Aku berharap segala sesuatu yang terjadi dalam hidupku akan berhenti sampai disini. Tapi jarum jam tetap berputar seolah mengingatkan aku bahwa dia lebih berkuasa untuk menaklukan waktu. Aku sedang dihadapkan pada dua pilihan dan detik-detik jam serasa memaksaku untuk segera mengambil keputusan. Pilihan pertama, aku menuruti keinginan paman dan bibiku untuk melanjutkan studi di Amerika, artinya aku akan tinggal bersama mereka disana selamanya. Pilihan kedua, aku menolak perintah mereka dan mulai menentukan masa depanku sendiri. Aku menyandang status yatim piatu sejak berumur lima tahun. Orang tuaku meninggal karena kecelakaan dan kerabat satu-satunya yang merawatku selama ini adalah bibi Orora. Ini adalah kebimbangan pertama yang aku alami. Aku berencana melakukan pemberontakan setelah sekian lama patuh padanya.
Aku menekan beberapa digit angka yang kemudian segera diikuti nada sambung. Aku menutup mata sampai terdengar sapaan bibi Orora dari seberang, ”Hallo dear!” Aku serasa tercekik mendengar suaranya yang selama ini berotoritas penuh atas hidupku itu. ”Sayang, kapan kau akan berangkat ke Chicago huh?” Bibi kembali bersuara setelah beberapa detik aku terdiam.
Aku menarik nafas dalam-dalam mengalahkan orang sakit asma. Aku sudah memilih untuk mandiri dan aku tidak tahu bagaimana menyampaikan keinginanku ini pada bibiku. ”Claris?” Nada suara bibi mulai meninggi.
”Emm..emm aku.. ,” nafasku tertahan. Aku memukuli dahiku berharap hal itu bisa menyatukan kata-kata yang teracak dalam pikiranku.
”Carilah jadwal penerbangan tercepat hari ini! Aku tidak bisa menunggumu lebih lama lagi.” Bibi mengambil alih semuanya dan komunikasi diputus secara sepihak. Aku menjatuhkan gagang telepon dan membiarkannya menggantung. Aku sangat mengenal bibi Orora. Jika aku tidak menurutinya, maka semua fasilitas yang menyertaiku selama ini akan diberhentikan. Dan mungkin akan berat bagiku untuk memulai semuanya dari awal.
Pyaaar. Aku terjingkat mendengar suara pecahan kaca. Kedengarannya tidak jauh, sepertinya dari arah ruang tamuku. Seorang anak laki-laki menebarkan pandangannya ke segala arah dalam rumahku untuk mendeteksi keberadaan pemilik rumah. Aku menghampirinya dan dia menyambutku dengan sebuah pengakuan, ”Kak Claris maaf, aku menendang bola terlalu keras dan memecahkan kaca rumahmu!”
Oh…gosh! Anak kecil ini tahu siapa namaku sementara aku merasa tidak pernah mengenalnya. Tiba-tiba dia mendekat dan menjabat tanganku, ”Oh ya, namaku Kevin. Aku tahu tentang kakak dari cerita ibuku! Ibu bilang kalau besar nanti aku harus seperti kak Claris yang hidupnya selalu sukses dan membanggakan orang tua.”
Aku tercekik untuk yang kesekian kalinya hari ini. Tapi aku menghargai kejujurannya. ”Baiklah! Pujian yang tepat dan kau selamat! Ambil bolamu dan kejar impianmu!”
”Suatu saat nanti kalau kakak ganti memecahkan kaca rumahku, aku akan memberikan kebebasan padamu.”
Kevin dengan sigap mengambil bolanya dan kembali bermain di halaman rumahku. Sekarang aku sadar hadiah dari bibi Orora bukanlah impianku. Kata-kata kebebasan yang sempat dia ucapkan itulah yang aku inginkan. Aku berlari ke kamarku, meraih beberapa barang penting dan memasukkannya secara paksa kedalam tas koperku. Sekarang aku semakin yakin bahwa rumah dan segala isinya inilah yang memenjarakan masa depanku. Semasa kecil, aku masih ingat bahwa bibi akan memberiku hadiah jika aku menurut pada aturan mainnya. Saat itu, aku lebih memilih belajar seharian di kamar daripada berkenalan dengan tetangga baruku. Aku menurut untuk fokus pada bidang pendidikan yang sebenarnya tidak aku sukai. Aku menekuni pekerjaan yang menurutku membosankan sepanjang hari. Aku harus membaca dan menuruti pesan dinding di facebook yang selalu dia posting. Tidak ada pilihan lain. Aku akan memblokir semua akses internet yang bibi gunakan dan memutuskan semua sarana komunikasi antar negara yang kami lakukan selama ini. Setelah berhasil melaksanakan pemberontakan ringan itu, aku keluar dari rumahku.
”Hey kak, apa yang akan kau lakukan dengan kopermu itu?” tegur Kevin sambil memainkan bolanya dengan lincah.
”Aku menginginkan kebebasan.” Aku melirik kaca rumahnya sekedar menggoda janji yang pernah dia ucapkan.
”Hah? jadi kau akan benar-benar memecahkan kaca rumahku?!”
Keluguannya itu membuat tawaku meledak. Aku tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Aku bisa bergurau dengan siapa saja dan melakukan apapun yang aku sukai. Aku tidak percaya bahwa aku akan memblokir jalur komunikasi antara aku dengan orang yang selama ini mengasuhku. Aku akan memblokir semua campur tangan bibi dari kehidupanku. Masa depanku adalah milikku. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap bibi, aku akan meraih cita-cita yang selama ini aku harapkan dan rindukan dengan cara-cara sederhana bersama orang-orang yang aku cintai.
Hari ini 30 November 2012, PBB mengakui kedaulatan Negara Palestina. Saya langsung teringat kepada salah seorang penyair komunis dari Palestina yang meninggal tahun 2008 lalu, Mahmoud Dharwis. Berikut salah satu artikel tentang sang penyair yang dengan gigih memperjuangkan kemerdekaan Palestina melalui karya-karya sastra dan budaya.
Pengantar: Ahmad Yulden Erwin
——————————————–
MAHMOUD DHARWIS: TANAH AIRKU SEKOTAK KOPOR
Artikel oleh Dian
Gambar diunduh dari fb Ahmad Yulden Erwin
Gempuran Israel atas Palestina mengingatkan pada seorang penyair bernama Mahmoud Darwish, yang meninggal dunia 4 tahun silam. Berikut ini catatan pendek tentang sejarah dirinya.Di usia enam tahun, Mahmoud Darwish menyaksikan peristiwa yang kelak sangat mewarnai puisi-puisinya. Tentara Israel, di tahun 1947, merangsek ke desa-desa Palestina dan menghancurkan al-Birwa, sebuah desa di Galilee Barat, tanah kelahirannya. Seperti kebanyakan keluarga Palestina, keluarga Salim dan Houreyyah Darwish membawa Mahmoud dan saudara-saudaranya mengungsi ke Libanon. Inilah pengasingan pertama Mahmoud.
Setahun di Libanon, keluarga Salim kembali ke desa mereka dan mendapatinya telah berubah: dua permukiman Yahudi sudah tegak berdiri. Tak banyak pilihan bagi mereka, kecuali menetap di Deir al-Asad, Galilee. Sejak itulah, Mahmoud kecil merasakan hidup sebagai orang asing di tanah kelahirannya sendiri. Kelak, ingatan masa kecil ini ia tuangkan dalam puisinya:
Mereka membungkam mulutnya dengan rantai,
Dan mengikatkan tangannya pada batu maut
Mereka berkata: Engkau pembunuh
Mereka merampas makanan, pakaian, dan benderanya
Dan melemparnya ke dalam sumur maut
Mereka berkata: Engkau pencuri
Mereka melemparnya keluar dari setiap pelabuhan
Dan menjauhkan yang dicintainya
Dan kemudian mereka berkata: Engkau pengungsi.
Kendati menyadari bahwa keluarganya hidup sebagai warga kelas dunia, Mahmoud masih berangan untuk turut merayakan negara Israel. Namun suara nuraninya tak bisa dibendung. Mahmoud kecil menulis puisi. “Saya tidak ingat puisi itu,” ujarnya puluhan tahun kemudian. “Tapi saya ingat gagasannya; ‘engkau bisa bermain di bawah matahari sesukamu, dan engkau punya mainan, tapi aku tidak. Engkau punya rumah, dan aku tidak. Engkau merayakan, tapi aku tidak. Mengapa kita tidak bisa bermain bersama?’” Ia ingat bagaimana ia diancam ketika itu: “Jika kamu menulis puisi semacam itu, aku akan memberhentikan ayahmu agar tidak bekerja lagi di pertambangan.”
Pendudukan, kolonialisme, penindasan, selalu melahirkan perlawanan. Sangat alamiah. Di usia 19 tahun, ketika ia sudah menerbitkan buku puisi pertamanya, Asafir bila ajniha (Burung-burung tak bersayap), ia bergabung dengan Partai Komunis Israel, Rakah. Menulis puisi dan melibatkan diri dalam aktivisme politik menjadi pilihan Darwish di usia muda. Hingga usia 30 ia berkali-kali masuk penjara dan dikenai tahanan rumah. Penguasa Israel, seperti penguasa di manapun di muka bumi ini, memakai ”subversi” sebagai senjata untuk memojokkan mereka yang berkata ”tidak.”
Darwish menjalani pengasingan. Moskow menjadi pilihan Darwish untuk belajar, 1971. Inilah perjalanan yang membawanya berkelana dari Kairo ke Beirut, dari Tunis ke Paris, dari Amman ke Houston, dari Damaskus ke Ramallah. ”Tanah airku sekotak kopor,” ujarnya suatu ketika. Dengan getir ia menulis:
Kita bepergian seperti orang lain, namun kita tak punya tempat untuk kembali
(Tapi) Kita memiliki negeri kata-kata.
Bagi Darwish, pengasingan tak berhenti hanya dalam pengertian geografis—keluar dari tanah kelahirannya yang kini dikuasai Israel. ”Anda bisa terasing di tanah air sendiri, di rumah Anda sendiri, di suatu ruangan,” ujarnya. Pengasingan, akhirnya, bukan sesuatu yang asing bagi Darwish. Malah, ia menduga-duga, ”Dapatkah aku mengatakan bahwa aku kecanduan untuk diasingkan?”
Rasa asing yang non-geografis itu ia rasakan tatkala ia diizinkan pulang ke Tepi Barat. ”Saya tak pernah tinggal di sini sebelumnya,” kata Darwish. ”Ini bukan tanah air pribadiku. Tanpa memori, Anda tak memiliki hubungan nyata dengan suatu tempat.” Betapapun, ucapnya lagi, ”Saya telah membangun tanah air saya, saya bahkan telah mendirikan negara saya—dalam bahasa saya.”
Bagi Darwish, pengasingan merupakan salah satu sumber kreasi sastra—sesuatu yang jamak ditemui di sepanjang sejarah manusia. Di Paris, tempat ia hidup selama sepuluh tahun, ia melahirkan Memory for Forgetfulness—sebuah memoar tentang Beirut dibawah pemboman Israel, 1982. Ia percaya, manusia yang berharmoni dengan masyarakatnya, budayanya, dirinya sendiri, tak bisa menjadi seorang kreator. ”Dan itu benar,” ujarnya, ”sekalipun jika negeri kami Surga itu sendiri.”
Dengan berjarak secara geografis dari tanah kelahirannya, Darwish mengekspresikan kerinduannya akan Palestina. Palestina bukan sekedar sepetak tanah, laiknya orang Yahudi menganggapnya demikian. Palestina adalah metafor bagi hilangnya Surga, kelahiran dan kebangkitan, serta kesedihan mendalam karena ketercerabutan dan pengasingan.
Suaranya yang menuntut keadilan terdengar nyaring: ”Mengapa kami selalu diberitahu bahwa kami tidak bisa memecahkan masalah kami tanpa memecahkan kegelisahan eksistensial orang-orang Israel dan pendukung mereka yang justru telah mengabaikan eksistensi terdalam kami selama puluhan tahun di tanah air kami sendiri?”
Catat! Aku seorang Arab/ Dan kartu identitasku adalah nomor limapuluh ribu/ Aku mempunyai delapan anak/ Dan yang kesembilan akan lahir sesudah musim panas/ Marahkah engkau?/ Catat!/ Aku seorang Arab/ Aku mempunyai nama tanpa hak/ Pasien di sebuah negeri / Di mana orang dibikin marah… Aku tidak membenci orang/ Aku tidak melanggar hak orang lain/ Tapi jika aku menjadi lapar/ Aku akan menyantap daging perampas kuasaku/ Sadarilah… / Sadarilah…/ Kelaparanku/ Dan kemarahanku!
(Kartu Identitas, 1964)
Walau Darwish dipersepsikan secara luas sebagai simbol perlawanan Palestina dan juru bicara bagi oposisi Arab terhadap Israel, ia menolak tuduhan antisemitisme: “Tuduhan itu bermakna saya membenci orang Yahudi. Sungguh tidak enak, mereka menunjukkan saya sebagai setan dan musuh Israel. Meskipun, tentu saja, saya bukan kekasih Israel. Saya tak punya alasan untuk begitu. Namun saya tidak membenci Yahudi..”
Di suatu kesempatan Darwish mengatakan ia akan terus memanusiakan orang lain, musuh sekalipun. Sukar baginya untuk menghindari sikap itu. Guru pertama yang mengajarkan padanya bahasa Ibrani adalah seorang Yahudi. Cinta pertama dalam kehidupannya adalah gadis Yahudi. Hakim pertama yang mengirimnya ke penjara adalah perempuan Yahudi. ”Sejak awal mula, aku tidak melihat Yahudi sebagai setan atau malaikat, tapi sebagai manusia,” tuturnya.
Beberapa puisinya ditujukan kepada kekasih Yahudi. “Puisi-puisi ini mengambil sisi cinta, bukan perang,” ujarnya. Di Knesset, parlemen Israel, Darwish mempunyai sejumlah kawan. Di Knesset pula, 1988, salah satu puisinya, Passers Between the Passing Words, dikutip oleh Yitzhak. Ia dituduh menuntut agar Yahudi meninggalkan Israel, meski ia mengaku bahwa yang ia maksudkan adalah Tepi Barat dan Gaza.
Maka, tinggalkanlah tanah kami
Pantai kami, laut kami
Gandum kami, garam kami, luka kami.
Penyair Ammiel Alcalay menyebut reaksi histeris orang-orang Yahudi terhadap puisi itu menjadi tes litmus yang akurat terhadap psyche orang Israel mengenai isu yang sensitif ini.
Namanya kembali menjadi kontroversi ketika Yossi Sarid, menteri pendidikan Israel, pada Maret 2000, mengusulkan agar dua puisi Darwish dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah menengah. Perdana Menteri Ehud Barak menolak usul itu dengan alasan Israel “tidak siap.” ”Orang Israel tidak ingin mengajar muridnya bahwa ada kisah cinta antara penyair Arab dan tanah ini,” kata Darwish. “Saya hanya ingin mereka membaca saya untuk menikmati puisi saya, bukan sebagai representasi musuh.” Empat jilid puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani oleh Muhammad Hamza Ghaneim: Sareer El-Ghariba (Bed of a Stranger, 2000), Limaza tarakt al-hissan wahida (Why Did You Leave the Horse Alone?, 2000), Halat Hissar (State of Siege, 2003), dan Halat Hissar (Mural, 2006).
Bagi Darwish, tanah yang kini diduduki Israel melahirkan ketegangan tersendiri. Sebuah paradoks bersitegang dalam dirinya: seorang nasionalis yang menulis deklarasi perjuangan Palestina yang diadopsi PLO, 1988, berusaha pula memperoleh kartu identitas Israel agar ia dapat hidup di tanah kelahirannya sepulang dari pengasingan. ”Bagi orang Arab di Israel selalu saja ada ketegangan di antara nasionalitas dan identitas,” kata Darwish. ”Saya menerima dokumen apapun yang melindungi hak saya untuk berada di sana.”
Persepsi dirinya sebagai simbol perlawanan Palestina membuat ia jengah. Darwish terkadang merasa seolah-olah dirinya sudah terbaca sebelum menulis. ”Ketika saya menulis puisi tentang ibu saya, orang Palestina mengira ibu saya adalah simbol Palestina,” ujarnya. ”Padahal saya menulis sebagai penyair, dan ibu saya adalah ibu saya. Ia bukan sebuah simbol.” Penyair Naomi Shihab Nye menulis bahwa Darwish “adalah napas esensial rakyat Palestina, saksi yang fasih atas pengasingan dan hak milik…”
Ia ikut memperjuangkan bangsanya, Palestina, tapi bukan tanpa kritik, khususnya kepada faksi-faksi politiknya. Darwish sering berselisih paham dengan banyak pemimpin Palestina, sebab ia menjaga jarak dari faksionalisme.
Ia mengritik keterlibatan PLO dalam perang saudara di Libanon. Ia mundur dari komite eksekutif PLO, 1993, sebagai protes atas perjanjian Oslo, bukan karena ia menolak perdamaian dengan Israel, tapi karena “tidak ada hubungan yang jelas antara periode sementara dan status final, dan tidak ada komitmen yang jelas untuk menarik dari wilayah pendudukan. Saya merasa Oslo membentangkan jalan bagi eskalasi. Saya berharap saya keliru. Namun saya sangat sedih bahwa saya benar.”
Eskalasi itu mewujudkan diri dalam aksi bom bunuh diri, yang merenggut jiwa pemuda Palestina, yang membuat Darwish memercayai bahwa ini bukan dilatari ideologi, melainkan wujud keputusasaan. “Kita harus memahami—bukan membenarkan—apa yang membangkitkan tragedi ini. Ini bukan karena mereka mencari perawan cantik di surga, sebagaimana para Orientalis menggambarkannya. Orang-orang Palestina mencintai kehidupan,” kata penyair ini. ”Bila kita memberi harapan pada mereka—suatu solusi politik—mereka akan berhenti membunuh diri sendiri.”
Di saat pulang, ketika ia merasa akan dilupakan oleh bangsanya, ia disambut di mana-mana. ”Saya pikir saya dilupakan, namun saya mendapati bahwa mereka masih menyayangi saya dan mengenal puisi-puisi saya,” ujarnya. ”Negeri ini begitu indah. Saya berusia 27 tahun ketika saya pergi, dan sekarang saya melihatnya dengan mata baru, hati baru.” Pembacaan puisinya dihadiri ribuan orang, tak ubahnya ketika ia membaca di Kairo atau Damaskus. Ia tak bisa mengunjungi sebuah kafe di negeri-negeri Arab tanpa menjadi perhatian orang lain. Sebab itulah, ia kerap menghindari tempat-tempat umum. ”Saya suka dalam bayang-bayang, bukan di dalam cahaya,” ungkapnya.
Bakat bersyairnya, yang ia pupuk sejak kecil dan disemangati oleh kakaknya, membuahkan lebih dari 30 jilid kumpulan puisi. Teman sekolahnya ingat betapa sangat bagus bahasa Ibrani Darwish—ia bercakap pula dalam bahasa Inggris dan Prancis. Penyair Irak Abd al-Wahhab al-Bayati dan Badr Shakir al-Sayyab mengesankannya. Begitu pula Nizar Kabbani. Darwish mengenal Frederico Garcia Lorca dan Pablo Neruda melalui bahasa Ibrani. Ia memuji Yehuda Amichai, dan menggambarkan puisi penyair Yahudi itu sebagai “tantangan bagiku, karena kami menulis tentang tempat yang sama. Ia ingin menggunakan lanskap dan sejarah demi keuntungannya sendiri, berdasarkan identitas saya yang hancur. Jadi kami bersaing: siapa pemilik bahasa tanah ini? Siapa yang lebih mencintai? Siapa yang menulisnya lebih baik?”
Puisi, bahasa, menjadi alat perjuangan Darwish. Dalam pidatonya, saat menerima penghargaan Prince Clause di Amsterdam, 2004, ia berkata: ”Seseorang hanya bisa dilahirkan di satu tempat. Tapi, ia mungkin mati beberapa kali di tempat lain: di pengasingan dan penjara, di tanah air yang diubah oleh pendudukan dan penindasan jadi mimpi buruk.
Puisi, barangkali, mengajarkan kita untuk menyuburkan ilusi yang mempesona: bagaimana lahir kembali berkali-kali, dan menggunakan kata untuk membangun dunia yang lebih baik, dunia khayalan yang memungkinkan kita meneken pakta perdamaian yang permanen dan utuh… dengan kehidupan.”
Tema kematian, mistis, kian intens menjelang maut menjemput Darwish. Mungkin karena sakit jantung yang kian menguras sehatnya. Barangkali pula karena peristiwa menjelang pertemuannya dengan Emile Habiby, penulis Yahudi, urung berlangsung lantaran maut lebih dulu menemui Habiby pada malam sebelumnya. Ia toh menghadapi kematian dengan lapang dada. Sebelum operasi jantung dilangsungkan, di Houston, ia meneken dokumen yang berisi permintaan: bila ia dinyatakan mengalami mati-otak, tak usah disadarkan.
Ia menghadapi kematian seperti ia menyikapi sarkasme. ”Sarkasme menolong saya mengatasi kekerasan realitas hidup kita, meringakan penderitaan karena birat, dan membuat orang tersenyum,” ujarnya. Sarkasme bukan hanya terkait dengan realitas saat ini, kata Darwish, tapi juga dengan sejarah. ”Sejarah menertawakan korban dan agresor.”
Di Memorial Hermann Hospital, di Houston, Texas, AS, 9 Agustus 2008, kematian mengalahkan Darwish. Penyair ini dimakamkan di Istana Budaya di Ramallah, di puncak bukit yang menghadap Jerusalem. “Mahmoud bukan hanya milik keluarga, tapi semua orang Palestina, dan harus dikubur di suatu tempat di mana orang Palestina dapat datang dan menziarahinya,” ujar Ahmed Darwish, saudara Mahmoud.
Waktu itu Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengumumkan tiga hari masa berkabung untuk menghormati Darwish dan pemakamannya dilakukan setara dengan pemakaman kenegaraan. Sejumlah anggota Knesset sayap-kiri menghadiri upacara resmi dan ribuan orang mengantarkan dengan berjalan kaki dari Mukataa ke Istana Budaya. Koran Israel, Ha’aretz, edisi 14 Agustus 2008 menurunkan laporan Mahmoud Darwish—The death of a Palestinian cultural symbol.
Simbol kultural itu pada akhirnya sampai pada tapal pemahaman: “Kupikir puisi dapat mengubah setiap hal, dapat mengubah sejarah dan dapat memanusiakan orang, dan kupikir ilusi sangat diperlukan untuk mendesak penyair agar terlibat dan memercayai, namun kini aku berpikir bahwa puisi hanya mengubah sang penyair.”
Gambar diunduh dari byskell.files.wordpress.comHari ini Jakarta resmi menjadi kota mati! Seakan sebuah black hole ditaruh di pusat kota dan menelan habis setiap gram denyut kota lengkap dengan segala energi kehidupan di dalamnya. Satu dua helai daun meluruh malas ditiup angin melewati beberapa angkot dan bus yang teronggok di tengah jalan. Tapi sungguh aku lebih suka Jakarta yang mati. Seperti saat ini.
*****
“Dengar! Aku tidak suka dikencingin!!!”
“Phufft, aku kira tidak ada satu pun yang suka.”
“Setidaknya dia bisa membersihkan bekasnya.”
“Jangan harap, norma sudah lama mati.”
“Ingin rasanya aku tendang pas di kemaluannya!!”
“Haha, sebaiknya jangan, pasti modar itu orang.”
“Pokoknya aku tidak bisa terima, Eko-. Selain itu, kau ingat kapan terakhir kali lokomotif kita diservis? Aku kira itu beberapa tahun yang lalu. Ingat teman kita, si Ekonomi Jurusan Bogor-Jakarta Kota yang dibakar supporter bola kemarin hari gara-gara dia ngadat di tengah jalan raya yang sedang padat. Aku tau dia mempunyai masalah di lokomotifnya yang sudah tua. Oh, jangan berusaha membantahku. Dia sendiri sering mengeluh padaku sehabis seharian disiksa jadwal, penumpang dan bos kita.”
“Aku tidak berusaha membantahmu kawan. Aku cuma mau bilang kita semua mempunyai nasib yang hampir sama di sini. Sudah, sudah. Waktunya kerja dan ingat… Jangan mencelakai orang. Setidaknya kau lebih bermartabat ketimbang aku. Gerbongmu ber-AC, kau tak pernah merasakan membawa penumpang 2 kali batas maksimalmu kan? Syukuri itu, Fellas.”
“Entahlah, aku sudah cukup muak. Oke oke baik, aku tidak akan bertingkah, jadi tolong singkirkan wajah cemberutmu itu.”
“Hehe, kau memang lucu.”
*****
Nafasku tersisa separuh saat seorang petugas loket kereta api menguap lebar pagi itu. Ketololanku bermalas-malasan di tempat tidur 10 menit lebih lama di pagi hari tadi terbayar sudah dengan sederet macet yang menghadangku. Belum genap pukul setengah tujuh dan aku sudah harus berjibaku tergopoh-gopoh jika tidak ingin gajiku yang kecil tersunat karena telat masuk kantor. Beruntung kereta lokal tujuan Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat (stasiun terdekat dengan kantorku) yang menjadi langgananku 5 tahun terakhir belum berangkat meskipun penumpang di dalamnya sudah dalam kondisi yang sangat tidak manusiawi. Berjubel, berdesakan sampai hampir tumpah ruah di dekat pintu masuk gerbong. Yah, untuk dua ribu perak itulah layanan terbaik yang bisa kau dapatkan. Puluhan juta pekerja dengan bermacam profesi di kawasan Jabodetabek ini memang sudah sangat bergantung dengan keberadaan angkutan kereta lokal meskipun harus berimpitan satu sama lain seperti sekarang. Sebenarnya ada alternatif lain untuk hal ini. Kereta lokal express atau kereta lokal ekonomi AC yang jauh lebih longgar, nyaman, cepat, tepat waktu dan mahal tentu saja. Tarifnya yang sedikit menguras kocek membuatku berpikir dua kali menimbang kebutuhan bulanan versus gajiku yang sering minus.
*****
Ibu Ratih masih memegang pisau dapur saat mengangkat telepon rumahnya yang berdering. Sebuah deringan yang akan merusak pagi indahnya.
“Selamat pagi, apa benar ini kediaman Bapak Wiliam Sujatmiko?”
“Selamat pagi, iya benar sekali.”
“Dengan ibu siapa saya berbicara?”
“Saya Ibu Ratih, istri beliau. Mohon maaf, Pak. Suami saya sudah berangkat kerja sekitar 20 menit yang lalu.”
“Sebenarnya bukan itu maksud dan tujuan saya menelpon Ibu. Sedikit sulit untuk mengatakannya.”
“Maaf, saya tidak mengerti maksud Bapak.”
“Mmmhh, suami Anda mengalami kecelakaan lalu lintas di Jalan Sudirman dan sekarang sedang dilarikan ke rumah sakit.”
“Apa???!!!! Bagaimana keadaan suami saya, Pak??!! Saya harus segera ke sana, tolong berikan alamat rumah sakitnya!!”
“Iya Bu, tapi saya minta Ibu menenangkan diri. Kita doakan yang terbaik untuk suami Ibu. Ibu sekarang langsung ke Rumah Sakit Fatmawati” *Klik*.
Ibu Ratih merasakan degup jantungnya berlarian sepanjang jalan. Mulutnya yang mungil tak henti merapal sesuatu, entah itu doa, entah gugup. Rumah Sakit Fatmawati memang hanya berjarak 5 km dari rumahnya, namun kali ini perjalanan 20 menit menuju tempat itu terasa seperti perjalanan melewati dimensi lain, terasa berjam-jam bagi Bu Ratih. Sesampainya di rumah sakit, hentakan di jantungnya makin mengejar kala beliau tiba di rumah sakit yang dimaksud penelpon tadi. Bagaimana bisa itu terjadi, suaminya tidak ada di rumah sakit yang disebutkan tadi dan tidak ketahuan rimbanya. Untung dia sempat menyimpan nomor penelpon tadi.
“Pak, suami saya di mana??!! Saya sudah di rumah sakit tapi tidak ada pasien dengan nama suami saya. Jangan macam-macam ya, Anda bisa saya laporkan polisi kalau berniat jahat pada suami saya.”
“Ibu, ibu tenang dulu. Saya bukan penjahat, saya ini pegawai di Rumah Sakit Fatmawati dan saya sama sekali tidak berniat jahat kepada siapapun. Suami ibu dan saya sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit, kami sedang di dalam ambulans namun macet sangat parah disini Bu.”
“Tt..tolong suami s..saya, Pak.”
“Pasti Bu, kami upayakan yang terbaik untuk suami Ibu, tolong Ibu bantu dengan doa dan keikhlasan.”
Ibu Ratih sudah dalam kondisi setengah pingsan saat ambulans itu datang 3 jam setelah percakapan terakhir dengan petugas rumah sakit yang menolong suaminya. Yah, 3 jam dalam perjalanan yang membuat suaminya kehabisan banyak darah dan meninggal di tengah kerumunan macet Jakarta. Tak perlu ditanya bagaimana kondisi Ibu Ratih yang seketika itu histeris dan terjatuh lemas, pingsan. Butuh beberapa jam hingga beliau siuman dan pingsan lagi setelah ditemani petugas rumah sakit yang tadi. Beberapa kata yang sempat didengarnya bahwa suaminya terjatuh setelah bersenggolan dengan sesama pengemudi motor yang melaju meliuk-liuk di kerumunan macet pagi itu di bilangan Jalan Sudirman.
*****
Oke, kantorku memang tergolong dekat dilihat jaraknya hanya sekitar 25 km dari kostku. Hanya dibutuhkan kurang dari setengah jam kalau ditempuh dengan motor tua bebek tahun ’70-an yang kecepatan maksimalnya hanya 70 km/jam seperti yang aku pakai setiap hari. Namun itu jika Jakarta dalam keadaan ‘tidak normal’ alias keadaan hari Minggu atau keadaan hari libur nasional atau dalam bahasa yang lebih mudah dikatakan, TIDAK MACET. Jadi dalam keadaan Jakarta ‘normal’ perjalananku ke kantor memakan waktu tak kurang dari 2 jam penuh bahkan sering lebih lama. Wow! Artinya setiap hari aku harus bangun sangat pagi bahkan sebelum matahari mengucek matanya. Tapi sebenarnya apa yang membuatku muak bukan mengenai lama perjalanan itu. Berlama-lama di tengah kemacetan membuatku merasa sangat tidak berguna. Bahkan aku percaya emosiku yang tidak stabil dan kecerdasan otak yang menurun disebabkan karena seseorang terlalu lama disekap kemacetan. Yah, aku percaya itu terjadi padaku di hari-hari pertama aku masuk kantor. Beruntungnya 1 km dari tempat kostku ada stasiun kecil dan ada kereta lokal tujuan Stasiun Pasar Senen yang singgah di stasiun kecil itu setiap 1 jam sekali. Kantorku pun bisa dijangkau dengan jalan kaki 10 menit dari Stasiun Pasar Senen itu. Ya bisa dibilang solusi yang menyelamatkan hidupku beberapa bulan terakhir.
Namun pagi itu aku cukup malas untuk bangun. Alhasil berangkat ke kantor hanya dengan cuci muka dan gosok gigi. Nanti aku mandi di kantor saja, begitu pikirku. Motor tua itu pun kugeber habis-habisan menuju stasiun untuk mengejar kereta lokal langgananku. Sial memang kalau prinsip semesta bahwa malas hanya mendatangkan masalah memang benar adanya. Macet pun tidak mau berkompromi. Jurus terakhir, gigi persneling motor aku oper, gas motor dan rem bergantian aku permainkan, meliuk-liuk di tengah keramaian Jakarta pagi. Ah, cukup berhasil. Stasiun hanya terpisah 1 belokan depan. Sekali lagi aku berkelit sana sini dan kemudian tanpa sengaja stang motorku menyenggol seorang pengendara motor lainnya. Sempat kulirik dia oleng ke kiri dan di saat bersamaan sebuah bis lokal Jakarta menyerobot celah sempit di samping pengendara tadi. Kelihatannya dia terhantam badan bus tadi. Mungkin sedikit parah lukanya. Beberapa detik aku sudah mengerem motorku namun kemudian aku geber kembali. Aku pikir pasti nanti dia ditolong warga sekitar. Susah untuk berbelok putar arah di tengah kerumunan onggokan besi-besi bermesin yang meraung-raung ini. Selain itu aku tak mau terlambat. Semoga lukanya tidak terlalu parah.
*****
“Bah, macam mana pula itu kereta. Seenaknya jidat dia berhenti di situ. Kita mana bisa lewat kalo begini caranya. Anak istriku makan apa kereta tolol !!”
“Sabar atuh bang, kan emang di mana-mana kalo kereta mau lewat yang lain ya kudu berhenti.”
“Tak usah kau bilang aku pun tau kalo macam itu. Yang awak maksud, lihat itu, lihat! Kenapa kereta tolol itu berhenti di tengah jalan macam begitu, palang pintu pun tak akan terbuka lah kalo kereta belum jalan. Itu kereta mogok tau ! Ah tolol pula kau ini!”
“Mana aku tahu Bang itu kereta mogok atau nggak. Saha atuh yang peduli?”
“Kalo kereta itu sering mogok seperti sekarang, waktu jadi terbuang, penumpang kurang, kita ngejar setoran juga seret. Mikir dikit lah kau ini!! Lagian sudah beberapa bulan ini kereta-kereta di Jakarta sering mogok, di mana-mana mogok. Baca berita di televisi lah kau ini biar ga tolol-tolol amat.”
“Ah, kumaha sia wae lah, anying! Tuh udah jalan itu, kebuka tuh palang pintunya. Ayo buruan Bang, jangan ngomel mulu.”
“Aaaaah, apapula awak bilang, susah kan. Pekara kereta usai, macet pun datang. Kapan awak kaya kalo gini, kalo kejar setoran aja susah, hah?”
“Berisik terus sih Bang, tuh ada ruang kosong tuh sebelah kanan, ambil bang! ambil! seroboott!”
“Iya, tau. Jangan macam istriku pula kau ini, ngomel tak henti-henti”
“Bang! liat kanan bang! awaassss!! *Braakkk!!!!!!*
*****
“Oke, kawan, kita semua tahu bagaimana perlakuan mereka terhadap kita. Kita memang seonggok besi bermesin bagi mereka, tapi tidakkah mereka belajar merawat dan menjaga hal-hal yang setidaknya menolong mereka? Berguna bagi mereka? Aku ingin sedikit mengajarkan pada mereka 1 hal tentang itu. Besok aku dan teman-teman yang lain akan mogok total di semua trayek, jadwal, dan stasiun.”
“Ayolah kawan, jangan sesinis itu. Mungkin efeknya sedikit terasa jika seluruh teman-temanmu mogok. Aku yakin mereka akan segera beralih ke yang lain dan melupakan perihal kau mogok dan sebagainya. Mereka akan tetap seperti itu, mati rasa dan satu lagi, jujur aku dan teman-temanku yang lain pasti tidak suka mendapat limpahan penumpang darimu dan teman-temanmu. Beban kami sudah cukup berat.”
“Kau selalu cerdas kawan, aku pun memikirkan hal serupa. Kalau hanya aku dan teman-temanku yang mogok, mereka hanya menganggap masalah ini sekilas saja. Tidak akan pernah sadar dan karena itulah aku sudah berbicara dengan beberapa angkot dan bajaj kenalanku yang cukup senior. Mereka setuju dan berjanji akan memimpin yang lain untuk melakukan hal serupa.”
“Lalu?”
“Aku memintamu dan teman-temanmu untuk bergabung besok. Kita mogok bersama. Kita jadikan Jakarta kota mati meskipun mungkin hanya beberapa hari.”
“Setelah itu?”
“Ya, kita berharap mereka mau memperhatikan sedikit nasib kita, sedikitnya tidak membiarkan terseok-seok. Kau dan kawan-kawanmu pun bisa merasakan hawa AC dan parfum di bangku-bangku penumpangmu kalau beruntung. Setidaknya pinggangmu tak akan ngilu saat digeber kalau suspensimu itu diganti. Aku hanya ingin nasib kita semua lebih beradab kawan.”
“Yah…..mungkin aku bisa membicarakannya dengan teman-temanku setelah ini”
“Bagus, aku tau kau memang bisa diandalkan. Oh ya, hampir kelupaan bagian terbaik dari rencana kita. Kau tahu mobil-mobil dan motor-motor pribadi yang sering congkak selama ini? Kita akan balas mereka. Besok kita akan mogok, tapi bukan di sembarang tempat. Aku sudah membaginya. Aku dan teman-temanku akan mogok di hampir setiap perpotongan jalan raya dan rel kereta api. Angkot dan bajaj yang jumlahnya luar biasa akan mogok di setiap pintu masuk-keluar perumahan elit, minimal berjajar 2-3 angkot atau bajaj. Sisanya akan memblokir ruas jalan dan persimpangan yang cukup vital. Lalu kau beserta teman-temanmu akan mogok malang melintang di setiap pintu masuk ataupun pintu keluar tol. Kita buat mereka mengenang hari itu.”
“W.w..wo..w. Kau brilian.”
*****
Aku terengah-engah saat bangun pagi ini. Mimpi yang cukup aneh. Aku bermimpi mengalami kejadian yang sama persis seperti yang aku alami pagi kemarin saat berangkat kerja. Bersepeda motor meliuk-liuk kemudian menyenggol pengendara motor. Sama persis, namun yang membuat bulu kudukku masih meremang sampai sekarang, di dalam mimpiku pengendara motor yang ternyata seorang bapak berumur 45 tahunan itu meninggal di TKP. Berdarah-darah kepalanya ditutupi daun pisang ala kadarnya. Aku dalam mimpi itu berhenti dan menoleh ke mayat bapak itu saat diangkat ke mobil jenazah dan sekejap seakan nyawanya ditiupkan kembali, mayat bapak itu bangun sekelebat. Menuding dan memandang tajam ke arahku. Matanya yang semerah saga itu membuatku berteriak ketakutan dan terbangun dengan keringat mengucur. Aku merasa bersalah meninggalkannya kemarin, di tengah jalan.
Dan ternyata mimpiku tadi pagi bukan satu-satunya hal teraneh yang aku alami hari ini. Keluar dari kost dengan motor tuaku, aku dikejutkan dengan kerumunan orang-orang yang berusaha memindahkan bajaj dan angkot yang secara ajaib berjajar menutupi pintu masuk-keluar gang. Entah ke mana sopirnya. Kulihat beberapa montir menyumpah serapah di kejauhan sambil menendangi ban bus yang tampaknya juga mogok. Namun yang aneh bus itu mogok tidak dalam posisi yang wajar. Bagaimana mungkin bus mogok dengan posisi tepat melintang menutup akses jalan seakan posisi itu memang disengaja. Entahlah yang aku tahu, hari ini aku tidak akan sampai di kantor tepat waktu. Atau mungkin tidak sama sekali.
Gerundelan Ragil Koentjorodjati Gambar diunduh dari bp.blogspot.comJauh hari sebelum tahun 2012, sudah banyak pihak mempertanyakan sikap pemerintah terkait dengan kekerasan atas nama agama. Anda bisa mengunakan alat pencari google untuk menemukan berbagai pendapat dan pandangan para tokoh, mulai dari akademisi seperti Anies Baswedan, Benny Susetyo, Magniz Suseno, tokoh-tokoh mahasiswa, dan berbagai organisasi LSM. Intinya sama, mempertanyakan sikap pemerintah terkait kekerasan atas nama agama. Puncaknya –jika boleh disebut demikian- pada bulan Mei 2011 Komisioner PBB untuk Hak-hak Asasi Manusia, Navanethem Pillay, menyurati pemerintah Indonesia, menyatakan keprihatinan mereka terhadap peningkatan jumlah laporan mengenai kekerasan terhadap kelompok keagamaan minoritas di Indonesia. Surat keprihatinan terhadap kekerasan atas nama agama dan sekaligus keprihatinan terhadap respons pemerintah yang dinilai kurang memadai. Dan kita tahu, sampai hari ini, tidak ada perkembangan signifikan menuju ke arah yang lebih punya harapan. Kekerasan masih terus berlanjut bahkan cenderung meningkat. Dari laporan media massa, sudah lebih dari 65 kasus kekerasan dalam waktu setahun terakhir, belum ditambah dengan kekerasan yang tidak terpublikasi media.
Tirani Minoritas.
Ada satu pemikiran yang berkembang bahwa kekerasan terjadi karena provokasi dari minoritas. Dalam konteks negara demokrasi, tirani minoritas tidak diijinkan terjadi. Demokrasi ala ‘suara rakyat suara Tuhan’ merujuk pada suara terbanyak untuk mengambil sebuah tindakan pada level pragmatis kemasyarakatan. Dengan menggunakan label agama mayoritas, maka pemahaman makna ‘minoritas’ terbatasi pada terminologi ‘bukan islam’. Pada titik ini, ada banyak pertanyaan yang timbul karena pemikiran tersebut menuntun pada arah yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris.
Berdasarkan data BPS tahun 2010, dari jumlah penduduk sebanyak 237, 6 juta jiwa, sebanyak 207,2 juta jiwa (87,18 persen) mengaku beragama Islam, 16,5 juta jiwa (6,96 persen) beragama Kristen, 6,9 juta jiwa menganut agama Katolik (2,91 persen), 4 juta penganut agama Hindu (1,69 persen), 1,7 juta penganut Buddha (0,72 persen), 0,11 juta penganut Konghucu (0,05 persen), dan agama lainnya 0,13 persen.
Sumber data lain menunjukkan bahwa sebagian besar Muslim adalah Suni. Dua organisasi massa Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, diperkirakan mempunyai lebih dari 40 juta dan 30 juta pengikut Suni. Sekitar satu juta hingga tiga juta adalah Muslim Syiah. Dalam jumlah yang lebih kecil lagi mencakupi al-Qiyadah al-Islamiya, Darul Arqam, Jamaah Salamullah, dan pengikut Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia (LDII). Dalam skala yang lebih kecil, Ahmadiyah –yang mana status keislamannya masih dipersoalkan beberapa pihak- memiliki anggota sekitar 400.000. Ahmadiyah ini terdiri dari dua kelompok yaitu Ahmadiyah Qadiyan dan Ahmadiyah Lahore.
Agama lain, agama yang belum diakui pemerintah sebagai agama resmi, mencakupi berbagai agama asli suku-suku di Indonesia dan lebih dari 200 aliran kepercayaan di seluruh penjuru nusantara, diperkirakan memiliki lebih dari 300.000 pengikut.
Jika mengacu pada model demokrasi ‘suara rakyat suara Tuhan’ dengan jumlah suara mayoritas sebagai acuan kebijakan, maka jumlah suara yang menginginkan kebebasan beragama tanpa kekerasan, secara statistik jauh lebih banyak dari aliran minoritas yang memaksakan kehendaknya. Sebab sikap aliran minoritas yang melakukan penyegelan gereja, menurunkan patung Budha dan melakukan tindakan anarkis berlabel agama di berbagai tempat, bukan representasi valid sikap mayoritas Islam secara keseluruhan. Logika tirani minoritas yang selama ini diarahkan pada penganut agama selain Islam, pada kenyataannya berbanding terbalik dengan kondisi yang ada di lapangan.
Pemerintah, Negara dan Agama.
Secara singkat, hubungan negara dan agama dipedomani sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Jangan mengatakan bahwa cantuman ini klise dan sudah kuno, sebab pada kenyataannya sila itulah yang ada di Pembukaan UUD’45. Sila itulah yang memberi pedoman bahwa Indonesia bukan negara agama. Sila itulah yang memberi pedoman pada pemegang kekuasaan bahwa semua agama dan aliran kepercayaan berhak menjadi anak kandung bangsa Indonesia. Secara sederhana, Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna spiritualitas –kualitas hidup batin yang merujuk pada keyakinan akan Tuhan dan kemanusian- adalah nomor satu bagi seluruh penghuni rumah bernama Republik Indonesia, apapun jalan yang ditempuh menuju spiritualitas itu.
Merujuk pada pemahaman di atas, fungsi pemerintah adalah mengeksekusi tataran ide tersebut sehingga menjadi sesuatu yang konkrit di masyarakat dengan melibatkan seluruh komponen bangsa. Akuan pemerintah atas keenam agama resmi, absennya pemerintah dalam berbagai tindak kekerasan atas nama agama dan penguasaan atas akses-akses beragama atau akses menuju manusia Indonesia berspiritual, adalah bukti-bukti nyata kegagalan memahami makna sila pertama Pancasila oleh seluruh komponen pemerintah, terutama aparat penegak hukum dan aparat Kementerian Agama. Mengapa dua entitas ini? Sebab dua entitas inilah yang berinteraksi langsung dengan segala persoalan keagamaan di tataran masyarakat. Mereka gagal memisahkan antara kepentingan pribadi, agama dan negara. Gagal memedomani Pancasila sebagai cara pandang bangsa Indonesia. Gagal memahami agama yang dianutnya dalam konteks keberagaman kehidupan berspiritual di Indonsia.
Dampak dari berbagai kegagalan tersebut, tidak saja mewujud pada ketidakpedulian atas konflik yang terjadi di masyarakat, tetapi juga malah mengekploitasi konflik demi konflik untuk kepentingan pribadinya. Agama dijadikan kendaraan untuk memenuhi berbagai ambisi pribadinya.
Lantas Bagaimana?
Sudah jamak dipahami bahwa beragama adalah salah satu jalan menjadi manusia spiritual. Mayoritas warga bangsa menginginkan semangat hidup bersama dalam damai dan tolong menolong. Standar minimal yang harus diterapkan pada aparat pemerintah adalah tidak membiarkan berbagai kekerasan dan konflik bernuansa agama terus terjadi. Aparat pemerintah minimal memahami tugas pokok dan fungsinya menyelenggarakan kepemerintahan yang sehat dan transparan. Transparan dalam arti keterbukaan terhadap segala akses bagi warga bangsa untuk memperoleh hak-haknya. Sehat dalam arti tahu diri sebagai orang yang digaji oleh para pembayar pajak yang mana kontribusi nominalnya didominasi orang tidak beragama Islam. Sehat berarti juga mampu menempatkan diri sebagai anggota masyarakat majemuk dengan atribut keagamaannya dalam wadah warga bangsa sebagaimana kutipan ‘Islam 100% dan Indonesia 100%’. Tentu saja tidak hanya Islam, tetapi juga aparat-aparat yang beragama lain.
Pada tataran ideal, tentu kita harus bersepakat kekerasan -atas nama apapun- tidak pernah menyelesaikan persoalan. Untuk itu, mengembalikan Pancasila sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara adalah mutlak. Dengan memedomani Pancasila, negara mengakui semua agama memiliki hak hidup yang sama sekaligus memberikan kebebasan bagi pemeluknya untuk mencapai kehidupan spiritualitasnya masing-masing. Oleh sebab itu, pemerintah tidak bisa membuat aturan main sendiri yang bertentangan dengan Pancasila. Apapun agama atau kepercayaannya, hak-hak sipil harus dipenuhi, tanpa meninggalkan koridor apa yang kita sebut sebagai tindak pidana.