PEMAAFAN

Oleh Paulus Catur Wibawa
ilustrasi 3.bp.blogspot.com
Seks pranikah punya sejarah yang sangat panjang. Barangkali sejak pernikahan itu sendiri ada dan dilembagakan. Dan itu artinya sejak dahulu kala, sebelum Joko Tarub mengintip bidadari mandi, sebelum Kertanegara memuja Tantra sambil pesta orgy, sebelum para gundik dipelihara kumpeni. Sampai zaman ketika para artis suka merekam perzinahannya sendiri, ketika undang-undang mengatur rok mini dan ketika tetek palsu menambah percaya diri dan perasaan sexy.
Seks pranikah dan seks bebas tentu adalah istilah masa kini untuk menunjuk pada perilaku seksual—katakanlah, persetubuhan—yang dilakukan di luar ikatan perkawinan. Perbedaan dua istilah itu terletak pada cakupannya. Seks bebas dilakukan tak peduli dengan pacar, teman, kenalan atau bahkan orang yang—secara pribadi—tidak saling kenal. Seks pranikah dilakukan dengan orang yang (seolah-olah) akan menikah, meskipun pada akhirnya belum tentu menikah.
Banyak pihak telah berusaha menyadarkan betapa tindakan seksual harus dilakukan secara benar dan bijaksana. Seks bebas dan seks pranikah telah melahirkan berbagai gangguan kesehatan, rumahtangga yang hancur atau terpuruk karena ketidaksiapan, anak-anak “haram” yang tidak siap secara sosial.
Dalam masalah ini, perempuan sering menjadi korban. Terutama, bila ia sudah menyerahkan (atau dirampas) kehormatannya. Terlebih lagi bila laki-laki tersebut ternyata tidak menjadi suaminya. Sangat mungkin itu mengakibatkan luka yang dalam dan tak mudah diobati seperti misalnya, dendam pada laki-laki, penolakan pada konsekuensi dari hubungan seksual itu sendiri, pengucilan diri, stigma dari masyarakat sekitar dsb. Lalu bagaimana mensikapinya? Banyak solusi praktis sudah sering dikemukakan. Pertama, sekedar mengulang beberapa pendapat itu, laki-laki yang berbuat harus (dituntut untuk) bertanggungjawab. Salah satunya adalah dengan cara menikahi secara resmi. Tapi jika itu tidak mungkin, misalnya karena ia sudah beristri, pertanggungjawabannya harus dalam bentuk lain, entah secara kekeluargaan atau secara hukum. Kedua, perempuan yang menjadi korban juga harus bertanggungjawab. Sekalipun korban, ia juga terlibat dalam kondisi yang tidak diinginkan ini. Karenanya, ia harus juga bertanggungjawab, terlebih bila hubungan seks pranikah tersebut menyebabkan kehamilan. Sekarang ini banyak LSM dan lembaga keagamaan punya perhatian pada persoalan semacam ini. Ada yang concern pada ibu-ibu yang hamil di luar nikah, ada juga yang concern pada anak-anak yang lahir di luar pernikahan. Keempat, keluarga dan masyarakat sekitar perlu memberikan dukungan. Para korban tidak semestinya dijauhkan dari lingkungan, atau dikecam. Sebaliknya, mereka perlu dimaafkan dan dibantu untuk melanjutkan kehidupan mereka. Kelima, meminjam pendapatnya Hannah Arrent, perlulah memaafkan. Forgiveness is the exact opposite of vengeance, which acts in the form of re-enacting against an original trespassing whereby far from putting an end to the consequences of the first misdeed, everybody remains bound to the process, permitting the chain reaction contained in every action to take its unhindered course. Arrent memang pertama-tama bicara soal politik, yakni tentang korban Nazi. Tetapi saya kira ia benar, bahwa proses pemulihan hanya bisa terjadi setelah didahului dengan memaafkan—betapapun sulitnya—pihak-pihak yang bersalah. Tanpanya, pemulihan hanya seperti tongkat ajaib yang kekurangan mantra. Bisakah seorang korban memaafkan? Mungkin sangat sulit. Apalagi jika luka yang disebabkannya sangat dalam. Tetapi tanpa memaafkan, luka itu akan tetap ada, korban selamanya terbuang di alam dendam dan kekecewaan.

Catatan:
Opini ini terpilih sebagai opini terbaik pertama tentang ‘Seks Pranikah’

4 tanggapan untuk “PEMAAFAN”

    1. hehehe…makasih mbak Gyann–waw..namanya juga excelent banget–Pramesty Gunawan…penulis artikel tersebut hanya terlalu banyak melamun.

      Suka

Beri Tanggapan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s