Gerundelan Muhammad Ali Fakih AR*
PUISI pada mulanya adalah problem. Ia seperti sebuah ruang yang memang sengaja diciptakan agar manusia menemukan kegelisahannya.
Masalah yang dibawa oleh puisi adalah identitas. Pusi, dalam hal ini, tidak bermaksud untuk menegaskannya, namun hanya menunjukkan bahwa ia mesti ada: ada sebagai masalah. Dan kita tahu kemudian, jawaban terhadap masalah tidak ada di dalam puisi, selain mungkin pada diri penyairnya. Puisi tidak hendak mendedikasikan diri untuk sebuah jawaban. Puisi mendedikasikan diri hanya pada masalah. Untuk itu, mari kita nikmati puisi Acep Zamzam Noer yang berjudul ”Waktu yang Sehitam Dedak Kopi”:
… Sepi yang terus berdetak pada arloji. Pada jam besar/ Yang gemetar di dinding lengang hari (Horison-XLll/9/2007).
Acep, kita tahu, seorang kiai dari Tasikmalaya, selain juga seorang penyair angkatan 90-an. Seorang kiai, kita tahu, sesosok ”pekerja sosial-keagamaan”, berpandangan luas, universal, dan oleh sebab itu, dianggap telah ”selesai” dengan problematika individualitasnya. Tetapi sepi yang terus berdetak pada arloji, tidak akan pernah meninggalkan diri manusia. Sepi, sekali lagi, tak ingin membuat kita terasing atau ia terasing dari kita. Betapa pun menolak, ia akan tetap memeluk kita, memeluk dengan tangannya yang dingin.
Semua orang mungkin pernah merasakan sepi, tapi tidak setiap orang yang dapat menghayatinya kecuali perenung, yang suka bergerak dari kenyataan, turun ke alam sadar. Dan ini problem, entah itu membawa efek positif atau justru negatif, setidaknya untuk identitas. Sepi adalah problem, yang terus dihayati oleh penyair, bukan sekedar untuk menemukan makna, tetapi selebihnya karena dia ada.
Semua penyair, barangkali, akan mengatakan kepada dunia bahwa selama manusia mencari identitasnya, selama itu pula ia tidak akan menemukannya. Sebab, mencari identitas seperti mencari sesuatu yang ghaib, yang tidak mungkin kita tembus dengan ”perangkat” fisik. Sementara ”kerja” seorang penyair di wilayah itu. Lalu, apakah mungkin penyair mencari, mendapatkan dan menemukannya? Jika sudah menemukan, mengapa ia masih menulis puisi?
Penyair tidak bermaksud mencari identitas, tetapi untuk menyatakannya. Sepi, inilah identitas itu, sebagaimana juga cinta, rindu, suka, luka, hasrat, sunyi, masyigul, dan lain sebagainya. Identitas bagi penyair bukan sebagaimana ide Plato yang jauh dan tak tersentuh. Ia lebih bergerak dalam kesadaran untuk menemukan manusia di garis ruang dan waktunya. Sebagaimana hukum-hukum alam di fisika, identitas-identitas itu yang mengatur dan menentukan gejala hidup manusia.

Masalah yang dibawa oleh puisi adalah identitas. Pusi, dalam hal ini, tidak bermaksud untuk menegaskannya, namun hanya menunjukkan bahwa ia mesti ada: ada sebagai masalah. Dan kita tahu kemudian, jawaban terhadap masalah tidak ada di dalam puisi, selain mungkin pada diri penyairnya. Puisi tidak hendak mendedikasikan diri untuk sebuah jawaban. Puisi mendedikasikan diri hanya pada masalah. Untuk itu, mari kita nikmati puisi Acep Zamzam Noer yang berjudul ”Waktu yang Sehitam Dedak Kopi”:
… Sepi yang terus berdetak pada arloji. Pada jam besar/ Yang gemetar di dinding lengang hari (Horison-XLll/9/2007).
Acep, kita tahu, seorang kiai dari Tasikmalaya, selain juga seorang penyair angkatan 90-an. Seorang kiai, kita tahu, sesosok ”pekerja sosial-keagamaan”, berpandangan luas, universal, dan oleh sebab itu, dianggap telah ”selesai” dengan problematika individualitasnya. Tetapi sepi yang terus berdetak pada arloji, tidak akan pernah meninggalkan diri manusia. Sepi, sekali lagi, tak ingin membuat kita terasing atau ia terasing dari kita. Betapa pun menolak, ia akan tetap memeluk kita, memeluk dengan tangannya yang dingin.
Semua orang mungkin pernah merasakan sepi, tapi tidak setiap orang yang dapat menghayatinya kecuali perenung, yang suka bergerak dari kenyataan, turun ke alam sadar. Dan ini problem, entah itu membawa efek positif atau justru negatif, setidaknya untuk identitas. Sepi adalah problem, yang terus dihayati oleh penyair, bukan sekedar untuk menemukan makna, tetapi selebihnya karena dia ada.
Semua penyair, barangkali, akan mengatakan kepada dunia bahwa selama manusia mencari identitasnya, selama itu pula ia tidak akan menemukannya. Sebab, mencari identitas seperti mencari sesuatu yang ghaib, yang tidak mungkin kita tembus dengan ”perangkat” fisik. Sementara ”kerja” seorang penyair di wilayah itu. Lalu, apakah mungkin penyair mencari, mendapatkan dan menemukannya? Jika sudah menemukan, mengapa ia masih menulis puisi?
Penyair tidak bermaksud mencari identitas, tetapi untuk menyatakannya. Sepi, inilah identitas itu, sebagaimana juga cinta, rindu, suka, luka, hasrat, sunyi, masyigul, dan lain sebagainya. Identitas bagi penyair bukan sebagaimana ide Plato yang jauh dan tak tersentuh. Ia lebih bergerak dalam kesadaran untuk menemukan manusia di garis ruang dan waktunya. Sebagaimana hukum-hukum alam di fisika, identitas-identitas itu yang mengatur dan menentukan gejala hidup manusia.
***
Identitas-identitas itu adalah problem, sebab bila tidak, mana mungkin ada orang yang peduli kepadanya. Bernafas dalam cinta, bergulat dalam rindu, mungkinkah itu bukan masalah?
Pada diri orang kebanyakan, pengalaman cinta atau sunyi mengalir begitu saja, timbul dan hilang. Tapi tidak pada seorang penyair. Pengalaman cinta atau sunyi, baginya, jangan sampai lenyap tanpa sempat direnungkan, dirasakan, diidentifikasi dan didalami. Pada mulanya bukan untuk puisi, namun karena puisi ada, maka dipergunakanlah ia untuk menghadirkannya.
Hal yang lebih dari seorang penyair adalah bahwa ia mampu ”mengabarkan” tentang sesuatu yang mungkin amat sulit bagi orang lain mengungkapkannya lewat bahasa verbal. Di sinilah peran metafora dihadirkan oleh penyair ke dalam puisi dengan maksud agar apa yang dia rasakan, dan apa yang dia renungi dan dalami dari perasaannya itu turut pula dipahami dan dirasakan oleh orang lain. Penyair memang dalam salah satu perannya adalah pawang yang bertugas mengantisipasi ketidakterkatakannya sesuatu yang amat berharga bagi manusia melalui bahasa sehari-hari. Simaklah puisi Goenawan Mohamad (GM), ”Hari Terakhir Seorang Penyair, Suatu Siang”:
… Di siang suram bertiup angin. Kuhitung pohon satusatu/ Tak ada bumi yang jadi lain: daunpun luruh, lebih bisu/ Ada matahari lewat mengendap, jam memberat dan hari menunggu/ Segala akan lengkap, segala akan lengkap, Tuhanku..(Pariksit, 1971)
Dalam puisi ini, GM menggambarkan kondisi dan suasana hati orang yang mengharap ”ciuman” Tuhannya, tetapi tak kunjung dapat. Hatinya risau, gebalau, dan dia berkata: Segala akan lengkap, segala akan lengkap, Tuhanku. Sebuah pesimisme.
Kalau direnungi setahap demi setahap metafora-metafora pada puisi di atas, kita akan tahu untuk menggambarkan kondisi apakah diksi daunpun luruh, lebih bisu atau Ada matahari lewat mengendap digunakan oleh GM? Terhadap puisi, kerap kali pembaca dapat merasakan getarannya, tetapi kerap kali ia tidak mampu membahasakan getaran itu. Jangankan kepada orang lain lewat bahasa, pada dirinya sendiri pun lewat akal tidak bisa. Demikianlah, puisi hadir sebagai media untuk menyatakan ”yang tak terungkap”, identitas hidup manusia, yang adalah masalah, tapi bagitu nikmat, dan oleh karennya, ia mesti ada. Puisi, sekali lagi, adalah masalah.
Pada diri orang kebanyakan, pengalaman cinta atau sunyi mengalir begitu saja, timbul dan hilang. Tapi tidak pada seorang penyair. Pengalaman cinta atau sunyi, baginya, jangan sampai lenyap tanpa sempat direnungkan, dirasakan, diidentifikasi dan didalami. Pada mulanya bukan untuk puisi, namun karena puisi ada, maka dipergunakanlah ia untuk menghadirkannya.
Hal yang lebih dari seorang penyair adalah bahwa ia mampu ”mengabarkan” tentang sesuatu yang mungkin amat sulit bagi orang lain mengungkapkannya lewat bahasa verbal. Di sinilah peran metafora dihadirkan oleh penyair ke dalam puisi dengan maksud agar apa yang dia rasakan, dan apa yang dia renungi dan dalami dari perasaannya itu turut pula dipahami dan dirasakan oleh orang lain. Penyair memang dalam salah satu perannya adalah pawang yang bertugas mengantisipasi ketidakterkatakannya sesuatu yang amat berharga bagi manusia melalui bahasa sehari-hari. Simaklah puisi Goenawan Mohamad (GM), ”Hari Terakhir Seorang Penyair, Suatu Siang”:
… Di siang suram bertiup angin. Kuhitung pohon satusatu/ Tak ada bumi yang jadi lain: daunpun luruh, lebih bisu/ Ada matahari lewat mengendap, jam memberat dan hari menunggu/ Segala akan lengkap, segala akan lengkap, Tuhanku..(Pariksit, 1971)
Dalam puisi ini, GM menggambarkan kondisi dan suasana hati orang yang mengharap ”ciuman” Tuhannya, tetapi tak kunjung dapat. Hatinya risau, gebalau, dan dia berkata: Segala akan lengkap, segala akan lengkap, Tuhanku. Sebuah pesimisme.
Kalau direnungi setahap demi setahap metafora-metafora pada puisi di atas, kita akan tahu untuk menggambarkan kondisi apakah diksi daunpun luruh, lebih bisu atau Ada matahari lewat mengendap digunakan oleh GM? Terhadap puisi, kerap kali pembaca dapat merasakan getarannya, tetapi kerap kali ia tidak mampu membahasakan getaran itu. Jangankan kepada orang lain lewat bahasa, pada dirinya sendiri pun lewat akal tidak bisa. Demikianlah, puisi hadir sebagai media untuk menyatakan ”yang tak terungkap”, identitas hidup manusia, yang adalah masalah, tapi bagitu nikmat, dan oleh karennya, ia mesti ada. Puisi, sekali lagi, adalah masalah.
*) Penulis adalah esais dan peminat sastra tinggal di Yogyakarta.
Sumber: Suara Merdeka Cetak, Minggu 4 Maret 2012