sangat tidak mempercayainya. Tapi mau bagaimana lagi, banyak hal yang nyata-nyata menjadi bukti. Nyaris semua orang yang berani menentang adat ini, akhirnya percaya dan menyesali. Musibah, perceraian dan kematian benar terjadi di masing-masing keluarga yang berani menentang. Entah itu merupakan pembuktian, entah itu hanyalah kebetulan. Yang jelas, keluargaku memegang adat itu dengan tegas.

Mendengar alasan penolakan lamaran itu, mas Karyo tidak hanya diam menopang dagu. Dia pergi ke kota untuk belajar dan bekerja, dengan harapan pengalamannnya di sana dapat mengubah paradigma gila di desa Guwalan tempatku menunggu kepulangannya.

“Ya, kita sama-sama tahu, orang tuamu tak kan pernah memberi restu. Tapi kita juga sama-sama tahu mereka bukanlah Tuhan. Bukan sosok yang menentukan segala cerita kehidupan. Jika kau memiliki cinta yang sama, mari kita tiru Adam dan Hawa. Mereka tetap bisa menikah tanpa restu orang tua atau siapapun juga. Hanya lampu hijau dari Tuhan semata.” Katanya panjang mencoba meyakinkanku agar mau mengikutinya pergi ke Jakarta dan menikah di sana. Tapi tak satu pun kata yang terucap dari bibirku. Lidahku terasa kelu. Seperti sehabis mengunyah tujuh buah simalakama hingga tak tersisa.

“Baiklah, yang jelas semoga kita masih memiliki cinta yang sama. Aku akan pergi ke Jakarta. Aku akan merubah segalanya. Sri, tunggu kang mas kembali..” Ucapnya lirih, namun tegas. Sorot matanya tajam, namun di sana tersimpan sejuta harapan. Untukku, untuknya. Untuk kita. Sebuah kecupan manis mendarat di keningku, sebelum beberapa saat kemudian dia berlalu. Tubuhnya semakin menjauh, semakin mengecil. Lalu hilang di tikungan dekat bunga Kantil. Gemuruh di dadaku menggelegar menciptakan air bah yang keluar dari balik kelopak mataku. Ada banyak sekali kata yang tak terucapkan, lalu mereka menjelma menjadi tangisan.

Sembilan bulan kemudian, Mas Karyo kembali tiba di desa Guwalan. Sudah menjadi tebakan basi jika akulah manusia yang paling bahagia atas kedatangan mas Karyo kembali. Aku menantikan oleh-oleh yang dulu ia janjikan. Tentu saja itu adalah pembuktian dari segala harapan yang kutitipkan.

Sore itu, di pematang sawah di desaku. Aku dan Mas Karyo bertemu untuk mengadu rindu. Jarak dan waktu perlahan-lahan menjelma menjadi neraka yang siap menikamku dan mungkin menikam mas Karyo juga. Tatapan kami, genggaman tangan kami, seolah begitu kejam membalas dendam pada jarak dan waktu yang selama ini menjadi jurang-jurang kecil yang setiap saat mampu merobohkan kami. Ada milyaran rindu yang harus dibalaskan atas segala waktu yang terlewatkan.

“Lihat Sri, aku benarkan? Kini aku sudah berubah. Kita tinggal menunggu waktu agar aku dapat merubah pandangan orang-orang tentang mitos setan itu. Terutama orang tuamu. Kita akan menikah. Aku yakin itu!” itulah kalimat yang terucap dari bibir mas Karyo yang hanya berjarak 5 senti dari wajahku.

Jelas aku mempercayainya. Aku pun menyadari ada banyak yang berubah dari dalam dirinya. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara juga cara berpikirnya. Mungkin itulah hasil dari ia berguru pada pengalaman di kota Jakarta. Tapi, ada yang berbeda ketika Mas Karyo mengatakan cinta dengan matanya. Ucapannya yang sangat menyakinkan, entah mengapa justru malah melahirkan keraguan. Dari matanya kurasakan ia sangat berbeda. Benar-benar berbeda dari sebelumnya.

Berawal dari sebuah ciuman, lalu berubah menjadi adu kekuatan, lalu berujung pada penyesalan. Mas Karyo benar, dia memang telah berubah. Aku digagahinya dengan paksa. Katanya, itulah yang disebut ekspresi cinta. Cinta orang kota begitu berbeda dengan cinta orang desa. Perasaan yang ia sebut cinta, kini kebal pada tangisanku, permohonanku dan gigitanku di lengannya. Badan kekarnya menindih tubuhku yang lemah. Ketulusan cintaku ditelan tubuhnya yang sedang bergairah. Aku meringis. Aku menangis. Hari ini untuk pertama kalinya dia nampak begitu bengis. Pikirannya sudah tak lagi mengkultuskan cinta, tapi mendewakan kepuasan hawa nafsunya. Ajaibnya, aku tetap saja mencintainya. Meski Mas Karyo yang dulu, telah lama mati di kota yang terkutuk itu. Yang ada kini Mas Karyo yang mengartikan cinta seperti seekor hewan melata.

Ya, aku tetap mencintainya. Sampai kapan pun juga. Itulah alasanku, mengapa tidak ada satu pun yang tahu bahwa Mas Karyo-lah sang pemerkosa itu. Sampai saat ini, aku tetap yakin untuk menyimpan rahasia itu sendiri. Dan memilih disebut pelacur, jalang, sundal atau hinaan macam apapun saja. Memilih untuk bersedia dibenci keluarga dan orang-orang desa. Dan juga, memilih untuk menjaga janin dalam kandungan ini dari sindirian siapa saja. Itu setara. Demi Mas Karyo agar tetap hidup dan bisa kembali meninggalkanku ke Jakarta. Demi Mas Karyo agar tidak merasakan bagaimana sakitnya ketika parang-parang warga dan celurit bapakku mendarat di sekujur tubuhnya. Agar aku tetap bisa mencintainya. Bagaimana pun juga, meskipun Mas Karyo adalah pemerkosa, adalah pencipta segala penderitaan yang selama ini kurasa, dia tetaplah orang yang selamanya ada dalam dada. Dalam dadaku, di mana kelak anaknya juga akan menyusu.

Aku memang tidak harus melakukan ini semua. Tapi, aku ingin melakukan ini semua. Hanya karena ingin. Aku yakin. Dan biarlah cinta ini seperti secangkir kopi. Meskipun selamanya orang tuaku dan orang-orang di desaku tak kan pernah memberkati, tapi tetap akan kunikmati. Meski hanya sekali-sekali. Meski dengan sembunyi-sembunyi.

Imam Solikhi, mahasiswa Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Beberapa karyanya telah dimuat Majalah Gradasi dan Ponorogo Pos. Aktif menulis di organisasi Himprobsi. Dapat dihubungi melalui surel imamessiah19@gmail.com.

Setapak Jejak Tukang Kebun

Puisi John Kuan

jejak
gambar dari http://gaedegambarist.blogspot.com

I
Lalu sampai di atas tebing tertutup bunga

matahari, berbaring, kejutkan seekor chukar
lebih awal tiba, kutunjuk gunung jauh berkata
pesona awan, lihat mata air menetes
Dengar! Suara pohon ditebang.

Kita dengar sepanjang hari pohon roboh

musim sedang dimulai, hutan berbenah hijau
Siapa akan melewati istana megah, melewati sejuta
pilar Romawi Kuno dan pedang dan tombak?
Melihat serigala gunung menjelma, lalu jadi manusia
mengarungi lautan ke tepi pantai kuning emas
——— agar sendiri ada sedikit nostalgia
ketika arus pasang berbuih datang

Kau pun tertawa, katamu, namun kita hanya

berbaring di sini, di atas tebing tertutup bunga
matahari, dan hanya bisa menerka bagaimana tenang
menjadi tua, mata air menetes, lewati bebatuan
cadas, di sini kita hidup api, berburu, basuh badan
mendengar suara pohon roboh di jauh

II

Buka pintu kuil, terperanjat warnamu

gunung dan ngarai, setetes telaga memantul
genta tua ketuk selaput waktu, dan aku hanya
seorang kelana putus dawai, suka nyanyi
kisah di malam sebelum benteng runtuh
kereta kuda melesat ke tepi sungai api kemah

Kita kadang juga berbincang sampai ombak laut

prajurit-prajurit gugur di tanah jauh, zirah menyimpan
dingin dataran tinggi, ujung baju melekat biji-biji gandum
kening pecah cahaya dan hampa, siapakah di malam
sebelum benteng runtuh berdoa? Siapakah tangan
melingkar seuntai japamala? Siapakah berselimut jubah
takdir membaca sutra? Sudah berapa kaki
dari permukaan laut, kau bertanya
rambut kacau bahu bergetar

Lain kali bertemu kau lagi, semestinya di kota tua

tropis, saat itu sudah dataran rendah, jangan sebab tiada cinta
duduk di atas kursi rotan di sisi akuarium ikan mas
cuma bicara tentang angin kabut England
selat, lampu, tiang layar, dan arah angin
Lain kali bertemu kau lagi, singkirkan musim hujan
kota kecil, biarkan matahari jemur kolam air mancur
jalanan, bangku taman, kaleng bir, elang berputar