Arsip Tag: hujan

100 Baris Hujan dan Ombak Buat Fa Hien

Puisi John Kuan

Kadang  membacamu  di depan jendela,  beri  titik

dan koma  pada perjalananmu   yang  tanpa tanda

baca.  Di luar jendela adalah laut kelabu dan hujan

Satu  kapal melintas.  Entah pukul  berapa  petang

Kadang    menerka  perjalananmu   sampai  di tepi

Sungai Musi, duduk di ujung dermaga melihat riak,

belajar tegar bagai sebuah jangkar.Di sana kadang

ada  kapal kadang  ada  badai kadang  cuma  sisa

ombak  putih segerombol. Perjalananmu  memang

tidak  pernah mudah, salju  dan pasir gurun penuh

catatan  kakimu. Angin beku buih ombak melewati

celah-celah  aksaramu. Sulit  membayangkan kau

yang enam puluh melangkah keluar gerbang Kota

Chang’an,  bertahun-tahun  jalan kaki  kau simpul

jadi  sebaris  kalimat  pendek: [  di atas  tidak  ada

burung   terbang,  di bawah  tidak   ada   binatang

merangkak, tulang belulang putih sebagai markah

jalan. ]  Lalu  kau melewati  Dataran  Tinggi Pamir,

mengutip   jejak    Buddha   dari   Mingora  hingga

Pataliputra, menyalin kitab 3 tahun. Kau sudah 68.

 

Saya  sedang  mengatur sudut  pandang berbeda,

menarik   titik   temu  jejak   kakimu  dan kata-kata

mati   semu.   Sekuntum   awan    tengger   di luar

jendela,   sekelompok-sekelompok   turis   sedang

membentuk  garis  pantai. Bunyi-bunyi  Sanskerta

terbang  keluar  kitab  tua  berbaur dengan aroma

kopi dan lembaran kontrak dagang. Setelah tanda

tangan, sepotong basa-basi, sedikit mitos,saatnya

makan siang.  Orang memang  bukan terbuat dari

angan-angan dan tanah liat saja. Pada satu sudut

panorama laut sewaan, melihat  kapal datang dan

pergi, melihat  kau ikut Air Gangga mengalir turun

18   yojana    berlabuh   di Campa,   konon   dekat

Bhagalpur,  ke hulu  50  yojana  merapat  di mulut

Teluk   Benggala.   Kau   catat  nama   negeri   ini:

Tamralipti.  Awan bergeser keluar sudut pandang,

sebuah   kapal   mengisinya,  bentuk  sepenuhnya

ditentukan muatan, warna dermaga dengan corak

Dun Huang, arah angin dengan suka duka,2 tahun

kau salin kitab buat gambar. Tahun itu 410 Masehi

 

Gelas  dan  sendok garpu  tidak  mampu menahan

angin  meniup naik taplak meja, menelanjangi satu

kaki  meja  serat kasar, berkibas  dan mengancam

dari  badai laut jauh. Awan hitam mengusir orang-

orang  kopi  petang,  ada  pohon begitu  saja luluh

daun.  Dua  biksu  tua   berlindung   di mulut  pintu

pencakar  langit.  Kau  melanjutkan perjalananmu,

numpang sebuah kapal niaga. Menyusuri bau kari

ditiup  Angin Musim Barat, sepanjang pantai timur

India, lalu barat  daya. 14  siang dan malam. Saya

mencegat  sebuah   taksi  berlari keluar gumpalan

awan hitam, sodor satu alamat asing kepada supir,

dari Pakistan katanya, serahkan pada Google Map

Hujan turun,  gudang-gudang  mengelupas, orang

sedang bongkar muat, rintih gerigi motor bergetar

melawan rintik hujan.  Apa kau juga bawa kompas,

jubah usang,patung Buddha gaya Gandhara?Baca

rasi bintang  dan  arah angin? Salin Dirgha-agama

dan   Samyukta-agama,   mendalami  tata  bahasa

Sanskerta 2 tahun. Kau  sebut  negeri  ini:  Sinhala

 

Apa  bisa  menerjemah  bulan Kowloon  jadi bulan

Maladewa? Taifun di Shatin menjadi badai di atas

Samudera  Hindia?  Angin  mengiris  kaca jendela

perpustakaan, saya sedang melihat  apa yang kau

kemas, bergulung-gulung Agama dan Vinaya,buat

mencerahkan  kampung halaman? Kau naik kapal,

isi 200 orang, 2 hari layar  berkembang, lalu badai

naik  kapal  pecah,  kau  diseruduk  13  hari  angin

ganas. Kandas di atol. Saya juga kemas, bergegas

keluar  kamar   hotel  berbau  insomnia dan kukus

ikan. Mengejar jatuh tempo  tiket  kelana  di awan,

mimpi  memang  mudah  jadi material: terjemahan

catatanmu,  titik  koordinat, membawa  ingatan 16

abad  ke dalam   perut Airbus  350.  Duduk di atas

awan,  baca  perjalananmu   yang  disalin seorang

misionaris:  James  Legge, dia  juga  pipa  budaya

seperti kau. Membentang dari Barat ke Timur. Kita

suka  membawa  barang   aneh  menerjang waktu.

Demikian  kau  ombak  dan  angin  90 hari, masuk

Selat  Malaka, berlabuh di kota  pelabuhan: Javadi

 

Melewati sebaris gugusan cahaya perak, kita telah

sampai   di mana?  Biru  di bawah   itu  langit  atau

lautan?  Lewat  puncak salju, tampak lagi satu tahi

lalat    dunia.  Tidak    peduli     orang-orang   demi

sepotong  agar-agar  di dalam mangkuk Laut Cina

Selatan baku hantam,  kita  bicara. Bicara tentang

perjalananmu  yang 14.600 kata  hanya  750  buat

angin dan ombak laut, sisa 4 patah buatku[ Javadi.

Mayoritas agama Hindu. Dharma Buddha tak usah

cerita. Menetap 5 bulan ]  Saya mendarat di dalam

hangat    tropis.  Pulang.  Kau  juga,  kapal   tujuan

Guangzhou,  di atas  ombak  85  siang dan malam

mendarat   di Laoshan.   Hujan   turun  lagi,  entah

berapa petang. Tahun 414,saya melihat kau mulai

menerjemah;  genteng   memutih;   pintu  tertutup.

Koi    sembunyi   di dasar    kolam;  warna    emas

terpendam  di bawah  air keruh. Pekarangan batu;

kerikil   hitam   di atas batu  putih. Helai rambutmu;

uban dan salju. Kita berjalan ke ujung lorong, buka

secelah pintu kayu, melihat  pelangi  di ujung  atap

24 Posisi Matahari ( 8 )

Kolom John Kuan

awal musim dingin
gambar diunduh dari desktopnexus.com

☉立冬

——— air jadi es; tanah membeku; ayam pegar masuk air jadi lokan.

Sepotong lorong sempit tepat di depan jendela. Hujan sedang membasuh ke dua tembok yang mengapitnya. Uap air dan cahaya petang mengisi sepanjang lorong, saya melihat sepasang kaki jenjang di bawah payung merah sedang terapung di tengah lorong. Petang Hangzhou, akhir musim gugur, gambar ini begitu akrab, saya pasti pernah mengenalnya. Sepuluh tahun lalu, dua puluh tahun lalu? Saya di dalam kamar yang nyaman dan hangat terus membaca dia yang basah kuyup mengalir ke ujung lorong, hilang bersama uap air dan rabun senja. Setelah menuang secangkir teh saya kembali berdiri di mulut jendela, berusaha keras ingin membuktikan kepada malam Hangzhou yang baru melangkah masuk bahwa kami memang pernah saling kenal. Mungkin setengah jam demikian berlalu, membuka gumpalan awan, menyibak tirai hujan, menerobos pancaran cahaya matahari, akhirnya saya sampai di suatu petang 1927 yang muram. Suatu petang milik Dai Wangshu:

Lorong Hujan

Dengan sepucuk payung kertas,

limbung sendiri pada sepi

dan panjang lorong hujan,

aku ingin bertemu dia

bagai bunga lilac memendam

sedih dan kesal, seorang gadis

serupa warna bunga lilac

serupa wangi bunga lilac

serupa risau bunga lilac

pilu lara di tengah hujan

melankoli juga gelisah

Dia bingung di sepi lorong hujan

dengan sepucuk payung kertas

serupa aku ini,

serupa aku ini sedang

diam-diam mondar-mandir

menyendiri, senyap, juga melankoli

Tanpa kata dia perlahan mendekat

kian dekat, lalu melempar

sorot mata bagai keluhan,

dia melayang lewat

seolah mimpi

pedih dan kabur seolah mimpi.

Bagai melayang lewat sekuntum

bunga lilac di tengah mimpi,

gadis yang melayang lewat di sisiku;

dia senyap menjauh, telah menjauh

sampai di tembok reruntuhan

melangkah habis lorong hujan

Warnanya pupus

wanginya lenyap

di dalam nyanyian pilu hujan

telah pupus lenyap, bahkan

sorot mata seolah keluhan itu

serupa melankoli bunga lilac.

Dengan sepucuk payung kertas

limbung sendiri pada sepi

dan panjang lorong hujan

aku ingin dia melayang lewat

gadis serupa bunga lilac

pendam sedih dan kesal

雨巷

撑着油纸伞,独自

彷徨在悠长、

悠长 又寂寥的雨巷,

我希望逢着

一个丁香一样的

结着愁怨的姑娘。

她是有

丁香一样的颜色,

丁香一样的芬芳,

丁香一样的忧愁,

在雨中哀怨,

哀怨又彷徨。

她彷徨在这寂寥的雨巷,

撑着油纸伞

像我一样,

像我一样地

默默彳亍着,

冷漠、凄清,又惆怅。

她静默地走近

走近,又投出

太息一般的眼光,

她飘过

像梦一般的,

像梦一般的凄婉迷茫。

像梦中飘过

一枝丁香的,

我身旁飘过这女郎;

她静默地远了,远了,

到了颓圮的篱墙,

走尽这雨巷。

在雨的哀曲里,

消了她的颜色,

散了她的芬芳

消散了,甚至她的

太息般的眼光,

丁香般的惆怅。

撑着油纸伞,独自

彷徨在悠长、悠长

又寂寥的雨巷,

我希望飘过 一

个丁香一样的

结着愁怨的姑娘。

24 Posisi Matahari ( 7 )

Kolom John Kuan

musim dingin
gambar diunduh dari guim.co.uk

☉霜降

——— serigala mempersembah hasil buru; tumbuhan kuning luruh; serangga hibernasi

Duduk membaca teks berjalan di kaca jendela gerimis. Kadang puisi, kadang cerita pendek, kadang flash fiction, terutama di malam hujan. Hari itu saya membaca sebuah roman, sedikit picisan, tapi khas teks berjalan.

Mobil biru keabuan, bersih mengkilap, hatinya demikian juga, dinihari pukul dua lewat lima menit masih belum dapat penumpang, memilih pulang. Hujan berhenti, menurunkan kaca jendela, isap rokok. Tiba-tiba hati sangat kacau, sering seolah teringat sesuatu, lalu tidak teringat lagi. Di mulut jalan depan berdiri satu bayang memutih, matikan rokok, mobil dibawa mendekat… muda… anggun… sudah melambai… Dia buka pintu, perempuan muda masuk ke tempat duduk depan, agar mudah menunjuk jalan?

“Ke mana?”

Dia membantunya menyulut rokok…

“Ingin ke mana?”

“Terserah kamu “

“Maksud saya mesti mengantar kamu ke mana?”

“Oh, my god!”

“Maaf, aku yang salah!”

Perempuan itu bergegas keluar mobil, mengucapkan selamat malam, dengan pinggul menutup kembali pintu mobil.

Mobil tidak bergerak. Perempuan itu juga tidak bergerak.

Dia melongok keluar jendela

Perempuan itu melangkah ke arah berlawanan.

Setelah perlahan mengemudi lewat beberapa mulut jalan, putar balik, jalanan sangat lengang, membuat dia merasa kekacauan tadi telah meresap, matanya menyapu dua sisi jalan, bangunan, bayang lampu lalu lintas, suara mobil lain, dia merasakan semuanya telah menyatu jadi sebuah tubuh besar, dan perempuan tadi adalah selembar bentuk manusia digunting dari kertas putih, entah basah kuyup menempel ke mana.

Perempuan itu di bawah kanopi sebuah bar, sedang membuka pintu, tiba-tiba menoleh, seolah ada orang memanggilnya. Dia mengajak perempuan itu minum, menari, tidak usah lihat arloji, akhirnya perempuan itu melihat. Mengantarnya pulang ke Greenwich Village. Pemandangan jalan kabur menyatu, gerimis lagi.

“Hagan… Sejak kapan mulai?”

” … dua tahun lalu… Kamu?”

“Apa?”

“Sudah berapa lama bawa taksi?”

“Juga hampir dua tahun “

“Sepenuhnya mengandalkan tip?”

“Iya, siang hari bolak-balik Long Island, jauh lebih baik daripada di dalam kota.”

“Tidak akan seumur hidup begini?”

“Iya, tidak tahu kapan-kapan menukar yang lain.”

 “Tim, kau memang luar biasa.”

“Mana ada… lagipula, memandang ekspresi orang, enakan pemandangan jalan.”

“Keras kepala adalah tabiat paling susah berubah.”

“Seandainya mau berubah, juga mesti dengan keras kepala mengubahnya.”

“Tidak usah diubah, orang keras kepala paling lembut.”

“Macam mana tahu?”

“Umpama, sangat memperhatikan cara berpakaian, demikian sudah sangat lembut terhadap dirinya.”

“ Kalau begitu kamu lebih luar biasa…. aku sungguh tidak mengerti… kamu…”

“Ibu, adik, aku, buru-buru ingin menyelesaikan kuliah pergi kerja.”

“Sudah mau nikah, besok dia ulang tahun.”

“Selamat ulang tahun!”

“Terima kasih, kami ingin makan malam di Village, restoran mana bagus? Okra?”

“Setelah koki Okra meninggal dunia, sekarang tinggal orang dari luar kota yang datang mencicipi nama.”

“Assam, bagaimana?”

“Bagus sekali, jika kau berminat boleh bertemu pemiliknya, bilang dari nona Ula Hagan, penutupnya akan disajikan teh Pangeran Wales… berhenti di sini, Tim, terima kasih!”

“Hagan!”

“Apa?”

“Nomor telepon.”

Hagan menyambut pena, ditulisnya di atas telapak tangannya.

Menyusuri sebentar sisi Sungai Hudson, dia memutar balik ke sudut jalan Hagan turun, apartemen hitam di dalam gerimis, terasa seolah tebing curam.

Di bawah cahaya kapsul telepon umum, angka di telapak tangan, berbaur dengan keringat, sisa 2, 5 bisa dikenali.

Pagi berikutnya menemukan di tempat duduk Hagan ada sebuah tas. Malam Tim bersama tunangannya datang ke Assam, tas dititip ke pemilik restoran untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Selesai makan, teh Pangeran Wales bening warna amber, kental dan harum, monopoli pedagang teh kesohor Twinings.

Saat mau bayar, pelayan bergegas datang berkata: “Sudah dibayar nona Hagan, dia memberi selamat ulang tahun kepada kalian.”

 Tim dicurigai, penjelasan demi penjelasan, pernikahan tetap dibatalkan ——— akhirnya dia baru jelas dicerca hanya alasan belaka. Prelude perkawinan terlalu panjang. Juga berarti ikatan kasih sayang pendek.

Bahkan ke Assam minum secangkir teh juga tidak ada semangat, terhadap makanan kian tajam mengkritik, badan makin kurus, samasekali tak beriak.

Pada acara wisuda Ula Hagan, Tim hadir, sepatah dua patah kata, apapun tidak beritahu.

Lewat satu tahun, Hagan menikah, pengantin lelaki bukan Tim.

Lewat tiga tahun, Tim menikah, pengantin perempuan Ula Hagan, keluar dari gereja, sepenuh jalan adalah gerimis yang sama.

Perkawinan perak, perkawinan emas, ingat selalu gerimis, kemudian, tidak lagi berhubungan dengan gerimis, abadi jadinya.

Tuhan Sedang Bermain Kamera

Puisi-puisi Granito Ibrahim

#1 Jodoh.

(Kehendak Tuhan adalah abjad-abjad yang tak dapat kita tukar urutannya.)

Lama tak jumpa kekasih, aku kerja di pulau seberang
Paling-paling pesan singkatnya yang rajin berkunjung ke telepon genggam
“Sombong sekarang ya. Sudah banyak uang.”
“Apa jangan-jangan kepincut cewek di sana. Kan akang kesepian kalau malam?”
“Kapan pulang? Nanti aku keburu dikawin orang.”

Mungkin begitu semua perempuan, selalu menyindir dan mengancam.
Baiklah, bulan depan aku akan datang sambil membawa cincin tunangan.
Bagaimanapun aku cinta dia melebihi gunung aneka macam.
Dan benar, gawat juga, umur kami berdua sudah masuk tigapuluhan.

Tanpa memberitahunya aku datangi naik pesawat. Naik kapal laut takut karam.
Namun, kota tempat kekasih tinggal kini semakin sepi. Mana dia gerangan?
Tiba di rumahnya, hari beringsut senja, cahaya temaram.
Orangtuanya memelukku erat bagai anak sendiri,”Apa kabarmu nak Pram?”
Sampai juga aku di teras tempat dulu pacaran. “Mana Bu, si Wulan?”

Ibu dan Ayahnya bilang, Wulan bunuh diri beberapa waktu silam.
Dia putus asa, sebab ada kabar: aku sudah nikah duluan.
Firasatku benar kalau begitu, ketika lihat bulan setengah pualam
dan sesuai pesan singkatnya waktu itu. “Akang kapan mau datang?
Aku tunggu ya di kuburan.”

Sedih aku, payah aku, hati remuk redam
“Mungkin enaknya nyusul dia, jadi jin atau arwah gentayangan,”
kata setan yang keluar masuk pikiranku, diam-diam.

(Jodoh ada  di genggam Tuhan, maukah kita menerima kehendakNya, lalu bersalaman?)

#2 Tuhan Sedang Bermain Kamera.

Hujan mengandung harapan, juga impian
pada garis-garisnya langit seperti menangis terisak-isak
memecah sunyi sambil menebar kilat menyala-nyala.
Yang gelap menjadi terang, yang malam terlihat siang.
.
“Tuhan sedang bermain kamera,” kata seorang pengamen
“Dia memotret kita. Gambarnya akan diserahkan kepada malaikat.
Biar malaikat-malaikat tahu, kepada siapa mereka harus memberi hadiah!”
Pengamen  itu tersenyum dalam hati, berharap sebentar lagi laparnya hilang.
Baru saja, koin-koin recehnya terjatuh masuk hitam selokan
tak ada tukaran yang bisa ia berikan, kecuali mengharap pemberian
dari doa yang ia lantunkan.

Hujan mengandung harapan, juga impian
pada mereka yang di ranjang berduaan.
Seperti petir api-api cinta berloncatan
percikan terang redup bergantian.
“Habis ini cepat kita pulang!” kata lelaki kelelahan
“Takut istri, ya Mas?” ucap genit bibir perempuan.
Mereka tetap bergegas pulang
yang lelaki takut ketahuan
yang perempuan khawatir hamil duluan.

Padahal Dia juga memotretnya,
diam-diam dari balik awan.

#3 Partitur Sang Maha.

Seorang penyair muda sedang mati kalimat, maka ia berdoa,

“Tuhan yang maha Sastra, di mana Kauletakkan makna dari balik kata
apakah kelahiranku sebagai A, lalu kematianku kelak sebagai Z
lantas kehidupan ini adalah permainan susun-menyusun abjad
menjadi kalimat. Kalimat membentuk bait hingga menjadi syair kebesaranMu?”

Seumpama sabdaMu adalah nada maka manusia adalah pemusik
Telah Kautebar rima di antara ayat-ayat itu, maka manusia adalah penyanyi
Dua pertigaku adalah air, dari rahim menuju garis akhir
Sepertigaku adalah tulang dan daging, kelak membusuk berbaring
Berarti bunyi waktu merupakan lagu. Yang harus kumainkan sesuai partitur
Yang telah Kauatur dari sebelum dunia lahir dan kelak hancur.

“Tuhan yang maha Sastra, di mana Kauletakkan aku dari balik ceritaMu?”
 
 
Granito Ibrahim, lahir di Jakarta. Seorang buruh seni. Baginya, tidak semua ungkapan hati dapat dituangkan dalam wujud visual. Tidak seluruh buah pikiran bisa digoreskan dalam gambar. Sebab itu ia kadang membuat cerpen dan sesekali menulis puisi. Walau waktunya seringkali dihabiskan untuk memelihara ikan; sebuah obsesi masa depannya.

Kepada Bekas Istri

Puisi-puisi Agus Sulistyo
 
Kepada Bekas Istri
 
Aku menjemputmu sebagai matahari
ketika hujan airnya sudah tak mampu lagi menenggelamkan pagi
hangat bias cahayanya mengukur waktu yang diberikan kepadaku
sebelum beringas mencakar setiap jarak di kulitku
 
Aku menyetubuhimu sebagai api
ketika kuatnya hembusan nafasku tak lagi mampu menjaga baramu
tak ada waktu lagi yang diberikan kepadaku
hingga aku baru menjadi tahu ketika tiba-tiba tubuhku telah menjadi abu
 
Aku berdiri menatap tanah kering di depanku yang beralaskan debu
ketika sore hari segera menitipkannya kepada sepoi angin
untuk sesaat kemudian ikut menjemput malam
yang takkan pernah bisa kutemui lagi
Karena aku telah mati, bersama padamnya api tubuhmu.
 

Gugusan Hidup
 
Tumpukan kertas,
sepotong pensil yang tinggal setengah,
rautan … bahkan karet penghapus
tak juga mampu menghidupkan kembali sebuah kematian
Perlahan, kuberangkatkan jasadku kepada langit …
kubaringkan di atas awan yang kian menghitam
luruh, larut bersama semaian hujan
menyatu dengan bumi
Melukis ruang sebuah awal kehidupan,
meski tidak lagi bagi diri.

Engkau dalam Lima Elemen

Puisi John Kuan

five element
gambar diunduh dari http://www.ariellucky.files.wordpress.com

Jika kau adalah mimpi, bagai api di sumbu
lilin, cahayamu di kaca jendela menjilat embun beku.
Jika kau adalah api, mata hangat, nostalgia mendidih,
udara kamar menggelegak, bara cengkeh berdesis
di antara bibir. Jika kau adalah mimpi, iya, kau adalah api,
petir, guruh, lintang kemukus, setitik lampu tidak sengaja
terbuka di satu sudut badai, mimpi menyala

Jika kau adalah mimpi, bagai air mencair di dasar
tempayan musim semi, selamatkan dahaga seekor burung sesat.
Jika kau adalah air, sepenuh rongga tubuh, bawa perahu
ke lengkung teluk, hujan menjelang subuh, menetes tembus
buah rindu. Jika kau adalah mimpi, iya, kau adalah air,
salju, sungai, kelenjar, uap, setetes kafein di petang senyap
mengapungkan serpihan waktu, mimpi hanyut

Jika kau adalah mimpi, bagai logam di tungku
ingatan, melebur setiap partikel giwang rebah di bantal.
Jika kau adalah logam, sebuah hati emas, setua bumi
gantung di lekuk leher, mendekati jantung, cakram rem
di tikungan maut. Jika kau adalah mimpi, iya, kau adalah logam,
rambut perak, kulit tembaga, jarum dalam tumpukan jerami
cahaya mata seribu satu malam, mimpi memuai

Jika kau adalah mimpi, bagai kayu seranting
bunga plum, makin dingin makin pecah kecambah.
Jika kau adalah kayu, suara bakiak tersenyum di ujung lorong,
empat kaki meja, satu bangku di stasiun terlantar, selembar kertas
tertulis rapi. Jika kau adalah mimpi, iya, kau adalah kayu,
duri mawar, inang benalu, pijar batubara, menunggumu sejajar
di luar garis lingkaran tahun, mimpi membatu

Jika kau adalah mimpi, bagai tanah penuh
debu cinta, diterbangkan angin hasrat ke ladang-ladang kekal.
Jika kau adalah tanah, segel sebuah fosil di antara bibir,
jejak kaki hujan, aroma lumpur musim semi, rawa ilalang
persembunyian angsa liar. Jika kau adalah mimpi, iya, kau adalah tanah,
bejana, malam savana, pagi tundra, sungai-sungai mengalir
lewat, aku mengayuh sampai di jendelamu, mimpi tumbuh

Jelaga

Puisi Vivi Fajar A.

Kukawani setiap kemarahan dengan putus asa
Bergelung dalam ruang sempit, kotor dan pekat
Meneriakan hingga serak serentetan caci maki
Pada angin, hujan, matahari, bulan,
pada binatang yang menyaru menjadi manusia,
pada penguasa, kesombongan, kekerdilan
kesemrawutan, kesedihan, pada apa saja…

jelaga
gambar diunduh dari i2_ytimg_com

Lalu aku lelah
Kubunuh diriku sendiri berkali-kali
Namun ia enggan mati
Kucecap pahit, panas dan dingin,
sampai kelu tak merasa lagi
Tetap saja tak mampu kuluruhkan gelap
Aku menyepi dalam raga tanpa hati
Adelaide, April 27 th, 2012
The fall..

Penuai Padi

Flash Fiction Ragil Koentjorodjati

ilustrasi dari unpad.ac.id
Musim kemarau sesekali berhujan. Meski sama satu desa, nasib mereka tidaklah sama. Sawah mereka terbelah sungai. Yang sebelah kiri menuai padi setahun tiga kali, yang kanan untuk panen dua kali harus rela setengah mati. Sebab tanah miring tidak memilih kepada siapa ia hendak membagi rezeki. Saat pagi begini engkau dapat melihat ironi para penuai padi.
Baik, aku membagi mereka menjadi penduduk kanan dan kiri sungai. Jelas sungai mengalir dari atas bukit menuju entah laut jawa atau samudera hindia, ini tidak terlalu penting. Yang penting dan jadi pokok persoalan adalah tanah penduduk kanan sungai lebih tinggi dari sungai, sementara tanah penduduk kiri sungai lebih rendah dari sungai. Tentu saja air lebih mudah mengalir ke pesawahan di kiri sungai. Soal ini cukup merepotkan sebab penduduk kanan sungai pernah datang ke rumahku meminta kebijakan yang lebih baik soal pengairan sawah mereka. Andai engkau jadi pamong desa, apa yang akan kauperbuat? Bukankah sulit menjelaskan pada mereka bahwa tidak ada yang berhak membelokkan aliran sungai?
Sungai itu adalah urat nadi tidak hanya desa kami, tetapi juga desa di muara. Membelokkannya sama dengan menabuh genderang perang. Desa yang cukup primitif. Orang kota berpikir bahwa semua masalah dapat diselesaikan dengan uang. Dengan uang mereka menyarankan membangun bendungan, memasang pompa air, membuat sumur untuk pengairan sawah sisi kanan sungai dan juga membantu menyuburkan benih iri pada pemilik sawah sisi kiri sungai.
Selama ini uang tidak menyelesaikan masalah. Selain kami tidak punya, bantuan uang itu juga hanya wacana orang kota. Kami menjadi lebih sering berdoa dan bersesaji pada Yang Widi, pada leluhur dan pada kali. Yang kiri bersyukur atas panen tiga kali dan yang kanan memohon keadilan atas panen dua kali. Tuhan begitu tega membuat ketidakadilan di desa kami. Doa kami terkabul. Musim hujan datang tidak pada waktunya. Air sungai meluap dan menenggelamkan sawah dan para penuai padi di sisi kiri sungai. Keadilan telah bicara dan kami lebih giat memanjatkan doa.

Akhir Oktober 2011