Arsip Tag: john kuan

Kuli Kontrak, Bengkalis, 1921

Puisi John Kuan

5 euro mengunduh kau dari sebuah pusat arsip kolonial

bersama sebatang kayu terjepit di antara paha dan betis

bersama sepotong tali yang terikat di luar waktu.

Sedang di dalam waktu aku bisa mencium bau sedihmu

dan rindu dan fermentasi daun gugur.

Apa kisahmu? Aku kira aku tahu, kau tentu diperdaya

di sebuah losmen murah, di sebuah rumah gadai, di sebuah agen kerja

bisa saja di Amoy, bisa saja di Quanzhou, bisa saja di Kanton, bisa saja di Kuilin.

Siapa peduli. Kalian semua disebut [ anak babi ], kalian dihitung kiloan

demi beberapa tahil perak buat ibu di kampung halaman.

 

Sepasang matamu menyimpan ombak dan badai

Beberapa garis petir menggores keningmu, segaris senyum sinis

telah menutup satu abad kekalahanmu. Aku kira aku kenal kau

Wong Feihung? Huo Yuanjia? 72 Jurus Shaolin? Akhirnya kau kalah jurus

pada selembar kontrak kerja, disusun ke dalam palka kapal uap

seperti daging kalengan. Membelah samudera, keluar masuk novel-novel kolonial

Hindia Belanda, tanpa meninggalkan nama, tanpa raut, sekalipun

cuma fiksi belaka. Malam ini aku melihat kau adalah sebongkah batu

kungkum di dalam kristal cair, ingin bertapa seribu tahun lagi

menjelma jadi satu jurus telapak tangan Buddha.

jurus-telapak-tangan-buddha
Gambar disediakan oleh John Kuan

24 Posisi Matahari ( 7 )

Kolom John Kuan

musim dingin
gambar diunduh dari guim.co.uk

☉霜降

——— serigala mempersembah hasil buru; tumbuhan kuning luruh; serangga hibernasi

Duduk membaca teks berjalan di kaca jendela gerimis. Kadang puisi, kadang cerita pendek, kadang flash fiction, terutama di malam hujan. Hari itu saya membaca sebuah roman, sedikit picisan, tapi khas teks berjalan.

Mobil biru keabuan, bersih mengkilap, hatinya demikian juga, dinihari pukul dua lewat lima menit masih belum dapat penumpang, memilih pulang. Hujan berhenti, menurunkan kaca jendela, isap rokok. Tiba-tiba hati sangat kacau, sering seolah teringat sesuatu, lalu tidak teringat lagi. Di mulut jalan depan berdiri satu bayang memutih, matikan rokok, mobil dibawa mendekat… muda… anggun… sudah melambai… Dia buka pintu, perempuan muda masuk ke tempat duduk depan, agar mudah menunjuk jalan?

“Ke mana?”

Dia membantunya menyulut rokok…

“Ingin ke mana?”

“Terserah kamu “

“Maksud saya mesti mengantar kamu ke mana?”

“Oh, my god!”

“Maaf, aku yang salah!”

Perempuan itu bergegas keluar mobil, mengucapkan selamat malam, dengan pinggul menutup kembali pintu mobil.

Mobil tidak bergerak. Perempuan itu juga tidak bergerak.

Dia melongok keluar jendela

Perempuan itu melangkah ke arah berlawanan.

Setelah perlahan mengemudi lewat beberapa mulut jalan, putar balik, jalanan sangat lengang, membuat dia merasa kekacauan tadi telah meresap, matanya menyapu dua sisi jalan, bangunan, bayang lampu lalu lintas, suara mobil lain, dia merasakan semuanya telah menyatu jadi sebuah tubuh besar, dan perempuan tadi adalah selembar bentuk manusia digunting dari kertas putih, entah basah kuyup menempel ke mana.

Perempuan itu di bawah kanopi sebuah bar, sedang membuka pintu, tiba-tiba menoleh, seolah ada orang memanggilnya. Dia mengajak perempuan itu minum, menari, tidak usah lihat arloji, akhirnya perempuan itu melihat. Mengantarnya pulang ke Greenwich Village. Pemandangan jalan kabur menyatu, gerimis lagi.

“Hagan… Sejak kapan mulai?”

” … dua tahun lalu… Kamu?”

“Apa?”

“Sudah berapa lama bawa taksi?”

“Juga hampir dua tahun “

“Sepenuhnya mengandalkan tip?”

“Iya, siang hari bolak-balik Long Island, jauh lebih baik daripada di dalam kota.”

“Tidak akan seumur hidup begini?”

“Iya, tidak tahu kapan-kapan menukar yang lain.”

 “Tim, kau memang luar biasa.”

“Mana ada… lagipula, memandang ekspresi orang, enakan pemandangan jalan.”

“Keras kepala adalah tabiat paling susah berubah.”

“Seandainya mau berubah, juga mesti dengan keras kepala mengubahnya.”

“Tidak usah diubah, orang keras kepala paling lembut.”

“Macam mana tahu?”

“Umpama, sangat memperhatikan cara berpakaian, demikian sudah sangat lembut terhadap dirinya.”

“ Kalau begitu kamu lebih luar biasa…. aku sungguh tidak mengerti… kamu…”

“Ibu, adik, aku, buru-buru ingin menyelesaikan kuliah pergi kerja.”

“Sudah mau nikah, besok dia ulang tahun.”

“Selamat ulang tahun!”

“Terima kasih, kami ingin makan malam di Village, restoran mana bagus? Okra?”

“Setelah koki Okra meninggal dunia, sekarang tinggal orang dari luar kota yang datang mencicipi nama.”

“Assam, bagaimana?”

“Bagus sekali, jika kau berminat boleh bertemu pemiliknya, bilang dari nona Ula Hagan, penutupnya akan disajikan teh Pangeran Wales… berhenti di sini, Tim, terima kasih!”

“Hagan!”

“Apa?”

“Nomor telepon.”

Hagan menyambut pena, ditulisnya di atas telapak tangannya.

Menyusuri sebentar sisi Sungai Hudson, dia memutar balik ke sudut jalan Hagan turun, apartemen hitam di dalam gerimis, terasa seolah tebing curam.

Di bawah cahaya kapsul telepon umum, angka di telapak tangan, berbaur dengan keringat, sisa 2, 5 bisa dikenali.

Pagi berikutnya menemukan di tempat duduk Hagan ada sebuah tas. Malam Tim bersama tunangannya datang ke Assam, tas dititip ke pemilik restoran untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Selesai makan, teh Pangeran Wales bening warna amber, kental dan harum, monopoli pedagang teh kesohor Twinings.

Saat mau bayar, pelayan bergegas datang berkata: “Sudah dibayar nona Hagan, dia memberi selamat ulang tahun kepada kalian.”

 Tim dicurigai, penjelasan demi penjelasan, pernikahan tetap dibatalkan ——— akhirnya dia baru jelas dicerca hanya alasan belaka. Prelude perkawinan terlalu panjang. Juga berarti ikatan kasih sayang pendek.

Bahkan ke Assam minum secangkir teh juga tidak ada semangat, terhadap makanan kian tajam mengkritik, badan makin kurus, samasekali tak beriak.

Pada acara wisuda Ula Hagan, Tim hadir, sepatah dua patah kata, apapun tidak beritahu.

Lewat satu tahun, Hagan menikah, pengantin lelaki bukan Tim.

Lewat tiga tahun, Tim menikah, pengantin perempuan Ula Hagan, keluar dari gereja, sepenuh jalan adalah gerimis yang sama.

Perkawinan perak, perkawinan emas, ingat selalu gerimis, kemudian, tidak lagi berhubungan dengan gerimis, abadi jadinya.

24 Posisi Matahari ( 5 )

Kolom John Kuan

☉秋分

 ——— guruh mulai diam; serangga menutup sarang; air menyurut

Membawa beberapa lembar peta dan sekepala labirin sejarah, saya sampai di Alhambra. Jauh-jauh datang mendengar kisahnya, sebuah kisah musim gugur:

Sekitar abad ke-7 Masehi ada sekelompok Orang Arab dan Orang Berber menyeberang dari Afrika Utara bagian barat masuk Semenanjung Iberia, membangun sebuah rezim, sejarah memanggilnya [Orang Moor]. Sampai di abad ke-15 Masehi, Orang Moor telah memerintah tanah ini lebih dari 700 tahun, darah persaudaraan dan bahasa telah lama terbaur, mereka samasekali tidak pernah curiga terhadap kepatutan mereka memerintah. Cuma beberapa catatan sejarah awal mengutarakan, nenek moyang mereka bagaimana mengarung dari Afrika Utara ke sini pada masa itu.

Namun, orang Spanyol tidak lupa, mereka sudah sejak awal memupuk gerakan merebut kembali tanah yang dirampas. Gerakan inilah yang mengingatkan Orang Moor, urusannya sedikit merepotkan. Pada masa itu Orang Moor dilihat dari segi apapun jauh lebih kuat daripada Orang Spanyol, sebab itu sekalipun merasa repot, mereka tetap bisa hadapi dengan tenang. Namun bibit yang ditanam dalam-dalam begini, sungguh memiliki waktu.

Seratus tahun, seratus tahun perlahan berlalu, kekuatan politik daerah utara mulai bangkit, gerakan perebutan kembali tanah yang dirampas pelan-pelan juga memiliki pemimpin dan momentumnya. Akhirnya, berubah menjadi operasi militer yang kuat dan bergaung. Ketika Orang Moor sadar, mereka telah dikepung, dan lingkaran kepungan makin lama makin mengecil, sudah tidak bisa diterobos.

Solusi paling masuk akal adalah dengan sukarela pergi. Namun mereka bukan baru datang puluhan tahun, masih bisa menemukan titik awal berangkat, di tempat ini mereka telah puluhan generasi mengakar, sudah tidak tahu harus balik ke mana.

Hal paling mengejutkan adalah, Orang Spanyol yang telah menaklukkan sebagian besar daerah selatan, seperti sengaja menyisakan Granada terisolir, dan pengepungan ini ternyata bisa berlangsung lebih dari 200 tahun!

Para sejarawan menyampaikan banyak alasan dan teori untuk menjelaskan kenapa pengepungan ini bisa berlangsung demikian lama, namun saya paling tertarik adalah psikologi silang budaya kedua pihak selama lebih dari 200 tahun itu.

Orang Moor tentu membuka banyak rapat, menggunakan banyak akal, memikirkan banyak jalan keluar, namun setelah berulang kali gagal, mereka terpaksa harus mengakui, ini adalah dinasti terakhir Orang Moor di Semenanjung Iberia. Keputus-asaan begini pada tahap awal adalah pedih pilu dan amarah, tapi karena waktu diundur terlalu lama, pelan-pelan mengerut jadi hening. Dan keputus-asaan yang hening selalu indah.

Istana Alhambra yang diukir dan dipahat demikian persisi dan indah ini adalah diselesaikan dalam keputus-asaan yang hening. Oleh sebab itu, segala ketelitiannya bukanlah demi diwariskan ke generasi berikutnya, lebih bukan demi pamer, namun adalah memasuki suatu tahap nirguna.

Saya pikir, perumpamaan yang paling tepat untuknya adalah berhias di depan maut. Tahu ajal sudah menyusul, namun masih memiliki sedikit waktu, sendiri masih penuh daya, indera bekerja sempurna, sebab itu dengan perlahan dan teliti mulai menghias diri. Sudah tidak peduli lagi esok, tidak peduli lagi penonton, tidak peduli lagi penilaian, seluruhnya adalah buat dinikmati sendiri, seluruh akal pikiran yang halus dan rumit telah ditaruh di dalamnya.

Kapan pasukan musuh akan datang menyerang, membakar, membinasakan seluruh ini? Mungkin saja besok, mungkin juga ratusan tahun. Tidak peduli, hanya ingin sedikit-sedikit dibangun, sepenggal-sepenggal diukir. Suasana hati dan pikiran begini masih belum pernah saya alami di tempat lain.

Sekarang kita lihat di luar benteng. Pada waktu itu pasukan dipimpin langsung oleh Fernando II dan Isabel I, perkawinan Raja Aragon dan Ratu Kastilia ini telah mendorong Spanyol bersatu, hanya sisa Granada sebagai batu sandungan terakhir. Dan di dalam benteng, di antara pilar dan dinding berukir sedang bertahta seorang raja berusia muda, namanya Abu Abdullah Muhammad XII. Orang Spanyol memanggilnya el chico, saya tidak tahu ini keluar dari simpati atau penghinaan. Ayahnya karena mencintai seorang pengikut agama Kristen dan diturunkan dari tahta, dan Abdullah sendiri setelah memegang tampuk kuasa langsung berhadapan dengan sebuah kondisi kacau yang tak terurai. Keabsurdan ayahnya adalah menggunakan cinta mengkhianti politik, sudah tahu seluruh rakyat sedang mengangkat panji agama melawan musuh di luar benteng, sebab selain itu sudah tidak ada panji lain bisa dilambaikan, dia justru menyerahkan cintanya kepada agama di luar benteng. Abdullah tidak tahu yang dilakukan ayahnya ini mau disebut berdamai, menerobos kepungan, atau menyerah, yang jelas dia sendiri tiba-tiba sudah diletakkan di atas batu menjadi domba korban.

Semua inilah yang menyebabkan pilihan Abdullah yang terakhir: Menyerah. Sebab itu tenda-tenda Fernando dan Isabel yang rapat berlapis-lapis menjadi tidak berguna. Orang Spanyol anggap ini adalah mujizat, puluhan ribu orang setelah mendengar kabar ini langsung berlutut di bawah benteng bersyukur, saya kira mereka semestinya berterima kasih kepada raja yang muda dan berakal jernih ini. Seandainya waktu itu pikirannya menjadi keruh, atau ingin memperagakan sedikit gaya ksatria, mungkin saja menyebabkan ujung tombak bertemu ujung tombak, bumi bersimbah darah dan entah berapa banyak nyawa akan melayang.

Raja yang masih muda itu mencari sebuah pintu samping istana, berjalan sampai di atas bukit jauh baru menoleh, diam-diam meneteskan airmata. Menurut cerita saat itu ibunya berdiri di sisinya berkata: “Tangislah, anakku, seorang lelaki yang tidak mampu membela dirinya, semestinya menetes sedikit airmata!”

Sebuah dinasti, sepotong sejarah, ternyata bisa berakhir demikian damai. Sebab itu, bahkan setiap lekuk motif yang paling halus di dalam Istana Alhambra hingga hari ini pun masih bisa tersenyum tanpa pernah diusik.

Hari itu, adalah 2 Januari 1492

24 Posisi Matahari ( 4 )

Kolom John Kuan

☉處暑

  ——— elang giat memburu; alam gugur luruh; bulir padi penuh

Seperti apa musim gugur itu? Musim gugur pernah adalah milik Qu Yuan, milik Du Fu dan Li Shangyin. Namun musim gugur kali ini milik Rilke. sebab musim gugur saya begini datangnya, malam buka jendela membaca, melihat orang lalu-lalang dengan langkah-langkah gegas, teringat Rilke; di dalam riuh rendah seharian merasa sangat lelah dan bosan, teringat Rilke; bertemu orang asing, berbincang dengan orang asing, berpisah dengan orang asing, pulang sendiri ke kamar hotel, juga teringat Rilke.

Musim gugur tidak perlu basa-basi, dia begitu saja tiba. Sebab itu daun musim gugur yang diselip di halaman buku akhirnya tinggal urat-urat daun, semua urat daun juga memiliki masa lalu, juga pernah memikirkan isi hati. Musim gugur sering tiba di saat isi hati semua orang membisu, memberi isyarat kepada saya hidup pada dasarnya hanya mengikuti hati bagai awan berarak, namun juga dalam terukir bagai cetakan besi. Tetapi saya tetap ingin melakukan sesuatu, di saat mengutip selembar daun kuning tergenang air hujan, ada pergolakan yang bernama [sia-sia], sebab itu saya baca kembali Rilke:

Herbsttag

Herr: es ist Zeit. Der Sommer war sehr groß.
Leg deinen Schatten auf die Sonnenuhren,
und auf den Fluren laß die Winde los.

Befiel den letzten Früchten voll zu sein;
gib ihnen noch zwei südlichere Tage,
dränge sie zur Vollendung hin und jage
die letzte Süße in den schweren Wein.

Wer jetzt kein Haus hat, baut sich keines mehr.
Wer jetzt allein ist, wird es lange bleiben,
wird wachen, lesen, lange Briefe schreiben
und wird in den Alleen hin und her
unruhig wandern, wenn die Blätter treiben.

 

Musim Gugur

Tuan: ini saatnya. Musim panas pernah begitu montok.
Lemparkan bayang pekatmu ke arah jam matahari,
dan biarkan angin gila meniup lewat padang liar.

Perintahkan buah terakhir segera ranum;
tambah lagi dua hari terik tanah selatan,
desak mereka sintal dan penuh, agar harum
manis terakhir, tenggelam di anggur kental

Siapa kini tiada rumah, tidak usah lagi dibangun
Siapa kini sendiri, biarkan dia selamanya sepi
terjaga, membaca: menulis surat-surat panjang
dan biarkan dia mondar-mandir di setapak
melangkah ke dalam tarian daun gugur

☉白露

  ——— angsa liar terbang selatan; burung layang-layang ke utara; semua burung berbekal

Saya duduk menyandar di jendela kereta api, kereta melaju dengan ritme yang stabil dan teratur, bagai sebuah nyanyian yang akrab, saya mengatupkan mata merasakan bunyi repetisi begini. Setengah tertidur, seolah di mulut jendela mimpi. Tiba-tiba merasa ada sebiji mata lain terbuka, tampak benda-benda yang biasanya tidak mudah kelihatan. Saya melihat di atas punggung gunung ada bayang awan berpindah perlahan. Sepotong bayang hitam di atas punggung gunung yang amat hijau, bagai tanda lahir di tubuh manusia, seperti sedang mengisyaratkan sesuatu yang telah lama kita lupakan. Sebuah mitos purba yang menghubungkan lanskap dan gejala alam dengan tubuh manusia. Dan seluruh garis lekuk pegunungan, juga karena sepotong bayang awan yang bergerak itu, kelihatan luar biasa indah.

Perlahan tapi pasti, saya merasa cahaya matahari musim gugur miring menembus masuk dari jendela kereta, melumuri sebagian lengan dan wajah. Cahaya warna kuning emas dan hangat, mengikuti goyangan kereta sebentar kuat sebentar lemah. Di dalam cahaya matahari keemasan juga diaduk sedikit bayang hitam sekuntum awan itu, sedikit hijau ladang di dua sisi rel, dan sedikit silau pantulan air sungai yang bertebaran batu-batu bulat telur.

Kereta masuk terowongan, cahaya matahari disimpan di luar gua. Derit gesekan rel dan roda kereta kian tajam, seluruh gua penuh gema. Di dalam sebuah gua gelap dan panjang, segala mata di dalam setengah tidurku terbuka. Saya melihat cahaya-cahaya lemah berseliwer, berkedip-kedip di dinding gua.

Di dalam indera penglihatan tidak ada gelap absolut, di dalam penglihatan batin juga tidak ada kegelapan absolut.

Di dalam gelap penuh dengan cahaya yang bergetar, persis seperti melihat lukisan Rembrandt, pertama kali melihat adalah selapis hitam; tenangkan pikiran sedetik lalu cermati, akan menemukan sebersit cahaya.

Rembrandt di abad ke-17 melukis di dalam cahaya lilin dan obor. Dia juga mengamati cahaya dari fajar menyingsing hingga matahari terbenam, lalu dari matahari terbenam hingga bulan muncul. Di musim dingin negeri utara yang kelam, dia akan konsentrasi menatap sedikit cahaya di atas salju malam yang tidak mudah terasa, dia akan konsentrasi hingga lelah, lalu mengatup mata.

Saya selalu merasa, setelah mengatup mata, Rembrandt baru benar-benar melihat cahaya yang paling indah. Cahaya itu bergerak di punggung telapak tangan renta ibu yang membuka kitab suci, punggung telapak tangan yang penuh garis-garis keriput, di celah garis-garis keriput yang gelap penuh berisi cahaya tipis.

24 Posisi Matahari (3)

Kolom John Kuan

☉大暑

 ——— rumput mati kunang-kunang lahir; tanah lembab udara basah; hujan lebat menyapa

jejak kaki
ilustrasi dari 2.bp.blogspot.com

Orang tua di dalam cerpen Borges [El Libro de Arena] akhirnya menyelipkan buku yang menghabiskan seluruh uang pensiunnya itu ke dalam rak berdebu di Perpustakaan Nasional Buenos Aires. Ini adalah sebuah metafora yang sangat puitis: Mungkin hanya pengetahuan dapat menelan pengetahuan; tulisan dapat menampung tulisan. Borges berkata: [Tidak peduli pasir ataupun buku, sama-sama tak bertepi]. Dia bukan cuma menguasai semiotika, dia juga seorang pakar teori sastra dan seni yang penting, saya kira tentu bukan [pasir] yang menjadi perhatiannya, itu hanya sekedar simbol buat mengumpamakan pengetahuan manusia yang terus menggelembung.

Setiap kali membaca kembali cerita ini, akan timbul keingin-tahuan: kenapa dia berkata pasir tidak bertepi? Apakah pasir di sini berarti gurun, namun gurun juga bertepi. Atau mungkin maksudnya lebih abstrak, tempat sebiji pasir terakhir jatuh itulah batas gurun. Tak bertepi yang dimaksud Borges, mungkin ingin mengatakan ketika sejurus angin berembus, gurun akan mempunyai bentuk baru, batas baru, semacam amorfos.

Hari panas bisa membuat saya teringat gurun, tetapi lebih sering pulau kecil tempat lahirku. Petang turun sendiri ke pantai, mengutip siput, mengutip kerang, mencari lokan, mentarang, ketam bakau. Di bibir pantai yang berbuih saat pasang naik selalu ada yang tak terduga, dapat sebiji bola kaki, sebuah mainan plastik, seekor ikan mati, mayat anjing; kadang-kadang juga lari terbirit-birit melihat mayat manusia atau disengat sembilang. Seringkali juga terbangun di tengah malam negeri asing, pikiran kacau, melihat keluar jendela, seolah di luar berlapis-lapis pencakar langit ada segaris pantai panjang, bukan berpasir putih, tetapi lumpur pasir abu-abu penuh jejak kaki. Itulah magis realismeku. Sangat kempes.

☉立秋

 ——— angin mengiris; kabut turun; tonggeret pekik dingin

Daun itu bulat lonjong, kurang lebih sebesar telapak tangan, sedikit menguning, hampir tembus pandang, taruh di telapak tangan dapat jelas kelihatan jaringan urat-urat daun yang halus dan rumit. Tepinya samar-samar ada gerigi kecil, seluruh gerigi menunjuk ke satu arah, dari pangkal daun hingga ujungnya yang meruncing, bagai selembar jahitan yang paling rapi dan indah. Saya bertanya penduduk setempat yang istirahat di taman, kata mereka daun bodhi. Saya ingat daun bodhi jauh lebih besar, ujung daun yang runcing mungkin dua tiga kali lipat lebih panjang dari yang di tanganku.

kekuatan daun
Ilustrasi dari Inankittikaro.com

Saya suka daun bodhi, mungkin ada hubungannya dengan cerita-cerita tentang Buddha Gautama. Membayangkan seorang pertapa duduk di bawah pohon bodhi di Bodgaya mendengar suara angin lembut melewati sela dedaunan, atau mungkin daun-daun dengan tenang jatuh, menyentuh bumi, menimbulkan getaran seketika di hati. Namun renungan tetap hanya sekedar renungan, daun ini bisa saja tidak ada hubungannya dengan cerita. Seorang teman yang belajar botani sering memberi saya jawaban yang tidak serupa, katanya: tangkai daun walau kecil tetapi sangat kuat, sebab harus menopang beban seluruh daun. Dia juga berkata: Kebanyakan gerigi di tepi daun adalah siasat pertahanan, dan terhadap ujung daun yang meruncing indah dia menjelaskan: Ujung daun yang runcing umumnya adalah buat pembuangan air. Dia melengkapi: terutama di daerah tropis, hujan badai sering datang tak terduga, air hujan yang terlalu banyak tergenang di permukaan daun akan menyebabkan daun mudah terluka, rusak dan hancur; maka daun tumbuhan terus memperbaiki fungsi pembuangan airnya, bentuk sesungguhnya hanyalah hasil penyempurnaan fungsi dalam jangka waktu yang panjang.

Jadi kekuatan tangkai daun, urat-urat daun yang serumit sistem syaraf manusia, gerigi tepi daun yang bagai rajutan, ujung daun yang meruncing sehalus bulu itu, semua yang kusebut-sebut itu, hanya jejak berbagai penderitaan selembar daun untuk bertahan hidup dalam jangka waktu yang pelan dan panjang?

Perlu berapa lama berevolusi hingga bentuk begini? Saya bertanya teman. Dia mengangkat sedikit bahunya jawab: Mungkin puluhan juta tahun.

Jawabannya membuat saya terpelosok ke dalam keheningan. Apakah keindahan adalah ingatan terakhir dari penderitaan bertahan hidup? Apakah semacam kepedihan dalam merampungkan diri? Sebab itu indah membuat saya suka, juga membuat saya duka.

24 Posisi Matahari (2)

Kolom John Kuan

☉夏至

 ——— kijang bersalin tanduk; tonggeret mulai menjerit; si naga hijau tumbuh

Hari berikutnya saya sudah hampir lupa hamparan bukit putih itu. Melangkah pulang ke penginapan sudah menjelang malam, pada tikungan terakhir saya melihat sebuah taman. Tidak luas, membentang satu jalan pintas yang menghubungkan dua jalan utama, sederet bangku, orang-orang pulang kantor lalu-lalang. Saya pilih sebuah bangku kosong, duduk teringat bunga tung, kesukaanmu. Waktu itu umur kita berapa? 20, 23? Saya berkata saya lebih suka bunga alpinia, sebab berasal dan tumbuh liar di hutan, di dalam jelita yang pedas membawa sedikit aroma jalang yang memabukkan. Daunnya hijau berminyak lancip memanjang, sedikit menyerupai bunga gandasuli, tetapi tidak seapik itu dan agak sembrono. Daunnya juga sering dipakai buat membungkus bakcang; di dalam wangi beras bercampur sedikit wangi pedas daun yang kenyang menerima cahaya matahari dan air hujan. Bunga alpina putih porselin, satu tangkai berkerumun berpuluh kuntum. Setiap kuntum ujungnya ada sedikit merah, merah yang menggetarkan, merah yang terlalu kampungan. Bunga putih selalu dengan wanginya mengundang datang lebah, wangi bunga alpinia tidak mengecewakan, apalagi di ujung mahkotanya masih memberi tanda merah yang merebut mata, biar kumbang lebih mudah mengenalinya.

Suatu hari kamu bertanya: Apakah seorang anak muda yang belajar seni mesti menyimpan seluruh ingatan [ indah ]? Saya kira kamu bukan sedang menanyaku, kamu sedang tanya jawab sendiri, saya tentu tersenyum tanpa kata, menunggu kamu membuat kesimpulanmu. Saya tahu sendiri terlalu serakah [ keindahan ], tak terobati. Namun saya bisa memiliki berapa besar kapasitas memori, buat menyimpan segala yang ada di dunia luas ini?

Keluar taman, melangkah di kerumunan, seolah ada aroma yang mengitariku, terus mengikutiku hingga kamar penginapan. Waktu ganti baju baru menyadari rambut dan punggung melekat serpihan bunga kuning. Saya periksa di bawah lampu, ternyata adalah bunga akasia dari taman, terbawa saat duduk di bangku.

Mereka tidak bermaksud ikut masuk ke dalam duniaku, hanya saya sendiri rindu, anggap semacam jodoh, bisa diingat, bisa dilupakan.

 ☉小暑

 ——— angin telah hangat; jangkrik sembunyi di tembok; elang belajar memburu

Melangkah sendiri di kota asing sering membuat saya teringat buku-buku perjalanan Jiang Yi ( 1903 -1977 ), dia menyebut dirinya Silent Traveller. Dia menulis London, menulis Oxford, menulis Edinburgh, suasana di dalam tulisannya selalu ringan penuh humor, ditambah ilustrasi yang sangat berkarakter, kadang-kadang juga dihias satu dua buah puisi pendek, demikian kental gaya cendekiawan Cina tradisional. Ketika menulis gubuk Ratu Victoria:

Taman Kew kuasai seluruh sejuk malam,

lonceng biru habis mekar masih tersisa harum.

Percuma berkunjung jejak jelita ratusan tahun,

gubuk sepi menatap matahari terbenam.

mendaki bukit belakang Kebun Binatang Edinburg, dia menulis:

Sejenak di batu cadas duduk,

angin pinus jernih hatiku.

Melongok bibir tebing curam,

entah berapa dalam biru lautnya?

Ini sudah mendekati gaya kehampaan Wang Wei dan Wei Yingwu, namun yang ditulis adalah lanskap negeri asing, Jiang Yi berkata dia adalah kelana senyap, mungkin yang ingin diutarakan adalah sekat bahasa dan budaya antara Inggris dan Cina. Namun saya kira senyap tidak berarti bisu, mungkin lebih mendekati pengalaman indah di dalam puisi Cina yang disebut [ 忘言- wangyan; kehabisan kata-kata? ], puisi Cina yang sesungguhnya, selalu bertunas sehabis senyap.

Perjalanan penyair, ataupun penyair dalam perjalanan, kadang setelah membaca puisi-puisi begitu, akan timbul keinginan melancong, berusaha di jalan yang pernah dilalui penyair mencari lanskap yang pernah menyentuhnya, ingin mengalami suasana yang bisa menghasilkan baris-baris puisi yang indah, namun kita juga tahu itu adalah hal yang paling sia-sia. Lahirnya puisi selamanya adalah sebuah rahasia, jawaban puisi juga selamanya perlu satu perjalanan hidup untuk merampungkannya — kita bagaimana bisa hanya dengan beberapa perjalanan pendek, sudah ingin mengerti keabadian atau sampai di tujuan seberang?

Melewati jalan besar dan lorong sempit sebuah kota juga sering membuat saya terasa bagai kelana senyap, atau mungkin flaneul, pengembara di bawah pena Baudelaire, di luar gedung tinggi sesekali ada bulan jernih, kehampaan sejenak di musim semi, bahkan slogan-slogan yang kering kerontang dan kerumunan orang-orang yang basah kuyup, sering begitu menyentuh, seolah menghasilkan sesuatu yang menyerupai puisi. Namun saya tetap tidak menulisnya jadi puisi, hanya dengan cara yang sederhana mencatatnya, tunggu hingga suatu hari mungkin benar-benar dapat menjelaskan keindahan mereka, benar-benar mengerti kata-kata yang belum pernah diucapkan, sekalipun berserpih bagai angin.

…bersambung

Saat Aku Kembali ke Bumi

Puisi John Kuan

saat turun ke bumi

1/9
Camar berputar di muara, kota kembali hutan
Sebuah jam telanjang bulat di hamparan pantai

Sebagian tergenang, sebagian berdetak melingkar
Saat aku kembali ke bumi, manusia telah lama pergi

2/9
Dermaga berkarat peti kemas, matahari senja pingsan
pancarkan memori, mata polos lumba-lumba percik

bunga api peradaban. Saat aku kembali ke bumi, hewan
piara masih membawa sedih dan kelembutan leluhur.

3/9
Selain dua tiga titik lampu, malam telah diserahkan
kepada bulan. Seorang diri melangkah di atas pulau bulat,

mendengar soliter telah kuasai seluruh ruang, dan kau
juga mereka telah lama pergi, saat aku kembali ke bumi

4/9
Kita telah lama tidak di atas pantai beranak atau
bertelur, namun hingga kini tubuh masih wariskan

laut purba, dan laut hanya atmosfer terlalu biru, terlalu
kental, nyanyian menyebar jauh, selamanya tidak mengendap

5/9
Seringkali ada organ dalam palung laut dihempas ke pantai
jemur jadi bangkai hewan atau tumbuhan. Metabolisme

setiap saat planet ini, adalah makhluk raksasa nan lembut
46 miliar tahun menjilat garis pantai seluruh dunia

6/9
Dan aku demikian mencintaimu, demikian tubuh dan androgen
terus berevolusi, demi satu keindahan, laksana ubur-ubur

kembang-kempis tubuh purba resonansi kebahagiaan
yang sunyi, demikian mencintaimu, tembus cahaya, getaran cair

7/9
Pakis adalah pribumi planet ini, ketika spesies punah melankoli
melangkah lewat di depannya. Aku selalu merasa dia telah

deposit sesuatu, saksikan sesuatu, setiap lembar daun
berpijar lembab dan dingin, dunia bagai sebiji bola kristal

8/9
Saat aku kembali ke bumi, peradaban telah lama tutup pintu
lapisan es kutub koyak, genangan jalan memantul cahaya bintang

Perpustakaan kuyup berbukit bubur kertas, pengetahuan
muai dan lembek, aksara lumer ke dalam nyanyian paus biru

9/9
Kuduga kereta terakhir akan abadi berhenti di kutub, bangun
aku menguap di stasiun tropis remuk, sisa sekolam teratai ungu

di bumi soliter aku duduk di garis khatulistiwa, andai peradaban
manusia hanya bisa catat selembar, aku mesti menulis  apa buatmu

24 Posisi Matahari (1)

Kolom John Kuan

☉冬至

——— cacing tanah memilin; rusa bersalin tanduk; mata air menetes

Semangkuk ronde. Tiga warna. Merah dan hijau isi kacang tanah, putih isi kacang merah. Ada wangi jahe, kenyal ketan, gurih kacang. Sedikit pedas, hangatkan tubuh di hari hujan. Setelah semangkuk ronde, kekuatan [ yin ] perlahan pupus, alam akan kembali memasuki suasana [ yang ]. Di malam dingin sering teringat berbagai macam sup. Saya periksa dapur, ada sepotong labu, dipotong dadu campur irisan bawang bombai, rosemary, kulit kayu manis, garam dan sedikit minyak sayur, direbus perlahan dengan api kecil, tambah sedikit susu, saat disajikan di atas meja tambah lagi sesendok keju Mascarpone. Demikian sudah semangkuk kuah labu yang membawa suasana kuning emas musim panas. Atau siapkan seekor ikan mas, dilumuri garam Himalaya dan diamkan sebentar lalu digoreng hingga harum, masukkan air didih, setelah itu ikan bersama kuah dituangkan ke dalam sup tahu, biarkan mereka perlahan menyatu di atas api kecil, tambah arak, jahe, daun bawang, takaran sesuai kata hati, pindahkan ke dalam periuk sapo, mengitarinya di bawah cahaya lampu sudah suatu kebahagiaan.

Sup selain hangatkan tubuh juga hangatkan persaudaraan yang mungkin telah renggang, dingin, membeku, atau retak, basi, dan lapuk. Dengan semangkuk sup kita bisa saling mengalirkan sedikit sorotan mata hangat, tegur sapa akrab, merapatkan hati, mencairkan hubungan yang telah beku, atau mungkin hatimu mendadak bergetar karena nama kecilmu tiba-tiba dipanggil setelah dua tiga puluh tahun tidak pernah terdengar lagi. Begini ceritanya, suatu kali Du Fu dan sekeluarga dalam pelarian, setelah menderita beberapa hari di hutan, suatu malam sampai di tempat seorang kawan lamanya, Sun Zai. Cara Sun Zai menyambut penyair kita adalah terlebih dahulu menyiapkan semangkuk sup ——— [ Sup hangat menyusup hingga ke ujung kakiku ] demikian penyair mencatat, hangat yang menyebar dari telapak kaki ke seluruh tubuh itu, menghilangkan letih, menggetarkan hati puisi, selamanya dikenang penyair.

Semua sup selalu di malam dingin di bawah sebuah lampu mengepul uap panas, adalah sebuah tegur sapa lembut ribuan tahun, embun beku dan salju musim dingin tiga ribu tahun di bawah telapak kaki.

 

☉小寒

——— angsa liar mudik utara; kucica mulai bikin sarang; ayam hutan saling bersahut

Tertidur di dalam suara hujan. Saat bangun pagi cerah. Sekelompok pipit berkelakar di luar jendela, terbang berputar saling mengejar, dengan tepat dan serentak terbang ke segala arah menyelidik. Tiba-tiba mendarat di atas rumput di bawah pohon mencari makanan. Saya duduk hadap jendela memperhatikan mereka, memperhatikan mereka seperti beberapa waktu lalu di negeri lain. Juga suatu pagi yang cerah, seluruh pekarangan dan jalan telah tertutup salju, mereka juga dengan riang terbang dan saling mengejar, kadang-kadang juga berputar ke halaman belakang yang penuh bertaburan buah-buah apel yang jatuh di musim gugur, hari itu satu per satu mencuat setelah salju mulai mencair, pipit bergiliran mematuk, tidak sampai sehari sudah bersih. Langit amat benderang. Jendela tercetak pantulan matahari. Saya masuk ke ruang tengah, sesekali terdengar bunyi benturan keras, itu adalah pipit menabrak kaca jendela. Setelah mendengar satu benturan sangat keras, saya periksa ke depan, jendela telah menempel dua helai bulu abu-abu dan setetes darah, buka pintu keluar melihat, seekor burung jatuh di samping rumah, sayapnya bergerak sedikit, ternyata sudah mati.

Saya gali satu lobang kecil di bawah pohon pinus, angkat burung itu dengan sebuah sekop kecil, bersiap-siap menguburnya. Seorang anak lelaki tetangga berdiri di sisiku memperhatikan, ada semacam sedih atau iba di matanya. Dia berkata: [ Mata pipit sudah mengatup ] Lalu bertanya: [ Mengapa mesti menguburnya? ]

[ Ia sudah mati, sebaiknya memang dikubur ]

[ Lalu setelah dikubur? ]

[ Setelah dikubur? ] Saya berkata: [ Tahun depan dia akan terbang kembali ]

[ Oh ——— tahun depan pipit akan terbang kembali ]

 

☉大寒

——— induk ayam mengeram; elang lincah berburu; sungai beku ke dasar

Sebelum gelap mesti periksa pemanas. Satu musim dingin itu saya hampir lewati sendiri di Brooklyn. Pemanas sering tidak berfungsi, tetapi malam itu pemanas bekerja sempurna, seluruh ruangan ada semacam bau kain disetrika. Duduk membaca, setumpuk koran golongan kiri, setumpuk golongan kanan, saya terbakar sendiri digosok ke dua tumpuk kertas dingin itu. Menjelang dinihari, salju turun lagi.

Waktu itu saya sedang menyelesaikan sebuah tulisan, sebentar tulis sebentar edit, setiap malam, dari meja tulis melihat ke luar, melihat salju turun lagi, gelisah dan putus asa ——— namun pemandangan salju di malam hening sesungguhnya sangat memukau, kadang berdiri di depan jendela menatap, agak lama, setelah merasa seluruh ruangan seolah dingin kembali, baru bergegas ke arah pemanas memeriksa, kemudian membenamkan kepala ke dalam tumpukan kertas lagi. Sering tidur terlambat, bangun juga terlambat, tetapi tidak begitu peduli, saya seperti terperangkap di dalam suatu kurun waktu yang sangat tua. Bahan yang saya pelajari adalah puisi-puisi klasik yang setidaknya sudah berumur dua ribu tiga ratus tahun sampai tiga ribu tahun, himne, drama, heroisme, epik, definisi terhadap ketidak-beradaban, simbol, parabel, coba menyatukan berbagai kerangka pikiran, coba menyelidik gaya dan warna Cina Kuno, namun bolak-balik yang muncul di benakku adalah Dante, Shakespeare, Cicero, Aristoteles, Boccaccio, Eliot, Plato dan Yeats

Saya coba merangkai beberapa kerangka pikiran, mengarang sebuah buku, namun buku ini mesti lain daripada yang lain. Yeats pernah menulis sebuah puisi:

 

Because I seek an image, not a book

Those men that in their writing are most wise

Own nothing but their blind, stupefied hearts

I call to the mysterious one who yet

Shall walk the wet sands by the edge of the stream

( Ego Dominus Tuus )

 

Setelah salju leleh, saya bangun dari mimpi, sekelompok pipit terbang berputar di luar jendela, bercericit riuh rendah, menguasai pagiku yang setengah terjaga. Saya teringat orang-orang yang begitu serius dengan sastra sebagai tumpuan cita-cita ——— ataupun dengan cita-cita ingin membentuk kembali roh sastra, terpikir orang-orang ini di dalam hari-hari yang perlahan melemah dan muram, pada sebuah jaman yang segalanya begitu deras terlupakan, serius mengarang sebuah buku, mengejar, namun yang dikejar bukan buku, hanya beberapa citra.

 

☉立春

——— angin timur melepas beku; serangga telah keluar sarang; ikan mengibas es terapung

Sisa-sisa salju jatuh dari ujung ranting ceri hitam.

Air genangan di bawah sorotan matahari memantul berbagai bentuk awan. Kali terakhir salju meleleh, sesungguhnya musim semi sudah agak terlambat datang, tiba-tiba di saat saya masih setengah sadar akan peralihan musim, daun-daun muda yang kurang lebih sekecil pangkal jarum telah memenuhi ranting-ranting gemuk, anggun, lincah, serasi.

Dedaunan tumbuh pesat, setelah ditinggal beberapa hari, bagian ceri hitam yang menghadap ke arahku telah merentang berlapis-lapis jala hijau. Di dalam ini mungkin saja mengandung suatu isyarat atau filsafat, namun saya tidak ingin menyelidik. Di saat dedauan masih belum sepenuhnya tumbuh sempurna, ceri hitam ini seolah di ujung ranting-rantingnya telah berbunga ——— seolah saja, seolah juga belum pasti. Cuaca kadang hangat kadang dingin, kadang di belakang hujan deras menyorot cahaya matahari, dari tengah danau memanjat selengkung bianglala menakjubkan, bagai irama musik yang berlapis-lapis mendaki, bagai Appassionata Beethoven, membuat hati seketika bergetar. Getaran hati yang demikian bersahaja, kembali ke jaman Romantis yang sederhana dan jelas, di petang yang sekejap, pelangi tinggi-tinggi melampaui pucuk ceri hitam, dua ujungnya melengkung di utara dan selatan.

Kadang hujan beku, kadang cuma angin.

 

☉雨水

——— berang-berang saji ikan; angsa liar telah tiba; rumput pohon pecah kecambah

Hari itu saya berdiri di mulut jendela menjawab telepon, sudah tidak bisa ingat apa yang diutarakan lawan bicara, mungkin tentang ketulusan dan kemunafikan, hubungan-hubungan yang payah. Mata saya memandang pohon ceri hitam dan sekitarnya, sedikit bosan mengikuti pembicaraannya. Tiba-tiba di luar jendela melayang bintik-bintik putih, ringan melintas, jatuh. Saya kaget memutuskan topik bicara: [ Turun salju ——— ] Lawan bicara berkata mungkin saya terlalu lelah dan mengalami halusinasi, ini bukan cuaca buat turun salju. Salah musim. Saya tidak ingin berdebat, memusatkan perhatian pada salju tipis yang melayang jatuh, seketika tidak tahu apa yang diucapkan lawan bicara, hanya mendengar sehamparan gaung, bagai panggilan kucing tengah malam yang tidak ingin beranjak di atas atap orang. Salju tipis pelan dan ringan menari di udara, saya berpikir. Kemudian saya berpikir lagi: Tidak mungkin, ini bukan salju, ini adalah di pangkal musim semi angin sepoi meniup jatuh serpihan bunga di ujung ranting ceri hitam, begitu mungil, begitu menakjubkan, tetapi bukan salju. Saya membiarkan kawan menyelesaikan pembicaraannya, sebelum menutup telepon saya mengulang sekali lagi [ Turun salju ], sekalipun sudah bisa memastikan itu bukan salju. Di antara kenyataan dan imajinasi selalu adalah kesia-siaan, apalagi ceri hitam sedang dengan sepenuh daya melepaskan seluruh kemewahannya, terus-menerus, membiarkan seluruh kemewahannya lepas jatuh.

Ketika cahaya matahari silau menyorot, seluruh dedaunan ceri hitam telah tumbuh sempurna, kekuatan daya hidup yang demikian jelas berlapis-lapis menunjuk ke atas, rupanya memang seperti harapan saya, samasekali tidak segan, bahkan telah menyebar ke dalam udara sekeliling. Bayangnya yang hitam pekat dilempar ke atas bumi, memanjang bergerak mengikuti matahari, pelan-pelan menuju ke tengah lapangan rumput. [ Apa itu? ] Mungkin mereka akan demikian bertanya padaku, dan saya tidak pernah merasa bosan. Saya akan berkata adalah sebatang ceri hitam: gugur daun, berkecambah, tumbuh bunga, dan akan mekar penuh, menunggu musim panas tiba.

☉驚蟄

——— persik berbunga; kepodang nyanyi; elang menjelma kangkok

Mendengar seorang ekonom ceramah teori-teori dasar ekonomi. Dia dengan penuh percaya diri berujar: Semua perilaku di dunia ini dapat dijelaskan dengan ilmu ekonomi. Misalnya, kita setiap hari pergi dan pulang, hampir selalu mengambil jalan yang sama, ini adalah karena kita ingin menghindari resiko yang akan ditimbulkan oleh ketidak-tahuan kita terhadap jalan yang lain, juga modal waktu dan pikiran yang mesti kita habiskan buat menyelidik sepotong jalan baru. Tiba-tiba saya merasa tercerahkan, berkata di dalam hati, sebab itu kita perlu penyair, sebab itu kita perlu Robert Frost.

Saya sering menyesatkan diri, dalam arti yang sesungguhnya; sering memilih jalan yang tidak saya kenal, sengaja pergi memikul [ resiko ] yang paling ditakuti ahli ekonomi, atau dengan mewah memboroskan [ modal ] yang begitu mereka peduli, sebab itu saya bagai seorang hartawan, bisa menikmati kemewahan dunia, dan tidak perlu melotot neraca untung rugi. Dengan demikian kotak-kotak semen juga bisa tampak lebih bergairah, tembok-tembok tua yang digerogoti jamur juga bisa memberi keriangan sekutum bunga kecil yang menyelip di garis usianya, apalagi di tengah jalan bisa bertemu sebatang pohon yang berusia ratusan tahun, atau mendengar dari jendela tertentu mengalir keluar dentingan piano, itu tentu sebuah rezeki nomplok, dapat durian runtuh, apalagi mau berhenti sejenak, angkat kepala, memandang cahaya merah jingga di ufuk barat, itu adalah selapis keriangan yang lebih dalam, dan musim semi telah merayap di sana.

 

☉春分

——— burung layang-layang kembali; langit gemuruh; petir bersahut

Pendaki gunung kebanyakan sangat senyap. Jalan gunung sempit sekali, tidak ada kesempatan berpapasan dengan orang lain. Di dalam perjalanan yang monoton, pelan dan panjang, selangkah selangkah, memikul beban, juga demi menghemat tenaga, tidak sudi bicara.

Terakhir, hanya terdengar nafas sendiri, teratur dan berat, membuktikan diri mampu memikul beban berjalan jauh, dan perjalanan pun terus berlanjut.

Di dalam gunung, setelah lelah berjalan, bisa duduk; tas punggung yang berat dilepas, taruh di satu sisi, bagai sebongkah batu. Sendiri juga duduk di sisi lain tidak bergerak, juga bagai sebongkah batu.

Pendaki gunung selamanya tidak pernah mengejutkan gunung. Mereka seolah memang bebatuan di sini, cuma perlu melangkah pulang, cari posisi sendiri.

Keculai saya.

 

☉清明

———  poulownia merekah; tikus sawah balik sarang; bianglala tampak

 

Kau sudah lama tahu

Gunung adalah tuan sungai adalah tuan

Kau datang kau pergi

Kau adalah tamu

 

Bunga paulownia masih di ujung ranting sayap musim semi dihujan diangin

 

Kau sudah lama tahu sudah lama tahu

Angin adalah tuan hujan juga

Kau tidur kau bangun

Kau adalah tamu

 

Dibujuk angin dibisik hujan tabur sepinggang gunung

Kupu-kupu bergaris putih

Buih bintang percikan sungai di bahu jalan bukankah kau itu

Ah bunga paulownia

 

☉穀雨

——— kiambang tumbuh; kangkok mengepak sayap; burung hud hud di dahan murbei

Sampai di bawah kaki gunung Hua Shan.

Awal bulan april, musim yang aneh. Saya seolah mengikuti jejak sastra atau ingatan purba sampai di sini, tidak ingin menelusuri. Sejak Dinasti Qin dan Han, banyak sekali alusi di dalam sastra klasik yang berhubungan dengan Hua Shan. Konon di era Qin Mu Gong ( 659 SM – 621 SM ), ada seorang musikus muda bernama Xiao Shi, suka meniup seruling di atas Hua Shan. Puteri Qin Mu Gong, Nong Yu jatuh hati padanya, puteri raja ini tidak peduli ayahnya tidak setuju, melepaskan semua kemewahan, bersusah payah, mendaki gunung mencari Xiao Shi, hingga kini di atas gunung masih ada tempat mereka main musik mengundang datang burung hong: Panggung Perindu Burung Hong.

Di ujung Dinasti Tang yang penuh gejolak sosial, cendekiawan terkenal Chen Bo undur diri menetap di Hua Shan. Zhao Kuangyin setelah mendirikan Dinasti Song, ingin mengajak Chen Bo menjadi pejabatnya, Chen Bo hindar bertemu, menolak surat perintah. Di puncak selatan Hua Shan ada satu tebing curam, diberi nama: Tebing Hindar Surat Perintah.

Kalangan rakyat sangat menyukai Chen Bo, dianggap sebagai dewa, memanggilnya [ Laozhu ]. Kalangan rakyat juga percaya terakhir Zhao Kuangyin sendiri mendaki ke atas gunung, ingin memaksa Chen Bo menjadi pejabatnya. Chen Bo mengajaknya main catur, berkata: ” Kau menang, aku turun gunung menjadi pejabat, aku menang, serahkan Hua Shan kepadaku ” Sekarang di puncak timur Hua Shan ada satu tempat diberi nama [ Pavilun Taruhan Catur ], konon ini adalah tempat Chen Bo memenangkan percaturan itu. Cerita rakyat jangan ditelan bulat-bulat, namun berdiri di Pavilun Taruhan Catur memandang gunung dan sungai, sangat membuka wawasan. Zhao Kuangyin kalah taruhan, turun gunung jadi kaisar, dan Hua Shan menyimpan watak dan kebesaran hati yang tidak mampu diatur penguasa.

Saya sampai di kaki gunung, angkat kepala lihat, gunung besar tinggi menjulang, tidak tahu mesti dari mana mulai mendaki, tiba-tiba teringat Nong Yu, tidak tahu ketika dia sampai di kaki gunung, apakah seperti saya, menarik senafas udara dingin, berpikir ingin balik badan? Waktu itu tidak ada seorang pun setuju Nong Yu ke atas gunung mengejar cintanya. Saya juga teringat Chen Bo, tidak tahu buat apa dia mesti bersikeras menetap di atas gunung.

☉立夏

——— orong-orong menyerit; cacing tanah keluar; batang labu merambat

Menginap di Hancheng. Sendiri. Tengah malam bangun membaca [ Kitab Sejarah – 史記 ], terasa di dalam udara dingin bertebaran roh Sima Qian. Tanpa [ Kitab Sejarah ], tidak tahu catatan sejarah manusia akan kurang berapa kisah? akan kurang berapa tokoh? Jing Ke, Qu Yuan, Xiang Yu, Zhuo Wenjun, Yu Rang. Juga tukang cuci baju yang di saat Han Xin melarat memberi dia semangkuk nasi itu, seringkali membuat saya ketika melangkah di sisi sungai, tidak berani memandang remeh ibu-ibu tidak kukenal yang sedang mencuci baju di sana. Nelayan tua yang bertukar pikiran dengan Qu Yuan itu, juga membuat saya percaya nelayan-nelayan di kampungku pasti bersembunyi orang bijak yang pura-pura bodoh. [ Kitab Sejarah ] menulis semacam keyakinan lain di luar nilai-nilai mainstream.

Tokoh-tokoh paling menyentuh yang ditulis di dalam [ Kitab Sejarah ] hampir semuanya adalah orang-orang kalah di dalam kehidupan nyata. Di dalam syair Tanah Chu yang lantang membahana adalah nyanyian pilu kekalahan Xiang Yu yang tulus, berpisah dengan kudanya yang selalu keluar masuk medan perang bersama, berpisah dengan perempuan yang paling dicintai dalam hidupnya, dia ternyata di ujung hidup tiba-tiba menampilkan kegetiran dan kelembutan di titik temu suka dan duka, di dalam kenyataan yang kejam meninggalkan sepenggal kelembutan hati yang indah.

Pertarungan Chu dan Han, Liu Bang adalah pemenang, [ Kitab Sejarah ] menulis Liu Bang, menyunguhkan satu sudut pandang lain terhadap pemenang. [ Pasukan kuda Chu mengejar Raja Han, Raja Han panik, mendorong jatuh Xiao Hui, Lu Yuan ], Xiao Hui adalah putera pertama Liu Bang, Lu Yuan adalah puteri pertamanya. Penguasa sukses di saat  bahaya, demi menyelamatkan diri, bisa mendorong keluar anak sendiri dari kereta. Seorang pembantunya tidak tega, turun dari keretanya menyelamatkan kedua anak itu. Namun Liu Bang yang panik ingin segera keluar kepungan, kembali mendorong keluar kedua anaknya dari kereta. [ Kitab Sejarah ] berkata: Demikian berulang tiga kali. [ Kitab Sejarah ] dengan dingin menulis penguasa kehilangan sifat kemanusiaan, satu sisi gelap yang membuat kita bergidik.

Pertarungan Chu dan Han sudah berakhir. Xiang Yu kalah, Liu Bang menang. Namun penilaian sejarah belum berakhir, di bawah pena Sima Qian ada kalah dan menang yang lain.

 

☉小滿

——— sayur pahit berbiji; camelina mati; bulir gandum mulai berisi

Setelah melewati sebuah pintu rendah, terpampang di depan mata adalah sebidang dinding kayu yang sangat tua, hanya bisa dilalui satu badan saja. Namun begitu memutar langsung akan kelihatan pemandangan di balik dinding, sungguh mengejutkan.

Sebuah ruangan besar, telah duduk sekitar seratus sampai dua ratus orang. Semuanya mengitari meja-meja kecil minum anggur, suara percakapan sangat kecil, cahaya lilin bergetar di atas meja, suasananya agak misterius. Bagian dalam ruangan ada sebuah panggung, tempat pertunjukan sebuah kelompok tari keluarga.

Cahaya panggung menyala, pertunjukan telah dimulai.

Anggun melangkah keluar tiga perempuan muda, satu lembut, satu pedas, satu agak sulit dideskripsi, ketiganya amat jelita, kuduga adalah anak perempuan atau menantu keluarga ini. Mereka maju dengan khidmat, bagai baru mengikuti sebuah upacara sekolah, atau bareng mau ke gereja. Seketika, salah satu di antaranya bagai angin puyuh naik, awan buka sayap merentang, mulai menari, dua yang lain teratur mundur ke samping. Penari samasekali tidak memandang sekeliling, hanya tertunduk dengan mata sedikit mengatup, seolah sedang introspeksi diri, tetapi lengan dan badan bergerak bagai kerasukan, angin menderu petir menyilat.

Namun pada sesaat yang tak terduga pula, dia mendadak berhenti, angkat rok tegak bangau. Seharusnya ada seulas senyum tampak di wajah, tapi tidak ada, hanya dengan keheningan mengingkari segala yang baru berlalu, membuat penonton seluruh ruangan berkedip mata curiga pada diri sendiri: bagaimana mungkin perempuan yang begini lemah lembut melakukan putaran cepat.

Lelaki kurus sewajah galau, begitu masuk panggung langsung mempercepat langkah kakinya menjadi titik-titik hujan musim panas, seolah ingin kobaran dan gerah sekujur tubuhnya tertuang habis. Dia semestinya adalah anak bungsu keluarga ini, hereditas memungkinkan dia memiliki gerak langkah yang demikian kuat.

Hening. Sangat khidmat, seorang perempuan parobaya masuk panggung, dia kiranya adalah menantu sulung keluarga ini. Kelincahan dan daya pukau yang sama ketika disajikan olehnya boleh disimpulkan sebagai suci bersih, gairah yang sama padanya menjelma jadi renungan. Akhirnya dia pun tertawa, di saat dia selesai, semua penari muda tidak tampak ada yang tersenyum atau mengiyakan, hanya dia berani tertawa, namun di dalam tawanya menyimpan sindiran. Apakah dia sedang menyindir orang lain atau menyindir dirinya? Apakah sedang menyindir dunia atau sedang menyindir panggung? Tidak tahu, hanya tahu 3/4 tawanya adalah sindiran, dengan demikian panggung ini sudah tidak biasa lagi, sudah memasuki suatu kematangan yang bisa rata memandang seribu gunung.

Satu sisi panggung berdiri seorang lelaki tua gemuk, tampaknya adalah kepala keluarga, sedang memperhatikan jalannya pertunjukan. Setelah menantu sulungnya mundur, dia sendiri melangkah ke tengah panggung. Sangka akan menyampaikan sesuatu, ternyata tidak, hanya melihat dia tiba-tiba mengangkat sedikit ujung jasnya, perlahan mulai menari. Badan terlalu gemuk dan kaku, sulit berputar cepat, namun dia memiliki sejurus daya, sudah mengental demikian tebal, ditunjukkan sedikit saja sudah bisa merasakan gerakan tangan dan kakinya yang demikian menguras, namun samasekali tidak tergesa, pelan-pelan memutar keluar daya pukau jantan, humor lelaki tua. Penari yang paling tidak mirip penari ini diletakkan di mana juga bisa, usia membuat semua gerak-geriknya menjadi sulap klasik kehidupan.

Puncak sensasi adalah ketika seorang perempuan tua masuk panggung, seluruh penari dengan hormat berdiri di tepi panggung menatapnya, termasuk lelaki tua itu, suaminya. Bahkan beberapa pekerja belakang panggung juga buru-buru ikut berdiri di satu sudut panggung, begitu lihat sudah tahu ini adalah prosesi terpenting keluarga ini. Segala gerak tari di atas panggung yang baru ditampilkan tadi adalah setetes setetes diturunkan oleh perempuan tua ini, sekarang sang maestro tampil, seluruh ruangan hening. Pada wajah perempuan tua ini, tidak ada ketenangan anak perempuannya, tidak ada kegalauan anak lelakinya, tidak ada kesinisan menantu sulungnya, juga tidak ada humor lelaki tua itu, dia hanya sedikit mengernyitkan alis dan samasekali tidak ada ekspresi, segala macam ekspresi akan menjadi terlalu lumrah baginya, setiap gerak-geriknya adalah gerakan klasik yang setiap hari mereka hadapi, namun juga seolah selamanya tidak terjangkau.

Di samping ada orang berkata: Di seluruh Spanyol sudah sedikit yang mampu seperti dia, tubuh bagian bawah demikian dashyat bergetar menari dan tubuh bagian atas bisa samasekali tidak bergerak.

Akhirnya perempuan tua selesai menari, di dalam suara tepuk tangan, mereka sekeluarga masuk ke dalam suatu kondisi pukau tari, untuk mengakhiri pertunjukan malam ini. Tetapi anehnya adalah para penari seperti tidak memiliki ikatan gerak atau saling memberi sedikit isyarat atau sapaan, juga tidak peduli penonton di bawah panggung, masing-masing seolah masuk ke dalam suasana kosong, sebab itu tidak menemukan keriangan, kegenitan, rasa terima kasih dan perpisahan yang terduga. Hanya ada keangkuhan yang membakar, kesepian yang mengalir, kelincahan yang gelisah.

Sampai di sini penonton sudah tidak merasa ini adalah sebuah pertunjukan tari keluarga di malam buta di sepotong lorong yang tersembunyi, hanya merasa kedip cahaya lilin sepenuh ruangan, telah berubah menjadi sinar matahari Andalusia.

☉芒種

——— belalang lahir; burung cendet bersiul; mockingbird senyap

Tiba di kotamu hari sudah petang. Masuk penginapan, istirahat sejenak. Sebelum langit benar-benar gelap bangun memandang keluar jendela. Bukit belakang ada sehamparan pepohonan berbunga putih, kiranya adalah pohon minyak tung, dipandang dari jauh, hamparan bukit sudah memutih, bagai salju. Saya ingat bunga tung adalah kesukaanmu.

Pagi itu kamu mengajakku pergi bersama melihat bunga tung. Sebuah pagi yang basah, baru diguyur hujan semalaman, di setapak bertaburan bunga-bunga gugur. Kita berjalan di antara pepohonan, bunga-bunga merekah di ujung ranting, sekelompok-sekelompok seolah disanjung dedauanan hijau selebar telapak tangan. Bentuk bunga samar-samar, justru di antara daun dan bunga menebar selapis cahaya matahari, di dalam cahaya melayang gemulai serpihan bunga gugur, persis salju jatuh berputar di udara. Juga menyerupai berpuluh ribu kupu-kupu, menari sepenuh langit; di tengah udara naik turun merenggang merapat, lalu bersama-sama melayang jatuh, jatuh di wajah orang-orang yang menengadah, di kepala, di badan, juga jatuh di atas tanah, di setapak, penuh bertabur bunga-bunga seputih salju.

Saya menyambut sekuntum yang melayang jatuh di depanku, seksama memperhatikan bentuk bunga. Mahkota bunga lima helai, putih bening, kuncup sangat kecil, di tengah-tengah bunga ada satu titik merah muda, apakah agar lebah lebih mudah datang melakukan penyerbukan?

Kamu berkata: Yang jatuh adalah bunga jantan, bunga betina tetap di atas pohon, mesti menjadi buah.

Bunga betina mesti menjadi buah, dengan tegar tetap berada di atas pohon; bunga jantan setelah selesai kawin, satu persatu melayang jatuh. Hidup telah rampung, pisah ranting pisah daun, sesungguhnya tidak terlalu menyedihkan.

Di telapak tanganku ada sekuntum bunga gugur, mahkota lima helai, ditopang sebuah kelopak kecil, mungkin bunga yang jatuh atau tetap di atas pohon adalah menggunakan cara berbeda merampungkan diri, pengetahuan kita sangat terbatas, sering menderita ketakutan dan kesedihan yang tidak perlu.

Setapak Jejak Tukang Kebun

Puisi John Kuan

jejak
gambar dari http://gaedegambarist.blogspot.com

I
Lalu sampai di atas tebing tertutup bunga

matahari, berbaring, kejutkan seekor chukar
lebih awal tiba, kutunjuk gunung jauh berkata
pesona awan, lihat mata air menetes
Dengar! Suara pohon ditebang.

Kita dengar sepanjang hari pohon roboh

musim sedang dimulai, hutan berbenah hijau
Siapa akan melewati istana megah, melewati sejuta
pilar Romawi Kuno dan pedang dan tombak?
Melihat serigala gunung menjelma, lalu jadi manusia
mengarungi lautan ke tepi pantai kuning emas
——— agar sendiri ada sedikit nostalgia
ketika arus pasang berbuih datang

Kau pun tertawa, katamu, namun kita hanya

berbaring di sini, di atas tebing tertutup bunga
matahari, dan hanya bisa menerka bagaimana tenang
menjadi tua, mata air menetes, lewati bebatuan
cadas, di sini kita hidup api, berburu, basuh badan
mendengar suara pohon roboh di jauh

II

Buka pintu kuil, terperanjat warnamu

gunung dan ngarai, setetes telaga memantul
genta tua ketuk selaput waktu, dan aku hanya
seorang kelana putus dawai, suka nyanyi
kisah di malam sebelum benteng runtuh
kereta kuda melesat ke tepi sungai api kemah

Kita kadang juga berbincang sampai ombak laut

prajurit-prajurit gugur di tanah jauh, zirah menyimpan
dingin dataran tinggi, ujung baju melekat biji-biji gandum
kening pecah cahaya dan hampa, siapakah di malam
sebelum benteng runtuh berdoa? Siapakah tangan
melingkar seuntai japamala? Siapakah berselimut jubah
takdir membaca sutra? Sudah berapa kaki
dari permukaan laut, kau bertanya
rambut kacau bahu bergetar

Lain kali bertemu kau lagi, semestinya di kota tua

tropis, saat itu sudah dataran rendah, jangan sebab tiada cinta
duduk di atas kursi rotan di sisi akuarium ikan mas
cuma bicara tentang angin kabut England
selat, lampu, tiang layar, dan arah angin
Lain kali bertemu kau lagi, singkirkan musim hujan
kota kecil, biarkan matahari jemur kolam air mancur
jalanan, bangku taman, kaleng bir, elang berputar

Andalas Pulang Kawin

Puisi John Kuan
 
pulang
1959 berkubang di tepi Sungai Siak
7 kerabatku dijerat ekpedisi Denmark
atas nama kepunahan dua terpaksa ditarik
ke atas tongkang masuk Selat Melaka
menyusuri jalur timah dan minyak bumi
tiba di Kota Singa bersama saudara
sehutan, ramin nyatoh meranti balam
meninggalkan tanah rawa bergambut
menjadi alat ukur cendekia orang Eropa
persis seperti kitab, artefak dan fosil
hanya saja kau tidak bisa membungkus
atau menyimpannya ke dalam palka
sebab kami adalah badak Sumatera
 
1515 berkubang di tepi Sejarah Eropa
1 kerabat jauhku dijerat Sultan Muzafar
sebagai titip salam buat Raja Manuel I
dengan Osem pengasuhnya dia keluar
Goa melingkar Tanjung Harapan 120 hari
bersama bau kematian dan rasa pedih
rempah: pala cengkeh kayu manis merica
di Istana Ribeira Raja Portugal perintah dia
melawan anak gajah, sejarah salah catat,
dia bukan ngamuk melihat gajah, cuma
gertak orang Eropa, Duret juga keciprat
rejeki 500 tahun walau salah gambar
sebab kami adalah badak Sumatera
 
1990 berkubang di Bronx, New York
aku tidak yakin bibiku Rapunzel, mestinya
Delima, Melati atau Harum, tapi biarlah
ahli binatang mengacak dongeng Jerman
buta warna, sawo matang tampak pirang
Bibiku imigran resmi bukan suaka politik
walau kampungnya digusur kebun sawit
tapi dia tegar, patuh, orang Manhattan
suka parasnya, diabadikan di kue kering,
cangkir, grafiti tembok dan dinding subway,
perempuan lilit di syal, lelaki ikat di sabuk
penyair kaget menulis sebaris sajak cinta:
Sebab kami adalah badak Sumatera!
 
2001 aku bagai Prometheus bawa api
turun ke bumi, menerangi jerih payah
kawin paksa 112 tahun, kandangku berpijar
televisi radio suratkabar meliput total, tiada
pangeran dilahirkan seheboh aku, Andalas
demi tanah leluhur, kata ibu, kadang aku
ingin jadi pipit atau kupu-kupu, tapi dokter
bilang aku keturunan purba, kulit tebal,
dua cula, mata lemah, otak kecil, kau
terancam punah, kata-kata ini menyayat
walau aku introvet, soliter, vegetarian
tapi lelaki impoten tetap incar culaku
sebab kami adalah badak Sumatera
 
2007 aku pulang sebagai warga asing
murni kelahiran Amrik, ibu mengecup
aku dua pipi lumpur Ohio sambil berbisik
ingat pesan tetangga kita, Orang Utan:
hati-hati makhluk yang mengitarimu
mereka cuma tumbuh bulu di kepala,
ketiak selangkangan tapi sangat kejam
saling bunuh adalah pencapaian tertinggi
sejarah mereka, namanya homo sapien
sudah lama terjatuh dari pohon evolusi
sedang siapkan sebuah pesta threesome
di Way Kambas, tapi aku pilih tradisonal
sebab kami adalah badak Sumatera

Menulis Sepucuk Surat Panjang

Puisi John Kuan

Ingat kau melewati segaris pantai

mestinya di sakumu ada sepucuk surat

segitu panjang. Kau bilang: Tadi malam

gemintang porak-poranda, hatimu kacau

Juga ketika kau membereskan pernak-

pernik di dasar laci seringkali bertahan

adalah benda paling tidak disuka, namun

membuat hati risau. Jejak tinta di tengah

surat kadang dangkal kadang dalam.

Kuduga saat ini mestinya kau sudah bangun

segelas air putih, merapikan semestamu

atau mungkin berkitar di kamar, berjalan

sia-sia, bagai menjaga sebuah pikiran

mudah terlepas, lalu kau duduk, menulis

rinci per rinci yang kita sama peduli

bahkan mendampingi waktu menunggu

duniamu berputar ——— yang kau bilang

ataupun tidak, aku mengerti semuanya

 

:     :     :     :     :     :     :     :     :     :     :     :

 

Mereka cuma mainan: kau menyisip

di dalam benua abjadmu, bukankah aku

juga hanya seorang prajurit belaka?

Pada arus sungai yang mengalir deras

di antara kening kita, bunga datang bunga

pergi, puisi datang puisi pergi, aku sudah

separuh tanah berdiri di sini, setetes hujan

musim semi, akan menjelmaku lumpur lagi.

 

:     :     :     :     :     :     :     :     :     :     :     :

 

Ingin juga cerita sedikit aku terapung

setiap malam, di tepi ranjang melepaskan

sandal dan baju berlumur cahaya dan debu

mengayuh ke gelap, seperti ke pulau harta

masa kanak ——— ombak bergulung bulat

bagai sebiji airmata raksasa, atau satu embun

tergantung di kisi jendela. Burung melintas

akrobatik di langit berbintang, gerombolan

ikan unik menorehkan bayang berwarna

Mereka sering tanpa luka menabrak jalur

layarku. Saat putih perlahan panjat jendela

tirai bambu menggeliat binatang laut,

mengejutkan sandal yang terbaring miring

dua ekor ikan laut saling membuih itu,

di saat berbagai sampah kota terapung,

di antaranya ada sebutir mikrokosmos

berkulit keras, halus, di dalam lengkungnya

aku nyaman, kering, bersih, dan hangat

 

:     :     :     :     :     :     :     :     :     :     :     :

 

Pagi ini di dasar laci lemari dapur

menemukan kita di suatu malam hujan mati

lampu bersuka ria meraba-raba tapi tidak bisa

ditemukan sepotong lilin sisa separuh itu

Pagi ini di dasar laci meja mahoni tua

menemukan sebuah amplop kuning pudar

itu mestinya berisi seikat rambut sekian tahun

lalu tidak tahu sudah mati atau masih hidup

Ia tidak bisa tumbuh juga tidak bisa lapuk.

Pagi itu kenang kamu, tentu bukan sekedar

kenang, percakapan telepon, bahkan melingkar

tanggal temu ——— pada satu dunia berlumur

lembab malam, terima kasih kau membiarkan

buah pikiranku ada ranting hinggap

 

:     :     :     :     :     :     :     :     :     :     :     :

 

P.S.

Masih suka duduk di mulut jendela? Aku juga

satu posisi di musim panas yang jauh. Di luar

jendela, siang mengikuti bayang hitam pipih

bersandar malas, terdengar suara langkah

ringan, bagai buah yang matang dalam diam

tergantung di taman Adam dan Hawa ———

Orang berpayung, juga gumpalan awan

mungkin sedang santai melintas, tidak perlu

mengejar waktu, kau dan aku juga. Setelah

tertinggal kita bisa diskusi kenaifan dan sastra

Kalau tidak Homer buta, Plato terhormat

Kalau tidak Bach, Rachmaninoff boleh juga

atau buka buku biarkan kalimat panjang

kalimat pendek dibaca suara serangga.

Sebuah kesimpulan tanpa tema, besok boleh

dilanjut, kata-kata tak sempat dimuntah

besok juga jangan sebut. Hari sederhana

bagai segelas teh, kota serta orang-orang

tidak disukai, semuanya ada di seberang

arus sungai. Sebelah sini mungkin ada orang

suka bersedih, tapi bukan kita. Kita tahu Cinta

Petang masih juga suka petir dan hujan

tapi tidak usah risau, setelah jam 5 pasti cerah

 

:     :     :     :     :     :     :     :     :     :     :     :

Angin Daun Pisang Angin Gubuk Rumput

Chinese poet Li Bai from the Tang dynasty, in ...
Chinese poet Li Bai from the Tang dynasty, in a 13th century depiction by Liang Kai. (Photo credit: Wikipedia)

Puisi John Kuan

|| Angin Daun Pisang ||

 

Kau berkata: Biar di Kyoto, dengar wiwik

menjerit. Kurindu Kyoto. Aku bilang: Biar

di Daik, lihat ombak merajuk. Kurindu Daik.

Berkasut jepang aku injak empat musim

dan kau, lewat setahun lagi ——— tangan

memegang caping, kaki bersandal jerami.

Kau bilang: 行く春や鳥啼き魚の目は涙

yuku haru ya tori naki uo no me wa namida

berlalu musim semi, mata ikan sembab,

burung berkicau Blues. Sebab itu kita tahu

jalan hidup amat sempit, musim bunga

amat pendek. Begitu lengser musim salju

sebaiknya kau buka bilik hatimu, jajakan

riang bunga. Jelas itu sehamparan hening

bagaimana kau bisa dengar suara tonggeret

menyusup ke balik batu? Lalu bagaimana

pula di antara nasi dan asmara, induk kucing

jadi kurus? Kau berkata: Laut dah gelap,

suara panggilan camar, agak memutih.

Aku melihat kadang Selat Berhala kadang

Selat Malaka, laut kampungku pelan-pelan

gelap, kunang-kunang berkedip di kelam

bakau, bagai berjalan di bawah pijar bintang

negeri jauh. Kau berkata: Seladang kapas

laksana bulan telah merekah bunga

Aku bilang: Sekolam cahaya bulan, bagai

ikan perak, menggelepar sisik-sisik tubuhnya.

Di lubuk botan/ seekor lebah miring/ mundur

keluar. Ah, bukan main sedap, kau sedang

di dalam dunia rasa membuat filem iklan

tujuh belas detik tujuh belas silabel, bukan?

Di bawah pohon pinus bertanya katak, ekor

angin telah kacir ke mana: Dia satu suara,

ping pong, lompat ke dalam perigi tua,

daun pisang di permukaan air, suara serpih

daun pisang koyak, perlahan bergoyang

 

|| Angin Gubuk Rumput ||

 

Telah lebih sepuluh musim gugur menginap

di dalam puisimu, Mister Du. Kertas serbuk

emas di dalam angin barat memantul burung

dan tangga giok. Merah padam api peperangan

telah dingin abu. Gemeretak roda kereta juga

barisan prajurit terbangun di dalam sehamparan

panorama huruf-huruf kuning krisan. Chang’an,

sebuah gelas anggur, tidak bisa kau genggam

terlalu erat. Tamu datang, kau utang arak

Musim semi datang, pergi tonton bunga

Harum padi tentu telah habis dipatuk bayan

Setumpuk beras perang, aku curiga sangat

erat terkait dengan sintaksis terpelintir itu

selalu rampung dengan api kecil, berulang kali

diaduk, dikukus. Bukankah aku telah melihat

kau tuang sana tuang sini, meniup sambil nyanyi

karya baru selesai kau tanak, seolah seluruh

dunia hanya mendengar kau Mister Du seorang.

Namun, puisi bagaimana bisa cuma demi nama

ditulis. Saat memancing masih terkenang

Mister Tao Mister Xie, dan mengenai seafood

di mata kail itu, mana tahu apa epik apa liris?

Malam ini menumpang di dalam puisimu lagi

Mister Du, sebaris krisan di depan gubukmu

kuning hingga bibir sungai. Hanya teringat

seperti kemarin saja, aku melihat dia pulang

kantor, demi kupu-kupu sepanjang jalan

mengadaikan jubahnya. Sebuah kotak obat

kosong tercenung di pojok gubuk. Sakit tentu

masih punya, namun gelisah justru berkurang.

Tahu-tahu yang datang mengetuk pintu mimpi

adalah gerombolan ini ——— Li Bai telah mati,

Wei Ba hilang. Itu terjadi di malam bintang

padat merayap seperti kemacetan di pusat kota.

Mendengar angin musim gugur mengepak

atap gubuk, Mister Du buka mulut: Mau main

catur? Ke bandar besar di atas papan catur

adu langkah sambil petik bunga liar di luar bandar