Arsip Tag: tema filsafat

24 Posisi Matahari ( 9 )

Kolom John Kuan

musim dingin
gambar diunduh dari guim.co.uk

☉小雪

——— bianglala hilang; qi langit dan bumi berpisah; tersumbat jadi musim dingin.

      Di meja saya ada beberapa benda.

      Dua buah botol plastik transparan: sebotol adalah merica abu kecokelatan, sebotol adalah garam putih halus.

      Satu botol besar merah saus tomat, satu botol kecap

      Sebuah vas bunga porselin putih berleher jenjang mekar sekuntum bunga kertas warna ungu.

      Masih ada sebotol tusuk gigi dan sebuah asbak kaca.

      Mereka bersama saya menikmati saat ini, restoran ini, satu sudut kecil tiada orang ini.

 ☉大雪

——— tupai terbang senyap; harimau kawin; rumput liting bertunas

Membaca email seorang kawan. Sudah tengah malam, dia menulis bagaimana dia kehabisan kata menggambarkan seluruh musim gugur yang baru berlalu di kotanya. Bagaimana alam perlahan matang, ranum lalu menguning. Juga tentang bagaimana pohon ginkgo di depan rumahnya dalam semalam meluruhkan seluruh daun kuningnya. Saya berjalan ke sisi jendela, melihat sebatang bintaro menutup seluruh tubuhnya dengan bunga putih. Dingin, seolah berpijar di dalam gelap malam. Dingin dan sedih, semacam tragedi, karena seluruh tubuhnya berlumur racun? Saya jarang mempunyai perasaan begini ketika melihat tumbuhan di kampung halaman, mereka penuh gairah, hangat juga rindang. Malam ini saya teringat pohon ceri hitam itu lagi.

Mungkin sekitar musim ini, awal musim dingin, saya melihat dia yang telah gundul diam berdiri di dalam angin, tiada suara, tiada warna, juga tidak lagi gemulai. Saat itu saya sedang membaca sebuah buku, karena tidak ingin tinggalkan di atas meja, saya menjepit halaman yang sedang kubaca dengan jari, berdiri di sisi jendela melihatnya. Di bawah pohon ceri hitam, bertumpuk daun-daun gugur, kecil kuning keemasan, bahkan telah menutup sehamparan padang rumput. Saya tahu kerja keras dan keteguhannya selama satu tahun, proses memupuk dan menahan diri yang memakan waktu itu telah sampai pada satu titik ekstrem, dan mulai dari saat ini hingga pecah kecambah di tahun depan, adalah masa dia istirahat heningkan diri, tiada suara, tiada warna, tidak juga gemulai. Ini seperti mengandung semacam berita tentang hidup, cemerlang dan polos, montok berisi dan kurus kering, seolah mengirim semacam tema filsafat, tentang berbagai persoalan, kerja keras, panen, kehampaan, juga keindahan, tampak amat abstrak, namun bisa juga sangat nyata, tentang emosi yang meluap, apatis, pencarian, lupa, dan keindahan, saya seakan terperangkap oleh pemandangan, hati dan pikiran mengikuti perubahan luar mengambang, tidak mampu menguasai diri, namun pada sesaat itu juga seperti telah melampui, tidak tampak lagi pemandangan itu. Saya duduk kembali, menyadari jari tangan masih menyepit halaman buku yang belum selesai kubaca, buka, pikiran kacau, rupanya memang sudah lupa apa yang sedang kubaca. Saya berusaha mengingat, lihat kembali bab tersebut, ternyata sedang mendeskripsikan Lenin:

Sekali lagi, dia bersama Gorky sedang mendengar Appasionata Beethoven. “Di dunia tidak ada lagi musik yang lebih agung daripada Appasionata,” Katanya: “aku sungguh berharap tiap hari bisa dengar satu kali, tak terbayangkan, benar-benar musik jenius! Saya sering karena ini menyombongkan diri ——— mungkin saya terlalu naif ——— manusia ternyata mampu menciptakan benda yang demikian menakjubkan. “

Sampai di sini, bahkan tidak sulit juga mengerti Lenin. Kekuatan musik Beethoven juga bisa membuat orang semacam dia mau mengumumkan takluk, saya demikian berpikir, lanjut membaca:

lalu matanya berbinar, tersenyum pahit berkata: ” Namun saya ini tidak boleh sering mendengar musik. Musik menggetarkan syaraf-syarafmu, membuat kau ingin pergi menghormati orang-orang yang sekalipun hidup di nereka yang kotor tetapi masih bisa menciptakan keindahan demikian, ingin mengucapkan beberapa kata baik, mengelus kepala mereka. Pada jaman ini ——— kau tidak mungkin mengelus kepala mereka, mungkin orang akan balik menggigitmu. Kau harus sekuatnya mengetuk kepala mereka, terhadap siapapun mesti menggunakan tekanan. Ai, ehm, kewajiban kita luar biasa besar, payah dan berat. “

Saya meletakkan buku, tiba-tiba sadar, Lenin dkk rupanya begini, ternyata dengan ideologi menghakimi perasaan manusia dan teori seni juga ada sebuah dasar yang berlinang airmata.

Saya seolah hilang waktu berdiri memandang bintaro di depan jendela, penuh bunga putih dan rindang. Sulit membayangkan bintaro gundul sendiri dalam satu malam. Kembali ke meja, di ujung emailnya kawan bertanya, pil daun ginkgo yang dia kirim beberapa waktu lalu apakah sudah saya coba? Katanya bagus untuk melawan alzheimer. Saya sudah minum, cuma belum tahu hasilnya.