Arsip Kategori: Gerundelan

PEMAAFAN

Oleh Paulus Catur Wibawa
ilustrasi 3.bp.blogspot.com
Seks pranikah punya sejarah yang sangat panjang. Barangkali sejak pernikahan itu sendiri ada dan dilembagakan. Dan itu artinya sejak dahulu kala, sebelum Joko Tarub mengintip bidadari mandi, sebelum Kertanegara memuja Tantra sambil pesta orgy, sebelum para gundik dipelihara kumpeni. Sampai zaman ketika para artis suka merekam perzinahannya sendiri, ketika undang-undang mengatur rok mini dan ketika tetek palsu menambah percaya diri dan perasaan sexy.
Seks pranikah dan seks bebas tentu adalah istilah masa kini untuk menunjuk pada perilaku seksual—katakanlah, persetubuhan—yang dilakukan di luar ikatan perkawinan. Perbedaan dua istilah itu terletak pada cakupannya. Seks bebas dilakukan tak peduli dengan pacar, teman, kenalan atau bahkan orang yang—secara pribadi—tidak saling kenal. Seks pranikah dilakukan dengan orang yang (seolah-olah) akan menikah, meskipun pada akhirnya belum tentu menikah.
Banyak pihak telah berusaha menyadarkan betapa tindakan seksual harus dilakukan secara benar dan bijaksana. Seks bebas dan seks pranikah telah melahirkan berbagai gangguan kesehatan, rumahtangga yang hancur atau terpuruk karena ketidaksiapan, anak-anak “haram” yang tidak siap secara sosial.
Dalam masalah ini, perempuan sering menjadi korban. Terutama, bila ia sudah menyerahkan (atau dirampas) kehormatannya. Terlebih lagi bila laki-laki tersebut ternyata tidak menjadi suaminya. Sangat mungkin itu mengakibatkan luka yang dalam dan tak mudah diobati seperti misalnya, dendam pada laki-laki, penolakan pada konsekuensi dari hubungan seksual itu sendiri, pengucilan diri, stigma dari masyarakat sekitar dsb. Lalu bagaimana mensikapinya? Banyak solusi praktis sudah sering dikemukakan. Pertama, sekedar mengulang beberapa pendapat itu, laki-laki yang berbuat harus (dituntut untuk) bertanggungjawab. Salah satunya adalah dengan cara menikahi secara resmi. Tapi jika itu tidak mungkin, misalnya karena ia sudah beristri, pertanggungjawabannya harus dalam bentuk lain, entah secara kekeluargaan atau secara hukum. Kedua, perempuan yang menjadi korban juga harus bertanggungjawab. Sekalipun korban, ia juga terlibat dalam kondisi yang tidak diinginkan ini. Karenanya, ia harus juga bertanggungjawab, terlebih bila hubungan seks pranikah tersebut menyebabkan kehamilan. Sekarang ini banyak LSM dan lembaga keagamaan punya perhatian pada persoalan semacam ini. Ada yang concern pada ibu-ibu yang hamil di luar nikah, ada juga yang concern pada anak-anak yang lahir di luar pernikahan. Keempat, keluarga dan masyarakat sekitar perlu memberikan dukungan. Para korban tidak semestinya dijauhkan dari lingkungan, atau dikecam. Sebaliknya, mereka perlu dimaafkan dan dibantu untuk melanjutkan kehidupan mereka. Kelima, meminjam pendapatnya Hannah Arrent, perlulah memaafkan. Forgiveness is the exact opposite of vengeance, which acts in the form of re-enacting against an original trespassing whereby far from putting an end to the consequences of the first misdeed, everybody remains bound to the process, permitting the chain reaction contained in every action to take its unhindered course. Arrent memang pertama-tama bicara soal politik, yakni tentang korban Nazi. Tetapi saya kira ia benar, bahwa proses pemulihan hanya bisa terjadi setelah didahului dengan memaafkan—betapapun sulitnya—pihak-pihak yang bersalah. Tanpanya, pemulihan hanya seperti tongkat ajaib yang kekurangan mantra. Bisakah seorang korban memaafkan? Mungkin sangat sulit. Apalagi jika luka yang disebabkannya sangat dalam. Tetapi tanpa memaafkan, luka itu akan tetap ada, korban selamanya terbuang di alam dendam dan kekecewaan.

Catatan:
Opini ini terpilih sebagai opini terbaik pertama tentang ‘Seks Pranikah’

Sesat Pikir dan Lelayu Akademik

Gerundelan Arif Saifudin Yudistira*

one day writing
Ilustrasi dari ioneday.blogspot.com
Kabar duka baru saja mengemuka di solo. Diskusi dan bedah buku Gerwani Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan yang rencananya diadakan di Balai Sudjatmoko sabtu (12/5/12) dibatalkan karena desakan polisi. Menurut kabar, polisi di desak ormas yang menilai diskusi buku tersebut tak layak diselenggarakan dan kemudian mendesak Balai Sudjatmoko membatalkan agenda diskusi.
Sebelumnya secara beruntun kekerasan terjadi di dunia akademik kita. Penolakan bedah buku Alloh,cinta dan kebebasan karya Irshad Manji yang rencana diadakan di Balai Sudjatmoko (8/5/12) dibatalkan oleh LUIS (5/5/12). Kemudian di Jakarta pembatalan diskusi serupa dibubarkan polisi (4/5/12) dan di Yogja pun demikian halnya (9/5/12). Pembubaran maupun bentuk penekanan yang terjadi selama ini lebih didasarkan pada motif arogansi dalam masyarakat kita. Di mana letak kebebasan akademik dan kebebasan menyuarakan pendapat jika diskusi dan dialog sudah dianggap sebagai suatu ancaman.
Kekerasan yang dikedepankan mencerminkan bahwa moralitas akademik sudah tak ada dalam masyarakat kita. Apa jadinya bila bangsa yang berbudaya dan beragama lebih mengedepankan kekerasan? Agama lebih dianggap sebagai momok dan juga monster menyeramkan. Dialog yang menjadi kunci dan ciri orang beragama sudah dilupakan begitu saja. Apa jadinya bila orang beragama lengkap dengan pakaian dan senjatanya hanya untuk menyerang orang mau berdiskusi dan berdialog? Ada kesalahan paradigma yang mendasari mereka melakukan perbuatan tersebut. Sudah sejak jaman nabi-nabi dahulu, dialog dan diskusi adalah strategi yang diutamakan daripada kekerasan dan pedang. Nabi Muhammad SAW adalah contoh yang nyata. Bila diijinkan Nabi Mohamamd SAW, Jibril akan menimpakan Gunung Uhud pada kaum Quraisy, tapi Nabi lebih memilih berdoa agar orang kafir mendapat hidayah. Kekerasan adalah cara yang ditempuh bagi orang yang lemah, kata Gandhi. Maka dialog dan musyawarah dan diskusi intelektual adalah jalan yang mesti di kedepankan.

Sesat pikir

Ada semacam fenomena sesat pikir di kelompok yang mengedepankan kekerasan dan tak sepakat dengan dialog. Iman adalah sesuatu yang mutlak dalam diri, tapi alangkah nistanya bila iman hanya berlandaskan pada dogma dan dalil yang sempit semata. Bukankah sudah ada sejarah para nabi kita yang menggunakan akal untuk mencerna, memahami dan menghayati setiap peristiwa dan ayat tuhan di alam ini. Agama sekali lagi bukan dan tidak mengajarkan pemberangusan apalagi menggunakan cara-cara kekerasan menghadapi diskusi. Diskusi dan dialog semestinya dilawan dengan dialog. Maka harus kita tegaskan bahwa kekerasan dalam dunia akademik di ruang publik melalui bentuk-bentuk pelarangan, penekanan, intimidasi sampai pada tahap pembubaran orang berdiskusi dan berdialog adalah sesat pikir yang mesti diluruskan. Dalil agama mestinya tak disalahgunakan hanya untuk melegitimasi perbuatan mereka. Agama terlampau kotor bila digunakan untuk melegitimasi perbuatan mereka.
Agama semestinya lebih mengedepankan dialog dan juga diskusi intelektual. Bukankah islam pun mengajarkan “katakan kebenaran walau pahit?” Agama apapun pasti tak mengajarkan cara-cara kekerasan dalam menghadapi sesama manusia. Untuk apa beragama bila pedang dan darah lebih dikedepankan daripada perdamaian dan cinta kasih? Bukankah agama mengajarkan demikian? Seorang pemikir anti kekerasan Dom Holder Camara mengatakan dalam bukunya “spiral kekerasan” : “Apapun agamamu, cobalah berusaha agar agama membantu menyatukan umat manusia, bukan untuk memecah belah”. Setidaknya itulah ajaran yang ada juga di agama kita, bukan sebaliknya justru mengedepankan pedang daripada pikiran dan hati kita.

Arogan

Sikap pembubaran diskusi yang ada di Solo, Yogja dan Jakarta adalah bentuk arogansi semata. Hal ini bukan tidak berdasar, melainkan negara kita bukan negara agama. Justru karena negara kita bukan negara agama, mestinya kita menghormati hak-hak orang beragama menjalankan keyakinannya. Apalagi di forum intelektual, bila ingin menggugat, gugatlah dengan cara-cara akademik dan dialog. Bukan dengan membubarkan paksa, pembubaran paksa adalah cara-cara yang memicu kekerasan. Intelektual mestinya sejajar dengan iman. Bila iman tidak bisa diterima dengan rasionalitas maka iman tersebut mestinya diragukan. Oleh karena itu, pembubaran diskusi dan juga bedah buku adalah bentuk arogansi yang mendasarkan pada ego kelompok yang dipicu dengan semangat agama yang melenceng.
Pembubaran diskusi dan bedah buku Irshad Manji dan bedah buku gerwani yang ada di Solo dan Jakarta serta Yogja adalah representasi kematian akademik. Artinya, akademisi dan juga manusia sudah tak lagi mempunyai moralitas dan nalar akademik yang maju. Bila sikap seperti ini masih berkembang dan ada di negeri ini, maka konflik dan juga kekerasan akan semakin rentan terjadi di negeri ini. Persoalan ini hanya bisa diselesaikan dengan menghidupkan kembali ruang-ruang dialog dan juga forum kerukunan umat beragama. Agar nalar akademik dan juga nalar intelektual lebih dikedepankan daripada kekerasan. Kekerasan hanya akan membuat kerukunan makin sulit diusahakan.
Terlebih lagi, dunia akademik mestinya tidak mengembangkan doktrin dan juga pemikiran yang sempit. Kebebasan akademik mesti dikembangkan, kampus mesti mengawali, bahwa setiap pemikiran mesti dihargai dan dihormati. Kita tidak membicarakan pro dan kontra, setuju atau tidak, diskusi adalah cara intelektual untuk mencari dan menemukan kebenaran. Bila tidak demikian, maka ilmu dalam dunia akademik kita tak lebih dari sekadar doktrin dan dogma semata. Kampus itulah yang mesti mengawali, kasus di UGM adalah peristiwa yang mencoreng dunia akademik kita.
Jika kampus yang semestinya menjadi corong dan gerbong untuk ruang akademik dan kebebasan akademik sudah memiliki pemikiran yang sempit. Maka ini adalah tanda bahwa lelayu akademik itu sudah ada di dunia akademik dan ruang publik kita.

*) Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhamadiyah Surakarta, bergiat di Bilik Literasi Solo, mengelola Kawah Institute Indonesia

Sekali Lagi Mempertanyakan Sikap Pemerintah Terkait Kekerasan Atas Nama Agama

Gerundelan Ragil Koentjorodjati
merpati lambang perdamaian
Gambar diunduh dari bp.blogspot.com
Jauh hari sebelum tahun 2012, sudah banyak pihak mempertanyakan sikap pemerintah terkait dengan kekerasan atas nama agama. Anda bisa mengunakan alat pencari google untuk menemukan berbagai pendapat dan pandangan para tokoh, mulai dari akademisi seperti Anies Baswedan, Benny Susetyo, Magniz Suseno, tokoh-tokoh mahasiswa, dan berbagai organisasi LSM. Intinya sama, mempertanyakan sikap pemerintah terkait kekerasan atas nama agama. Puncaknya –jika boleh disebut demikian- pada bulan Mei 2011 Komisioner PBB untuk Hak-hak Asasi Manusia, Navanethem Pillay, menyurati pemerintah Indonesia, menyatakan keprihatinan mereka terhadap peningkatan jumlah laporan mengenai kekerasan terhadap kelompok keagamaan minoritas di Indonesia. Surat keprihatinan terhadap kekerasan atas nama agama dan sekaligus keprihatinan terhadap respons pemerintah yang dinilai kurang memadai. Dan kita tahu, sampai hari ini, tidak ada perkembangan signifikan menuju ke arah yang lebih punya harapan. Kekerasan masih terus berlanjut bahkan cenderung meningkat. Dari laporan media massa, sudah lebih dari 65 kasus kekerasan dalam waktu setahun terakhir, belum ditambah dengan kekerasan yang tidak terpublikasi media.

Tirani Minoritas.

Ada satu pemikiran yang berkembang bahwa kekerasan terjadi karena provokasi dari minoritas. Dalam konteks negara demokrasi, tirani minoritas tidak diijinkan terjadi. Demokrasi ala ‘suara rakyat suara Tuhan’ merujuk pada suara terbanyak untuk mengambil sebuah tindakan pada level pragmatis kemasyarakatan. Dengan menggunakan label agama mayoritas, maka pemahaman makna ‘minoritas’ terbatasi pada terminologi ‘bukan islam’. Pada titik ini, ada banyak pertanyaan yang timbul karena pemikiran tersebut menuntun pada arah yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris.
Berdasarkan data BPS tahun 2010, dari jumlah penduduk sebanyak 237, 6 juta jiwa, sebanyak 207,2 juta jiwa (87,18 persen) mengaku beragama Islam, 16,5 juta jiwa (6,96 persen) beragama Kristen, 6,9 juta jiwa menganut agama Katolik (2,91 persen), 4 juta penganut agama Hindu (1,69 persen), 1,7 juta penganut Buddha (0,72 persen), 0,11 juta penganut Konghucu (0,05 persen), dan agama lainnya 0,13 persen.
Sumber data lain menunjukkan bahwa sebagian besar Muslim adalah Suni. Dua organisasi massa Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, diperkirakan mempunyai lebih dari 40 juta dan 30 juta pengikut Suni. Sekitar satu juta hingga tiga juta adalah Muslim Syiah. Dalam jumlah yang lebih kecil lagi mencakupi al-Qiyadah al-Islamiya, Darul Arqam, Jamaah Salamullah, dan pengikut Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia (LDII). Dalam skala yang lebih kecil, Ahmadiyah –yang mana status keislamannya masih dipersoalkan beberapa pihak- memiliki anggota sekitar 400.000. Ahmadiyah ini terdiri dari dua kelompok yaitu Ahmadiyah Qadiyan dan Ahmadiyah Lahore.
Agama lain, agama yang belum diakui pemerintah sebagai agama resmi, mencakupi berbagai agama asli suku-suku di Indonesia dan lebih dari 200 aliran kepercayaan di seluruh penjuru nusantara, diperkirakan memiliki lebih dari 300.000 pengikut.
Jika mengacu pada model demokrasi ‘suara rakyat suara Tuhan’ dengan jumlah suara mayoritas sebagai acuan kebijakan, maka jumlah suara yang menginginkan kebebasan beragama tanpa kekerasan, secara statistik jauh lebih banyak dari aliran minoritas yang memaksakan kehendaknya. Sebab sikap aliran minoritas yang melakukan penyegelan gereja, menurunkan patung Budha dan melakukan tindakan anarkis berlabel agama di berbagai tempat, bukan representasi valid sikap mayoritas Islam secara keseluruhan. Logika tirani minoritas yang selama ini diarahkan pada penganut agama selain Islam, pada kenyataannya berbanding terbalik dengan kondisi yang ada di lapangan.

Pemerintah, Negara dan Agama.

Secara singkat, hubungan negara dan agama dipedomani sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Jangan mengatakan bahwa cantuman ini klise dan sudah kuno, sebab pada kenyataannya sila itulah yang ada di Pembukaan UUD’45. Sila itulah yang memberi pedoman bahwa Indonesia bukan negara agama. Sila itulah yang memberi pedoman pada pemegang kekuasaan bahwa semua agama dan aliran kepercayaan berhak menjadi anak kandung bangsa Indonesia. Secara sederhana, Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna spiritualitas –kualitas hidup batin yang merujuk pada keyakinan akan Tuhan dan kemanusian- adalah nomor satu bagi seluruh penghuni rumah bernama Republik Indonesia, apapun jalan yang ditempuh menuju spiritualitas itu.
Merujuk pada pemahaman di atas, fungsi pemerintah adalah mengeksekusi tataran ide tersebut sehingga menjadi sesuatu yang konkrit di masyarakat dengan melibatkan seluruh komponen bangsa. Akuan pemerintah atas keenam agama resmi, absennya pemerintah dalam berbagai tindak kekerasan atas nama agama dan penguasaan atas akses-akses beragama atau akses menuju manusia Indonesia berspiritual, adalah bukti-bukti nyata kegagalan memahami makna sila pertama Pancasila oleh seluruh komponen pemerintah, terutama aparat penegak hukum dan aparat Kementerian Agama. Mengapa dua entitas ini? Sebab dua entitas inilah yang berinteraksi langsung dengan segala persoalan keagamaan di tataran masyarakat. Mereka gagal memisahkan antara kepentingan pribadi, agama dan negara. Gagal memedomani Pancasila sebagai cara pandang bangsa Indonesia. Gagal memahami agama yang dianutnya dalam konteks keberagaman kehidupan berspiritual di Indonsia.
Dampak dari berbagai kegagalan tersebut, tidak saja mewujud pada ketidakpedulian atas konflik yang terjadi di masyarakat, tetapi juga malah mengekploitasi konflik demi konflik untuk kepentingan pribadinya. Agama dijadikan kendaraan untuk memenuhi berbagai ambisi pribadinya.

Lantas Bagaimana?

Sudah jamak dipahami bahwa beragama adalah salah satu jalan menjadi manusia spiritual. Mayoritas warga bangsa menginginkan semangat hidup bersama dalam damai dan tolong menolong. Standar minimal yang harus diterapkan pada aparat pemerintah adalah tidak membiarkan berbagai kekerasan dan konflik bernuansa agama terus terjadi. Aparat pemerintah minimal memahami tugas pokok dan fungsinya menyelenggarakan kepemerintahan yang sehat dan transparan. Transparan dalam arti keterbukaan terhadap segala akses bagi warga bangsa untuk memperoleh hak-haknya. Sehat dalam arti tahu diri sebagai orang yang digaji oleh para pembayar pajak yang mana kontribusi nominalnya didominasi orang tidak beragama Islam. Sehat berarti juga mampu menempatkan diri sebagai anggota masyarakat majemuk dengan atribut keagamaannya dalam wadah warga bangsa sebagaimana kutipan ‘Islam 100% dan Indonesia 100%’. Tentu saja tidak hanya Islam, tetapi juga aparat-aparat yang beragama lain.
Pada tataran ideal, tentu kita harus bersepakat kekerasan -atas nama apapun- tidak pernah menyelesaikan persoalan. Untuk itu, mengembalikan Pancasila sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara adalah mutlak. Dengan memedomani Pancasila, negara mengakui semua agama memiliki hak hidup yang sama sekaligus memberikan kebebasan bagi pemeluknya untuk mencapai kehidupan spiritualitasnya masing-masing. Oleh sebab itu, pemerintah tidak bisa membuat aturan main sendiri yang bertentangan dengan Pancasila. Apapun agama atau kepercayaannya, hak-hak sipil harus dipenuhi, tanpa meninggalkan koridor apa yang kita sebut sebagai tindak pidana.

Data dihimpun dari berbagai sumber.

Gejolak Waktu yang Rapuh

Gerundelan Matroni el-Moezany*

fakir cinta
gambar diunduh dari bp.blogspot.com

Aku ingin bersikap seperti tuhan, tapi itu sebuah perjalanan yang belum engkau sudahi, tapi engkau sudah tahu jalannya tinggal engkau mencari siapa dirimu.

Malam yang kutunggu hanya sebuah ilusi yang tak akan pernah ada dalam keadaan ini. Walau pun sesuatu tidak akan ada dari ketiadaan. Mungkinkah yang tidak itu ada? Ini hanya sebuah teori yang tidak bisa sampai pada titik puncak yang akan dicapai oleh para penghasil teori maupun para filosof.
Dalam dunia, kita akan menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada menjadi orang yang hanya berwaktu dalam diri (sok-sokan). Tapi mungkinkah sok-sokan itu menjadi waktu yang setia dalam jiwa dan perjalanan rohanimu? Inilah yang pantas menjadi Tanya dan Tanya dalam jiwa. Sehingga langkah awal untuk mencapai itu semua tiada lain hanyalah perjalanan, baik perjalanan dalam diri maupun perjalanan dalam pikiran, dan perjalanan dalam kesunyian.
Dalam kesunyian ini, kita tidak akan menemukan sesuatu yang menyakitkan, karena dalan sunyi yang ada hanyalah kesendirian dari kita. Seketika itu sebuah kata itu akan lahir sebagai tanda percakapan yang senantiasa menggugah rasa di jiwa. Walau itu membuat Tuhan mati itu tidak masalah yang paling penting dalam dirimu ada “aku” yang seutuhnya. Dan menjadi “Aku” yang benar-banar Aku dalam dirimu sendiri.
Semangat zaman (zitsim libern) itu yang membuat Tuhan mati, tapi dalam jiwa ini apakah Tuhan dapat mati kalau kita terus mengaliri kata-kata sejuk yang menyirami kegsersangan pasir itu?. Inilah sebuah fenomena yang saat ini tidak banyak orang menyelami, lalu apakah dengan itu kita semua bisa mencapai ketakterbatasan? Kita hanya bisa bertanya tentang apa, bagaimana, di mana, kapan, siapa, dengan apa.
Dalam sebuah ketika yang kadang kita tidak merasa bahwa kita berada dalam kegelapan. Kegelapan apa yang disebut dengan kematian. Kematian dalam diri maupun kematian dalam dunia serta kematian dalam kata-kata. Semangat waktu tidak akan menjadikan kita berbuat apa-apa selama kita belum bisa menggali sebuah ketika tersebut. Sebuah ketika di mana kita bisa mencipta kata-kata. Kata-kata yang memang sudang tidak lagi ingin lepas keluar dari jiwa dan tubuhmu.
Sebab waktu karena engkau, maka dari itu jangan kau pernah memaki waktu itu karena engkaulah waktu itu yang senantiasa menjaga dari sebuah kegelapan itu. Jadi tidak salah kalau kita berdoa untuk waktu. Waktu, kata dan kau adalah segitiga dalam ruang yang hampa, dengan demikian agar tidak terjadi kehampaan doaakan dan sirami ia dengan kata-kata yang sebisa mungkin dapat membanjiri semesta. Tidaklah kau kira jalan yang kita langkahi itu sebuah ayat-ayat Tuhan yang tak pernah kita baca untuk dihaturkan pada matahari dan bulan.
Apakah kita pernah berpikir untuk mencipta ayat-ayat tuhan walau kita merupakan manusia. Apakah bisa? Bisa! Kita jalani kegelapan yang panjang di depanmu itu. Sampai kita menemukan nilai-nilai langkah yang kita injak untuk mencapai nir-wana dan nir-nilai. Siapa sangka kobaran yang sederhana dapat membanjiri semesta. Artinya bagaimana kita melihat sesuatu yang paling terkecil, sebab sesuatu yang kecil akan bisa dan selalu masuk untuk apa saja. Laksana bawang. Mungkinkah? Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin di dunia ini. Kalau kita berjalan melintasi gejolak kata yang senantiasa ingin berubah untuk mencari sesuatu yang lain. Apakah sesuatu yang lain itu?
Kita akan tahu sendiri itu semua. Selama kita terus mencari dan me-rasa setiap gejolak secuil kata-kata yang timbul dari jiwa dan tubuhmu. Dan menatap indahnya semesta yang lain. Adakah? Ada! Dimana itu? Ia berada pada setiap jiwa dan tubuhmu sendiri selama kita senantiasa me-rasa. Karena rasa adalah kata-kata yang tak terkata.
Terdiam kita terlena karena kita belum bisa meracik apa itu waktu dan kata. Hanya kata yang bisa merapuhkan jiwa dan akhirnya kita lupa bahwa semua itu ada dalam jiwamu. Dan kita retak kala tidak bisa meramunya. Betapa sungguh kasihan sekali kita. Hanya meracik satu kata tidak bisa. Apalagi meracik kata-kata yang ada di semesta ini. Saya yakin bila satu sesuatu tidak bisa dijaga untuk dijadikan bahan waktu yang sangat panjang itu akan seperti jiwa, tubuh dan Indonesia yang rapuh saat ini.
Suatu yang tidak mungkin kalau kita merana dalam kata-kata, karena kata-kata itu merana itu sendiri. Artinya selagi kita bisa meracik dan meramu kata-kata tersebut kita tidak akan mengalami yang namanya MERANA, yang ada hanyalah kesunyian. Kesunyian yang memang sepi dari derita, merana, gelau, dan tangisan-tangisan. Kalau kita bisa memasuki ruang ini kita akan selalu bahagia, baik di dunia maupun di akhirat. Apakah kita mau kebahagian seperti itu? Saya kira setiap kita pasti ingin kebahagiaan.
Apakah kita tahu dalam samudera ada hutan yang tidak banyak orang tahu, mungkin akal tidak akan menerima hal itu, karena yang ada di kedalaman samudera adalah karang dan dasar lautan. Lalu mengapa kau mengatakan di samudera ada hutan. Apakah kau tahu setiap makhluk itu bernyawa dan bertasbih? Kalau kau sudah tahu kau tidak perlu bertanya tentang hal itu. Yang penting kau mencari dan merasakan hal-hal yang paling terdekat di dalam jiwamu dan itu lebih penting daripada kita hanya berpikir sesuatu yang tidak berharga dan bermain dengan keterbatasan. Dengan adanya keterbatasan itu kita akan diam dan diam. Tempat paling tepat dalam hal ini adalah KESUNYIAN.
Saat kau pergi untuk mencari tempat itu. Kau akan menemukan apa arti air mata yang sebenarnya. Apa itu “aku” sebagai “aku” yang seutuhnya dalam dirimu. Kita boleh menangis dengan adanya perpisahan. Kita boleh menangis karena ditinggal kekasih. Kita boleh menangis karena kecewa. Kita boleh menangis karena kekasih diambil orang lain. Tapi apakah kita perlu menangis dalam kesunyian? Inilah pertanyaan yang harus kita renungkan dan dijadikan upaya untuk menghadirkan sesuatu yang menciptakan tangis itu sendiri.
Kalau Nietzsche mengatakan Tuhan telah mati tapi kita tidak. Sebab Nietzsche bilang seperti itu karena dia masih dalam tahap perncarian dalam kesunyian itu. Di mana dalam pencarian kita tidak akan lepas dari apa yang namanya riyadhah (proses). Kita boleh terbuai dengan fisik, tapi akan lebih baik kita terbuai dengan keindahan yang ada dalam Sunyi dan Sebuah Tanya di Ladang Sunyi serta yang ada dalam dirimu sendiri.
Sebab, dalam Sebuah Tanya kita senantiasa berpikir dan bertanya dalam kesunyian itu di mana langkah awal untuk memasuki ruang sunyi adalah kita harus melihat dan merasa apa yang kita lihat. Sebab apa yang akan kita lihat saja itu belum tentu benar, kita hidup sering bahkan selalu tertipu dengan adanya dunia ini. Mengapa? Karena Tuhan sendiri sudah mengatakan dalam kitab sucinya bahwa kehidupan ini hanya senda gurau. Jadi apa pun yang kita lihat walaupun benar adanya itu belum benar sejatinya. Kejujuran bukanlah kebenaran. Ia hanya kata dalam kata-kata itu sendiri. Artinya kita hanya melihat dari fisiknya saja. Siapa yang tidak melihat matahari ketika terbit di ufuk timur, tentunya kita semua bisa melihatnya, tapi apakah kita melihat sejatinya atau substansi dari matahari tersebut. Adakah kata-kata yang tidak terkata. Tidak ada. Semua kata pastilah terkata walau itu tidak tertuang melalui lisan atau kertas. Kita hanya bisa mencipta kata dalam lubang yang tidak kita sadari bahwa ia adalah sumber segala bencana dalam di diri, dunia, dan nanti.
Jadi wajar kalau kita akan merasa senang dan bahagia dalam kesunyian dan kesepian itu, karena hal itu merupakan suatu hal yang sangat vital dalam perjalanan hidup kita dan seseorang. Dalam varian ini kita hanya tinggal berjalan dan terus memasuki lorong panjang di depan kita, tapi tidak semudah itu kita melangkah memasuki waktu yang tak berwaktu dalam diri dan jiwa. Kita terus mencari hingga tidak mengenal batas waktu dan kematian, bila sebuah ketika tidak ada dalam hidupmu. Mungkinkah kita berjalan tanpa waktu? Sangat mustahil kalau kita berjalan tanpa waktu dan ruang.
Oleh karenanya, boleh kalau kita mengusung kata-kata untuk dijadikan lahan pertanyaan dalam perjalanan hidup yang tidak menentu ini. Kalau kita merasa ada yang kurang dari dirimu carilah apa kira-kira yang dari dirimu. Dengan begitu kita mengerti apa sebenarnya jiwa dan dunia ini. Sebab tidak selamanya kita merana dalam kata-kata yang sulit untuk dilemparkan pada semesta, karena semesta sudah merasa tersakiti oleh kita. Dengan menggali perut dan isi semua kebahagiaannya. Seperti juga kita kalau kita ditusuk perut dengan jarum atau dengan pisau apakah tidak merasakan hal yang sama dengan sakit yang dirasakan oleh semesta.
Kita hanya bisa mengais-ngais semesta, tapi kita tidak menjaga kelestarian alam. Apakah kita mendengar kata burung bahwa aku makan tapi aku tetap menjaga kelestarian alam inilah kata burung. Hewan masih merasa kalau ia tetap setia dan sangat mencintai semesta ini, tapi kita, tidak. Alangkah naifnya kita kalau sampai kita kalah dengan perasaan hewan. Padahal kita mengira bahwa hewan yang kau kurung adalah hewan yang tidak mempunyai perasaan, katamu. Kita salah dalam mengambil kebijakan dalam setaip langkah. Hewan pun hati-hati dalam segala hal, tapi mengapa dengan kita. Apakah kita tidak memiliki cinta? Tidak! Aku punya cinta.
Lalu cinta dalam hal ini sangat berperan untuk dijadikan bahan renungan dan suatu jembatan yang sangar berarti dalam perjalanan sebuah semesta dan sejarah. Mungkin kita mengira bahkan ini sudah menjadi tradisi bahwa karena dengan adanya Cinta kita merasa tersakiti, bagitu kata orang-orang yang sedang suka pada seseorang. Aku sakit karena cinta, padahal kalau kita merasa dan berfikir tidak ada yang namanya cinta itu menyakitkan, tidak ada. Sebab kata Kahlil Gibran cinta berasal dari cahaya, menuju cahaya. Jadi dalam hal ini cinta laksana sebuah kesejukan. Kesejukan yang membuat seseorang bisa tenang dan damai di dunia maupun di alam yang akan datang nanti.
Cinta bagi saya adalah sebuah embun yang bisa menyejukkan segala bunga-bunga pagi dan bunga senja. Sebab dengan cinta semesta tercipta, dengan cinta manusia bisa hidup, dengan cinta kita menerima shalat dari lima puluh menjadi lima dalam sehari semalam. Berangkat dari sinilah bahwa cinta selamanya tidak bisa kau anggap selalu menjadi penyakit, karena kalau kita menganggap yang membuat orang sakit hati karena cinta, maka orang tidak bisa dijadikan bahan referensi yang cocok dalam kehidupan dunia ini. Karena selama cinta masih ada dunia ini tidak akan hancur. Cintalah yang membuat semesta ini menjadi tegak, hewan hidup, bunga-bunga bermekaran selamanya. Apakah kau masih mengira dan menyangka bahwa yang membuat orang sakit hati gara-gara cinta?
Kalau kamu masih menganggap cinta yang membuat seseorang sakit hati, maka berfikirlah dan pakailah akalmu agar hidupmu tidak sia-sia. Apakah hubungannya dengan musibah yang melanda bangsa kita? Pasti ada! Di mana? Di kala kau tidak merasa nyaman dengan hadirnya cinta maka di situlah kau merasakan bahwa bencana sudah melanda bangsa kita saat ini. Sebab dengan adanya rasa cinta, air tidak akan menjebol, lautan tidak akan naik mengisi rumah-rumah kita, banjir tidak akan melanda desa kita, ini semua disebabkan karena tidak adanya rasa cinta kita terhadap lingkungan, alam, hewan dan makhluk-makhluk lain yang ada di sekitar kita, kita tidak merasa bahwa itu semua yang membuat bencana melanda kita semua.
Sebab cinta, dunia ada, sebab cinta air mata tidak jatuh berlinang, sebab cinta tiada lagi kesakitan, tapi sebab cinta airmata mengalir karena rindu, pada sesuatu yang tak berwaktu. Adakah sesuatu yang masih sakit karena cinta?. Tidak ada. Karena cinta dicipta tidak untuk menyakiti seseorang. Ia dicipta hanya untuk menyejukkan segala tatanan kehidupan baik di sekarang maupun nanti. Jadi tiada lagi kesakitan yang melanda ruang-ruang itu, karena cinta telah mengisi semua ruang yang ada dalam jiwa dan semesta ini. Karena cinta bagi saya adalah sebuah kesunyian yang tidak ada lagi sesuatu yang membuat orang menjadi sakit, karena dalam kesunyian yang ada hanyalah kekosongan abadi dan seutuhnya. Kita akan merasakan kesejukan cinta kalau kita memasuki dunia cinta yang ada dalam kesunyian tersebut. Dunia Kesunyian adalah dunia aman, sejuk, damai, dan kebahagiaan selamanya. Dunia di mana kita bisa bermesraan dengan cinta itu sendiri. Cinta yang bisa membuat semua orang merasa kaya, merasa cukup dari segala yang nyata.
Cinta ini antara lain mengajukan semerbak harum rerumputan terhadap berbagai macam bunga yang hadir di belakang cinta dan matahari serta bertanggungjawab terhadap arah semesta dengan segala silaunya. Dengan senyum ganda cinta melihat matahari pada jiwa yang berkembang pun berani membawa nilai-nilai akibat dari akan terjadinya masa yang disebut dengan kegelapan (hampa cinta).
Mungkinkah sebuah risau hilang dengan sendirinya, tanpa ada dorongan rasa dan keinginan? Pada sebuah ketika di mana manusia tidak lagi mengenapa apa itu kata-kata, apa itu cinta. Manusia ini akan kehilangan sebuah makna yang ada dalam dirinya. Apakah mungkin sebuah makna yang sudah ada dalam dirinya bisa hilang? Tentunya sangat bisa, karena setiap kita selalu merasa kurang dalam apa pun. Di dunia adakah orang mengatakan bahwa dirinya cukup? Hanya sedikit orang yang bisa merasa bahwa dirinya sudah merasa cukup dalam hal apapun terutama hal yang menyangkut masalah keduniaan.
Masih adakah saat ini orang yang sadar bahwa dirinya adalah korban dari semua virus yang masuk dalam tubuh kita? Juga sedikit orang yang merasa bahwa dirinya adalah korban dari semua peradaban yang masih belum matanng alias mentah, dan biasanya diambil secara mentah-mentah oleh yang tidak sadar bahwa dirinya berjalan di atas hasil orang-orang yang tidak kita kenal identitasnya. Dengan melihat realitas tersebut, maka Jalaluddin Rumi dalam puisinya menyeru kita untuk merenungkan apa itu cinta yang sebenarnya:

Kehidupan tanpa cinta tiada artinya
Cinta adalah air kehidupan-reguklah ia dengan
Hati dan jiwa

Manusia yang jauh dari perangkat cinta
Adalah burung tanpa sayap

Setiap waktu yang berlalu tanpa cinta
Akan menjelma wajah yang memalukan di
Hadapan Tuhan

Pilihlah cinta, cinta!
Tanpa manisnya cinta, hidup akan beban
Seperti apa yang telah kau ketahui

Jadi dorongan cinta dalam diri seseorang tidak
Menggetarkannya,
Jadilah ia Plato, ia tak ada bedanya dengan
Seekor keledai

Jika kau bukan seorang pecinta
Jangan pandang hidupmu adalah hidup
Karena pada hari perhitungan, ia tidak akan dihitung

Seperti juga Erich Fromm yang mengingatkan sebelumnya, bahwa cinta yang produktif berbeda dari apa yang disebut cinta. Pasalnya dalam pengertian umum yang dikenal selama ini, cinta cenderung dipahami secara salah kaprah sebatas hanya persoalan asmara romantis dan remeh-temeh gaya hidup budaya hedonis yang membingungkan dan bahkan absurd. Cinta adalah hubungan kita yang bebas dan sederajat di mana setiap orang berpasang-pasangan dapat mempertahankan individulitas kita. Artinya perasaan relasional tercapai tanpa harus mengorbankan identitas dan kemerdekaan seseorang tetap terpelihara dan cinta yang mengandung perhatian, tanggungjawab, respek, dan pengetahuan.
Pada tanggal 22 Juni 2009 aku dikecewakan dengan kata-kata “engkau suka padaku gara-gara aku memiliki banyak uang” itulah kata-kata yang sangat sederhanya tapi merupakan kekecewaan aku dan orang tuaku, karena orang tuaku tidak bisa mengirim aku untuk membiayai kuliah dan kehidupan aku saat kuliah. Memang kata-kata sederhananya tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap siapapun, tapi bagiku itu merupakan pukulan yang luar biasa yang patut aku jadikan perjalanan selama aku masih tidak memiliki identitas.
Pada tanggal itu dan di waktu siang aku menuliskan puisi yang berjudul:

Aku Baru Mengerti

Aku baru mengerti sikap wajahmu pada semesta
Ketika diri ini tak memiliki rasa kemewaktuan
Pada batu yang keras, tapi dia berkata seperti matahari

Mengingat kenyerian hari-hari yang jauh
Ternyata buku suram terbuka dengan sendirinya
Tanpa aku harus memaksa merobek dari bibirnya

Senyerian bukanlah apa-apa, tapi
Kedirian yang terbuat ibu menjadi sakit,
Karena buku-buku suram terbuka rapi pada malam

Entah bagaimana aku membersihkan lagi hingga putih tanpa tinta
Padahal keterjatuhan waktu sudah menjadi sejarah

Pagi yang cerah setelah semalaman aku membaca buku-buku itu
Ternyata aku tak bisa menguraikan kecuali hanya nyeri yang ada
Aku gantikan sebagai kata ganti yang tak sempurna
Agar kenyerian waktu yang terlupakan “Tertulis dalam jiwa”

Yogyakarta, 22 Juni 2009

Begitulah sebuah puisi yang aku tulis ketika mataku tak bisa redup dan lelap untuk istirahat siang. Tapi itu semua merupakan sebuah anugerah yang sangat luar biasa karena masih ada orang yang mengingatkan aku untuk tahu diri dalam menjalani hidup tanpa apa-apa.
Memang hidup harus dijadikan jembatan dalam menyikapi dirinya dan orang lain. Karena hidup merupakan sebuah gangguan yang tak pernah akan selesai. Mulai dari mengenal tuhan, sampai tidak mengenal tuhan dan kembali mengenal tuhan. Tapi tidak bagiku, tuhan adalah kehausan jiwaku ketika kenyerian menjadi-jadi dalam diri. Aku ingin bersikap seperti tuhan, tapi itu sebuah perjalanan yang belum engkau sudahi, tapi engkau sudah tahu jalannya tinggal engkau mencari siapa dirimu.

* Penyair, kelahiran di desa Banjar Barat, Gapura, Sumenep, Madura. Aktif menulis di banyak media. Buku antologi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (2010) “Madzhab Kutub” (2010) Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010 Dewan Kesenian Jatim. Suluk Mataram 50 Penyair Membaca Jogja (2011) kini tinggal di Yogyakarta.

Kakek Longor Kecewa

Gerundelan Martin Siregar
Cucunya kakek Longor yang paling tua Theresia sudah duduk di kelas III SMP. Sekolah itu dekat rumah kakek Longor, sehingga murid jalan kaki pergi/pulang sekolah menjadi perhatiannya. Pulang sekolah Theresia selalu singgah di rumah Pak Longor. Dan sering kelabakan menjawab pertanyaan sang kakek yang cerewet. Mulai dari pertanyaan cara guru mengajar, materi mata pelajaran, korelasi antar guru, murid dan orang tua murid, interaksi antar murid dan lain lain. Tapi, kadang Theresia bangga punya kakek Longor. Pertanyaan-pertanyaan si Kakek mempertajam kemampuan Theresia memahami realitas kehidupannya.

“Siapa murid yang rambut pendek, cantik, badannya agak tinggi itu?” Mendengar pertanyaan ini Theresia jengkel. ”Banyak murid rambut pendek yang lewat sini. Kenapa rupanya Kek?” Kali ini dengan lembut Theresia merespon sang Kakek. Lantas dengan senang hati sang kakek berkata,”Kami sering beradu pandang, saling lempar senyum dan kakek yakin bahwa dia murid cerdas.” Kalau ada kesempatan kakek mau memandu dia agar lebih kritis merancang masa depannya. Banyak kakek lihat murid cerdas di desa tak berhasil merancang masa depannya dengan baik. Karena berbagai keterbatasan fasilitas yang tersedia di sekolah, keluarga maupun minimnya fasilitas di desa. Ingin menyumbangkan pengetahuannya (tanpa pamrih) untuk para muda membuat Theresia mengagumi jiwa kakek Longor.

Pada misa gereja minggu jam 8 pagi, secara kebetulan kakek Longor duduk bersebelahan dengan murid yang disenanginya. Di celah-celah ibadah kakek Longor membuka dialog. ”Namanya siapa? Kelas berapa?” Interaksi mereka berjalan dengan mulus, kakek Longor tidak bertepuk sebelah tangan. Ternyata Mawar juga sudah rindu bisa berkomunikasi dengan kakek Longor. ”Nama saya Mawar, Kek. Kelas II SMP, Kek.” Kita sering beradu pandang dan saling lempar senyum kalau kakek duduk di teras depan. Kesan saya, kakek walau sudah tua tapi punya energi ilmu pengetahuan yang terpendam. Begitulah kesan saya, Mawar cerah ceria menyambut dialog tersebut. Beberapa potong pengalaman hidup dan kerja pengembangan masyarakat membuat Mawar semakin kagum sama kakek Longor.

Senin pulang sekolah Theresia bingung melihat Mawar singgah di rumah tuk mengambil buku dari si kakek.”Iya…Baca buku tipis ini, minggu depan kembalikan ke kakek.” Kita bedah buku ini sebagai bekal Mawar meniti cita-cita. Mawar senyum bahagia melanjutkan jalan kaki pulang ke rumah. Kemudian si kakek berkata kepada Theresia,”Senin depan kakek dan Mawar akan bedah buku yang sudah Theresia baca.” Theresia heran,” Buku yang mana Kek?” Wajar saja Theresia bingung karena sudah banyak buku kakek Longor yang dibacanya. “Buku: Logika dan Interpersonal dengan Tuhan.” Mendengar hal ini Theresia bahagia,” Ooo… Wiwin, Rizki, Dea, juga sudah baca buku tersebut. Mereka mengaku ada beberapa bagian buku yang belum kami mengerti. Jadi diskusi bersama Mawar dan kakek adalah hal yang kami harapkan. Okelah.., Kek, Theresia pulang dulu ya…”

Tapi besoknya Theresia, Rizki, Dea dan Wiwin kelabakan mencari Mawar di sekolah. Mereka ingin membicarakan rencana diskusi bedah buku itu bersama kakek Longor. Kemana Mawar????. Kok nggak ada di sekolah beberapa hari ini??? Hari kamis tanggal 3 Mei mereka sangat terkejut. Dengan kasar penuh emosi Mawar diusir sang ayah dari rumah. Di kamarnya Mawar ketahuan melakukan hubungan lesbian dengan kawan sekelasnya.

Kakek Longor hanya tertunduk pedih kecewa mendengar kabar itu.

panas terik, 7 mei

Akankah hatiku ditabur gerlap gemilangnya bahagia

Menggurui

Gerundelan Ragil Koentjorodjati

To be a guru you have to say,” I Know and I can teach you.” But, if I say that, well, I’m finished. I can never learn anything else. I have shut myself off from anything new. If I remain a student all my life, though, I will always be ready to learn new things. ( At the Left Hand of God)

free as a bird
gambar dari stat_ks_kidsklik_com
Menjadi seorang guru sepertinya mudah. Tinggal mengatakan, “aku tahu, dan aku dapat mengajarmu.” Benarkah semudah itu? Setidaknya cuplikan kalimat di atas menunjukkan bahwa menjadi guru tidak sekedar bermodal pengetahuan dan keberanian mengajari orang lain. Guru dituntut lebih dari sekedar itu sehingga tidak terjebak pada “menggurui”.
Begitu banyak “seni” dalam melukiskan kecintaan manusia pada kehidupan. Salah satu yang dapat diambil contoh adalah bagaimana membangun komunitas. Komunitas sebagai wahana manusia untuk tinggal dan hidup sesuai dengan kodratnya sebagai mahkluk sosial. Komunitas yang diharapkan sehat sehingga menumbuhkan manusia yang sehat pula sehingga keberlangsungan hidup manusia dan kehidupan terjaga serta bermakna.
Kecintaan pada kehidupan itu pula yang mendorong sebagian orang untuk berperan aktif mengelola komunitas, mulai di lingkup yang luas, seperti negara, sampai pada lingkungan terkecil, yaitu keluarga, tidak terkecuali komunitas keluarga yang terbentuk karena adanya rasa senasib sepenanggungan entah karena merantau atau menjadi korban bencana. Dalam keluarga, masing-masing anggota “keluarga” berkontribusi, baik dalam bentuk pemikiran, tenaga, atau materi yang diharapkan memberi kebaikan bagi orang lain.
Tidak jarang kita dapati, keinginan yang begitu besar agar pemikiran kita diterima orang lain menggiring kita untuk menjadi “seolah-olah” guru bagi orang lain. Tanpa sadar “rumongso bisa” terbersit dalam batin,“Aku tahu dan aku akan mengajarimu”. Lalu kata-kata mengalir begitu mudah, sesekali dengan pembenaran ayat-ayat atau entah argumen siapa, mewujud dalam ucapan dan terkadang tindakan yang mengarah pada sikap intoleran. Sikap intoleran di sini diartikan sebagai sikap yang tidak menghargai perbedaan, tidak punya tenggang rasa, (tidak terbatas pada persoalan agama, tetapi juga cara pandang maupun pendirian orang lain). Orang lain dianggap seperti bodoh atau “dibodohi” dan tidak tahu apa-apa sehingga perlu diajar dan diceramahi dengan lebih keras, jika perlu. Ketika bantah berbantah terjadi, sebagian orang terjebak pada kebanggan “aku tahu” sehingga ketika ketidaktahuaannya terkuak segera terburu-buru mencari pembenaran agar tetap dianggap tahu.
Memang sulit untuk mengatakan tahu atau tidak. Sama sulitnya dengan mengatakan benar atau tidak. Kesulitan yang menjebak sebagian orang terburu-buru menyerah dan mengatakan sebuah relativitas. Hidup ini tidak sekedar hitam dan putih, kata orang. Relativitas. Relativitas yang terjebak menjadi relative juga, mengatakan bahwa ini relative atau itu relative tanpa dasar pijakan yang jelas sebagai pembanding mengapa dikatakan relative. Akibatnya relativisme yang terbentuk menjadi liar serta mengarah pada nihilism -segala sesuatu menjadi salah-.
Menjadi seorang guru, memang seharusnya tahu dan mampu untuk mengajari apa yang diketahuinya. Menjadi guru juga seharusnya tahu kapan tidak tahu. Guru bukan juga orang yang serba tahu, tetapi orang yang menumbuhkan rasa ingin tahu. Sekalipun akan tampak lebih bodoh dibandingkan dengan sang murid. Jangankan hanya sekedar tampak bodoh, guru sejati bahkan mengorbankan dirinya sendiri agar sang murid belajar. Demikan juga dengan guru-guru kehidupan yang mengajarkan kehidupan. Terlalu kecil manusia untuk dengan sombong merasa mengetahui kehidupan serta tahu segala sesuatu. Pada titik ini, kejujuran yang akan menentukan kapan kita harus kembali belajar. Menjadi guru sekaligus menjadi murid, setidaknya bagi diri sendiri. Dengan sesekali berbagi ilmu kepada orang lain tanpa meninggalkan sikap tenggang rasa.

Maaf, jika tulisan ini pun menggurui.

Oktober 2010

Proses Pemberdayaan Masyarakat

Gerundelan Martin Siregar
Metoda adalah cara kerja yang sistematis untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan; Jadi, secara mendalam sebenarnya kata Metodologi mengandung nilai-nilai kehidupan yang sangat mendasar. Metodologi dalam perspektif pengembangan masyarakat adalah proses membangkitkan kesadaran masyarakat secara bersama-sama, mewujudkan kesejahteraan dan peradaban yang tinggi.
Melalui metodologi kita bersama masyarakat berusaha memperoleh gambaran yang lengkap mengenai realitas sosial multidimensional dalam kaitan struktural dan historis.
Paham Metodologi yang kita anut adalah proses yang terfokus pada pemberdayaan dan pembebasan masyarakat dari belenggu ketidakberdayaan.
Oleh sebab itu mendorong masyarakat memahami realitas kehidupan menjadi titik tekan program kerja yang telah dirancang.
proses berpikir dan bertindak
Lihat, Dengar, Pikir, Tulis Refleksi

Apa yang kita lihat, dengar, pikir, tulis refleksi kehidupan sehari-hari di lapangan akan digodok untuk merancang aksi ke 2. Misi yang diemban pada aksi ke 3 akan ditentukan oleh Lihat, Dengar, Pikir, Tulis Refleksi pada aksi ke dua. Demikian seterusnya. Sehingga melalui proses tersebut kita semakin menguasai gambaran realitas sosial di komunitas. Fase atau sistematika implementasi program dalam konteks metodologi sangatlah ditentukan oleh intensitas hubungan fasilitator di tengah-tengah masyarakat. Secara kelembagaan hanya mengukur kinerja fasilitator dalam interaksinya di komunitas. Inilah pijakan konseptual untuk pelaksanaan/sistematika program.

Dorongan semangat pengulangan terjun ke lapangan dengan disiplin yang ketat akan membantu kita semakin menyadari betapa pentingnya memahami hal-hal yang menarik dan yang menjadi kebutuhan komunitas. Betapa pentingnya jiwa yang rendah hati dalam membangun dialog yang segar . Demi untuk menampung aspirasi – aspirasi yang diutarakan oleh masyarakat. Implementasi program haruslah mengarah kepada pengenalan realitas komunitas secara utuh, sekaligus pengenalan akan diri sendiri.

Atas dasar Metoda pelaksanaan program seperti ini, kita harapkan :
A. Semakin banyak masyarakat terlibat dalam proses memahami realitasnya.
B. Semakin objektif argumentatif menggambarkan realitas sosial.
C. Semakin kuat integrasi antara fasilitator dan masyarakat

Point C di atas, memang harus terus menerus dilaksanakan. Point C di atas adalah persoalan internal yang tidak punya kaitan langsung dengan kontrak kerja. Sedangkan apa yang tertera pada point A dan B harus menjadi perhatian yang tekun dari fasilitator sebagai tahapan dari pelaksana program. Hal itu karena semakin banyak masyarakat terlibat dalam proses Dengar, Lihat, Pikir dan Tulis Refleksi. Dan, semakin objektif argumentatif realitas sosial yang disimpulkan.

Membangun Interaksi dan Komunitas

Ada seorang anak yang sangat suka makan nasi goreng. Pada suatu hari dia berangkat ke pinggir sungai untuk memancing. Di mata kailnya bukan nasi goreng yang dibuatnya menjadi umpan ikan. Melainkan cacing. Karena kita tahu bahwa ikan yang dipancingnya suka makan cacing, bukan nasi goreng.
Oleh sebab itu dalam interaksi dengan komunitas, kita harus membunuh seluruh cita rasa dan status sosial kita. Sambil memeras otak dan hati nurani agar mampu memahami cita rasa serta seluruh aspek kehidupan komunitas. Cita rasa dan aspek kehidupan mereka yang sangat jauh dari realitas kehidupan kita sehari hari.

Dalam proses menghilangkan cita rasa status sosial agar mampu memahami cita rasa kehidupan komunitas, — kita harus sadar bahwa metoda utamanya adalah : “Ngobrol Panjang yang Segar” —. Inilah keterampilan pokok dan mutlak harus dimiliki oleh fasilitator. Karena “Ngobrol panjang dan segar” adalah sarana untuk masuk ke proses memahami alam pikir dan alam kehidupan masyarakat semaksimal mungkin. Bukan ngobrol yang tanpa arah.

Dengan tidak sungguh-sungguh merendahkan hati ketika berinteraksi, maka sering sekali kita jadi jenuh panik sesak nafas dan salah arah dalam menjalankan program. Kita membuat komunitas hanya mendengar instruksi-instruksi dan keinginan kita yang angkuh ini.
Sering juga kita kehabisan kata-kata dalam berinteraksi. Padahal, ngobrol panjang adalah salah satu usaha memberanikan komunitas mengekspresikan dirinya. Dan, terlibat menentukan arah dan tahapan dari program yang dirancang.

Fasilitator dan komunitasnya selalu melakukan komunikasi. Tempat kita untuk saling mempertukarkan pengalaman, saling mengutarakan perasaan serta alat melayani warga mengekspresikan sikap, keinginan dan impiannya.
Mengelola ngobrol dengan metoda partisipatif menempatkan diri sejajar dengan komunitas. Memang dibutuhkan sikap sabar penuh kedewasan.dan selalu belajar.

Lihat, Dengar, Pikir, Tulis Refleksi lama kelamaan akan dikerjakan secara partisipatif bersama sama dengan komunitas. Jangan berhenti dan tidak bergairah menjalankan program. Cambuk diri kerjakan tugas penuh semangat — pasti fasilitator semakin bijaksana —-.
Pantat parang yang tebal itu kalau diasah dengan seksama lama kelamaan bisa juga tajam mampu menyembeleh leher sapi yang tebal..

Pemerintahan Indonesia hanya sarat dengan kolusi korupsi nepotisme dan jauh dari etos kerja produktif. Fasiltator hadir untuk masuk ke proses menggapai kehidupan masyarakat sejahtera yang berperadaban. Betapa beruntungnya kita ini. Itu makanya kita laksanakan proses ini semaksimal mungkin,

Martin Siregar
sejak zaman dahulu kala.

Catatan Tambahan:

Perbedaan Prespektif tentang Pengembangan Masyarakat

Program bersama Masyarakat
Program tentang Masyarakat
Hakekatnya:
Pengorganisasian berada di tengah tengah masyarakat dan menyesuaikan diri
dengan komunitas untuk jangka waktu relative panjang/lama.
Hakekatnya:
Pengorganisasian berada di tengah tengah masyarakat dalam waktu singkat
Cukup untuk mendapatkan informasi dan legitimasi untuk berbicara tentang
kemiskinan.
Output:
Sejumlah orang miskin berhasil memperbaiki nasibnya berkat perubahan wawasan
maupun berhasil meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya.

Masyarakat hidup minim mampu dan trampil menjadi juru bicara bagi kepentingan
kehidupannya.

Output:
Hidup keseharian masyarakat miskin, merupakan representasi tentang kemiskinan
sebagai sarana untuk mendidik orang miskin

Menghimbau orang lain supaya tahu, peka dan mau berbuat untuk memperbaiki
nasib orang miskin.

Disiplin ilmu pendukung

Psikologi praktis, antropologi, ekonomi mikro.

Disiplin ilmu pendukung

Ilmu politik, sosiologi, ekonomi makro.

Kelemahannya

Aktivisme, partikularisme

Nasib hidup komunitas tetap sulit berubah karena pusat pengambilan keputusan
ada di luar komunitasnya (yang mungkin tidak perduli kepada nasib mereka)

Ketergantungan komunitas miskin terhadap program kerja.

Kelemahannya

Verbalisme universalisme

Nasib hidup komunitas yang kebetulan disuarakan nasibnya mungkin akan
meningkat untuk beberapa saat.

Kelas menengah sebagai juru bicara masyarakat miskin.

Lima Tipe Pelayanan Masyarakat
pemberdayaan masyarakat

Pertanyaan Seumur Hidup

Gerundelan Regalia
pemandu kehidupanPertanyaan seumur hidup, ketika orang mendengar kalimat “pertanyaan seumur hidup” sebagian orang akan menerka isi dari artikel ini tanpa membacanya. Sebagian yang lain akan merasa tertarik untuk membuka artikel ini.
Dari sebagian yang tertarik itu akan membaca sekedar untuk memuaskan rasa ingin tahu & sebagian lain akan membaca untuk membandingkan isi artikel ini dengan apa yang ia alami & rasakan selama ini. Untuk menyakinkan dirinya bahwa orang lain pun ada yang seperti dirinya, memiliki pertanyaan seumur hidup. Bukan karena tidak ada jawabannya sehingga menjadi pertanyaan untuk seumur hidup, tetapi karena pertanyaan yang setiap jawabannya akan didapatkan dengan menjalani kehidupan ini.
Sebenarnya jawaban-jawaban dari pertanyaan ini sudah tersedia dan dapat diperoleh dengan instant tanpa perlu menunggu hingga seumur hidup untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Tetapi jawaban-jawaban tersebut akan kurang memberikan kepuasan & terkadang terlupakan begitu saja sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut akan muncul kembali seperti sebuah siklus.
Hal ini karena melewatkan satu tahapan penting yaitu proses bagaimana jawaban itu bisa terbentuk.

Untuk itulah saya mencoba menulis artikel, artikel ini saya tulis untuk diri saya sendiri & juga orang-orang yang saya yakini akan membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan seumur hidup saya. Salah satunya seseorang yang saat ini sedang berjuang untuk bisa mencapai impiannya. Seseorang yang memiliki tekad kuat & saya yakini akan membantu menulis kisah hidup saya.

Artikel ini saya buat untuk memberi-tahu dia, kenapa saya bisa merasa yakin kepadanya.

Saya mulai artikel ini dengan sebuah pertanyaan kepada diri saya sendiri, pertanyaan yang terus terngiang di telinga saya sejak saya berumur 15 tahun: “APA SEBENARNYA TUJUAN HIDUP SAYA DI DUNIA INI?”
Sebuah pertanyaan yang sering diajukan orang kepada dirinya sendiri. Sebuah pertanyaan yang memiliki banyak sekali jawaban. Beberapa kali saya coba menjawab pertanyaan ini. Jawaban pertama yang saya yakini adalah “Untuk menjadi orang sukses & membahagiakan orang tua”. Sebuah jawaban yang menjadi tujuan hidup banyak manusia pada umumnya.
Selang beberapa tahun kemudian saya mulai menyakini jawaban lain. Tujuan hidup saya adalah untuk menjadi orang yang bahagia di dunia & akhirat. Cukup lama saya menyakini jawaban ini, karena jawaban ini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh kepercayaan saya.
Setelah beberapa lama kemudian saya mulai mengubah jawaban saya lagi. Jawaban ini saya peroleh setelah saya membaca sejarah dan kisah para nabi & para ulama. Saya terinspirasi akan sebuah kisah yang terdapat dalam salah satu kitab yang menyatakan “tidak ada kebahagian yang melebihi bahagianya dapat bertatap muka dengan Sang Pencipta kita ALLAH SWT, Dan hanya orang-orang tertentu saja yang akan mendapatkan keistimewaan tersebut”.
Hati saya bergetar ketika membaca kata-kata tersebut, diri saya bergejolak & bersemangat, Saya bisa merasakan bahwa inilah yang menjadi tujuan dari hidup saya. Saya ingin sekali menjadi salah satu manusia yang memperoleh keistimewaan tersebut. Dan untuk itu saya bertekad untuk menjadi seseorang di antaranya,
TAPI BAGAIAMANA CARANYA? Pertanyaan baru ini timbul dari dalam diri saya, saya pun coba belajar, belajar belajar, hingga akhirnya saya merasa jenuh karena saya belum mendapatkan jawaban dari pertanyaan baru saya ini.
Di zaman ini banyak sekali ajaran-ajaran yang ada di dunia ini yang mengajarkan bagaimana cara menjadi orang seperti itu, dan satu sama lain terkadang saling bertentangan. Yang mana harus saya pilih. Pertanyaan itu terus menggema di telinga saya.
Hingga suatu ketika saya teringat pada tujuan awal hidup saya yaitu ingin membahagiakan keluarga saya. Dan saya mulai menetapkan kalau saya akan mengikuti ajaran yang dianut oleh keluarga saya, karena sejak awal saya ingin membahagiakan mereka & mereka pun pasti menginginkan saya bahagia.
Dengan keyakinan teguh saya mulai mendalami ajaran yang dianut oleh keluarga saya agar bisa menjadi orang yang seperti saya inginkan,
Saya belajar dan terus belajar, hingga saya mulai memahami bahwa sangat sulit sekali untuk menempuh jalan supaya dapat memperoleh keistimewaan tersebut. Apalagi mengingat situasi zaman yang seperti sekarang ini. Untuk bisa menempuh jalan itu saya harus merelakan hal-hal yang bersifat nafsu duniawi & fokus beribadah kepada-NYA.
Saya juga harus merelakan kehidupan bahagia bersama keluarga saya agar bisa fokus. Hal ini sangat sulit sekali untuk saya lakukan karena ternyata tujuan untuk membahagiakan keluarga telah meresap ke setiap darah saya tanpa saya sadari, Ternyata ketika saya mengubah tujuan hidup saya, tujuan hidup yang dulu saya tinggalkan tersebut telah melebur sepenuhnya dalam diri saya. Saya mulai menyadari & bisa memahami takdir hidup saya. Selama ini saya telah membuat 3 titik tujuan hidup yang ternyata saling terhubung satu-sama lainnya & sulit untuk memisahkannya. Tapi apakah tujuan hidup saya tidak akan bertambah di masa depan? saya tidak tahu. Saat ini saya hanya bisa membiarkannya, membiarkannya terjawab dengan sendirinya seiring berjalannya waktu atau menghilang dalam benak saya karena sejak awal pertanyaan itu memang tidak seharusnya dipertanyakan.

Tiga tujuan hidup.
Tiga tekad hati.
Tiga aliran kehidupan

Tiga yang saling mempertemukan,
Tiga yang saling menghubungkan,
Tiga yang saling menjelaskan.

Tiga yang akan membuka,
Tiga yang akan mengisi,
Tiga yang akan menutup,

Itulah bagaimana saat ini hati saya menjelaskan pemahaman hidup saya tentang tujuan hidup yang saya inginkan. Untuk itu…

Saya harus bisa memahami semua tujuan hidup saya ini.
Saya harus bisa memiliki tekad hati yang kuat untuk bisa menggapai semua tujuan hidup saya.
Saya harus bisa membawa aliran kehidupan menuju tujuan hidup saya.

Saya harus yakin bahwa tujuan-tujuan ini akan mempertemukan saya dengan orang-orang & pengalaman hidup yang luar biasa sehingga saya bisa memahami tujuan hidup saya.
Saya harus yakin bahwa tujuan-tujuan ini akan menghubungkan perasaan saya dengan semua orang yang ada di dunia sehingga saya bisa memilki tekad hati sekuat mereka yang telah & sedang berjuang untuk dirinya.
Saya harus yakin bahwa tujuan-tujuan ini akan menjelaskan arti keberadaan saya di dunia ini sehingga saya bisa menjalani aliran kehidupan ini seperti yang saya & DIA inginkan.

Saya harus selalu ingat bahwa tujuan-tujuan ini akan membuka sebuah kisah tentang perjalanan seseorang yang telah mempertemukan dirinya dengan tujuan hidupnya.
Saya harus selalu ingat bahwa tujuan-tujuan ini akan mengisi seluruh kisah perjalanan tersebut dengan menghubungkan perasaan antara tokoh-tokoh di dalamnya yang dengan tekad kuat berusaha & berjuang untuk memperoleh apa yang mereka inginkan.
Saya harus ingat bahwa tujuan-tujuan ini akan menutup kisah akhir perjalanannya dengan menjelaskan kepada para pembaca tentang sang tokoh utama yang tersenyum bahagia karena telah melewati aliran kehidupan tanpa penyesalan sedikit pun walau mungkin di akhirat kelak ia belum tentu dapat bertatap muka dengan Yang Maha Esa.

Ya Tuhan, terima kasih atas semua yang telah engkau berikan pada hambamu ini, juga terima kasih karena…

Tujuan-tujuan hidup ini telah mempertemukan pikiran hamba dengan pertanyaan seumur hidup sehingga membuka mata hamba untuk melihat jauh ke masa depan dengan VISI.

Tujuan-tujuan hidup ini telah menghubungkan hati hamba dengan pertanyaan seumur hidup sehingga hamba selalu berusaha mengisi kehidupan ini dengan berdasarkan NURANI.

Tujuan-tujuan hidup ini telah menjelaskan diri hamba tentang pertanyaan seumur hidup sehingga kelak hamba bisa menutup akhir kisah hidup hamba tanpa penyesalan sedikit pun dengan mengandalkan INTUISI.

Ya Tuhan jika ENGKAU memperkenankan, hambamu ini ingin menulis takdir hidup yang ingin hamba jalani.

Hamba awali penulisan kisah takdir hidup hamba dengan cerita yang merupakan apa yang telahdirkan kepada hamba sejak lahir hingga hari ini, Saat hamba mulai menulis kisah takdir hidup yang hamba ingink Inilah kisah tersebut…

Seorang anak terlahir dari suatu keluarga sederhana di sebuah kampung di suatu Negara kepulauan. Dia memiliki beberapa saudara dan keluarganya sangat mencintainya. Dia tumbuh dalam keadaan normal hingga suatu hari dia terpaksa dibawa ke rumah sakit karena telah mengalami musibah saat sedang bermain di rumahnya yang sedang tahap renovasi. Akibat kejadian itu dia terpaksa harus kehilangan sebagian penglihatannya sehingga membuatnya tidak bisa bermain dengan leluasa seperti anak-anak pada umumnya dengan tujuan memulihkan kesehatan matanya. Namun ternyata matanya tidak kunjung pulih, dengan berbagai cara keluarganya telah berusaha memulihkan dirinya namun apa daya matanya tetap cacat. Selain dia harus kehilangan sebagian penglihatannya, proses penyembuhannya itu memberikan dampak lain yaitu mengurangi kekebalan tubuhnya & kemampuannya berkomunikasi dengan orang lain. Dan dia pun menjadi penyendiri, hanya memiliki sedikit teman di lingkungannya.

Namun Tuhan Maha Adil karena justru karena sifat penyendirinya dia berhasil mencetak keberhasilan-keberhasilan di sekolahnya yang cukup membahagiakan orang-tuanya. Suatu hari di hari kelulusannya dia menghadapi suatu dilemma karena harus memilih d iantara dua pilihan, bersekolah di sekolah lanjutan impiannya seorang diri atau bersekolah di tempat lain bersama teman-temannya. Saat itu walaupun ia sudah terbiasa menyendiri dia menyadari tentang pentingnya & rasa bahagianya bisa bersama teman-temannya. Ia bimbang, namun pada akhirnya memilih untuk mengejar impiannya & merelakan bisa bersama teman-temannya. Dia pun bersekolah di sekolah lanjutan tersebut sendirian, dengan kemampuan penglihatan, komunikasi, & kekebalan tubuh yang kurang baik.
Awal kehidupannya di sekolah tersebut cukup sulit, namun suatu hari dia bertemu dengan seseorang yang baik hati. Orang itu dengan suka rela membantu dia menghadapi semua kesulitan padahal mereka memiliki kepercayaan berbeda. Mereka pun berteman cukup akrab, tapi sayang pertemanan mereka tidak berlangsung lama, orang itu harus pergi ke luar negeri bersama keluarganya. Dia sangat terpukul atas kepergian temannya itu, namun orang itu berjanji bahwa kelak mereka akan bertemu kembali. Orang itu meminta dia untuk menunggunya. Dia pun berjanji akan menunggu temannya itu. Sampai saat ini pun dia itu masih menunggu kedatangan orang itu.
Waktu pun terus berputar tak terasa sudah waktunya kelulusan, dia pun melanjutkan ke sekolah kejuruan dengan pertimbangan supaya lekas memperoleh pekerjaan. Di sekolah itu ia banyak berjumpa dengan orang-orang yang kelak akan membantunya menulis kisah hidupnya. Di antaranya adalah sekelompok orang yang telah banyak membantu dirinya, yang telah ia siapkan sebuah buku khusus di hatinya untuk ia tulis kisah-kisah hidupnya sebagai kenang-kenangan di akhir hidupnya kelak . Di sekolah itu juga ia bertemu seseorang yang sangat dia sukai namun terpaksa harus dia lupakan karena orang itu tidak suka padanya. Namun dia merasa yakin kelak akan bertemu dengan orang itu kembali.
Tak terasa waktu pun bergulir begitu cepat, saat kelulusan tiba. Dia salah satu orang yang beruntung karena telah memperoleh pekerjaan sebelum pengumuman kelulusan tiba. Di tempat kerjanya itu ia bekerja dengan giat karena akhirnya dia mempunyai kesempatan untuk bisa membalas jasa orang tuanya. Dalam hatinya ia berjanji akan membiayai sekolah adiknya untuk meringankan beban keluarganya & agar kakaknya bisa lekas menikah, sudah waktunya dia mengambil alih beban yang selama ini ditanggung oleh kakaknya. Sudah saatnya kakaknya membina rumah tangga dan memulai kehidupan barunya.
Dunia kerja memang luar biasa, di tempat kerjanya itu dia berjumpa banyak sekali orang-orang luar biasa, salah satunya adalah pimpinannya. Pimpinannya telah membuka matanya untuk bisa melihat dunia wirausaha dan salah satu elemen penting di dalam dunia tersebut. Pimpinan itu juga berhasil membuatnya mempelajari elemen tersebut dengan seluruh kemampuannya untuk memajukan perusahaan. Dan pemimpin itu berjanji akan mengajarinya lebih dalam tentang elemen itu tapi sayang pemimpin itu tidak pernah melakukan. Pemimpin itu mengingkari perkataan yang ia ucapkan & mengecewakannya.
Di samping bertemu dengan pemimpin itu ia juga bertemu dengan seseorang yang mirip dengan dirinya berjuang untuk membiayai sekolah adiknya & juga biaya kuliah dirinya. Dia sangat bersimpati sekali terhadap orang itu. Dia ingin menjaga & merangkul orang itu. Dia seperti melihat dirinya dalam diri orang itu. Namun orang itu memilih jalan yang lebih ekstrim dari dia dengan membiarkan dirinya terbelenggu di tempat itu dalam beberapa waktu ke depan demi membiayai sekolah adiknya & dirinya. Dia ingin sekali berkata pada orang itu bahwa dia sangat kagum pada orang itu dan ingin sekali bisa membantunya. Hingga sesaat rasa simpati itu berubah menjadi suka tapi dia selalu langsung menepis perasaan itu, orang itu akan lebih bahagia jika bersama orang lain lagi pula dia sangat sadar bahwa di masa datang perjalanan hidupnya akan cukup rumit. Tapi walaupun demikian dia selalu memperhatikan orang itu bahkan hingga saat ini dan berharap orang dapat mewujudkan semua impiannya.

Di tempat itu dia juga bertemu seseorang yang bisa membuatnya tertawa lepas, seorang pemimpin sejati, & seorang pengkhianat. Selain itu juga dia bertemu seorang wirausahawaan muda. Wirausahaan muda ini tertarik dengan pola pikir dia. Mereka pun bekerja sama namun sayang kerja sama mereka berlangsung singkat karena si wirausahawan muda diberhentikan dari tempat kerjanya. Dia ditinggalkan si wirausahawan muda juga dikecewakan pemimpinnya, ditambah penghasilan tambahannya pun berkurang akibat kegiatan produksi yang mengalami penurunan. Kini dia merasa situasinya sudah tidak kondusif lagi, di saat yang sama dia memperoleh informasi tentang peluang kerja dari salah satu temannya dulu (salah satu tokoh dari buku yang akan ditulisnya). Saat itu dia merasa Tuhan telah menunjukan takdir hidupnya. Dan setelah berpikir cukup lama, memang ini adalah salah satu jalan agar dia bisa keluar dari semua masalahnya. Dia berniat bekerja beberapa saat di sana hingga mempunyai dana yang cukup untuk membiayai sekolah adiknya hingga lulus kemudian mengundurkan diri dan mengejar impiannya.
Dia pun menggunakan informasi itu dengan sebaik-baiknya & bekerja di sana. Di sana dia bertemu dengan dua orang yang dia janjikan bahwa kelak setelah dia sukses, akan dia kunjungi dan ajak untuk bekerja sama dengan syarat mereka harus berjuang dengan sekuat tenaga untuk mencapai impian mereka hingga hari pertemuaan dengan dia di masa mendatang. Di sana juga dia mulai membuat pembukaan penulisan buku yang akan menjadi kenangan-kenangan untuk dirinya. Selain itu dia pun memberi tahu temannya (salah satu tokoh dari buku yang akan ditulisnya) entah kenapa dia merasa di masa datang dia akan berjalan berlawanan arah dengan temannya tersebut.
Semua berjalan sesuai perkiraan, dia bekerja beberapa saat di sana hingga mempunyai dana yang cukup untuk membiayai sekolah adiknya hingga lulus kemudian mengundurkan diri. Setelah dia mengundurkan diri, dia sekuat tenaga berjuang agar bisa memperoleh tempat kerja yang dekat rumahnya agar dia bisa mewujudkan impiannya atau lebih tepatnya tujuan hidup yang dia inginkan. Karena sebenarnya dia telah membuang impian-impiannya setelah menyadari apa yang mendasari impian-impiannya itu. Baginya impian seperti daun yang terikat pada sebuah ranting bernama tujuan hidup. Dia lebih fokus bagaimana membuat ranting yang kuat untuk mengikat daun daripada mengurus daun yang akan gugur begitu tertiup angin topan ataupun musim panas berkepanjangan. Dia berusaha lebih memahami alasan-alasan yang membuat impian itu dan memperkuatnya dengan segala cara. Dia mulai mengibaratkan bahwa perjalanan hidupnya seperti sebuah pohon di mana batangnya adalah takdir, rantingnya adalah tujuan hidup, daunnya adalah impian, dan buahnya adalah amal perbuatan.
Dia berusaha membuat pohon kehidupannya terus tumbuh, di mulai dengan mencari pekerjaan baru. Ditambah saat ini dia sedang membuat artikel ini agar pertumbuhan pohon kehidupannya bisa lebih baik lagi.
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
Walaupun dia telah berjuang dengan keras ternyata sangat sulit untuk bisa memperoleh pekerjaan di sekitar rumahnya. Namun dia tetap yakin akan memperolehnya, lagipula dia masih punya cukup waktu hingga waktu yang telah dia tetapkan. Dia mengisi waktu kosongnya itu dengan membuat beberapa karya seni seperti design rumah impiannya, design pohon keluarganya, dan lain-lain. Di selang-selang waktunya dia juga melakukan beberapa penelitian tentang beberapa hal yang ingin dia coba pahami seperti hubungan antara kemajuan suatu bangsa dengan legenda-legenda di Negara tersebut. Dia tertarik untuk mempelajari hubungan antara kemajuan Negara jepang dengan legenda samurai yang menggunakan BUSHIDO sebagai prinsip hidupnya. Dia juga tertarik untuk meneliti hubungan antara kemajuaan Macan Asia yang baru (Negara Cina) dengan legenda Jenderal-jenderal perangnya yang menggunakan THE ART OF WAR karangan Sun Tzu untuk memenangkan berbagai peperangan di masanya. Dan banyak lagi. Dia juga mulai merancang pondasi kerajaan bisnisnya di masa depan bersama salah satu temannya di sekolah kejuruan dahulu. Tapi sayang temannya itu cukup sibuk sehingga belum bisa membantunya. Dia pun bisa memahami keadaan temannya itu dan berkata bahwa dia akan menunggunya. Dia yakin bahwa temannya akan datang dan membantunya. Lagi pula temannya itu telah berjanji. Dia yakin, sangat yakin sekali.
Waktu pun berlalu tidak terasa sudah cukup lama dia menunggu. Menunggu kedatangan temannya, menunggu memperoleh pekerjaan yang dia inginkan. Artikel ini pun telah selesai dia buat. Dia pun mulai mengirimkan kepada orang-orang yang dia yakini akan membantu menulis kisah hidupnya untuk menyemangati mereka, untuk memberi tahu mereka apa yang ia pikirkan. Artikel ini dia kirimkan tanpa identitas pengirim yang jelas karena dia ingin mengetahui pola pikir orang-orang itu lebih dalam dan menyakinkan dirinya bahwa mereka adalah orang-orang yang dia cari selama ini. Tetapi untuk seseorang dia mengirimkan dengan identitas aslinya,
Berbagai macam respon muncul dari orang-orang yang dia kirimi. Beberapa berhasil memecahkan orang yang menulis artikel ini dan mengirimkan artikel balasan karena merasa perlu memberi tahu apa yang mereka pikirkan. Dia menyambut artikel itu dengan sangat senang karena orang yang mengirim artikel balasan adalah orang yang dia cari selama ini. Tapi walaupun dia merasa senang, dia memilih tetap diam dan tidak merespon artikel balesan yang ia terima. Dia menunggu waktu yang tepat untuk bertemu dan berbincang-bincang dengan mereka.
Waktu pun berlalu, dia akhirnya memperoleh pekerjaan yang dia inginkan dan memulai progam-progam yang telah dia rancang selama ini. Dia juga bertemu dengan orang-orang yang mengirimkan artikel balasan kepadanya, Dia menceritakan kepada orang itu tentang apa yang ingin ia bangun & buat bersama orang-orang itu. Pembicaraan di antara mereka berjalan cukup baik. Mereka pun bahu-membahu membangun impian mereka dengan sekuat tenaga. Mereka bekerja, belajar di universitas, sambil membangun pondasi kerajaan bisnis mereka.
Tahun 2015 memang merupakan tahun fenomenal bagi Negara kepulauan tempat dia tinggal. Tahun itu dia dan temannya mulai mengoperasikan roda kerajaan bisnis. Kerajaan bisnis mereka mulai tumbuh. Walaupun sempat terjadi beberapa guncangan namun mereka berhasil melewatinya dengan dengan baik.
Mereka terus berjuang hingga kerajaan bisnis mereka mulai berkembang.
Dua tahun setelah itu dia menikah dengan seseorang yang mengerti sekali akan dirinya, mereka hidup bahagia. Dia berjanji bahwa akan setia pada pasangannya itu hingga akhir hayat. Setelah menikah dia mengajak pasangannya itu ke luar negeri untuk mengunjungi temannya sewaktu sekolah dulu. Yang dia tunggu-tunggu kedatangannya sejak dahulu. Mereka akhirnya bisa bertemu dan berbincang-bincang hingga sampai pada suatu perbincangan tentang masa depan tanah airnya dan Negara tempat temannya tinggal. Temannya mengatakan sepertinya tak lama lagi tanah air itu akan mengalami krisis yang diakibatkan oleh Negara tempat tinggal temannya. Karena sekarang Negara kepulauan itu sudah menjadi ancaman bagi Negara tempat tinggal temannya. Di situ mereka mulai berselisih paham, temannya meminta dia untuk keluar dari Negara kepulauan tersebut dan tinggal bersamanya dengan begitu dia bisa terhindar dari krisis tersebut. Tapi dia menolaknya, walaupun dia tahu temannya melakukan itu demi masa depannya. Perselisihan di antara mereka pun tak terelakan. Lalu dia pun pulang ke negaranya dan mereka tidak pernah bertemu lagi.
Dia pun tiba di Negara kepulauan, dan mulai mengembangkan kerajaan bisnisnya dengan informasi-informasi yang dia peroleh di selang-selang waktu ketika berkunjung ke tempat temannya dahulu. Dia khawatir akan perkataan temannya menjadi kenyataan dan negaranya mengalami krisis kembali. Walaupun dia sangat sadar bahwa suatu saat perekonomian negaranya akan terguncang kembali. Tapi jika hal itu akan terjadi dalam beberapa tahun lagi rasanya terlalu cepat pikirnya. Negaranya baru saja memulai masa keemasannya, apakah masa ini akan segera berakhir? Pikiran itu terus menghantui dirinya.
Tahun dan tahun berlalu, saat ini kerajaan bisnisnya sudah semakin berkembang. Sekarang mereka sudah memiliki pabrik sendiri dan mulai go public. Perusahaan mulia masuk pasar saham. Dia pun sekarang sudah memiliki seorang anak, seseorang ia harapkan kelak dapat menjadi dirinya sendiri. Dia menyadari dengan lahirnya anak ini, tanggung-jawabnya semakin bertambah. Dia harus bekerja dengan lebih giat guna mempersiapkan masa depan anaknya ini. Namun di samping itu dia juga harus berusaha meluangkan waktu untuk keluarganya lebih banyak dari sebelumnya demi keharmonisan keluarganya.

Sebenarnya ada hal yang dia takuti sejak memulai kerajaan bisnisnya beberapa tahun silam. Yang ia tahu adalah saat tersulit dalam hidupnya. Ketika dia harus mengkhianati dirinya sendiri, salah satu hal yang paling menyakitkan bagi dirinya. Ketika dia harus mengubur salah satu dari 3 senjata yang akan dia gunakan untuk membangun kerajaan bisnisnya kelak. INTUISI nya mengatakan itu pada dirinya bahwa kelak akan tiba masa ketika dia harus mengubur NURANI nya demi mengejar VISI yang lebih besar. Saat hal itu terjadi, hanya akan ada 2 pilihan, mengikuti NURANI dan mengorbankan para pekerja dan pengorbanannya selama ini atau mengikuti VISI dan mengkhianati dirinya sendiri. Di mana dia harus melakukan korporasi dan konspirasi untuk mempertahankan kerajaan bisnisnya. Dia sangat sadari ketika dia akan memulai berbisnis, korporasi & konspirasi adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari dalam usaha pengembangan bisnisnya kelak berdasarkan VISI yang telah buat, Namun di samping itu dia juga menyadari bahwa korporasi dan konspirasi bertentangan dengan apa yang telah diajarkan oleh agama kepercayaannya, yang NURANI-nya yakini.

Setelah masuk ke pasar saham hal yang ia takutkan pun terjadi. Dan dia dipaksa harus melakukan korporasi dan konspirasi agar usahanya bisa terus berkembang. Saat itu NURANI nya benar-benar menderita sekali tapi ia tahu ini bahwa suatu saat hal ini memang akan terjadi. Satu hal yang bisa dia lakukan untuk mengurangi penderitaan NURANI-nya itu adalah dengan tetap hidup sederhana dan banyak membantu lingkungan di sekitarnya walaupun dia tahu dengan apa yang ia miliki saat ini dia bisa hidup lebih dari itu. Dia tidak ingin lebih menyakiti NURANI nya dengan menghamburkan uangnya, karena dia melakukan semua ini bukan demi uang tapi demi VISI. Dia sangat sadar kelak akan sulit sekali menjalankan roda kerajaan bisnis dengan menggunakan NURANI sepenuhnya, setelah memahami fakta sejarah yang telah terjadi. Terkadang NURANI harus dikesampingkan namun tidak dihilangkan.
Tahun-tahun telah berlalu sejak awal perusahaannya masuk ke pasar saham. Negaranya mulai mengalami krisis seperti yang dikatakan temannya dahulu. Masa keemasan mulai mendapat gangguan. Beberapa perusahaan di pasar saham sudah ada yang bangkrut karena krisis ini. Perusahaannya pun bagai telur di ujung tombak. Perusahaannya terancam bangkrut dan salah satu jalan terbaik untuk menyelamatkan perusahaannya adalah menjual sebagian besar sahamnya ke pihak asing guna mendapatkan dana segar untuk mempertahankan kelangsungan perusahaan. Namun dengan melakukan itu akan dapat mengubah VISI dari perusahaan. Entah apa yang akan dilakukan pihak asing nanti pada perusahaannya yang telah didirikan dari nol bersama temannya itu. Berulang-ulang kali telah diadakan pertemuan untuk mencari solusi dari masalah-masalah tersebut dan menghindari opsi penjualan saham ke pihak asing, namun sayang hasilnya nihil. Di samping itu sepertinya ada beberapa orang dari pihak manajemen yang menginginkan agar pihak asing mulai mengaakusisi perusahaan tersebut.
Setelah dilakukan perundingan terakhir akhirnya diperoleh kesepakatan bahwa perusahaannya akan menjual sebagian besar dari sahamnya ke pihak asing. Namun dia tetap tidak setuju dan memutuskan untuk mundur dari perusahaan itu dan menjual seluruh saham yang ia miliki pada temannya, dia mempercayakan harapannya itu pada temannya. Dia berkata pada temannya itu “ Dahulu aku pernah berkata bahwa kelak kita akan membangun sebuah perusahaan hebat, namun setelah itu mungkin aku akan berjalan di jalan yang berbeda denganmu. Kurasa inilah waktunya kupercayakan sebagian harapanku ini padamu. Kelak pada saat yang tepat belilah kembali saham dari pihak asing itu dan kembalikan perusahaan kita ke jalannya. Aku tahu kamu bisa.”
Setelah menjual saham itu, dia mulai membuka usaha di sekitar rumahnya & bekerja di tempat lain. Saat itu usia anaknya sudah belasan tahun. Dia pun mulai mendidik anaknya untuk merasakan seperti apa dunia kerja. Saat itu dia lebih banyak meluangkan waktu bersama keluarganya. Waktu pun telah berlalu kini anaknya telah menikah dan mempunyai seorang anak. Dia sekarang telah menjadi seorang kakek. Dia menyadari bahwa waktunya sudah dekat. Sebentar lagi tiba waktunya, ketika dia harus meninggalkan keluarganya demi mengejar tujuan hidupnya yang terakhir. Dia harus melakukannya karena memang ini akhir perjalanan yang ia inginkan.
Di usia berkepala lima dia meninggalkan keluarganya. Namun sebelum kepergiannya itu ia memberikan artikel ini, buku-buku yang telah ia selesaikan, hasil-hasil penelitiannya, dan sebuah peti berisi sejumlah tabungan yang telah ia kumpulkan untuk anaknya. Dia juga meminta maaf kepada istrinya karena tidak bisa menemani istrinya hingga akhir seperti yang ia janjikan dahulu. Dia berharap istrinya bisa hidup bahagia bersama anak & cucunya. Kelak jika ada kesempatan ia berjanji akan mengunjungi mereka. Lalu dia pun pergi ke suatu tempat di daerah pedalaman, ke sebuah pedesaan. Di situ dia hidup menyendiri untuk fokus beribadah kepada-NYA sambil mendirikan sebuah sekolah sederhana untuk mendidik anak-anak di desa tersebut. Terkadang di sela-sela waktunya ia melanjutkan menulis buku-bukunya yang belum selesai. Hingga akhir hayatnya ia tinggal di pedalaman tersebut. Sebelum meninggal ia menitipkan sebuah surat kepada kepala desa tersebut untuk dikirimkan ke keluarganya. Ia pun meninggal dan dimakamkan di tempat itu. Beberapa waktu setelah menerima surat darinya, keluarganya datang ke pedalaman tersebut. Di satu sisi keluarganya sangat sedih sekali akan kepergiannya, namun di lain sisi mereka bahagia karena orang yang sangat mereka cintai tersebut bisa mengakhiri hidup seperti yang ia inginkan dan hidup tanpa penyesalan sedikit pun. Di bekas rumahnya di pedalaman itu anaknya menemukan beberapa buku yang ia tulis. Di antara buku-buku tersebut terdapat sebuah buku yang ia tunjukkan khusus untuk sahabatnya di luar negeri, sebagai permohonan maaf karena dia belum sempat membalas kebaikannya waktu dahulu. Di akhir buku itu tertulis bahwa ia berharap kelak salah satu keturunannya dapat mengunjungi & membantu keturunan temannya itu.
Di bukunya yang lain ia menceritakan kisah-kisah hidup teman-temannya. Dan hampir di semua buku terdapat tulisan, “Hiduplah dengan tujuan yang engkau inginkan hingga akhir agar kelak tidak penyesalan karena hidup hanya sekali, manfaatkanlah sebaik-sebaiknya”.

———————————————————————————————————————————
Jika diperkenankan itulah takdir yang hamba inginkan. Yang hamba ingin ENGKAU berikan. Namun demikian takdir apapun yang akan kau berikan pada hamba, hamba akan berusaha menjalankannya dengan sebaik-baiknya dan hidup tanpa penyesalan sedikit pun.

………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
Pertanyaan seumur hidup berikutnya yang ingin saya cari tahu jawabanya, Apakah takdir yang akan membimbing saya? Atau saya yang akan membimbing takdir sesuai dengan apa yang telah saya tulis seperti di atas? Jawaban hanya akan terjawab oleh waktu.
Terima kasih karena telah membaca artikel ini.

Ditulis untuk diri saya sendiri & juga orang-orang yang saya yakini akan membantu menjawab pertanyaan seumur hidup saya.

Be an Innovator, for change the world better than now.

~Regalia_52~

Bermain Minyak: Awas, Terbakar!

Gerundelan Ragil Koentjorodjati

bagaimana harga minyak ditentukan
Perhatikan: Itu bukan minyaknya yang diperdagangkan. Tetapi "omongan" soal minyak.
Ada satu pertanyaan sederhana dari tetangga sebelah yang ternyata jawaban atas pertanyaan tersebut tidak sesederhana pertanyaannya. Pertanyaannya begini: “Mas, banyak orang bilang negara kita itu kaya akan minyak, kalau harga minyak naik kan itu artinya kita akan tambah makmur? Tinggal kita jual minyak kita ke orang-orang, duitnya bisa untuk menghidupi rakyat kecil seperti saya. Lalu kenapa kita malah menolak harga minyak dinaikkan?”
Sejenak saya termenung. Bingung, darimana harus menjelaskan tentang ruwetnya jualan minyak kepada tetangga saya itu. Pendapat tetangga saya itu bisa jadi benar jika ia membayangkan warungnya yang jualan bensin eceran, beli dari pom bensin Rp 6.000,- lalu dijual Rp 7.000,- mendapat untung Rp 1.000,- per liter. Sebelumnya ia membeli seharga Rp 4.500,- per liter dan menjual dengan harga Rp 5.000,- per liter dari hasil pembulatan 0,9 liter. Kemudian dia membayangkan bahwa karena kita punya minyak sendiri, maka kenaikkan harga dari Rp 4.500,- menjadi Rp 6.000,- berarti ada tambahan laba Rp 1.500,- per liter. Masalahnya, benarkah kita sungguh-sungguh punya minyak itu?
Sungguh-sungguh memiliki itu jika dianalogikan sama seperti orang menanam jagung. Kita mengolah tanah, menyemai benih, memanen jagung dan mengolahnya dengan alu dan lesung untuk kemudian dimasak menjadi nasi jagung yang gurih. Itu artinya kita sungguh-sungguh memiliki jagung yang bisa saja dijual atau memilih dimakan sendiri. Tapi menjelaskan urusan minyak ternyata tidak segampang menjelaskan nasi jagung apalagi untuk konsumsi otak nasi jagung dan ikan asin. Ini cukup membingungkan.
Bagaimana menjelaskan kepadanya bahwa minyak kita itu hanya ada di dasar bumi yang tidak bisa diolah jika tidak pinjam alat orang asing dan tenaga asing karena orang kita malas dan tidak mau kerja tetapi maunya untung besar? Sumur minyak dicari, yang survei orang asing. Pengeboran sumur dilakukan tapi alat dan tenaganya bukan punya kita. Hasil ngebor sumur itu kemudian dibagi, dan yang tidak kerja tidak mungkin dapat bagian besar. Teman-teman kita dipabrik minyak itu lebih senang nongkrong bagai juragan, yang penting untung bersih kira-kira sepuluh dua puluh tak masalah daripada repot tapi untungnya cuma tiga puluh. Selisih sepuluh tidak masalah sebab memang kita lebih baik menghemat tenaga untuk mengerjakan yang lain seperti buka tender sebanyak-banyaknya. Itu sudah menutup kehilangan yang sepuluh tadi. Jadilah mereka orang minyak tapi tidak mahir sama sekali dalam urusan minyak tetapi lebih mahir bermain intrik dan politik. Jadilah politik minyak!
Kembali ke soal menanam jagung, pemilik ladang yang malas bekerja biasanya “maro” kepada penggarap ladang. “Maro” atau bagi hasil separo-separo. Tapi kalau soal ladang minyak, jangankan separo, seperempatnya pun kalau dihitung bener tidak sampai.Alhasil kita tidak punya gudang minyak sebab kita harus beli dari penggarap ladang minyak kita. Aneh kan? Bayangkan saja sampeyan membeli jagung dari penggarap ladang jagung sampeyan. Kok bisa?
Lebih sulit lagi menjelaskan harga minyak. Kita pakai saja logika jagung. Ketika penggarap ladang mengolah ladang, ia sudah memperkirakan kira-kira berapa ton jagung yang akan dihasilkan. Dari perkiraan itu dia kemudian menjual “omongan hasil panen” yang belum pasti ke tengkulak jagung. Kira-kira begini kalimatnya: “Saya sedang nggarap ladang jagung, tahun ini akan menghasilkan 100 ton jagung, sampeyan mau beli berapa?”Istilah jawanya “ditebaske”. Yang dijual itu omongannya, bukan jagungnya.
Tengkulak kemudian menghitung untung rugi dari panen yang “akan” diperolehnya. Dan dia akan membayar dengan harga tengkulak karena akan dijual lagi. Kenapa penggarap menjual sesuatu yang belum pasti? Tentu saja karena dia tidak mau rugi seandainya panen gagal. Sudah ada yang akan mengganti kerugian itu, yaitu tengkulak jagung. Resiko panen gagal akan ditanggung si tengkulak.
Dengan cara “ditebaske” itu, penggarap tidak rugi apapun dan yang rugi pemilik ladang sebab dia tidak lagi menerima panen separo tetapi hasil “tebasan” separo. Celakanya lagi, kalau soal minyak, “tanda jadi tebasan” itu bisa diperjualbelikan antar para pedagang. Akibatnya, ketika hari panen benar-benar tiba, harga jagung atau minyak sudah tidak lagi menjadi harga yang sesungguhnya dalam arti harga yang terbentuk karena permintaan dan penawaran, tetapi harga yang terbentuk karena spekulasi dan gosip-gosip yang tidak jelas. Ketika tengkulak menghembuskan gosip “panen gagal” harga melonjak setinggi-tingginya sebab konsumen takut tidak kebagian. Lebih celaka lagi, si pemilik ladang – karena sudah tidak menerima hasil panen- ikut-ikutan harus membeli jagung yang sesungguhnya berasal dari ladangnya sendiri. Dan jagungnya itu belum ada! Masih di ladangnya sebab belum dipanen! Benar-benar lucu permainan ini! Itulah politik jagung karena barangnya jagung. Kalau barangnya minyak, jadilah itu politik minyak!
Entah, tetangga saya itu mengerti atau tidak dengan penjelasan yang saya berikan. Intinya, benar kita punya ladang. Benar ada minyak di ladang itu. Tetapi tidak lagi benar bahwa minyak-minyak itu masih punya kita. Saya hanya berpesan kepadanya, jangan mempercayakan kebun dan pohon-pohonmu pada penggarap palsu yang bekerja untuk tukang ijon. Dan lebih dari itu, jangan bermain-main dengan minyak, jangan mengurangi literan dalam botol untuk disimpan di dalam rumah, sebab nanti rumahmu bisa kebakaran.

Seni dan Penafsiran Seni

Oleh Richard Oh

prosa lirisDalam ‘What is Literature?’, Jean Paul Sartre mengatakan “sebuah karya seni tidak bisa direduksi menjadi sebuah pemikiran, pertama-tama karena seni adalah produksi atau reproduksi dari keberadaan, being, sesuatu yang tak akan membiarkan dirinya dipikirkan sebab keberadaan ini dipenetrasi sepenuhnya oleh sebuah eksistensi, yakni sebuah kebebasan yang menentukan nasib dan nilai dari pemikiran itu.”
Kalau pernyataan ini punya validitas, bagaimana seharusnya kita tanggapi buku-buku karya akademisi itu? Apa guna concordance tentang kebobrokan humanitas dalam novela Joseph Conrad, Heart of Darkness? Apa guna menulis makalah akademis? Menurut saya, tulisan akademisi hanya berguna bagi dan membantu pengembangan sastra bila mencerahkan dan memandu apresiasi atas karya sastra itu tanpa mencoba merangkumnya ke dalam suatu teori seperti yang terjadi pada Ulysses. Bayangkan, sejak buku itu tampil tahun 1920-an hampir bersamaan dengan puisi Eliot, ribuan bahkan jutaan buku akademisi telah diterbitkan mengupas makna terpendam Ulysses. Sampai hari ini ia masih diperdebatkan di bar-bar di Irlandia. Ada lelucon: kalau ada yang berani mengaku memahami sepenuhnya Ulysses, ia akan menjadi orang pertama yang dilempar keluar dari bar itu. James Joyce, sang penulis Ulysses, dalam pengakuannya menyatakan ingin menulis satu buku yang akan dibahas oleh para profesor selama seratus tahun. Keinginannya jadi kenyataan. Apakah karyanya punya makna yang dalam tentang humanitas? Apakah ia membantu pengembangan sastra?
Saya mengambil beberapa kutipan untuk membantu memperdalam pemahaman kita. Virginia Woolfe menulis dalam catatan hariannya, Rabu 6 September 1922, “Saya menyelesaikan Ulysses dan merasa bahwa karya ini meleset. Kejeniusan memang ia punyai, tapi bukan karya unggul. Buku ini kurang fokus. Terlalu keruh. Pretensius. Ia kurang kaya, bukan saja dalam arti yang sudah jelas, tetapi dalam arti literer sekalipun. Penulis kelas teratas, menurut hemat saya, terlalu menghargai penulisan untuk sengaja membuatnya menjadi berbelit-belit, sengaja mengagetkan, memamerkan kehebatan.”
Pada Selasa 26 September 1922 Virginia Woolfe mengutip komentar Eliot tentang buku Ulysses, “Buku ini akan jadi tonggak karena ia melumatkan seluruh abad ke-19. Ia bahkan tidak menyisakan apa-apa lagi bagi Joyce untuk menulis. Ia menunjukkan betapa sia-sianya semua gaya penulisan Inggris. Dia (Tom) merasa di beberapa bagian penulisannya sangat indah, tapi tidak ada suatu konsepsi mutakhir. Itu memang bukan tujuan utama Joyce. Dia berpikir, Joyce melakukan sepenuhnya seperti apa yang dia inginkan. Namun, Tom merasa Joyce tidak memberikan gagasan baru apa pun bagi sifat manusia -tidak mengungkapkan sesuatu yang baru seperti Tolstoy. Bloom tidak menyampaikan apa pun kepada kita.”
Di zaman ini kita tentu paham yang dimaksudkan Eliot dengan ketiadaan konsep besar dalam karya ini adalah pendekatan Joyce melalui teknik Epiphany, yaitu pencerahan demi pencerahan dari momen-momen kecil. Yang mungkin bisa dikagumi dari prestasi buku ini adalah bahwa hingga hari ini ia masih jadi bahan bahasan di mana-mana. Apakah ia memajukan pengembangan sastra?
Karya ini-seperti juga The Waste Land-menciptakan satu generasi kritikus dan penulis yang, menurut saya, tidak memajukan sastra, melainkan membuat sastra jadi kompleks seperti yang disebut Siegel: membuat membaca sastra seperti memerlukan sertifikat mengendalikan mobil. Untung di zaman ini kita punya Jose Saramago, Gabriel Garcia Marquez, dan Julio Cortazar yang melepaskan kita dari belenggu sastra sarat referensi dan erudikasi ini.

Sastra: pendekatan alami
Saya kira pendekatan Robert Pinksky, yang pernah jadi poet laureat di Amerika dulu, terhadap sastra lebih menarik. Dia mengatakan, “Pengetahuan dari pendengaran kita untuk memahami satu larik puisi adalah pengetahuan pola bahasa yang sudah terbiasa pada kita sejak masih bayi.” Pada intinya puisi bisa kita nikmati, seperti kita menikmati percakapan, lagu, tanpa perlu pengetahuan khusus sebab puisi dan rima-rimanya mengetuk hati kita bagai detak jantung. Bila ingin mempelajari metrik tradisional, kita hanya perlu baca kumpulan puisi William Butler Yeats atau Ben Johnson. Untuk memahami free verse, baca dua volume kumpulan puisi William Carlos Williams dan Wallace Stevens. Untuk memahami linea pendek, baca kumpulan puisi Emily Dickinson. Tentang adaptasi metrik balada ke dalam puisi modern, baca kumpulan puisi Thomas Hardy. Menurut Robert Pinsky, tak ada manual instruksi yang bisa lebih membantu memahami puisi selain mendengar dengan cermat bunyi yang tebersit dalam setiap puisi yang dibaca.
Lee Siegel dalam pengantar novel DH Lawrence, The Lost Girl, yang diterbitkan kembali setelah ditelantari sekian tahun, mengatakan, “Sebagai akibat diakademikannya sastra, orang-orang literer ketika mengapresiasi fiksi menganggap perasaan dan persepsi merupakan ungkapan bagi seorang amatir. Bahkan di luar tembok universitas, dalam kritik sastra kita masih juga menemukan bahasan tentang alam sadar dan ironi, karakter dan karikatur, realisme sejarah dan realisme psikologis, dan lain sebagainya. Pembaca mulai merasa tak punya kualifikasi membaca, bagai mengendarai mobil tanpa SIM. Namun, sebenarnya tak ada sesuatu yang literer tentang sebuah novel yang efektif. Ia tak ubah laksana ekspresi kreatif sealami pernafasan kita.”
Kutipan ini sangat menarik untuk beberapa hal. Yang pertama, menyangkut beda persepsi seorang akademikus dengan seorang penulis. Bagi seorang penulis sastra, penulisan merupakan reaksinya pada tempat, mood, waktu, dan kenyataan di sekelilingnya. Mereka menulis tanpa memikirkan teori, tanpa mengikuti metode pemahaman sastra baik dari buku sastra maupun dari universitas, sebab reaksi tiap penulis pada suatu kenyataan berbeda-beda. Hal kedua adalah bila penulis sastra menulis dengan “ekspresi kreatif sealami pernafasan”, maka menikmati karya-karya penulis sastra seharusnya tak memerlukan analisis yang membuat kening berkerut.

Sebuah metode alternatif mengapresiasi sastra
Setelah berkeliling mengitari berbagai pokok persoalan, sekarang saya ingin kembali ke topik pembahasan kita: cara terbaik mengembangkan sastra. Saran saya adalah merebutnya kembali dari para ahli sastra. Saya percaya pada kata-kata Sartre bahwa seni tidak bisa direduksi ke dalam sebuah pemikiran. Nah, kalau seni tak bisa direduksi ke dalam satu pemikiran, pendekatan akademisi yang cenderung ingin meneorikan semua hal sangat bertolak belakang dengan premis ini. Bagaimana bisa kita menghargai sebuah karya seni, yang merupakan produk atau reproduksi keberadaan, being, dengan bahasa yang kaku dan cara pembahasan yang rigid pula?
Karya seni sebaiknya tidak ditelaah hingga titik koma sebab itu menjadikannya kering kerontang. Saya setuju bahwa untuk menikmati suatu karya, sedikit pengetahuan sebagai prerequisite bisa membantu menghargai seni. Namun, seperti kata Robert Pinsky, manusia sebenarnya secara alami sudah dibekali menghargai seni dari rima bahasa sehari-hari, panca indra, dan nalar halus. Yang dibutuhkan bukan lebih banyak teori lagi, tapi cara mengupas dan menyerap esensi karya seni dengan cara sangat alami.
Penelaahan yang terlalu kritis pada sebuah karya seni akan menakutkan para pemula dan pencinta seni mendekati seni itu, seperti yang sudah terjadi di Amerika: banyak mahasiswa merasa tak punya kualifikasi menikmati puisi Ezra Pound atau TS Eliot. Tujuan utama suatu karya seni adalah ia bisa dinikmati lapisan permukaan dan dihargai lebih dalam sewaktu ia dikupas lapisan lain. Semua karya seni yang berhasil sukses karena semua elemen dalam karya itu hold true, bentuknya boleh tidak menyatu tapi konsisten dan mencerminkan visi individualisme sang pencipta.
Dengan membebaskan karya sastra dari akademisasi berlebihan, mungkin ia bisa berkembang lebih baik. Di masa yang didominasi oleh media elektronik dan mainan virtual ini, banyak distraksi kehidupan yang jadi penghalang bagi perkembangan sastra. Untuk bisa bersaing dengan media elektronik, sekelompok penulis muda yang terdiri dari Alex Garland, novelis The Beach, dan 14 rekannya dari Inggris memproklamasikan manifesto baru yang diterbitkan dalam buku All Hail the New Puritans. Berikut butir-butir manifesto itu:
1. Kepada pengrajin cerita, terutama, kami patuh pada bentuk narasi 2. Kami adalah penulis prosa dan tahu bahwa prosa adalah bentuk ungkapan dominan. Karena itu, kami menghindari puisi dan lisensi puitis dalam bentuk apa pun. 3. Walau mengakui nilai sebuah genre fiksi, dalam bentuk klasik atau modern, kami akan selalu bergerak menuju ungkapan-ungkapan baru, menghancurkan ekspektasi genre yang ada. 4. Kami percaya pada kesederhanaan teks dan berjanji akan menghindari segala alat pengungkapan: retorika maupun teknik pengomentaran serampangan pengarang. 5. Atas nama kejernihan, kami mengakui pentingnya prosa linier dan menghindari kilas balik, narasi tempo ganda, dan teknik foreshadowing, serta menanamkan simbol- simbol pada awal narasi. 6. Kami percaya akan kemurnian gramatika dan menghindari tanda-tanda baca rumit 7. Kami mengakui bahwa karya yang diterbitkan juga merupakan dokumen bersejarah. Sebagai fragmen dari masa kita, semua teks tercatat dalam waktu dan berpacu pada masa ini. Semua produk, lokasi, seniman, dan objek yang disebut adalah seperti yang sebenarnya. 8. Sebagai representasi setia pada zaman ini, semua teks akan menghindari spekulasi yang muskil atau yang tak dapat dipastikan tentang masa lampau atau masa depan. 9. Kami semua moralis, jadi semua teks merangkum suatu realitas etika yang mudah dikenal. 10. Walau demikian, tujuan utama kami adalah integritas ekspresi diletakkan di atas dan terlepas dari komitmen apa pun pada bentuk.
Ada beberapa butir dalam manifesto ini yang tak saya setujui. Butir 5 yang mengacu pada keberatan pada linear temporal satu arah tanpa kilas balik atau narasi ganda suara. Butir 8 yang menganjurkan agar penulis menghindar dari spekulasi fantastis masa lampau atau masa depan, yang sebenarnya lahan bagi penulis fiksi sains. Menurut saya, kedua butir ini mengekang kebebasan penulis dalam berkreasi. Saya sangat setuju dengan butir 2 yang menyatakan penulis sebaiknya menghindari prosa puitis dalam karya prosa karena bahasa puitis cenderung jadi distraksi dan menghambat kelancaran cerita. Yang paling saya suka adalah butir 10: tujuan utama penulis prosa adalah integritas ekspresi ketimbang komitmen pada bentuk. Jadi, penekanannya pada integritas ekspresi, bukan kreativitas kata atau permainan metafor.
Seperti juga Karr yang membebaskan rasa takut saya terhadap puisi The Waste Land, saya juga ingin pecinta sastra di negeri kita tidak ditakut-takuti oleh Nirwan Dewanto atau ahli sastra di universitas yang sering mengintelektualkan sastra. Mungkin ini reaksi berlebihan dari seorang penulis. Saya kadang suka terkagum-kagum mendengar analisis seorang kritikus. Begitu dahsyat analisisnya hingga penulis sastra tiba-tiba terheran sendiri, “Oh ya, saya benar menulisnya seperti itu?”
Saya juga paham yang mengatakan begitu sebuah karya lepas dari penulisnya, ia punya nyawa sendiri. Pramoedya Ananta Toer menggambarkan buku-buku yang ia tulis sebagai anak-anak spiritualnya. Dalam perjalanan hidup mereka, ada yang berhasil, makmur, dan tak berhasil. Biarkan anak-anak spiritual penulis ini mengembara terus dan mencari pembacanya masing-masing. Seperti juga Siddharta yang memilih mendapat pelajaran tentang hidup dengan mengarungi kehidupan itu sendiri, tak seperti temannya, Govinda, yang memilih belajar dari seorang guru bijak, namun hingga akhir hidupnya tak menemukan pencerahan, pembaca sastra sendiri yang menentukan nasib anak-anak spiritual penulis.

Diambil dari makalah “Siapa Takut, Nirwan Dewanto? Mengembangkan Sastra dengan Merebutnya dari Para Ahli Sastra” pada sidang pleno Konferensi Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia di Manado, 25-27 Agustus 2004.

Sumber: Richard Oh.net

Puisi, Penyair, dan Identitas

Gerundelan Muhammad Ali Fakih AR*

prosa lirisPUISI pada mulanya adalah problem. Ia seperti sebuah ruang yang memang sengaja diciptakan agar manusia menemukan kegelisahannya.
Masalah yang dibawa oleh puisi adalah identitas. Pusi, dalam hal ini, tidak bermaksud untuk menegaskannya, namun hanya menunjukkan bahwa ia mesti ada: ada sebagai masalah. Dan kita tahu kemudian, jawaban terhadap masalah tidak ada di dalam puisi, selain mungkin pada diri penyairnya. Puisi tidak hendak mendedikasikan diri untuk sebuah jawaban. Puisi mendedikasikan diri hanya pada masalah. Untuk itu, mari kita nikmati puisi Acep Zamzam Noer yang berjudul ”Waktu yang Sehitam Dedak Kopi”:
… Sepi yang terus berdetak pada arloji. Pada jam besar/ Yang gemetar di dinding lengang hari (Horison-XLll/9/2007).
Acep, kita tahu, seorang kiai dari Tasikmalaya, selain juga seorang penyair angkatan 90-an. Seorang kiai, kita tahu, sesosok ”pekerja sosial-keagamaan”, berpandangan luas, universal, dan oleh sebab itu, dianggap telah ”selesai” dengan problematika individualitasnya. Tetapi sepi yang terus berdetak pada arloji, tidak akan pernah meninggalkan diri manusia. Sepi, sekali lagi, tak ingin membuat kita terasing atau ia terasing dari kita. Betapa pun menolak, ia akan tetap memeluk kita, memeluk dengan tangannya yang dingin.
Semua orang mungkin pernah merasakan sepi, tapi tidak setiap orang yang dapat menghayatinya kecuali perenung, yang suka bergerak dari kenyataan, turun ke alam sadar. Dan ini problem, entah itu membawa efek positif atau justru negatif, setidaknya untuk identitas. Sepi adalah problem, yang terus dihayati oleh penyair, bukan sekedar untuk menemukan makna, tetapi selebihnya karena dia ada.
Semua penyair, barangkali, akan mengatakan kepada dunia bahwa selama manusia mencari identitasnya, selama itu pula ia tidak akan menemukannya. Sebab, mencari identitas seperti mencari sesuatu yang ghaib, yang tidak mungkin kita tembus dengan ”perangkat” fisik. Sementara ”kerja” seorang penyair di wilayah itu. Lalu, apakah mungkin penyair mencari, mendapatkan dan menemukannya? Jika sudah menemukan, mengapa ia masih menulis puisi?
Penyair tidak bermaksud mencari identitas, tetapi untuk menyatakannya. Sepi, inilah identitas itu, sebagaimana juga cinta, rindu, suka, luka, hasrat, sunyi, masyigul, dan lain sebagainya. Identitas bagi penyair bukan sebagaimana ide Plato yang jauh dan tak tersentuh. Ia lebih bergerak dalam kesadaran untuk menemukan manusia di garis ruang dan waktunya. Sebagaimana hukum-hukum alam di fisika, identitas-identitas itu yang mengatur dan menentukan gejala hidup manusia.

***

Identitas-identitas itu adalah problem, sebab bila tidak, mana mungkin ada orang yang peduli kepadanya. Bernafas dalam cinta, bergulat dalam rindu, mungkinkah itu bukan masalah?
Pada diri orang kebanyakan, pengalaman cinta atau sunyi mengalir begitu saja, timbul dan hilang. Tapi tidak pada seorang penyair. Pengalaman cinta atau sunyi, baginya, jangan sampai lenyap tanpa sempat direnungkan, dirasakan, diidentifikasi dan didalami. Pada mulanya bukan untuk puisi, namun karena puisi ada, maka dipergunakanlah ia untuk menghadirkannya.
Hal yang lebih dari seorang penyair adalah bahwa ia mampu ”mengabarkan” tentang sesuatu yang mungkin amat sulit bagi orang lain mengungkapkannya lewat bahasa verbal. Di sinilah peran metafora dihadirkan oleh penyair ke dalam puisi dengan maksud agar apa yang dia rasakan, dan apa yang dia renungi dan dalami dari perasaannya itu turut pula dipahami dan dirasakan oleh orang lain. Penyair memang dalam salah satu perannya adalah pawang yang bertugas mengantisipasi ketidakterkatakannya sesuatu yang amat berharga bagi manusia melalui bahasa sehari-hari. Simaklah puisi Goenawan Mohamad (GM), ”Hari Terakhir Seorang Penyair, Suatu Siang”:
… Di siang suram bertiup angin. Kuhitung pohon satusatu/ Tak ada bumi yang jadi lain: daunpun luruh, lebih bisu/ Ada matahari lewat mengendap, jam memberat dan hari menunggu/ Segala akan lengkap, segala akan lengkap, Tuhanku..(Pariksit, 1971)
Dalam puisi ini, GM menggambarkan kondisi dan suasana hati orang yang mengharap ”ciuman” Tuhannya, tetapi tak kunjung dapat. Hatinya risau, gebalau, dan dia berkata: Segala akan lengkap, segala akan lengkap, Tuhanku. Sebuah pesimisme.
Kalau direnungi setahap demi setahap metafora-metafora pada puisi di atas, kita akan tahu untuk menggambarkan kondisi apakah diksi daunpun luruh, lebih bisu atau Ada matahari lewat mengendap digunakan oleh GM? Terhadap puisi, kerap kali pembaca dapat merasakan getarannya, tetapi kerap kali ia tidak mampu membahasakan getaran itu. Jangankan kepada orang lain lewat bahasa, pada dirinya sendiri pun lewat akal tidak bisa. Demikianlah, puisi hadir sebagai media untuk menyatakan ”yang tak terungkap”, identitas hidup manusia, yang adalah masalah, tapi bagitu nikmat, dan oleh karennya, ia mesti ada. Puisi, sekali lagi, adalah masalah.

*) Penulis adalah esais dan peminat sastra tinggal di Yogyakarta.


Sumber: Suara Merdeka Cetak, Minggu 4 Maret 2012

Beternak Daging

Gerundelan Ayu Utami

ayu utami
Ayu Utami; Gambar dari dobbyart.wordpress
Beberapa waktu lalu, sambil sarapan setangkup hamburger saya membaca sebuah berita. Di Belanda, seorang ilmuwan mulai “beternak daging”. Bukan beternak ayam atau sapi pedaging, melainkan betul-betul beternak daging.
Bayangkan. Tak ada lagi hewan dalam kandang. Tak ada lagi bau tahi bakal pupuk organik. Yang ada daging ginuk-ginuk dalam sejenis laboratorium, yaitu pabrik daging. Daging itu didapat dari sel induk hewan. Dalam pabrik itu, daging tersebut akan tumbuh membesar, tanpa kesadaran, tanpa otak, tanpa tulang punggung, tanpa pembuluh darah ataupun jantung yang memompa darah.
Daging dari makhluk—kalau masih bisa disebut makhluk—yang tidak kita kenal sama sekali. Mungkin lebih mirip tahu, atau oncom, atau tempe, atau keju, tapi lebih gawat. Sebab, tahu, tempe, oncom, ataupun keju tidak bertumbuh dari satu sel yang membelah diri jadi banyak.
Saya agak gilo membayangkannya. Gilo itu istilah bahasa ibu saya. Artinya kira-kira ngeri, jijik, sekaligus takjub. Membayangkan daging tumbuh, yang segera teringat oleh saya—maklum saya orang awam—adalah tumor. Langsung leher saya tercekat, sulit menelan lempengan daging cincang di antara roti yang semula saya nikmati dengan lahap.
Saya jadi membayangkan hamburger ini sejenis daging tumbuh. Dan jika daging itu dulunya tak pernah bernyawa, lantas apa yang membuat dia tahu untuk berhenti bertumbuh? Jangan-jangan setelah menjadi pengganti sel-sel tubuh saya,nanti sel-sel itu terus bertumbuh karena ia tak pernah punya memori mati atau berhenti.
Pertanyaan-pertanyaan saya mungkin saja khas orang bodoh. Maklumlah. Zaman sekarang kita tahu, kebanyakan makan daging merah pun bisa memicu sel-sel kanker. Bagaimana pula dengan daging rekayasa ini?
Tapi perdebatan di balik eksperimen ini sebetulnya menarik. Semua berawal dari jumlah manusia yang sudah lebih dari 6 miliar di muka bumi, dengan kerakusan yang tak terbendung. Bagaimana memberi makan 6 miliar mulut dan perut itu? Bumi tidak bisa lagi secara alamiah memberinya. Maka manusia akan harus memproduksi makanannya di dalam “pabrik”. Di RRC,mereka sudah secara terbuka membicarakan “pabrik pertanian”. Pertanian tidak lagi di tanah seperti dulu, tetapi dalam bangunan bertingkat,dengan medium yang selalu bisa bersifat inovatif. Setiap ada medium baru yang bisa untuk berproduksi, mari dicoba. Masalahnya, efek samping memang baru akan ketahuan setelah satu dua generasi.
Lantas,selera makan saya lenyap. Saya letakkan hamburger yang semula nikmat. Aduh…manusia semakin jauh dari yang organik. Betapa menyedihkan bahwa kita tak bisa lagi membayangkan alam pedesaan yang segar dan asri dalam sepiring makanan kita. Kita tidak bisa lagi membayangkan kebun sayur yang terbuka saat mengunyah salad. Kita tidak bisa lagi berterima kasih pada domba dan ternak yang telah disembelih. Kita tidak mendapatkan lagi energi kehidupan dari alam raya. Kita memperolehnya dari pabrik,yang tertutup, mekanis,dan cepat.
Aneh, bahkan pertanian dan peternakan organik kini mulai menjadi Taman Eden, Taman Firdaus yang semakin jauh dan menjadi sejenis mimpi dan kerinduan. Aneh, tiba-tiba gambaran tentang Taman Firdaus itu jadi bermakna sekarang. Sebuah alam asli dan asri yang berlimpah-limpah untuk mendukung kebutuhan manusia, sampai titik di mana manusia memilih mengambil sesuatu yang terlarang. Apa yang terlarang itu?
Alkitab menyebutnya Pohon Pengetahuan. Di ruang yang sempit ini, kita bisa menafsirkannya sebagai pengetahuan untuk mengeksploitasi. Begitu manusia memilih pengetahuan yang mengeksploitasi ini, maka terusirlah mereka dari Taman Eden. Yang ada pada manusia adalah kerinduan laten pada taman surgawi itu.
Akan tetapi, dongeng itu menjadi tidak ganjil sekarang. Kita sedang melihat proses pemisahan lagi. Seperti Adam dan Hawa terusir dari Firdaus, manusia kini juga sedang terusir dari dunia alamiah, memasuki dunia pabrikan. Gaya hidup organik memang dikampanyekan. Tapi jika kita tidak berhenti memproduksi anak dalam skala massal dan tidak membendung kerakusan, hanya mereka yang paling kaya yang bisa hidup organik, seperti sejenis kasta brahmana.

Sumber: Seputar Indonesia Cetak, Minggu 4 Maret 2012