Arsip Tag: puisi puisi

Secangkir Kopi untuk Ari Pahala

Puisi Ahmad Yulden Erwin

puisi dan kopi
Ilustrasi diunduh dari kolom.abatasa.co.id

Tak ada  secangkir kopi untukmu, Kawanku, tak  ada ruang tamu.

          Kau  pun  tak  hadir di situ, hanya keramik angsa, boneka-

          boneka  tua, porselin  cina,  atau  sebingkai  lukisan rimba.

          Kukatakan  kepadamu, Kawanku: di sini, di ruang tamu ini,

          aku merasa begitu sunyi.

Masih terkenang juga suaramu, sebentuk perlawanan pada batu-

          batu.  Lantas kita pun seru  berdebat:  tentang  sajak-sajak

          awan  dan sungai, tentang debur ombak gelisah mencapai

          pantai, juga kalimat cemas dalam puisi-puisi Paz.

Siang  ini  aku merasa  sedikit  asing, Kawanku,  merasa seakan

          cemas telah meruncing  pada meja dan kursi tamu. Di luar

          jendela, langit begitu kering, cuaca membentur dinding.

‘Kini,  apa  makna  kebebasan  bagiku?’  tanyamu,  suatu ketika.

         Lantas  kau  pun  bercerita  tentang  teater  luka, mencoba

         menafsir duka dalam  pantun  melayu  dan syair-syair  tua,

         atau tenggelam dalam diksi-diksi Akutagawa.

Lewat  teng  12  siang,  aku  merenungkan  budaya yang hilang,

         atau  negara  yang  tak pernah bisa  berdaulat, mirip kisah

         apel yang penuh ulat. Terkadang  kita pun mencoba untuk

         reda, abai pada suasana, tapi di luar kita, cuma pertikaian

         dan hunus senjata.

‘Ideologi  begini,  sebutir  peluru  dan  batu-batu,  apa peduliku!’

         gerutumu,  suatu  pagi,  sambil  mencatat  kalimat-kalimat

         nyeri, mencoba  mengaitkan  rindu pada rintik-rintik sunyi,

         hingga awan-awan dan sungai dalam puisimu: mendadak

         kehilangan dasar imaji.

Di sini, di ruang  tamu  yang sunyi ini, bersama  secangkir kopi:

         aku menyesali suatu bangsa….. yang tak pernah dewasa.

Suatu Waktu

Puisi-puisi Nastain Achmad Attabani

#1 Suatu Waktu

Suatu waktu ketika bunga-bunga bermekaran
Di halamanmu
Membawa keindahan
Keindahan yang indah
Di antara dua kursi yang kaupegang

Suatu waktu saat purnama di bentangan awan
Berkisaran bintang-bintang
Kilaunya wajahmu yang terang
Saat senyuman kauikrarkan

Suatu waktu ketika waktu kautaklukkan
Di ranjam hangat berselimut bulan
kaukawini malam
pagi kuyup kaukayuhi penat

Suatu waktu
Namamu kukenang

#2 Malammu I

Di saat itu
Malam-malamu ternoda
Antara dusta dan murka

#3 Malammu II

Tabir terbuka
Pada nyanyian-nyanyian anak
Diam
Sesal tak berjeda
Duka
Kembang yang seharusnya terjaga

#4 Pagar

Halangi jasad tiap keluar-masuk
Selamatkan kematian saat jurang bertahta
Orasi yang dijaga tanpa kawalan
Pembatas negeri pada kebudayaan
Menjulang tiap jengkal mata di pelataran

#5 Bata Merah

Tampung tiap jengkal kaki-kaki
Tiap dentuman suara-suara
Tiap ekor-ekor yang duduk
Bahkan kayu-kayu relief
Kekar tatanan
Mencuat jelang saat pewarisan datang
Mati di ambang

#6 Kabel-Kabel

Membentang ruang hampa
Berkalibut pada hembusan
Tegang ditekan
Kendor dibiarkan diam
Semrawut kesana-kemari walau jalan hitam
Sanubari merasa keindahan yang tak terbaca
Di tiap sudut satukan mereka

Nastain Achmad Attabani, Seorang penikmat karya, berekspresi untuk di apresiasi serta bermanfaat untuk masyarakat. Nimbrung di Jaringan Pena Ilma Nafia (JPIN) Grobogan.

Puisi-puisi Ahmad Yulden Erwin

The Tibetan Book of Dead

 

Satu gerbang terbuka. Foton-foton karma

    melompat ke lorong warna: Cahaya hijau

sehitam cahaya biru, cahaya merah seputih

    cahaya ungu. Biri-biri tembaga merumput

di padang air mata. Debu kembali ke debu,

    cahaya kembali ke pusar waktu: Samudra

 

hening tanda tanya. Para tulku mulai berjapa,

    burung-burung hering mematuki biji mata.

Fajar telah kembali dengan cambuk apinya.

    Sepasang dakini menendang gerbang kedua,

juga milyaran gerbang lainnya. Kau terkunci

    di ruang hampa. Kau ingin pergi, tapi tak bisa.

 

Kau terpaku menunggu perahu jemputanmu,

    tapi tak ada perahu itu. Sebentang cakrawala

menderu: Kau telah kembali ke rahim ibumu.

    Semua proyeksi itu terjadi di batang otakmu:

Tepat sebelum kauhembuskan napas terakhirmu.
 

Lirik Narita

    Kaumasuki wajahku. Sebuah ruang tunggu

kini terbuka. Satu elevator dari pecahan mimpi,

    kebohongan bagai kertas tisu di toilet usia,

 

dinding menara pemantau dari sayatan luka:

    Bandara dari serpihan tanda tanya. Cermin

di mataku telah menyusun lekuk hidungmu,

    kerut keningmu, juga seuntai tanka pada maut

dan permainan warnanya. Tak ada yang mesti

    kautunggu. Misteri itu telah jadi sebutir salju.

 

Lalu kau ingat sepoi angin di teras rumahmu,

    menjadi film-film kosong di layar batinku.

Kumasuki wajahmu. Detik-detik berguguran

    menjelma laron-laron cahaya, juga metafora

tentang api lilin yang membakarnya. Cermin

    telah pecah di matamu. Satu ilusi telah sirna.

 

Sekarang, ruang tunggu itu kembali terbuka.

    Namun, telah kubatalkan jadwal terbangmu,

dan telah kupilih sunyi untuk menghantarmu:

    Pulang ke rumah hati.

 

keindahan bawah laut
ilustrasi diunduh dari impactlab.net

Kitab Laut

Kini pendar lampu bulan
dipadamkan cahaya pagi
seekor semut-api terjun
ke laut setetes air mata.

Di arus-dalam keheningan
waktu pelan-pelan beringsut
menyulurkan alga merah
ke mulut dua ekor kuda laut.

Seekor cumi dari palung utara
menutup pintu rumah kerang
menghitamkan karang-karang
menyusun rencana tertunda.

Kau berdiri di bawah tatapan
sepasang mata beku seperti maut
mengawasi ikan-ikan berebut
plankton hijau terbawa arus selatan.

Kau mulai bergerak di antara
dua jeda: yang satu berdesis
di tengah tenggorokan, yang lain
bersisik mencium pipi mutiara.

Seekor cacing terusir dari terumbu
karang mencatat persekongkolan ini
Tak heran mereka telah membuihkan
hatimu seasin rasa bersalah yang abadi.

Seekor hiu terpilih sebagai putra matahari.