Arsip Tag: menulis puisi

Tuhan Sedang Bermain Kamera

Puisi-puisi Granito Ibrahim

#1 Jodoh.

(Kehendak Tuhan adalah abjad-abjad yang tak dapat kita tukar urutannya.)

Lama tak jumpa kekasih, aku kerja di pulau seberang
Paling-paling pesan singkatnya yang rajin berkunjung ke telepon genggam
“Sombong sekarang ya. Sudah banyak uang.”
“Apa jangan-jangan kepincut cewek di sana. Kan akang kesepian kalau malam?”
“Kapan pulang? Nanti aku keburu dikawin orang.”

Mungkin begitu semua perempuan, selalu menyindir dan mengancam.
Baiklah, bulan depan aku akan datang sambil membawa cincin tunangan.
Bagaimanapun aku cinta dia melebihi gunung aneka macam.
Dan benar, gawat juga, umur kami berdua sudah masuk tigapuluhan.

Tanpa memberitahunya aku datangi naik pesawat. Naik kapal laut takut karam.
Namun, kota tempat kekasih tinggal kini semakin sepi. Mana dia gerangan?
Tiba di rumahnya, hari beringsut senja, cahaya temaram.
Orangtuanya memelukku erat bagai anak sendiri,”Apa kabarmu nak Pram?”
Sampai juga aku di teras tempat dulu pacaran. “Mana Bu, si Wulan?”

Ibu dan Ayahnya bilang, Wulan bunuh diri beberapa waktu silam.
Dia putus asa, sebab ada kabar: aku sudah nikah duluan.
Firasatku benar kalau begitu, ketika lihat bulan setengah pualam
dan sesuai pesan singkatnya waktu itu. “Akang kapan mau datang?
Aku tunggu ya di kuburan.”

Sedih aku, payah aku, hati remuk redam
“Mungkin enaknya nyusul dia, jadi jin atau arwah gentayangan,”
kata setan yang keluar masuk pikiranku, diam-diam.

(Jodoh ada  di genggam Tuhan, maukah kita menerima kehendakNya, lalu bersalaman?)

#2 Tuhan Sedang Bermain Kamera.

Hujan mengandung harapan, juga impian
pada garis-garisnya langit seperti menangis terisak-isak
memecah sunyi sambil menebar kilat menyala-nyala.
Yang gelap menjadi terang, yang malam terlihat siang.
.
“Tuhan sedang bermain kamera,” kata seorang pengamen
“Dia memotret kita. Gambarnya akan diserahkan kepada malaikat.
Biar malaikat-malaikat tahu, kepada siapa mereka harus memberi hadiah!”
Pengamen  itu tersenyum dalam hati, berharap sebentar lagi laparnya hilang.
Baru saja, koin-koin recehnya terjatuh masuk hitam selokan
tak ada tukaran yang bisa ia berikan, kecuali mengharap pemberian
dari doa yang ia lantunkan.

Hujan mengandung harapan, juga impian
pada mereka yang di ranjang berduaan.
Seperti petir api-api cinta berloncatan
percikan terang redup bergantian.
“Habis ini cepat kita pulang!” kata lelaki kelelahan
“Takut istri, ya Mas?” ucap genit bibir perempuan.
Mereka tetap bergegas pulang
yang lelaki takut ketahuan
yang perempuan khawatir hamil duluan.

Padahal Dia juga memotretnya,
diam-diam dari balik awan.

#3 Partitur Sang Maha.

Seorang penyair muda sedang mati kalimat, maka ia berdoa,

“Tuhan yang maha Sastra, di mana Kauletakkan makna dari balik kata
apakah kelahiranku sebagai A, lalu kematianku kelak sebagai Z
lantas kehidupan ini adalah permainan susun-menyusun abjad
menjadi kalimat. Kalimat membentuk bait hingga menjadi syair kebesaranMu?”

Seumpama sabdaMu adalah nada maka manusia adalah pemusik
Telah Kautebar rima di antara ayat-ayat itu, maka manusia adalah penyanyi
Dua pertigaku adalah air, dari rahim menuju garis akhir
Sepertigaku adalah tulang dan daging, kelak membusuk berbaring
Berarti bunyi waktu merupakan lagu. Yang harus kumainkan sesuai partitur
Yang telah Kauatur dari sebelum dunia lahir dan kelak hancur.

“Tuhan yang maha Sastra, di mana Kauletakkan aku dari balik ceritaMu?”
 
 
Granito Ibrahim, lahir di Jakarta. Seorang buruh seni. Baginya, tidak semua ungkapan hati dapat dituangkan dalam wujud visual. Tidak seluruh buah pikiran bisa digoreskan dalam gambar. Sebab itu ia kadang membuat cerpen dan sesekali menulis puisi. Walau waktunya seringkali dihabiskan untuk memelihara ikan; sebuah obsesi masa depannya.

Mary, Mary, Godwin, Shelley #3

Kolom John Kuan

Dua tahun setelah Mary dan Shelley minggat bersama, isteri sang penyair mati bunuh diri. Maka Mary Wollstonecraft Godwin pun resmi menikah dengan Shelley.

Mary selalu berdiskusi dengan Shelley seluruh rencana penulisannya. Mereka bersama-sama mengunjungi kota besar dan kecil juga hutan gunung dan tepi laut daratan Eropa, selain catatan harian ditulis bersama-sama, mereka juga memendam kepala masing-masing, menulis puisi dan novel sendiri, seringkali memasukkan negeri asing tempat mereka hidup bersama ke dalam tulisan, samar-samar sebagai latar, namun lebih sering melampaui, simbolis. Mary dengan bakat alamnya, ditambah pendidikan luar biasa dan harapan yang diberikan orangtuanya, saat itu sepenuh cinta dan saling menggetarkan dengan Shelley yang penuh daya imajinasi, wawasan, dan cita-cita yang menjulang, memberi dia daya kreasi yang tak terbayangkan, melepas keluar seluruh kekuatan terpendam seni dan filsafatnya.

~

Mary dan Shelley, juga banyak teman-teman mereka suka sekali berkisah cerita hantu, sekalipun mereka adalah intelektual menonjol yang rasional dan kaya rasa. Mary pernah menulis sebuah artikel tentang hantu (On Ghost), membaca ini bisa membuat bulu kuduk berdiri. Salah satu bagian konon adalah pengalaman pribadi salah satu temannya. Temannya bercerita bahwa tidak lama setelah seorang temannya meninggal dunia, almarhum tahu dia sangat mengenangnya, sehingga setiap malam mengunjunginya. Begitu dia berbaring di atas ranjang antara tidur dan tidak, temannya yang telah meninggal itu akan pelan-pelan mendekat dan menyentuh kedua pipinya, sehingga dia bisa dengan tenang tertidur. Demikian berlangsung beberapa hari. Mary menambah satu kesimpulan: Bisa dibayangkan, hal begini sangat bisa dipercaya; namun temannya berkata bahwa temannya yang telah meninggal dunia itu suatu hari berhenti mengunjunginya (sekalipun dia setiap malam masih berdebar baring di atas ranjang), hanya karena dia pindah rumah. Kalau menurut perkataannya ini, hantu ternyata tidak dapat menemukan alamat rumah barunya, dan sebagainya dan seterusnya.

~

Di sekitar hutan lebat sebelah timur Jerman, ada orang sedang memacu kuda menuju rumah teman, dan di sekitar pinggir hutan, dia tersesat. Orang itu terus mencari jalan di antara pepohonan, akhirnya tampak di jauh ada setitik cahaya remang. Dia berjalan ke arah cahaya, baru tahu ternyata cahaya berasal dari sebuah biara terlantar. Sebelum mengetuk pintu, dia merasa seharusnya mengintip sedikit bagian dalam dari jendela. Dia melihat sekelompok kucing berkerumun di depan sebuah liang lahat, dan empat ekor di antaranya sedang bekerja sama menurunkan sebuah peti mati, di atasnya tergeletak sebuah mahkota. Orang itu kaget setengah mati, hatinya menerka dia mungkin sudah masuk ke alam hantu atau kampung penyihir jahat, cepat-cepat melambungkan badan ke atas kuda, dengan kecepatan penuh lari dari tempat tersebut. Agak lama, akhirnya dia sampai di rumah teman, dan teman sedang duduk begadang menunggunya. Temannya bertanya kenapa wajahnya begitu pucat dan takut? Awalnya dia ragu-ragu, tidak ingin buka mulut, amat yakin temannya tidak akan percaya. Namun akhirnya juga membeberkan apa yang terjadi. Dia baru selesai menceritakan bagian peti mati yang ada mahkota di atasnya bagaimana diturunkan, tampak kucing temannya yang lelap di depan perapian tiba-tiba berdiri, langsung berkata: “Sekarang giliran aku jadi raja kucing!” cepat-cepat memanjat ke puncak cerobong, hilang tanpa bekas.

~

Cerita di atas adalah salah satu bagian yang dicatat Mary di dalam On Ghost, cerita ini berasal dari seorang pengarang cerita misteri yang dia dan Shelley kenal di Jenewa.

 Ada orang mengatakan Mary tidak mendengar langsung dari penulis cerita misteri itu.

Mei 1816, Mary dan Shelley, bersama adik perempuannya yang lain bapak lain ibu, Claire pergi ke Swiss, tinggal di Jenewa yang dingin beku, kala malam sering bersama teman hidup api berkisah cerita hantu. Sekitar Agustus, Shelley dan seorang temannya pergi mengunjungi penulis cerita misteri itu, mendengar lima buah cerita hantu, dan semuanya dicatat, cerita di atas adalah salah satu. Teman yang bersama-sama Shelley pergi mendengar cerita hantu bukan orang lain, dia adalah Byron.

~

 A gentleman journeying towards the house of a friend, who lived on the skirts of an extensive forest, in the east of Germany, lost his way. He wandered for some time among the trees, when he saw a light at a distance. On approaching it he was surprised to observe that it proceeded from the interior of a ruined monastery. Before he knocked at the gate he thought it proper to look through the window. He saw a number of cats assembled round a small grave, four of whom were at that moment letting down a coffin with a crown upon it. The gentleman startled at this unusual sight, and, imagining that he had arrived at the retreats of fiends or witches, mounted his horse and rode away with the utmost precipitation. He arrived at his friend’s house at a late hour, who sate up waiting for him. On his arrival his friend questioned him as to the cause of the traces of agitation visible in his face. He began to recount his adventures after much hesitation, knowing that it was scarcely possible that his friend should give faith to his relation. No sooner had he mentioned the coffin with the crown upon it, than his friend’s cat, who seemed to have been lying asleep before the fire, leaped up, crying out, ‘Then I am king of the cats;’ and then scrambled up the chimney, and was never seen more.

 Mary Wollstonecraft Godwin Shelley suka nuansa misterius, suka mengali ke daerah yang dalam, mencari ke jaman kuno, pasti akan suka yang begini, setengah klasik setengah populer, suatu bentuk tulisan yang mencurigakan juga menggembirakan, bentuk ini juga pernah sangat populer, terselip di dalam tradisi besar kebudayaan, ditampilkan dalam bentuk cerita misteri, legenda, catatan, juga novel, dengan daya hidup yang demikian kuat, menggembirakan juga mencurigakan, kiranya Mary pasti sangat menyayangi, juga Shelley, juga Byron juga teman-teman mereka.

~

Kesulitan dalam mengarang, awalnya bukan masalah tema, adalah makna yang diberikan tidak menemukan sandaran yang dapat ditelusuri dan tepat, kata-kata tidak bisa secara efektif menjadi rujukan, menyebabkan hati dan pikiranmu menyelam terlalu lama, teori yang dibaca dan dipelajari terombang-ambing, pada saat itu, sekalipun sendiri merasa kata-kata telah selesai diungkapkan, orang lain merasa kamu samasekali belum bicara.

Atau, kamu belum berbicara, orang lain sangka kamu telah bicara, bahkan telah berbicara banyak; mereka menerka tujuanmu, dengan kata-kata yang terbatas sebagai landasan, sesuka hati intepretasi, mencemari karyamu, kadang-kadang seluruhnya salah.

Kadang-kadang, mereka sengaja salah.

~

 Kitab Sejarah Dinasti Jin – 晉書 mencatat suatu kali Raja Kuaiji ( 会稽 ) Sima Daozi – 司马道子 dan Xie Chong – 谢重 sedang duduk berbicara. (Saat itu malam berbulan, terang dan bersih, Daozi merasa pemandangan begini bagus sekali, sangat menikmati) Xie Chong menimpali: “lebih baik dihias sedikit awan tipis.” Sebab Daozi ingin bercanda sambil menyindir Xie Chong maka berkata: “Anda sengaja mengotori hati, bahkan mau memaksa langit ikut tercemar?”

Ini adalah pelajaran yang sangat bagus

Su Dongpo ketika menulis buku esainya (zhilin – 志林), tidak dapat menahan diri menambah beberapa goresan pena: (Langit biru bulan putih, tentu merupakan satu hal yang menyenangkan di dunia; atau masih ada yang berkata: Lebih baik dihias sedikit awan tipis. Sebab tahu hati memang tidak bersih, sering ingin mencemari langit.)

Tahun 1100 Masehi, Su Dongpo di dalam pembuangan di Pulau Hainan mendapat pengampunan Kaisar, dalam perjalanan pulang melewati Qiongzhou, pada malam tanggal 20 bulan 6 menyeberangi lautan, menggunakan maksud di atas, berputar jadi sebait puisi begini:

Awan bubar bulan terang siapa menghias?

Langit rangkul laut warnanya memang jernih.

云散月明谁点缀?天容海色本澄清

~

Februari 1821 John Keats meninggal dunia di Roma karena sakit, saat itu Mary dan Shelley menetap di Pisa, latar belakang Shelley dan Keats sangat berbeda, samasekali tidak ada hubungan persahabatan, mereka juga tidak saling mengapresiasi. Namun kematian John Keats di usia muda, 25 tahun, membuat Shelley sangat sedih, terutama karena dia mendengar bahwa John Keats menderita sakit dan ambruk, disebabkan oleh para kritikus menyerang puisi-puisinya, lalu menulis sebuah elegi panjang (Adonais) untuknya.

~

Kritikus dapat memarahi seorang penyair sampai sakit, sampai mati?

Tidak mungkin.

 ~

Januari 1818 Mary Wollstonecraft Godwin Shelley menerbitkan Frankenstein, tidak lama kemudian bersama sang penyair berangkat ke Italia. Tahun itu Shelley mulai menulis drama liris Prometheus Unbound. Selain itu, karya puisi tidak putus, ada panjang ada pendek, salah satu adalah sebuah soneta yang berubah bentuk:

Ozymandias

Aku bertemu seseorang datang dari tanah purba

Berkata padaku: Dua potong paha besar pahatan batu

Tegak di atas gurun, tanpa batang tubuh… tak jauh di dalam pasir

Setengah terkubur satu wajah hancur, mengernyit,

Bibir berkerut, aba-aba sinis dingin yang angkuh

Buktikan pematung kala itu demikian bisa membaca hatinya

Dalam-dalam memahat ke benda mati itu, bertahan hingga kini

Lebih lama dari hati yang menjaga dan tangan tukang yang meniru;

Dan di atas dudukan patung hanya muncul beberapa kata:

Aku bernama Ozymandias, Raja Segala Raja

Lihat hasil karyaku, alangkah perkasa, mengeluhlah!

Di sisinya tiada apapun, hanya kelihatan tumpukan serpihan

Dikelilingi kehancuran, tak bertepi, mati senyap

Adalah pasir rata yang luas dan sunyi menjulur hingga jauh.

 

I met a traveller from an antique land

Who said: Two vast and trunkless legs of stone

Stand in the desart. Near them, on the sand,

Half sunk, a shattered visage lies, whose frown,

And wrinkled lip, and sneer of cold command,

Tell that its sculptor well those passions read

Which yet survive, stamped on these lifeless things,

The hand that mocked them and the heart that fed:

And on the pedestal these words appear:

“My name is Ozymandias, king of kings:

Look on my works, ye Mighty, and despair!”

Nothing beside remains. Round the decay

Of that colossal wreck, boundless and bare

The lone and level sands stretch far away.

Puisi, Penyair, dan Identitas

Gerundelan Muhammad Ali Fakih AR*

prosa lirisPUISI pada mulanya adalah problem. Ia seperti sebuah ruang yang memang sengaja diciptakan agar manusia menemukan kegelisahannya.
Masalah yang dibawa oleh puisi adalah identitas. Pusi, dalam hal ini, tidak bermaksud untuk menegaskannya, namun hanya menunjukkan bahwa ia mesti ada: ada sebagai masalah. Dan kita tahu kemudian, jawaban terhadap masalah tidak ada di dalam puisi, selain mungkin pada diri penyairnya. Puisi tidak hendak mendedikasikan diri untuk sebuah jawaban. Puisi mendedikasikan diri hanya pada masalah. Untuk itu, mari kita nikmati puisi Acep Zamzam Noer yang berjudul ”Waktu yang Sehitam Dedak Kopi”:
… Sepi yang terus berdetak pada arloji. Pada jam besar/ Yang gemetar di dinding lengang hari (Horison-XLll/9/2007).
Acep, kita tahu, seorang kiai dari Tasikmalaya, selain juga seorang penyair angkatan 90-an. Seorang kiai, kita tahu, sesosok ”pekerja sosial-keagamaan”, berpandangan luas, universal, dan oleh sebab itu, dianggap telah ”selesai” dengan problematika individualitasnya. Tetapi sepi yang terus berdetak pada arloji, tidak akan pernah meninggalkan diri manusia. Sepi, sekali lagi, tak ingin membuat kita terasing atau ia terasing dari kita. Betapa pun menolak, ia akan tetap memeluk kita, memeluk dengan tangannya yang dingin.
Semua orang mungkin pernah merasakan sepi, tapi tidak setiap orang yang dapat menghayatinya kecuali perenung, yang suka bergerak dari kenyataan, turun ke alam sadar. Dan ini problem, entah itu membawa efek positif atau justru negatif, setidaknya untuk identitas. Sepi adalah problem, yang terus dihayati oleh penyair, bukan sekedar untuk menemukan makna, tetapi selebihnya karena dia ada.
Semua penyair, barangkali, akan mengatakan kepada dunia bahwa selama manusia mencari identitasnya, selama itu pula ia tidak akan menemukannya. Sebab, mencari identitas seperti mencari sesuatu yang ghaib, yang tidak mungkin kita tembus dengan ”perangkat” fisik. Sementara ”kerja” seorang penyair di wilayah itu. Lalu, apakah mungkin penyair mencari, mendapatkan dan menemukannya? Jika sudah menemukan, mengapa ia masih menulis puisi?
Penyair tidak bermaksud mencari identitas, tetapi untuk menyatakannya. Sepi, inilah identitas itu, sebagaimana juga cinta, rindu, suka, luka, hasrat, sunyi, masyigul, dan lain sebagainya. Identitas bagi penyair bukan sebagaimana ide Plato yang jauh dan tak tersentuh. Ia lebih bergerak dalam kesadaran untuk menemukan manusia di garis ruang dan waktunya. Sebagaimana hukum-hukum alam di fisika, identitas-identitas itu yang mengatur dan menentukan gejala hidup manusia.

***

Identitas-identitas itu adalah problem, sebab bila tidak, mana mungkin ada orang yang peduli kepadanya. Bernafas dalam cinta, bergulat dalam rindu, mungkinkah itu bukan masalah?
Pada diri orang kebanyakan, pengalaman cinta atau sunyi mengalir begitu saja, timbul dan hilang. Tapi tidak pada seorang penyair. Pengalaman cinta atau sunyi, baginya, jangan sampai lenyap tanpa sempat direnungkan, dirasakan, diidentifikasi dan didalami. Pada mulanya bukan untuk puisi, namun karena puisi ada, maka dipergunakanlah ia untuk menghadirkannya.
Hal yang lebih dari seorang penyair adalah bahwa ia mampu ”mengabarkan” tentang sesuatu yang mungkin amat sulit bagi orang lain mengungkapkannya lewat bahasa verbal. Di sinilah peran metafora dihadirkan oleh penyair ke dalam puisi dengan maksud agar apa yang dia rasakan, dan apa yang dia renungi dan dalami dari perasaannya itu turut pula dipahami dan dirasakan oleh orang lain. Penyair memang dalam salah satu perannya adalah pawang yang bertugas mengantisipasi ketidakterkatakannya sesuatu yang amat berharga bagi manusia melalui bahasa sehari-hari. Simaklah puisi Goenawan Mohamad (GM), ”Hari Terakhir Seorang Penyair, Suatu Siang”:
… Di siang suram bertiup angin. Kuhitung pohon satusatu/ Tak ada bumi yang jadi lain: daunpun luruh, lebih bisu/ Ada matahari lewat mengendap, jam memberat dan hari menunggu/ Segala akan lengkap, segala akan lengkap, Tuhanku..(Pariksit, 1971)
Dalam puisi ini, GM menggambarkan kondisi dan suasana hati orang yang mengharap ”ciuman” Tuhannya, tetapi tak kunjung dapat. Hatinya risau, gebalau, dan dia berkata: Segala akan lengkap, segala akan lengkap, Tuhanku. Sebuah pesimisme.
Kalau direnungi setahap demi setahap metafora-metafora pada puisi di atas, kita akan tahu untuk menggambarkan kondisi apakah diksi daunpun luruh, lebih bisu atau Ada matahari lewat mengendap digunakan oleh GM? Terhadap puisi, kerap kali pembaca dapat merasakan getarannya, tetapi kerap kali ia tidak mampu membahasakan getaran itu. Jangankan kepada orang lain lewat bahasa, pada dirinya sendiri pun lewat akal tidak bisa. Demikianlah, puisi hadir sebagai media untuk menyatakan ”yang tak terungkap”, identitas hidup manusia, yang adalah masalah, tapi bagitu nikmat, dan oleh karennya, ia mesti ada. Puisi, sekali lagi, adalah masalah.

*) Penulis adalah esais dan peminat sastra tinggal di Yogyakarta.


Sumber: Suara Merdeka Cetak, Minggu 4 Maret 2012