fakir cinta

Gejolak Waktu yang Rapuh

Gerundelan Matroni el-Moezany*

fakir cinta
gambar diunduh dari bp.blogspot.com

Aku ingin bersikap seperti tuhan, tapi itu sebuah perjalanan yang belum engkau sudahi, tapi engkau sudah tahu jalannya tinggal engkau mencari siapa dirimu.

Malam yang kutunggu hanya sebuah ilusi yang tak akan pernah ada dalam keadaan ini. Walau pun sesuatu tidak akan ada dari ketiadaan. Mungkinkah yang tidak itu ada? Ini hanya sebuah teori yang tidak bisa sampai pada titik puncak yang akan dicapai oleh para penghasil teori maupun para filosof.
Dalam dunia, kita akan menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada menjadi orang yang hanya berwaktu dalam diri (sok-sokan). Tapi mungkinkah sok-sokan itu menjadi waktu yang setia dalam jiwa dan perjalanan rohanimu? Inilah yang pantas menjadi Tanya dan Tanya dalam jiwa. Sehingga langkah awal untuk mencapai itu semua tiada lain hanyalah perjalanan, baik perjalanan dalam diri maupun perjalanan dalam pikiran, dan perjalanan dalam kesunyian.
Dalam kesunyian ini, kita tidak akan menemukan sesuatu yang menyakitkan, karena dalan sunyi yang ada hanyalah kesendirian dari kita. Seketika itu sebuah kata itu akan lahir sebagai tanda percakapan yang senantiasa menggugah rasa di jiwa. Walau itu membuat Tuhan mati itu tidak masalah yang paling penting dalam dirimu ada “aku” yang seutuhnya. Dan menjadi “Aku” yang benar-banar Aku dalam dirimu sendiri.
Semangat zaman (zitsim libern) itu yang membuat Tuhan mati, tapi dalam jiwa ini apakah Tuhan dapat mati kalau kita terus mengaliri kata-kata sejuk yang menyirami kegsersangan pasir itu?. Inilah sebuah fenomena yang saat ini tidak banyak orang menyelami, lalu apakah dengan itu kita semua bisa mencapai ketakterbatasan? Kita hanya bisa bertanya tentang apa, bagaimana, di mana, kapan, siapa, dengan apa.
Dalam sebuah ketika yang kadang kita tidak merasa bahwa kita berada dalam kegelapan. Kegelapan apa yang disebut dengan kematian. Kematian dalam diri maupun kematian dalam dunia serta kematian dalam kata-kata. Semangat waktu tidak akan menjadikan kita berbuat apa-apa selama kita belum bisa menggali sebuah ketika tersebut. Sebuah ketika di mana kita bisa mencipta kata-kata. Kata-kata yang memang sudang tidak lagi ingin lepas keluar dari jiwa dan tubuhmu.
Sebab waktu karena engkau, maka dari itu jangan kau pernah memaki waktu itu karena engkaulah waktu itu yang senantiasa menjaga dari sebuah kegelapan itu. Jadi tidak salah kalau kita berdoa untuk waktu. Waktu, kata dan kau adalah segitiga dalam ruang yang hampa, dengan demikian agar tidak terjadi kehampaan doaakan dan sirami ia dengan kata-kata yang sebisa mungkin dapat membanjiri semesta. Tidaklah kau kira jalan yang kita langkahi itu sebuah ayat-ayat Tuhan yang tak pernah kita baca untuk dihaturkan pada matahari dan bulan.
Apakah kita pernah berpikir untuk mencipta ayat-ayat tuhan walau kita merupakan manusia. Apakah bisa? Bisa! Kita jalani kegelapan yang panjang di depanmu itu. Sampai kita menemukan nilai-nilai langkah yang kita injak untuk mencapai nir-wana dan nir-nilai. Siapa sangka kobaran yang sederhana dapat membanjiri semesta. Artinya bagaimana kita melihat sesuatu yang paling terkecil, sebab sesuatu yang kecil akan bisa dan selalu masuk untuk apa saja. Laksana bawang. Mungkinkah? Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin di dunia ini. Kalau kita berjalan melintasi gejolak kata yang senantiasa ingin berubah untuk mencari sesuatu yang lain. Apakah sesuatu yang lain itu?
Kita akan tahu sendiri itu semua. Selama kita terus mencari dan me-rasa setiap gejolak secuil kata-kata yang timbul dari jiwa dan tubuhmu. Dan menatap indahnya semesta yang lain. Adakah? Ada! Dimana itu? Ia berada pada setiap jiwa dan tubuhmu sendiri selama kita senantiasa me-rasa. Karena rasa adalah kata-kata yang tak terkata.
Terdiam kita terlena karena kita belum bisa meracik apa itu waktu dan kata. Hanya kata yang bisa merapuhkan jiwa dan akhirnya kita lupa bahwa semua itu ada dalam jiwamu. Dan kita retak kala tidak bisa meramunya. Betapa sungguh kasihan sekali kita. Hanya meracik satu kata tidak bisa. Apalagi meracik kata-kata yang ada di semesta ini. Saya yakin bila satu sesuatu tidak bisa dijaga untuk dijadikan bahan waktu yang sangat panjang itu akan seperti jiwa, tubuh dan Indonesia yang rapuh saat ini.
Suatu yang tidak mungkin kalau kita merana dalam kata-kata, karena kata-kata itu merana itu sendiri. Artinya selagi kita bisa meracik dan meramu kata-kata tersebut kita tidak akan mengalami yang namanya MERANA, yang ada hanyalah kesunyian. Kesunyian yang memang sepi dari derita, merana, gelau, dan tangisan-tangisan. Kalau kita bisa memasuki ruang ini kita akan selalu bahagia, baik di dunia maupun di akhirat. Apakah kita mau kebahagian seperti itu? Saya kira setiap kita pasti ingin kebahagiaan.
Apakah kita tahu dalam samudera ada hutan yang tidak banyak orang tahu, mungkin akal tidak akan menerima hal itu, karena yang ada di kedalaman samudera adalah karang dan dasar lautan. Lalu mengapa kau mengatakan di samudera ada hutan. Apakah kau tahu setiap makhluk itu bernyawa dan bertasbih? Kalau kau sudah tahu kau tidak perlu bertanya tentang hal itu. Yang penting kau mencari dan merasakan hal-hal yang paling terdekat di dalam jiwamu dan itu lebih penting daripada kita hanya berpikir sesuatu yang tidak berharga dan bermain dengan keterbatasan. Dengan adanya keterbatasan itu kita akan diam dan diam. Tempat paling tepat dalam hal ini adalah KESUNYIAN.
Saat kau pergi untuk mencari tempat itu. Kau akan menemukan apa arti air mata yang sebenarnya. Apa itu “aku” sebagai “aku” yang seutuhnya dalam dirimu. Kita boleh menangis dengan adanya perpisahan. Kita boleh menangis karena ditinggal kekasih. Kita boleh menangis karena kecewa. Kita boleh menangis karena kekasih diambil orang lain. Tapi apakah kita perlu menangis dalam kesunyian? Inilah pertanyaan yang harus kita renungkan dan dijadikan upaya untuk menghadirkan sesuatu yang menciptakan tangis itu sendiri.
Kalau Nietzsche mengatakan Tuhan telah mati tapi kita tidak. Sebab Nietzsche bilang seperti itu karena dia masih dalam tahap perncarian dalam kesunyian itu. Di mana dalam pencarian kita tidak akan lepas dari apa yang namanya riyadhah (proses). Kita boleh terbuai dengan fisik, tapi akan lebih baik kita terbuai dengan keindahan yang ada dalam Sunyi dan Sebuah Tanya di Ladang Sunyi serta yang ada dalam dirimu sendiri.
Sebab, dalam Sebuah Tanya kita senantiasa berpikir dan bertanya dalam kesunyian itu di mana langkah awal untuk memasuki ruang sunyi adalah kita harus melihat dan merasa apa yang kita lihat. Sebab apa yang akan kita lihat saja itu belum tentu benar, kita hidup sering bahkan selalu tertipu dengan adanya dunia ini. Mengapa? Karena Tuhan sendiri sudah mengatakan dalam kitab sucinya bahwa kehidupan ini hanya senda gurau. Jadi apa pun yang kita lihat walaupun benar adanya itu belum benar sejatinya. Kejujuran bukanlah kebenaran. Ia hanya kata dalam kata-kata itu sendiri. Artinya kita hanya melihat dari fisiknya saja. Siapa yang tidak melihat matahari ketika terbit di ufuk timur, tentunya kita semua bisa melihatnya, tapi apakah kita melihat sejatinya atau substansi dari matahari tersebut. Adakah kata-kata yang tidak terkata. Tidak ada. Semua kata pastilah terkata walau itu tidak tertuang melalui lisan atau kertas. Kita hanya bisa mencipta kata dalam lubang yang tidak kita sadari bahwa ia adalah sumber segala bencana dalam di diri, dunia, dan nanti.
Jadi wajar kalau kita akan merasa senang dan bahagia dalam kesunyian dan kesepian itu, karena hal itu merupakan suatu hal yang sangat vital dalam perjalanan hidup kita dan seseorang. Dalam varian ini kita hanya tinggal berjalan dan terus memasuki lorong panjang di depan kita, tapi tidak semudah itu kita melangkah memasuki waktu yang tak berwaktu dalam diri dan jiwa. Kita terus mencari hingga tidak mengenal batas waktu dan kematian, bila sebuah ketika tidak ada dalam hidupmu. Mungkinkah kita berjalan tanpa waktu? Sangat mustahil kalau kita berjalan tanpa waktu dan ruang.
Oleh karenanya, boleh kalau kita mengusung kata-kata untuk dijadikan lahan pertanyaan dalam perjalanan hidup yang tidak menentu ini. Kalau kita merasa ada yang kurang dari dirimu carilah apa kira-kira yang dari dirimu. Dengan begitu kita mengerti apa sebenarnya jiwa dan dunia ini. Sebab tidak selamanya kita merana dalam kata-kata yang sulit untuk dilemparkan pada semesta, karena semesta sudah merasa tersakiti oleh kita. Dengan menggali perut dan isi semua kebahagiaannya. Seperti juga kita kalau kita ditusuk perut dengan jarum atau dengan pisau apakah tidak merasakan hal yang sama dengan sakit yang dirasakan oleh semesta.
Kita hanya bisa mengais-ngais semesta, tapi kita tidak menjaga kelestarian alam. Apakah kita mendengar kata burung bahwa aku makan tapi aku tetap menjaga kelestarian alam inilah kata burung. Hewan masih merasa kalau ia tetap setia dan sangat mencintai semesta ini, tapi kita, tidak. Alangkah naifnya kita kalau sampai kita kalah dengan perasaan hewan. Padahal kita mengira bahwa hewan yang kau kurung adalah hewan yang tidak mempunyai perasaan, katamu. Kita salah dalam mengambil kebijakan dalam setaip langkah. Hewan pun hati-hati dalam segala hal, tapi mengapa dengan kita. Apakah kita tidak memiliki cinta? Tidak! Aku punya cinta.
Lalu cinta dalam hal ini sangat berperan untuk dijadikan bahan renungan dan suatu jembatan yang sangar berarti dalam perjalanan sebuah semesta dan sejarah. Mungkin kita mengira bahkan ini sudah menjadi tradisi bahwa karena dengan adanya Cinta kita merasa tersakiti, bagitu kata orang-orang yang sedang suka pada seseorang. Aku sakit karena cinta, padahal kalau kita merasa dan berfikir tidak ada yang namanya cinta itu menyakitkan, tidak ada. Sebab kata Kahlil Gibran cinta berasal dari cahaya, menuju cahaya. Jadi dalam hal ini cinta laksana sebuah kesejukan. Kesejukan yang membuat seseorang bisa tenang dan damai di dunia maupun di alam yang akan datang nanti.
Cinta bagi saya adalah sebuah embun yang bisa menyejukkan segala bunga-bunga pagi dan bunga senja. Sebab dengan cinta semesta tercipta, dengan cinta manusia bisa hidup, dengan cinta kita menerima shalat dari lima puluh menjadi lima dalam sehari semalam. Berangkat dari sinilah bahwa cinta selamanya tidak bisa kau anggap selalu menjadi penyakit, karena kalau kita menganggap yang membuat orang sakit hati karena cinta, maka orang tidak bisa dijadikan bahan referensi yang cocok dalam kehidupan dunia ini. Karena selama cinta masih ada dunia ini tidak akan hancur. Cintalah yang membuat semesta ini menjadi tegak, hewan hidup, bunga-bunga bermekaran selamanya. Apakah kau masih mengira dan menyangka bahwa yang membuat orang sakit hati gara-gara cinta?
Kalau kamu masih menganggap cinta yang membuat seseorang sakit hati, maka berfikirlah dan pakailah akalmu agar hidupmu tidak sia-sia. Apakah hubungannya dengan musibah yang melanda bangsa kita? Pasti ada! Di mana? Di kala kau tidak merasa nyaman dengan hadirnya cinta maka di situlah kau merasakan bahwa bencana sudah melanda bangsa kita saat ini. Sebab dengan adanya rasa cinta, air tidak akan menjebol, lautan tidak akan naik mengisi rumah-rumah kita, banjir tidak akan melanda desa kita, ini semua disebabkan karena tidak adanya rasa cinta kita terhadap lingkungan, alam, hewan dan makhluk-makhluk lain yang ada di sekitar kita, kita tidak merasa bahwa itu semua yang membuat bencana melanda kita semua.
Sebab cinta, dunia ada, sebab cinta air mata tidak jatuh berlinang, sebab cinta tiada lagi kesakitan, tapi sebab cinta airmata mengalir karena rindu, pada sesuatu yang tak berwaktu. Adakah sesuatu yang masih sakit karena cinta?. Tidak ada. Karena cinta dicipta tidak untuk menyakiti seseorang. Ia dicipta hanya untuk menyejukkan segala tatanan kehidupan baik di sekarang maupun nanti. Jadi tiada lagi kesakitan yang melanda ruang-ruang itu, karena cinta telah mengisi semua ruang yang ada dalam jiwa dan semesta ini. Karena cinta bagi saya adalah sebuah kesunyian yang tidak ada lagi sesuatu yang membuat orang menjadi sakit, karena dalam kesunyian yang ada hanyalah kekosongan abadi dan seutuhnya. Kita akan merasakan kesejukan cinta kalau kita memasuki dunia cinta yang ada dalam kesunyian tersebut. Dunia Kesunyian adalah dunia aman, sejuk, damai, dan kebahagiaan selamanya. Dunia di mana kita bisa bermesraan dengan cinta itu sendiri. Cinta yang bisa membuat semua orang merasa kaya, merasa cukup dari segala yang nyata.
Cinta ini antara lain mengajukan semerbak harum rerumputan terhadap berbagai macam bunga yang hadir di belakang cinta dan matahari serta bertanggungjawab terhadap arah semesta dengan segala silaunya. Dengan senyum ganda cinta melihat matahari pada jiwa yang berkembang pun berani membawa nilai-nilai akibat dari akan terjadinya masa yang disebut dengan kegelapan (hampa cinta).
Mungkinkah sebuah risau hilang dengan sendirinya, tanpa ada dorongan rasa dan keinginan? Pada sebuah ketika di mana manusia tidak lagi mengenapa apa itu kata-kata, apa itu cinta. Manusia ini akan kehilangan sebuah makna yang ada dalam dirinya. Apakah mungkin sebuah makna yang sudah ada dalam dirinya bisa hilang? Tentunya sangat bisa, karena setiap kita selalu merasa kurang dalam apa pun. Di dunia adakah orang mengatakan bahwa dirinya cukup? Hanya sedikit orang yang bisa merasa bahwa dirinya sudah merasa cukup dalam hal apapun terutama hal yang menyangkut masalah keduniaan.
Masih adakah saat ini orang yang sadar bahwa dirinya adalah korban dari semua virus yang masuk dalam tubuh kita? Juga sedikit orang yang merasa bahwa dirinya adalah korban dari semua peradaban yang masih belum matanng alias mentah, dan biasanya diambil secara mentah-mentah oleh yang tidak sadar bahwa dirinya berjalan di atas hasil orang-orang yang tidak kita kenal identitasnya. Dengan melihat realitas tersebut, maka Jalaluddin Rumi dalam puisinya menyeru kita untuk merenungkan apa itu cinta yang sebenarnya:

Kehidupan tanpa cinta tiada artinya
Cinta adalah air kehidupan-reguklah ia dengan
Hati dan jiwa

Manusia yang jauh dari perangkat cinta
Adalah burung tanpa sayap

Setiap waktu yang berlalu tanpa cinta
Akan menjelma wajah yang memalukan di
Hadapan Tuhan

Pilihlah cinta, cinta!
Tanpa manisnya cinta, hidup akan beban
Seperti apa yang telah kau ketahui

Jadi dorongan cinta dalam diri seseorang tidak
Menggetarkannya,
Jadilah ia Plato, ia tak ada bedanya dengan
Seekor keledai

Jika kau bukan seorang pecinta
Jangan pandang hidupmu adalah hidup
Karena pada hari perhitungan, ia tidak akan dihitung

Seperti juga Erich Fromm yang mengingatkan sebelumnya, bahwa cinta yang produktif berbeda dari apa yang disebut cinta. Pasalnya dalam pengertian umum yang dikenal selama ini, cinta cenderung dipahami secara salah kaprah sebatas hanya persoalan asmara romantis dan remeh-temeh gaya hidup budaya hedonis yang membingungkan dan bahkan absurd. Cinta adalah hubungan kita yang bebas dan sederajat di mana setiap orang berpasang-pasangan dapat mempertahankan individulitas kita. Artinya perasaan relasional tercapai tanpa harus mengorbankan identitas dan kemerdekaan seseorang tetap terpelihara dan cinta yang mengandung perhatian, tanggungjawab, respek, dan pengetahuan.
Pada tanggal 22 Juni 2009 aku dikecewakan dengan kata-kata “engkau suka padaku gara-gara aku memiliki banyak uang” itulah kata-kata yang sangat sederhanya tapi merupakan kekecewaan aku dan orang tuaku, karena orang tuaku tidak bisa mengirim aku untuk membiayai kuliah dan kehidupan aku saat kuliah. Memang kata-kata sederhananya tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap siapapun, tapi bagiku itu merupakan pukulan yang luar biasa yang patut aku jadikan perjalanan selama aku masih tidak memiliki identitas.
Pada tanggal itu dan di waktu siang aku menuliskan puisi yang berjudul:

Aku Baru Mengerti

Aku baru mengerti sikap wajahmu pada semesta
Ketika diri ini tak memiliki rasa kemewaktuan
Pada batu yang keras, tapi dia berkata seperti matahari

Mengingat kenyerian hari-hari yang jauh
Ternyata buku suram terbuka dengan sendirinya
Tanpa aku harus memaksa merobek dari bibirnya

Senyerian bukanlah apa-apa, tapi
Kedirian yang terbuat ibu menjadi sakit,
Karena buku-buku suram terbuka rapi pada malam

Entah bagaimana aku membersihkan lagi hingga putih tanpa tinta
Padahal keterjatuhan waktu sudah menjadi sejarah

Pagi yang cerah setelah semalaman aku membaca buku-buku itu
Ternyata aku tak bisa menguraikan kecuali hanya nyeri yang ada
Aku gantikan sebagai kata ganti yang tak sempurna
Agar kenyerian waktu yang terlupakan “Tertulis dalam jiwa”

Yogyakarta, 22 Juni 2009

Begitulah sebuah puisi yang aku tulis ketika mataku tak bisa redup dan lelap untuk istirahat siang. Tapi itu semua merupakan sebuah anugerah yang sangat luar biasa karena masih ada orang yang mengingatkan aku untuk tahu diri dalam menjalani hidup tanpa apa-apa.
Memang hidup harus dijadikan jembatan dalam menyikapi dirinya dan orang lain. Karena hidup merupakan sebuah gangguan yang tak pernah akan selesai. Mulai dari mengenal tuhan, sampai tidak mengenal tuhan dan kembali mengenal tuhan. Tapi tidak bagiku, tuhan adalah kehausan jiwaku ketika kenyerian menjadi-jadi dalam diri. Aku ingin bersikap seperti tuhan, tapi itu sebuah perjalanan yang belum engkau sudahi, tapi engkau sudah tahu jalannya tinggal engkau mencari siapa dirimu.

* Penyair, kelahiran di desa Banjar Barat, Gapura, Sumenep, Madura. Aktif menulis di banyak media. Buku antologi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (2010) “Madzhab Kutub” (2010) Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010 Dewan Kesenian Jatim. Suluk Mataram 50 Penyair Membaca Jogja (2011) kini tinggal di Yogyakarta.

Beri Tanggapan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s