Arsip Tag: Arif Saifudin Yudistira

Ketika Penyair Bertapa

Resensi Arif Saifudin Yudistira

kumpulan-puisi-joko-pinurboSepertinya sulit memisahkan Joko Pinurbo dengan puisi. Puisi itu Jokpin, dan Jokpin itu puisi. Jokpin sebagaimana dikatakan oleh Afrizal, ia lebih mendekatkan puisi dengan waktu. Waktu, momen dan peristiwa jadi bahan yang diendapkan untuk menjadi puisi. Bisa jadi ini mudah secara sepintas, tapi lihatlah bagaimana dia menuliskan dalam buku ini. “Segalanya menjadi mudah dengan mudah-mudahan” (2012), kalimat singkat itu seperti sederhana, tapi tak sesederhana untuk bisa kita ciptakan. Kemampuan Joko Pinurbo merawat kata dan mengeluarkan kembali dalam rupa kata yang lain, tampak menjadi kekuatan dalam puisinya.

Meski demikian, puisi Jokpin yang erat dengan humor, sinisme dan satire, bisa jadi menipu pembaca yang kurang jeli. Jokpin sendiri pernah berkisah bagaimana seorang almarhum Linus Suryadi mengira Ayah Jokpin sudah mati. Hal itu dikarenakan Linus mendengarkan Jokpin membaca puisinya yang berjudul Warisan Ayah. Mendengar pertanyaan Linus, Jokpin terkejut, Ayah saya baik-baik saja, katanya.

Puisi memang dekat pada waktu, momen dan peristiwa, tapi tak tentu peristiwa yang dialami oleh penyair. Di sini puisi bergerak dari ruang internal ke eksternal sesuka hati, tergantung pada bagaimana penyair mengolahnya. Mengutip yang dikatakan oleh Goenawan Mohammad, logika puitik tidak merepresentasikan keberadaan dalam kata-kata, melainkan membawa keberadaan kepada kehadiran dalam bentuk kata-kata. Oleh karena itulah Jokpin menuliskan selamat datang kepada pembaca puisi dengan mengucapkan salam sayangnya: “selamat menunaikan ibadah puisi”. Dari sebab itu, sebenarnya logika puitik tidak hanya bermain dalam kata-kata semata, tapi ia menangkap yang sejati dari peristiwa, momentum dan waktu. Maka tak salah filsuf Heidegger pun mengatakan bahwa wacana berfikir yang asli adalah puisi.

Di buku kumpulan puisi terbarunya ini, Jokpin ingin menunjukkan identitas puisinya yang lain dari sebelumnya. Sebagaimana dikatakan Jokpin (Tempo,7-13 januari 2013) “saya tidak ingin puisi saya dicap erat dengan celana terus, saya ingin meninggalkan celana. Ketika penyair tak bisa lepas dari cap yang menempel itu, maka penyair mati kreatifitasnya. Saya tidak ingin mati”. Maka tidak salah bila Jokpin menganggap puisi yang kuat adalah puisi yang mengembangkan visi baru dalam puisi. Puisi yang membuat kita mendefenisikan ulang apa itu puisi.

Buku Puisi Puitwit Haduh Aku di Follow  ini merupakan wujud visi baru dalam puisinya. Ia seperti ingin menampilkan puisi yang keluar jauh dari celananya, tetapi tidak terlalu jauh juga. Lihat misalnya puisi berikut : Waduh, celanamu tertinggal di dalam sajakku/Sajakku terkunci dan aku tak tahu dimana kuncinya. Celana yang biasa dipakai Jokpin menjadi idiom yang penting dalam puisinya di masa lalu seolah tertinggal dan mau dikunci agar pembaca tak lagi mengkaitkan ataupun membawa Jokpin dengan celananya yang dulu. Ia ingin memakai celana baru. Celana baru itulah puisinya yang sekarang. Simaklah cita-cita Jokpin yang mendefinisikan ulang apa itu puisi yang ada dalam bukunya ini. “Semua ingin menjadi penyair, iya kan? Aku sih ingin jadi puisi yang dilipat dan diselipkan di sela-sela rusukmu”(2012).

Ada warna baru yang ingin disuarakan melalui puisi twitter ini. Pada tanggal 22 Agustus 2012 Jokpin menulis: “Apa yang saya tulis mungkin bukan puisi, melainkan kekasih puisi”. Ada semacam kesadaran, barangkali orang boleh mengatakan atau menganggap twitter ini memang bukan puisi, melainkan lebih dalam yakni ruang untuk mengendap, menepi dan menghidupkan imajinasi sebagaimana yang ditulis Jokpin di sampul akhir buku puisinya.

Di usianya yang sudah melebihi setengah abad, Jokpin masih saja memainkan usia ke dalam sajaknya. Kata-kata humoris, menggemaskan dan hadir seperti kejutan, kejutan itulah yang ingin disampaikan dalam puisi twitter ini. Sejak aku dipanggil Om dan kemudian Pak, kepalaku mulai beruban(hal.74). Jokpin memang sudah beruban, tapi ia tak mau kalah dengan ubannya, seolah ia mau melawan uban yang ada di kepalanya dengan humor dan kejutan dalam puisinya. Ada kerja yang tak mau kalah dengan usia, puisi seolah ingin mencegah tua. Simak puisinya berikut ini: Entah kenapa saya selalu gagal menjadi tua. Saya ingin pikun dan pelupa agar lebih merdeka. Tapi puisi mencegah saya (hal.100)

Meski sudah mendapatkan penghargaan bersama Tahi lalat (2012) sebagai Karya Sastra Terbaik 2012 pilihan Tempo, mendapatkan KLA dengan puisi Kekasihku (2004), dan penghargaan sebelumnya Sih Award untuk sajaknya Celana 1, Celana 2, Celana 3, Jokpin tak ingin besar diri tapi tetap rendah hati. Ia ingin terus mencipta dan terus menerus berpuisi, atau bahkan ia ingin menjadi puisi yang tak dikenali siapa penulisnya. Ia menuliskan dengan kalimat sederhana dalam buku ini: “Selamanya saya penyair amatir. Gaji saya bahkan tak cukup untuk membiayai kesibukan melamun saya“(hal.61).

Di puisi-puisi pendek, singkat dan sederhana inilah, Jokpin bertapa brata. Joko pinurbo tak ingin dicap sebagai penyair yang produktif atau penyair yang tiap tahun bisa menerbitkan berbagai kumpulan buku puisi. Joko pinurbo dalam setahun bisa jadi hanya menghasilkan 11 puisi saja. Tapi kesebelas puisi itulah yang hadir bersama tubuh dan dirinya. Di sela-sela kesibukannya, Joko Pinurbo melakukan pertapaannya. Ia menggunakan waktu untuk mengendap, menepi, untuk menghidupkan imajinasi. Imajinasi-imajinasi itulah yang bisa kita nikmati dalam puisi pendeknya dalam buku ini. Kita akan menemukan kejutan, renungan dan hikmah melalui imajinasi dalam puisi ini. Akhirnya saya ucapkan pula “Selamat menunaikan ibadah puisi“ sebelum membaca buku ini.

kumpulan-puisi-joko-pinurboJudul: Haduh, Aku di Follow
Penulis: Joko Pinurbo
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta
Cetak: 2013
Tebal: vi +122 halaman
ISBN: 978-979-91-0529-5

*)Penulis adalah pegiat di bilik literasi Solo, Buku puisinya “Hujan di Tepian Tubuh – (2012)”

Hannah Arendt dan Politik Alternatif

Resensi Arif Saifudin Yudistira

Arendt1

Fenomena politik yang ada di negeri ini dipandang oleh hampir semua orang yang memiliki kegelisahan akan situasi negerinya sebagai politik yang tak sehat, bahkan rizal ramli menyebut “politik kita adalah politik yang banal”. Sebutan ini hampir sama dengan apa yang dikatakan oleh arendt yang menyebut “banalitas kejahatan”. Kejahatan korupsi layak untuk disebut banal, bukan hanya karena efek yang ditimbulkan, melainkan penyakit .mentalitas inilah yang membuat Indonesia hancur lebur dengan sendirinya.

Bagaimana bisa negeri yang dikaruniai kekayaan sumber daya alam, tetapi dirampok oleh politik kartel yang didukung oleh dinasti politik untuk merampok kekayaan alam ini demi kemakmuran golongan, keluarga dan kelompoknya. Kita mengilhami bahwa politik saat ini jauh dari misi suci politik yang sebenarnya. Berbeda dengan para politikus saat ini syahrir menilai politik adalah “jalan sekaligus alat untuk memenangkan perjuangan”. Akan tetapi politik saat ini lebih condong pada sesuatu yang beringas, tak pandang kawan dan lawan alias abu-abu, hingga menjadikan “kuasa” sebagai tujuan. Maka tak heran, di akhir kepemimpinannya di PSI, syahrir lebih memilih partainya sebagai perkaderan terhadap rakyat, sehingga mereka yang dari luar lebih mengejek syahrir partai yang hanya makan “gagasan” tanpa menggrubis kekuasaan. Oleh karena itulah, partai sosialis Indonesia pun mengalami nasib tak mengenakkan dibubarkan soekarno.(Anwar,Rosihan :2012)

Untuk itulah, buku “politik otentik” ini dihadirkan oleh sang penulis. Agus sudibyo yang semula hobi akhirnya mencintai filsafat membedah arendt untuk situasi politik masa kini. Menurutnya, kajian arendt masih relevan untuk membongkar bagaimana situasi politik negeri ini dibaca dan ditafsirkan. Agus membedah arendt dalam konteks bagaimana kebebasan dan pemikiran manusia itu ditempatkan. Dalam buku politik otentik ini, kita bisa menelisik pemikiran arendt tentang mentalitas, manusia tindakan, hingga factor-faktor yang menyebabkan politik itu tak lagi otentik.

Vita activa

            Arendt mendefinisikan bahwa politik itu tak sekadar vita contempativa, sebagaimana yang diuraikan oleh plato dan para filsuf lainnya. Arendt mengartikan politik sebagai suatu tindakan. Tindakan disini diartikan sebagai aktifitas yang melebihi dari kegiatan kontemplatif semata. Ia memiliki konsekuensi selanjutnya yakni berbuat. Arendt mengartikan politik itu vita activa yakni kerja,karya, dan tindakan. Arendt mengartikan politik ini sebagai politik yang strategis, dengan menyuarakan wicara dan dialog. Menurut arendt manusia itu memiliki sifat plural, sehingga dari kepluralan itulah maka akan ditemukan satu alternative gagasan yang bermacam-macam untuk satu tindakan politis.

Dalam human condition arendt memiliki pandangan bahwa distingsi ruang di dunia ini ada ruang privat dan ruang public. Arendt menilai, selama ini manusia lebih cenderung mengejar ruang public sebagai sarana mencapai ruang privat. Sehingga, tujuan dari tindakan politik tak lain adalah mengembalikan fungsi ruang public itu agar kembali sebagaimana seharusnya tetap plural dan mengembalikan naturalisme manusia. Sehingga politik itu bisa dimaknai dengan nilai-nilai kerjasama,saling memahami, dan tanpa dominasi satu dengan yang lain. Akan tetapi agus sudibyo dalam bukunya ini juga menegaskan satu sintesa dari pemikiran arendt, bahwa ide arendt itu dipandang terlalu utopis, karena setiap manusia memiliki hasrat politik yang tinggi dengan meletakkan dominasi sebagai cara untuk memenangkan politik.

Alternative

Tujuan dari buku ini tak lain adalah menguaraikan kembali relevansi pemikiran politik Hannah arendt, bahwa politik itu mesti dikembalikan pada hakikat politik yakni politik otentik. Politik otentik dimaknai sebagai satu tindakan kebebasan manusia, yang mempertimbangkan penilaian dan pemikiran untuk satu tujuan yakni meletakkan kembali manusia sebagai makhluk yang mampu berfikir diluar batas-batas dan berdasarkan kata hati(hal.177). Untuk itulah, arendt menyarankan manusia yang bertindak dengan politik otentik, tak mungkin meninggalkan dua aktifitas yakni berfikir, dan melakukan penilaian sebelum melakukan tindakan politik.

Selain itu, manusia politik yang diuraikan dalam buku “politik otentik” mesti memerhatikan bagaimana kebersamaan dan keragaman itu bisa berjalan beriringan dan demi mencapai satu tujuan bersama. Maka sudah tentu manusia politik menurut Hannah arendt menghilangkan nilai-nilai dominasi, individualism hingga pengejaran akan kekuasaan semata. Buku ini memberikan satu pemahaman jernih tentang bagaimana arendt memandang, sebab dari timbulnya kejahatan atau korupsi selama ini tak lain dari hilangnya (absennya) pikiran dari manusia itu sendiri.

Maka kita pun melihat, bagaimana para politisi sering tebar pesona dan tersenyum riang ketika mereka tertangkap oleh kamera televise, diwawancarai, dan dipenjara. Tak ada penyesalan, raut muka sedih pun tak muncul, itu semua disebabkan dari absennya pikiran tadi. Bukan karena mereka bodoh dan mereka tak mengerti, melainkan hilangnya pikiran kemanusiaannya. Begitu juga ketika kita melihat kasus yang baru-baru terjadi, seorang siswa yang telah menewaskan saudaranya dalam tragedy tawuran beberapa waktu lalu dijakarta pun tak jauh beda. Ia pun mengatakan dengan leganya “saya puas”. Pernyataan itu adalah wujud bagaimana politik berubah menjadi “ekspansi ruang privat”. Ruang public jadi hilang, tapi dominasi ruang-ruang privat itulah yang lebih muncul melalui media dan alat-kuasa politik.

Agus sudibyo menyajikan bagaimana arendt menyajikan “politik alternative” yang memungkinkan manusia itu menyusun kembali hakikatnya. Yakni sebagai makhluk yang plural, penuh keberagaman, dan menyatu dalam satu tujuan bersama tanpa menonjolkan kepentingan privat. Barangkali buku ini lebih terdengar sebagai seruan fantastis sebagaimana ungkapan Dr. B.Herry-Priyono. Akan tetapi usaha agus setidaknya adalah satu alternative di tengah kebuntuan politik yang selama ini kaku, penuh abu-abu, dan banal. Buku ini setidaknya adalah jawaban bahwa masih ada alternative, untuk mewujudkan politik yang otentik yang penuh kelenturan, yang penuh kebersamaan, tapi juga menyatukan tujuan dan hakikat politik itu sendiri yakni mengembalikan manusia sebagai manusia sebagaimana yang tertulis dalam max havelar. Begitu.

Politik OtentikJudul: Poletik Otentik,Manusia dan Kebebasan Dalam pemikiran Hannah Arendt
Penulis: Agus Sudibyo
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun: 2012
Tebal: 240  halaman
ISBN: 978  979 1260 145
Harga: Rp.50.000,00

Arif Saifudin Yudistira adalah Presidium kawah institute Indonesia, santri di bilik literasi solo

Hujan

Resensi Riza Fitroh Kurniasih*)

 

“Kalau pun saya masih menulis puisi, karena puisi adalah media yang mampu menyampaikan permasalahan orang kecil (Wiji Thukul)”

Tinta
 
Kisah yang tak pernah mati
Dalam beribu kertas bertuliskan kisahnya
Sepatu pun tak ubahnya jadi dinding-dinding yang bersuarakan keras
Batu-batu hinggap di petilasan para kaum hartawan
Angin pun menempel dalam berbagai kisah yang tak diinginkan
Kini, ia merubah semua jadi nyata
Bahkan nanti, ia merubahnya jadi tiada –

 
kumpulan puisi arif syaifudinSebait puisi sebagai awalan untuk kita mengenali pengarangnya. Arif Saifudin Yudistira dalam bait puisinya ini menyapa para pembaca dengan satu baris dari bait puisinya, yaitu Kisah yang tak pernah mati. Memperkenalkan diri sebagai seorang individu yang tak mengenal kematian. Menjadikan dirinya sebagai seorang yang memiliki paham eksistensialisme. Menjadikan dirinya sebagai seorang penyair yang mampu merekam setiap peristiwa yang dilihat, hingga kematian bosan menjemput kisahnya. Hingga sampai pada saatnya, kematian menjemput kisah itu, membuatnya tiada secara ragawi, namun aromanya masih tertinggal. Arif Saifudin Yudistira sebagai penulis buku ini juga tercatat sebagai seoarang aktivis yang juga aktif menulis di berbagai media. Membuat jiwa sosialnya benar-benar diasah dan diuji keloyalitasannya.
Hujan di Tepian Tubuh layaknya deras air yang selalu membasahi tubuh. Air yang selalu memberikan kesejukan, meskipun kadang air itu menimbulkan keresahan karena derasnya air itu. Air bisa menjelma menjadi banjir yang memporak-porandakan, atau justru memberikan kehidupan di kolam-kolam yang kekeringan. Bagi AS. Yudistira bait puisinya layaknya hujan-hujan yang selalu memberikan kesegaran bagi para pembacanya, meskipun kata-katanya tajam dan menusuk. Namun, rupanya puisi-puisinyalah yang mampu membangkitkan kesadaran atas status quo yang telah lama dinikmati sebagian dari kita. Tak jarang puisi-puisi inilah yang ditakutkan akan menciptakan banjir kegelisahan bagi mereka yang telah lama beromantisme dengan kenyaman.
Kumpulan puisi Hujan di Tepian Tubuh ini menjadi kumpulan puisi yang tidak saja berkutat pada romantisme remaja, kita akan temukan di dalamnya kisah dengan Tuhan-Nya, bahkan buku ini memuat tentang dunia perpolitikan. Sebagaimana yang diungkapkan Han Gagas, penulis buku Sang Penjelajah Dunia dan Tembang Tolak Bala, ia mengungkapkan; “AS. Yudistira, besar dari jaman yang benderang namun puisinya juga menyembulkan kegelapan. Semburan orasi aroma politik, kegelisahan, sosok ibu, pertemuan, cinta, dan keperihan hidup mewarnai puisi-puisinya……
Sebuah kata “perlawanan” bagi penulis yang pernah menjabat sebagai Ketua DPM UMS ini bukanlah sesuatu yang menakutkan. Perlawanan baginya adalah sesuatu yang harus disuarakan. Aroma perlawanan ini akan kita temukan pada puisinya berjudul Titik (8) ……Aku ingin menciptakan titik, tapi bukan akhir, hanya tanda untuk mengakhiri setiap pertikaian, Untuk menutup segala kenangan kelam, dan untuk memulai zaman terang. Ia seolah ingin menegaskan bahwa titik bukanlah pertanda berakhirnya sebuah perlawanan. Titik yang pada umumnya sebagai sebuah pemberhentian, dijadikan oleh dirinya sebagai sebuah tanda jeda untuk berfikir.
Menggunakan jeda sebaik mungkin untuk berfikir membuatnya selalu menemukan hal baru. Hal baru inilah yang selalu tersimpan sebagai sebuah misteri. Seperti yang dituliskan oleh pria kelahiran 30 Juni 1988 ini dalam puisinya Dilema (5) Aku memburu misteri, misteri yang tak kunjung usai hingga hari ini, Aku mengaji, setiap detik yang kita alami, aku hilang…/Ketika mata mulai terbuka,/Kutemukan tubuhku telah bersamanya, Meski tubuhku yang lain meronta. Secara halus ia ingin mengatakan pada para pembaca bahwa misteri baginya bukanlah sesuatu yang menakutkan. Melainkan sesuatu yang penuh tantangan ketika ditelusuri, hingga tanpa sadar misteri itu terpecahkan. Walaupun fakta yang ada di dalamnya selalu menyakitkan beberapa pihak. Namun itulah cerminan titik-tik air yang selalu deras ketika hujan turun di atas payung, dingin menusuk namun menyejukkan untuk dinikmati.
Realita dan kekejian di tengah masyarakat menuntut sang penyair untuk bergerak dengan kepekaan sosialnya. Begitu juga dengan kemampuan penulis dalam merekam setiap peristiwa yang dijumpainya. Permainan kata-katanya membuat orang tergelitik untuk menguak makna di dalam puisinya. Dengan kumpulan 70 Puisi AS. Yudistira, penulis mampu mewakili dirinya sebagai seorang seniman yang peka akan kondisi di sekitarnya. Realita buruk kondisi sosial-politik di tengah masyarakat yang kemudian kita kultuskan menjadi sebuah kekejian, tak akan berarti apa-apa tanpa adanya keberanian menyuarakannya kembali di tengah masyarakat.
Dari buku ini kita bisa mengenal bagaimana sesungguhnya kita sebagai manusia, mengenal diri kita, juga mengenal lingkungan kita. Bahkan mengenal Tuhan kita tanpa harus mengesampingkan ego kita dalam mengenal Tuhan kita. Menafsirkan tiap sajian puisi yang tertuliskan dalam buku ini, hingga sampai taraf kita mengerti akan arti yang sesungguhnya. Hal ini tidak bertanda bahwa pengetahuan akan pemaknaan buah pikir yang tertuang dalam bentuk puisi harus paripurna. Namun kita bisa jadikan buku ini sebagai pemantik awal menuju pengetahuan yang lebih luas.
Hujan di Tepian Tubuh bukanlah hujan yang selalu membuat tubuh menggigil kedinginan. Namun, hujan di sini adalah kumpulan keindahan beningnya butiran-butiran air yang memberikan kesejukan bagi tubuh yang merasa. Kumpulan puisi dalam buku ini menjelma menjadi hujan dengan keindahan butir-butir sajian kata dalam bait puisi. Hujan ini menjadi fatamorgana keindahan Hujan yang sesungguhnya dalam kumpulan buku puisi ini.
 
kumpulan puisi arif syaifudinJudul buku: HUJAN DI TEPIAN TUBUH
Penulis: Arif Saifudin Yudistira
Penerbit: Greentea
Harga: Rp. 30.000
Tahun: September 2012
Tebal: xxii + 70 halaman
ISBN: 978-602-98704-0-2

 

*) Peresensi adalah Mahasiswa FKIP Biologi Semester 5 Universitas Muhammadiyah Surakarta, aktif sebagai asisten laboratorium.

Tahi Lalat

Puisi Arif Saifudin

Di usia yang tak pernah kita duga
kita saling mengenali dan berbagi

di waktu yang singkat dan cepat
kita sempat berdebat

tentang pagi, malam dan siang
yang selalu riuh dengan peristiwa yang menantang

di pertemuan yang singkat
aku masih mengenangmu

mengenalimu
menyimpan hangat senyummu

tapi ada sesuatu yang tak bisa kulupa
yaitu tanda di dagumu

Yang membuatku kelu sekaligus pilu
bila merindu tak menemuimu

Kini, tahi lalatmu telah
kusimpan dalam album foto
di hatiku

kurawat selalu

Sejarah “Kuasa” dan “Makna” Pakaian

Resensi Arif Saifudin Yudistira*)

inda citranindaSejarah pakaian muncul sejak manusia Indonesia mengenal budaya menenun. Dengan masuknya budaya menenun di era neolitikum itulah manusia Indonesia mengenali cara menutup tubuh mereka. Sebagaimana kita mengetahui, manusia Indonesia di masa itu, memandang pakaian masih sebagai satu pelindung dari luar seperti panas, dingin, dan lain sebagainya (I made seraya 1980-1981:16). Di masa lalu, cara berpakaian nenek moyang kita pun seperti tak jauh berbeda dengan kita, mereka menutupi tubuh mereka dengan pakaian untuk menunjukkan kelebihan dan status sosial mereka.

Pakaian memiliki sakralitas tersendiri bagi kaum bangsawan, istana, yang itu berlaku hingga saat ini. Pakaian dikhususkan, tidak boleh sembarangan kawula desa atau rakyat memakai pakaian para raja atau kaum bangsawan. Kuasa “pakaian” ini menunjukkan identitas hingga kini, misalnya ketika kita jumpai pakaian kebesaran di keraton-keraton dan bangsawan di Yogyakarta dan di Solo. Pakaian mereka memiliki ciri khusus, seperti aksesoris, ikat pinggang, penutup kepala dari emas, hingga tongkat. Dari sanalah kita mengetahui pakaian di kalangan kerajaan atau bangsawan memiliki fungsinya sendiri baik pada upacara resmi keraton, upacara yang sifatnya kerakyatan, dan upacara-upacara lainnya. Nuansa etis dan sistem keraton yang ketat dalam tata budaya dan sistem adat ini barangkali bisa dilacak sebagai simbolisasi kuasa keraton yang mengadopsi nilai-nilai barat dan eropa yang dipadukan dengan nilai-nilai jawa. Kita bisa menemui ini pada kesaksian perempuan jawa yang ada di buku “Prajurit Perempuan Jawa”(2011).

Melalui buku busana jawa kuna ini, Inda Citraninda menunjukkan kepada kita, bahwa kita memiliki khasanah budaya dan kekayaan arkeologi yang begitu tinggi di dalam artefak-artefak peradaban kita. Kita bisa menemui ini pada candi misalnya, Inda Citraninda membuka mata kita semua, bahwa simbolisasi, kuasa, dan fungsi pakaian yang melekat pada tubuh tak sekadar berfungsi sebagai penutup tubuh semata melainkan memiliki implikasi pada bagaimana strata atau kelas sosial itu muncul. Penelitian ini tak hanya memberikan sumbangsih penting bagaimana membaca masa lalu nenek moyang kita yang ada pada relief candi Borobudur, tetapi juga sebagai pijakan bagaimana membaca fenomena pakaian di manusia modern. Hal ini tampak pada bagaimana lingkungan istana kita memakai pakaian yang bermiliar-miliar rupiah untuk upacara resmi kenegaraan hingga pakaian sehari-hari. Melalui harga dan bentuk pakaian kenegaraan itulah, ternyata negara atau dalam hal ini pemerintah masih memakai logika kuno di negeri ini yang dulu dipakai nenek moyang kita. Pakaian seorang raja mesti berbeda dengan kawula, pakaian seorang rakyat jelata harus beda dengan pakaian presidennya.

Antara Kuasa dan Keadaban

Kita mengenali pakaian di masa kini pun menjadi mode dan industri yang menjanjikan. Kelas sosial, gengsi, hingga eksistensi pun muncul, bahkan kini pakaian seperti menjadi budaya popular yang kerap membawa kontroversi dan polemik. Pakaian pun dimanfaatkan oleh dunia hiburan dan dunia kapitalisas modern untuk menyihir anak-anak muda kita ikut dan tak berdaya di mata trend, mode dan model pakaian yang dipakai para selebriti kita. Pakaian pun seperti semakin jelas menunjukkan sebagai alat untuk meningkatkan popularitas dan ketenaran para selebriti kita. Dengan gaya pakaian terbaru, pakaian “sexy” mereka menyihir dan membentuk opini publik melalui tayangan gosip, infotainment dan sebagainya. Pakaian di dunia modern pun seperti tak menunjukkan keadaban kita.

Inda Citraninda mengulas bagaimana pakaian dalam relief karmawibhangga di bagian bawah candi Borobudur. Pakaian dalam relief karmawibhangga menunjukkan berbagai kelas sosial yang ada. Kelas pekerja, kawula desa, hingga pakaian dewa-dewi. Pakaian di relief itu pun menunjukkan bahwa peradaban manusia di masa itu tak memandang pakaian yang ringkas sederhana sebagai unsur dari pornografi sebagaimana sekarang ini. Pakaian sederhana dan ringkas difahami sebagai fakta sejarah dan fungsi pakaian. Tapi justru di masa itulah, kelas sosial sudah mulai melekat pada identitas pakaian yang mereka pakai.

Kini, dunia modern barangkali perlu bercermin pada kajian Inda Citraninda, bahwa pakaian dan tubuh tak semestinya dijadikan eksploitasi dan objek dari media, kamera, hingga budaya patriarchal melalui stereotype “pornografi”. Sebab di masa lalu, kita memahami dan mengenali pakaian wanita yang sederhana dan menampakkan payudara dan bagian atas mereka dengan kondisi yang biasa dan sewajarnya. Selain itu, kajian Inda Citraninda “Busana Jawa Kuna” ini setidaknya memberikan satu pandangan jelas kepada kita semua pada makna dan kuasa pakaian.

Kuasa dan makna pakaian sebagai simbol status sosial itu sudah ada sejak jaman jawa kuno sebagaimana yang diungkap Pigeaud ada empat kelas sosial di masa itu yakni kaum penguasa, agama, orang biasa dan budak (Th.Pigeaud,1958:195). Sejarah kuasa dan makna pakaian di negeri ini pun sudah begitu lama, ia menunjukkan perkembangannya hingga kini. Buku ini setidaknya memberikan satu simpulan besar, bahwa pakaian adalah identitas, kelas-sosial yang melalui uang dan harga itulah pakaian menunjukkan kuasanya pada kita semua.

inda citranindaJudul buku                             : Busana Jawa Kuno
Penulis                                     : Indra Citraninda Noerhadi
Penerbit                                   : Komunitas Bambu
Hal                                            : 120 halaman
ISBN                                         : 978-602-9402-16-2
Harga                                      : Rp 50.000,00
Tahun                                      : Juli, 2012

*)Penulis adalah Mahasiswa UMS, Pegiat Bilik Literasi Solo

Danau Toba, Perancis dan Sitor

Resensi Arif Saifudin Yudistira

ibuMengapa cerpen menjadi satu cara untuk mengusik perasaan-perasaan manusia?. Karena disanalah letak karya sastra dipertaruhkan dalam hal membagi dunia imajinasi dan dunia realitas. Cerpen adalah jembatan bagi kita memahami dan mengarungi kehidupan yang serba luas ini. Pengarang meski ia tak selalu bicara dirinya,tapi pikirannya itulah yang membuat ia bergerak dalam karya sastra. Ia bersama karya sastra menyatu. Bila pramodya sadar betul dengan metode mistikumnya dalam membuat karya, maka sitor lebih bergerak pada cerpen yang meski singkat tapi ia adalah teks yang tak berhenti. Sitor pandai mengolah bahasa dan setiap kosakata yang menunjukkan betapa ia menekuni khazanah, kajian mendalam, pengamatan yang jitu hingga penulisan yang luar biasa sebelum membuat cerpen. A teeuw menyebut sitor ia menguasai bahasa Indonesia dengan cara yang kadang-kadang luar biasa.

Misal pada cerpennya Fonteny Aux Roses.  Mendengarkan kata itu kita bisa terbayang-bayang tentang perempuan perancis, atau sekilas kita bisa menemui perancis. Dan kita pun tak menyangka nama tempat di perancis bisa dihubungkan ke dalam penguasaan cerita yang meluas. JJ rizal menyebut ini sebagai awal eksistensialisme sitor. Kematian diramu sedemikian mesrahnya, kematian dikemas sedemikian hebatnya dengan permainan ingatan. Ingatan sitor itulah yang membawa kita pada penjelajahan nama-nama tempat, suasana, hingga pada kemampuannya mengemas “tokoh” pada ingatan masa lampaunya. Ia bergerak lihai dan mencoba tidak lurus-lurus dalam bercerita meski pelan. Keunggulan bahasa itulah yang dimanfaatkan sitor dengan memadukan pengalaman ketika ia di perancis dengan menceritakan memori kematian dengan satu gambaran sederhana dan menyenangkan. Ini kita temui di cerpen Fontenay aux Roses yang ditutup dengan kata kunci yang indah : “surga adalah rindu”.

Kemampuannya mengemas ingatan, kenangan dan juga deskripsi peristiwa yang jitu itu pun ada dalam cerpennya “Gerbera”. Ia menutup cerpennya dengan menutup perasaannya pula dengan kalimat sederhana yang mengakhiri ingatannya pula tentang perempuan yang ia kagumi. Di timur fajar memerah. Memerah gerbera. Gerbera. Masihkah bunga mekar di lereng-lereng gunung?. Besok aku hraus terbang ke barat.

Dunia barat

             Dunia barat dalam gambaran cerpen sitor begitu tak sederhana. Ia mengalami dan menyelami betul dunia barat itu ketika ia setahun tinggal di paris pada tahun 1952-1953.  Perjalanan di barat ia salami di tahun 1950 hingga tahun 1953. Selama itu pula ia mengenali belanda, dan perancis sebagai kota yang memberinya ilham dan inspirasi di dalam membuat karyanya. Disebutkan setelah ia pulang dari perancis ia mengukuhkan posisinya sebagai sastrawan dengan menulis puisi, menulis cerpen, naskah drama, keirikus, penerjemah dan pengajar. Meski demikian cerpen-cerpennya yang dihasilkan tak banyak. Tapi di dalam cerpen itulah ia membuktikan kemampuannya sebagai sastrawan yang patut mendapat tempat di dunia international dan negerinya sendiri. Cerpen “kereta api international” dan cerpen “ Peribahasa Jepang” disebut patut masuk dalam cerita antology barat sebagaimana yang dikatakan A teeuw.

Paris membawa inspirasi dan kenangan dalam Cerpen salju di paris. Cerpen ini membawa kita pada suasana perancis dengan hawa berbeda. Ia lebih menonjolkan tempat dan suasana daripada perasaan tokoh.  Sedang cerpen cinta pertama adalah cerpen yang menunjukkan betapa tak mengenakkannya cinta pertama dirasakan oleh gadis perancis. Jarak membawa pada perpisahan meski sebenarnya percintaan itu memungkinkan. Ia menempatkan tokoh pemuda Indonesia ini sebagai pihak jantan, dengan kemampuan menolak cinta si gadis perancis. Dan kelihaian sitor inilah yang menjadi kelebihan sitor dalam memadukan tokoh, identitas, cerita hingga pada kemampuannya menarasikan perasaan-perasaan tokoh.

             Begitupun cerpen peribahasa jepang yang menarasikan identitas yang seperti sudah menyatu, antara keakraban dan betapa tingginya budaya jepang, tapi juga menggambarkan betapa perempuan jepang di deskripsikan dengan indah oleh sitor melalui konflik yang ada pada si gadis. Hingga pada kenangan tokoh pria Indonesia yang membawa ingatannya pada gadis jepang tersebut. Tanpa adanya pengetahuan, dan kemampuan dan data yang bagus tentang jepang, ia tak mungkin membolak-balikkan alur ceritapada imajinasi tempat, perasaan tokoh dan pertautan yang cukup intim antara tokoh dua negara tersebut.

Tanah Lahir

            Meski ia pernah melakukan perjalanan ke barat, ia pernah mengalami “ketegangan dramatik’ seperti yang diungkapkan pengamat sastera Martin Heinschke, ia tak menghilangkan dengan begitu saja ingatan tentang tanah airnya. Ia kental dengan adat batak, di sebelah barat pantai danau toba di lembah gunung Pusuk Buhit. Ingatan itu dituangkan dengan jeli di cerpen “Perjamuan Kudus” dan “kehidupan Daerah Danau toba” .

Perjamuan kudus menceritakan pemeberontakan sitor akan kondisi zending yang membawa pada pelarangan adat masyarakat setempat.  Ia menggambarkan ini di akhir ceritanya dengan menutup upacara terlarang yang digambarkan dengan Pusuk puhit yang merupakan upacara yang aneh dan tidak lazim  di masyarakat batak. Di cerpen  “Kehidupan Daerah Danau toba” ia ingin menjelaskan betapa kepribadian sitor tampak pada bagaimana kehidupan toba tak mempersoalkan perkara muslim maupun Kristen. Ia ingin menegaskan bahwa perkara agama tak menghalangi manusia berhubungan dan bergaul di masyarakat.

Kumpulan cerpen ini memiliki nilai penting di dalam kesusasteraan dunia karena menunjukkan betapa pentingnya relasi antara pengarang dengan dunia realitas di sekelilingnya. Inspirasi itulah dan kerja kreatif itulah yang ditunjukkan Sitor situmorang yang menghasilkan beragam cerpen yang menarik yang tak hanya mengangkat persilangan budaya, sosok kekosongan jiwa, hingga pencarian spiritual dan cinta. Lengkap sudah buku ini sebagai sebuah penyajian riwayat salah satu karya sitor yakni dalam bentuk cerpen. Sekaligus sebagai penyair ia mampu untuk mengolah dan melepaskan bahasa puitisnya dengan bahasa jiwanya. Hingga cerpen-cerpennya tak sekadar hidup, membawa jiwa kita terbang, hingga menyelami peristiwa hingga semua yang digambarkan oleh penulis dalam cerpen. Disanalah letak kerja kreatif dan keunggulan cerpen sebagai salah satu karya sastra kita. Sitor mampu meletakkan bahasa pada tempatnya, pada kebebasannya dan ia tak mau terjerat terlampau jauh kesana. Tiga peristiwa dan tempat penting dalam cerpen ini tak lain adalah Danau toba yang merupakan biografi pengarang dan kelahirannya, kemudian gunung merapi atau Jogjakarta, dan perancis. Ketiga tempat itu mendasari pengalaman yang erat dan menarik bagi pengarang sebagai jejak laku dan jejak kata.

Tanda seru sitor setidaknya mengingatkan kepada kita bahwa sebagai seorang sastrawan dan penulis yang memiliki etos dan kerja spiritualitas dan kerja literasi yang membawa misi bahwa diri, pribadi, lingkungan dan kemanusiaan adalah hal yang tak bisa dilepaskan dan disuarakan dari seorang pengarang. Kejujuran itulah yang dibawa sitor untuk memasuki dunia imajinasi dan dunia cerita yang mampu mengusik dan menggerakkan kita akan kesadaran lingkungan dan juga ketergerakan batin kita melihat berbagai fenomena dan peristiwa di dalamnya. Sitor mampu mengangkat isu kemerdekaan, perjuangan, cinta kasih, hingga kekosongan jiwa yang lembut dan juga silang budaya ketika ia berada di luar negeri. Kesemua itu tentu tak jauh beda dengan metode pram yang mengandalkan mistikum-nya. Sitor memiliki mistikum nya sendiri hingga ia mampu menggerakkan bahasa sebagai sesuatu yang elastic, manis, tapi tak berlebihan. Semua itu ada dalam cerpen-cerpen yang ia olah. Meski cerpen masa lampau dengan karakter yang sedikit, tapi jalan cerita, kekhasan cerita hingga makna cerita tak bisa ditinggalkan begitu saja dari cerpen-cerpen Sitor situmorang. Sitor telah menunjukkan sifat dan jiwanya yang penuh dengan etos intelektual, kejujuran dan kemanusiaan. Setidaknya cerpen ini adalah buktinya.

Kumpulan cerpen sitor dalam ibu pergi ke surga ini setidaknya menunjukkan betapa sitor adalah sastrawan yang tak hanya lengkap dengan kepribadian yang kuat, tapi juga lihai membawa suasana, konflik dan pengamatan yang kuat pada masanya. Ibu pergi ke surga setidaknya memberikan penegasan kembali meski baru 23 cerpen seumur hidup sitor, sitor telah berhasil memadukan danau toba, perancis dan kepribadian yang mengukuhkan dia sebagai sastrawan Indonesia dan patut di perhitungkan dunia.

ibuJudul buku:  Ibu pergi ke surga
Penulis : Sitor situmorang
Penerbit: Komunitas bambu
Hal: 218 halaman
ISBN: 979-3731-88-5
harga: Rp.55.000,00
tahun: januari 2011

Menyerukan Kembali Pentingnya Ijtihad

Resensi Arif Saifudin Yudistira*)

Bila kamu melakukan ijtihad dan benar maka kamu mendapatkan pahala senilai dua, sedang bila ijtihadmu salah maka kamu akan mendapat pahala satu. Sedang tak ada dosa dalam ijtihad.

allah, liberty and loveBegitulah kiranya agama sudah menganjurkan kita melakukan ijtihad. Ijtihad dimaknai memperjuangkan dan mencari kebenaran, untuk mencapai perubahan. Dalam konteks sekarang, agama berubah menjadi sosok yang mandek, stagnan dan tidak mampu menghadapi realitas jaman yang sudah sebegitu cepat dan rusak.

Betapa islam sendiri kemudian tak mampu menghadapi teror yang melanda sejak terjadinya 9/11. Peristiwa itu seperti meruntuhkan bangunan, hingga membangkitkan stereotype yang aneh. Islam itu teroris, islam itu kejam dan islam adalah bom dan kekerasan. Irshad Manji mengawali ceritanya dengan gambaran demikian. Ia ingin menolak stereotype itu. Islam tidak demikian, islam mesti keluar dari stigmatisasi ini. Islam mesti kembali ke islam sebenarnya yakni islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Pesan itu yang kini tegas dan layak disuarakan oleh Irshad Manji. Ia tak ingin mendengar lagi islam seperti di media massa yang identik dengan tiga kengerian yakni pengeboman, pemenggalan, dan darah.

Manji tak hanya ingin menegaskan bahwa, kenapa takut melakukan tafsir dan menjadikan iman itu melampaui teks saja. Kita tak tahu siapa yang memegang otoritas kebenaran, karena kebenaran hanya dipegang oleh Tuhan saja. Maka dari itu, orang-orang yang merasa memegang otoritas kebenaran dan menghakimi penafsiran yang lain itulah yang menurut Irshad justru menyimpang. Betapa Allah sudah memberikan kebebasan sebebas-bebasnya pada umatnya.

Integritas

Tanpa adanya kebebasan untuk berpikir dan berekspresi tidak mungkin ada integritas baik dalam diri maupun dalam masyarakat. Oleh karena itu, prasyarat dari integritas tak lain adalah kebebasan berpikir dan berekspresi. Menyikapi beragamnya ekspresi dan aneka ragam pemikiran itulah dialog menjadi jembatan dan media untuk menghindari konflik. Tak ada persoalan yang mestinya tak dapat diselesaikan, dialog mampu menjangkau dan mencapai yang lebih dari yang sebelumnya. Sikap dialog dan kebebasan berekspresi inilah yang seringkali membuat orang justru ditentang oleh kelompok atau sekte keagamaan lain. Dialog dilupakan, sedang kesempitan berpikir justru lebih dikedepankan. Akhirnya, jalan untuk menjembatani perbedaan jadi tak ada.

Integritas, menurut Irshad dalam buku Allah, cinta dan kebebasan, adalah fondasi yang mesti dibangun. Integritas bisa melampaui dinding dan tembok keagamaan. Bagian dari integritas itu misalnya menentang hukum rajam hingga mati. Hingga hukum pancung, hukum yang mengerikan dan kejam itu tentu saja akan kita sepakati bila sesuai konteksnya. Akan tetapi, bila kita melihat kasus di Arab Saudi yang seringkali melakukan hukuman pancung yang ternyata lebih banyak korban yang justru dipancung daripada pelaku asusila sebut saja kisah pembantu Indonesia (tki) yang sering mengalami hal itu. Maka hukum pancung mesti ditinjau kembali, di sinilah pentingnya ijtihad. Ijtihad jelas tidak meninggalkan nalar dan pikiran kita.

Integritas adalah bagaimana kita menempatkan Tuhan dalam kehidupan kita. “Tuhan bisa menjadi nurani anda, pencipta anda, atau gabungan keduanya yang sungguh memesona yang dikenal sebagai integritas”(xxvi). Maka dari itu, membangun integritas mesti dijalani dari hakikat kesadaran diri bahwa kita melampaui dari apa yang kita bisa. Agama adalah sarana, sedang bagaimana kita mempraktekkan agama dan mencapai kesempurnaannya itulah yang mesti kita laksanakan. Oleh karena itu, Irshad menyarankan kita untuk lebih menghilangkan identitas kita  dan menunjukkan integritas kita.

Relatifitas Budaya

Kita seringkali tak bisa menempatkan antara seberapa besar posisi budaya dan posisi agama dalam kehidupan sehari-hari kita. Orang tua kita sering mengajarkan “jangan berani padaku, niscaya engkau masuk neraka”, maka ketika kita menjawab “suruh saja Tuhanmu memasukkan aku ke nerakanya”. Jawaban semacam itu dinilai melanggar nilai-nilai agama. Maka agama tiba-tiba jadi sesuatu yang mencekam dan menerkam kita. Agama menjadi topeng kedirian kita.

Maka ketika melihat budaya yang ada di negeri ini, yang sudah lebih jauh berada daripada agama yang masuk di negeri kita, kita seringkali bersikap ekstrem terhadap kebudayaan yang ada. Atau sebaliknya ketika budaya yang ada di Arab yang mengekang masyarakatnya – utamanya perempuan- membelenggu mereka. Maka budaya lebih cenderung dianggap sebagai agama.

Oleh karena itu, budaya itu relatif dan tidak sakral. Ketidaksakralan budaya ini yang mesti dijelaskan. Budaya itu cipta dan karsa manusia, jika kita melebih-lebihkan budaya daripada agama, maka yang terjadi yakni perebutan kekuasaan tafsir keagamaan. Akhirnya agama pun dijalani dengan membabi buta dan identik dengan kekerasan dan juga permusuhan. Adat kehormatan sudah ada sebelum islam. Jika kita bertahan pada budaya dengan mengatasnamakan islam, maka kita sama saja menyembah apa yang manusia -bukan tuhan- ciptakan! Bukankah itu disebut menyembah berhala?(99)

Dengan buku ini, Irshad tak hanya menjelaskan bagaimana pentingnya mengembangkan integritas, karena dengan integritas itu pula ia berharap dapat membangkitkan para umat agama yang merasa takut berbicara tentang agama dan tentang kebenaran. Buku ini pun mengajak kita, bahwa agama mesti disandingkan dengan iman. Iman tidak melarang eksplorasi, dogmalah yang melarang. Secara intrinsik dogma terancam oleh pertanyaan-pertanyaan. Sementara iman menerima pertanyaan-pertanyaan karena iman meyakini bahwa Tuhan yang maha pengasih bisa menghadapi semua itu (xx).  Terakhir buku ini sebagaimana dalam pembuka setidaknya menyerukan pesan penting yakni pentingnya mengubah amarah menjadi aspirasi. Mengapa eskpresi kemarahan berbagai orang yang merupakan ekspresi keagamaan kita tidak kita jadikan aspirasi untuk membangun dunia yang lebih baik?

allah, liberty and loveJudul buku: Allah, Cinta dan Kebebasan
Penulis: Irshad Manji
Penerbit: Rene book
Tebal: 352 halaman
ISBN: 978-602-19153-4-9
Harga: Rp.69.900,00

*) Penulis adalah Mahasiswa UMS, mengelola kawah institute Indonesia

Catatan:

Download Buku Allah, Liberty and Love, GRATIS.

Antara Konsistensi Prinsip dan Goda Politik

Arif Saifudin YudistiraResensi Arif Saifudin Yudistira

Aku mencintai bahasa. Aku mencintainya karena perannya terhadap kehidupan kita, bagaimana bahasa menyediakan kita cara untuk mendedakan luka, keagungan nuansa dan kehalusan eksistensi kita (Maya Angelou)

Pram, begitulah kita mengenal sastrawan yang mencintai bahasa dan menggunakan bahasanya untuk berbuat. Pram barangkali adalah sastrawan yang tak hanya kritis tapi juga konsisten dengan apa yang disuarakan. Perjalanan karir dan hidupnya seperti lika-liku yang tak habis untuk dibaca. Di balik kebesaran dan nama Pram, kita mengenal sosok Pram yang lain, Pram dikenal sebagai sosok yang keras, tegas dan juga sangat kritis terhadap para pengkritiknya. Dunia sastra Indonesia seperti tak seimbang menempatkan posisi Pram di samping para sastrawan yang lain. Pram adalah luka, karena keberpihakannya pada PKI yang dinilai Pram sebagai partai paling konsisten terhadap revolusi. Pram pun mengalami nasib naasnya setelah peristiwa 65 dengan menanggung resiko karyanya dihanguskan dan dibuang di pulau buru. Tapi di sanalah Pram justru menciptakan kuartet pulau buru di tahun 1975 meski sudah dilisankan di tahun 1972.
pramoedya ananta toerKarya-karyanya erat dengan kehidupannya, ia seperti meniupkan nyawa dalam karyanya, hingga karya itu secara tak sadar adalah suara jiwanya. Meski demikian, ia menganggap karya sastra tetap tidak bisa dikontrol oleh sang pencipta itu sendiri. Ia adalah anak dan buah pikiran dari penulis yang terbuka terhadap kritik dan interpretasi pembaca. Di awal kepengarangannya, ia kerap diserang oleh para kritikusnya yakni balfas desember 1956 novel perburuan dinilai tidak terstruktur, akhir kisahnya dibuat-buat dan tokoh-tokohnya tidak meyakinkan. Pram pun akhirnya naik pitam dan menanggapi dengan cara yang emosional. Kritik ini dilancarkan setelah Pram dan teman-temannya mempelopori gelanggang seniman merdeka tahun 1947. Tahun 1950 ia ikut menandatangani “surat kepertjayaan gelanggang” 18 Februari 1950. Pramudya ikut menyepakati konsepsi “humanisme universal” yakni istilah yang dipopulerkan oleh HB.Jassin yang menandai angkatan 45. Buku karya Savitri Scherer ini membantu kita memahami mengapa dan bagaimana Pramudya bisa ikut luruh dalam peristiwa perdebatan dan polemik sastra yang semula ia ikut dalam “gelanggang seniman merdeka” hingga akhirnya ia pun tidak sepakat dan melepaskan diri dari kelompok gelanggang, ketika ia bergabung dengan lekra, ia pun mulai simpatik terhadap PKI dan juga terlibat dalam polemik sastra yang menyerang para generasi baru gelanggang dalam manifes kebudayaan 1963.
Goda Politik
Faktor-faktor yang menyebabkan Pram meninggalkan gelanggang dan akhirnya memutuskan hubungan dengan HB Jassin tidak semata persoalan politik semata, tapi juga karena Pramudya merasa dikhianati oleh prinsip-prinsip yang dinilainya tak sesuai dengan yang diajarkan Jassin kala ia mencetuskan “humanisme universal”. Pram menilai, Jassin dan para pengikutnya tak konsisten dan hanya “klenengan” dan tak mempedulikan rakyat sebagai aspek yang penting dalam karya sastra. Pram pun kecewa dengan sikap gurunya yang kemudian tak peduli ketika ia dipenjara karena menulis Hoa kiau di Indonesia (1960).
Buku ini mengurai dengan jelas mengapa Pramudya bergeser pada ideologi kiri dan memihak PKI. Meski ini berakibat dengan tuduhan ia adalah anggota PKI. Melalui lekra itulah ia bersuara dan menyuarakan prinsip-prinsipnya. Ia sadar betul, ide-ide awalnya bermula dari kritik para seniman dan kritikus lekra termasuk A.S Dharta yang membukakan matanya terhadap kenyataan-kenyataan sosial dan akan pentingnya arti rakyat dalam kesenian dan kesusasteraan. Ia pun tak mampu menahan goda politik yang waktu itu menjadi prinsip PKI bahwa politik adalah panglima, yang sebelumnya menggunakan demokrasi rakyat.
Melalui 10 bab dalam buku ini kita diajak tak hanya menelusuri karya Pramudya, riwayat kepenulisannya, tapi juga lika-liku politik dan kehidupan yang dijalani Pramudya sebagai penulis. Buku ini diawali dengan pendekatan kritis yang menganalisis terhadap perkembangan sastra Indonesia, kemudian menjelaskan kehidupan singkat Pramudya, bab berikutnya membahas tentang polemik sastra dan diikuti dengan pembahasan karya-karya Pramudya dan kontroversi karir Pram antara tahun 63-65. Menurut Savitri, Pramudya adalah penulis yang berdiri di tengah masyarakatnya dan bagian hakiki darinya, meminjam Teuw, Pram adalah “novelis yang tidak hanya mewakili Indonesia, melainkan juga seorang sastrawan yang mewakili kawasan Asia”.
Buku ini juga mendudukkan posisi Pram yang larut dalam posisi yang dilema antara berpihak pada corong partai atau tetap konsisten dengan karyanya yang dicipta. Ia menulis novel “Sekali Peristiwa di Banten” yang mencerminkan sikap Pramudya yang harmonis terhadap borjuasi nasional dan kekuatan angkatan bersenjata. Secara teoritis ini tidak sesuai dengan program pembentukan negara sipil sosialis. Di tahun 60, karya Pramudya yang membela minoritas tionghoa menyatakan siapa musuh Indonesia yang sebenarnya dan borjuasi nasional adalah bagian dari musuh tersebut. Savitri menyebut sikap ambivalen Ppramudya dapat dilihat cerminan akurat sikap ambivalen PKI terhadap “borjuasi nasional”.
Di akhir buku ini, Savitri menjelaskan bagaimana Pramudya menciptakan karyanya yang berbeda dari periode sebelum ia di pulau buru. Ia menciptakan “Bumi Manusia” dengan idealisme konservatif yang berbeda dengan “Gadis Pantai” dengan idealisme revolusioner. Bagaimanapun juga Pram adalah penulis yang tak pernah lepas dari prinsip-prinsip dan tujuan awal dia menulis yakni mendekapkan dirinya di tengah-tengah masyarakat dan tidak terlepas dari masyarakat. Pram adalah representasi dari sosok penulis yang konsisten dengan prinsip meski dengan sikapnya itu pula ia harus melibatkan diri dengan goda politik dan sikap politik partainya.

pramoedya ananta toerJudul buku : PRAMOEDYA ANANTA TOER , Luruh Dalam Ideologi
Penulis : Savitri Scherer
Penerbit : Komunitas Bambu
Hal : 190 halaman
ISBN : 978-602-9402-02-5
Harga : Rp.50.000,00

*) Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, Aktifis IMM, bergiat di Bilik Literasi Solo.

Sesat Pikir dan Lelayu Akademik

Gerundelan Arif Saifudin Yudistira*

one day writing
Ilustrasi dari ioneday.blogspot.com
Kabar duka baru saja mengemuka di solo. Diskusi dan bedah buku Gerwani Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan yang rencananya diadakan di Balai Sudjatmoko sabtu (12/5/12) dibatalkan karena desakan polisi. Menurut kabar, polisi di desak ormas yang menilai diskusi buku tersebut tak layak diselenggarakan dan kemudian mendesak Balai Sudjatmoko membatalkan agenda diskusi.
Sebelumnya secara beruntun kekerasan terjadi di dunia akademik kita. Penolakan bedah buku Alloh,cinta dan kebebasan karya Irshad Manji yang rencana diadakan di Balai Sudjatmoko (8/5/12) dibatalkan oleh LUIS (5/5/12). Kemudian di Jakarta pembatalan diskusi serupa dibubarkan polisi (4/5/12) dan di Yogja pun demikian halnya (9/5/12). Pembubaran maupun bentuk penekanan yang terjadi selama ini lebih didasarkan pada motif arogansi dalam masyarakat kita. Di mana letak kebebasan akademik dan kebebasan menyuarakan pendapat jika diskusi dan dialog sudah dianggap sebagai suatu ancaman.
Kekerasan yang dikedepankan mencerminkan bahwa moralitas akademik sudah tak ada dalam masyarakat kita. Apa jadinya bila bangsa yang berbudaya dan beragama lebih mengedepankan kekerasan? Agama lebih dianggap sebagai momok dan juga monster menyeramkan. Dialog yang menjadi kunci dan ciri orang beragama sudah dilupakan begitu saja. Apa jadinya bila orang beragama lengkap dengan pakaian dan senjatanya hanya untuk menyerang orang mau berdiskusi dan berdialog? Ada kesalahan paradigma yang mendasari mereka melakukan perbuatan tersebut. Sudah sejak jaman nabi-nabi dahulu, dialog dan diskusi adalah strategi yang diutamakan daripada kekerasan dan pedang. Nabi Muhammad SAW adalah contoh yang nyata. Bila diijinkan Nabi Mohamamd SAW, Jibril akan menimpakan Gunung Uhud pada kaum Quraisy, tapi Nabi lebih memilih berdoa agar orang kafir mendapat hidayah. Kekerasan adalah cara yang ditempuh bagi orang yang lemah, kata Gandhi. Maka dialog dan musyawarah dan diskusi intelektual adalah jalan yang mesti di kedepankan.

Sesat pikir

Ada semacam fenomena sesat pikir di kelompok yang mengedepankan kekerasan dan tak sepakat dengan dialog. Iman adalah sesuatu yang mutlak dalam diri, tapi alangkah nistanya bila iman hanya berlandaskan pada dogma dan dalil yang sempit semata. Bukankah sudah ada sejarah para nabi kita yang menggunakan akal untuk mencerna, memahami dan menghayati setiap peristiwa dan ayat tuhan di alam ini. Agama sekali lagi bukan dan tidak mengajarkan pemberangusan apalagi menggunakan cara-cara kekerasan menghadapi diskusi. Diskusi dan dialog semestinya dilawan dengan dialog. Maka harus kita tegaskan bahwa kekerasan dalam dunia akademik di ruang publik melalui bentuk-bentuk pelarangan, penekanan, intimidasi sampai pada tahap pembubaran orang berdiskusi dan berdialog adalah sesat pikir yang mesti diluruskan. Dalil agama mestinya tak disalahgunakan hanya untuk melegitimasi perbuatan mereka. Agama terlampau kotor bila digunakan untuk melegitimasi perbuatan mereka.
Agama semestinya lebih mengedepankan dialog dan juga diskusi intelektual. Bukankah islam pun mengajarkan “katakan kebenaran walau pahit?” Agama apapun pasti tak mengajarkan cara-cara kekerasan dalam menghadapi sesama manusia. Untuk apa beragama bila pedang dan darah lebih dikedepankan daripada perdamaian dan cinta kasih? Bukankah agama mengajarkan demikian? Seorang pemikir anti kekerasan Dom Holder Camara mengatakan dalam bukunya “spiral kekerasan” : “Apapun agamamu, cobalah berusaha agar agama membantu menyatukan umat manusia, bukan untuk memecah belah”. Setidaknya itulah ajaran yang ada juga di agama kita, bukan sebaliknya justru mengedepankan pedang daripada pikiran dan hati kita.

Arogan

Sikap pembubaran diskusi yang ada di Solo, Yogja dan Jakarta adalah bentuk arogansi semata. Hal ini bukan tidak berdasar, melainkan negara kita bukan negara agama. Justru karena negara kita bukan negara agama, mestinya kita menghormati hak-hak orang beragama menjalankan keyakinannya. Apalagi di forum intelektual, bila ingin menggugat, gugatlah dengan cara-cara akademik dan dialog. Bukan dengan membubarkan paksa, pembubaran paksa adalah cara-cara yang memicu kekerasan. Intelektual mestinya sejajar dengan iman. Bila iman tidak bisa diterima dengan rasionalitas maka iman tersebut mestinya diragukan. Oleh karena itu, pembubaran diskusi dan juga bedah buku adalah bentuk arogansi yang mendasarkan pada ego kelompok yang dipicu dengan semangat agama yang melenceng.
Pembubaran diskusi dan bedah buku Irshad Manji dan bedah buku gerwani yang ada di Solo dan Jakarta serta Yogja adalah representasi kematian akademik. Artinya, akademisi dan juga manusia sudah tak lagi mempunyai moralitas dan nalar akademik yang maju. Bila sikap seperti ini masih berkembang dan ada di negeri ini, maka konflik dan juga kekerasan akan semakin rentan terjadi di negeri ini. Persoalan ini hanya bisa diselesaikan dengan menghidupkan kembali ruang-ruang dialog dan juga forum kerukunan umat beragama. Agar nalar akademik dan juga nalar intelektual lebih dikedepankan daripada kekerasan. Kekerasan hanya akan membuat kerukunan makin sulit diusahakan.
Terlebih lagi, dunia akademik mestinya tidak mengembangkan doktrin dan juga pemikiran yang sempit. Kebebasan akademik mesti dikembangkan, kampus mesti mengawali, bahwa setiap pemikiran mesti dihargai dan dihormati. Kita tidak membicarakan pro dan kontra, setuju atau tidak, diskusi adalah cara intelektual untuk mencari dan menemukan kebenaran. Bila tidak demikian, maka ilmu dalam dunia akademik kita tak lebih dari sekadar doktrin dan dogma semata. Kampus itulah yang mesti mengawali, kasus di UGM adalah peristiwa yang mencoreng dunia akademik kita.
Jika kampus yang semestinya menjadi corong dan gerbong untuk ruang akademik dan kebebasan akademik sudah memiliki pemikiran yang sempit. Maka ini adalah tanda bahwa lelayu akademik itu sudah ada di dunia akademik dan ruang publik kita.

*) Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhamadiyah Surakarta, bergiat di Bilik Literasi Solo, mengelola Kawah Institute Indonesia