Arsip Kategori: Gerundelan

Arti Penting Agama bagi Keadilan Sosial dan Budaya Perdamaian

Salah satu elemen penting pembentuk budaya perdamaian adalah adanya keadilan sosial. Istilah keadilan sosial di sini tidak terbatas pada tindakan masing-masing  individu, tetapi juga mencakup aspek yang lebih luas: predikat sosial atau sistem tatanan sosial dengan tindakan-tindakannya baik secara individu maupun secara institusional. Bagaimana agama mempengaruhi tindakan yang berpengaruh pada keadilan sosial tersebut?

harmony gives happiness
ilustrasi diunduh dari peace from harmony.org

Agama, dengan konsep-konsep di dalamnya, memiliki kemampuan membentuk konsep di benak pengikutnya. Dengan berbagai miniatur persoalan manusia, lambang dan simbol  makna identitas manusia, agama masuk dalam alam sadar hingga bawah sadar manusia membentuk konsep untuk mengatasi persoalan-persoalan mendasar manusia. Konsep-konsep berbasis agama tersebut kemudian membangun persepsi para individu terhadap suatu keadaan. Adalah Persepsi yang kemudian menjustifikasi apakah suatu keadaan atau tindakan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Ketika persepsi bahwa suatu ketidakadilan telah terjadi, maka persepsi tersebut menyebabkan ketidakpuasan yang kemudian mengarah pada konflik, kerusuhan sipil atau bahkan perang.

Agama atau Religion(s) berasal dari kata riligiare yang berarti “harmoni”, “menyatukan”, “mengikat dalam kebersamaan”, “menjadikan utuh”. Bahasa Sansekerta menyebut “dharma” yang memiliki makna “menyatu dengan semesta” (to bind together as one the whole universe). Agama kemudian ber-evolusi hingga tidak lagi berkutat pada realitas kemanusiaan yang lebih besar dari dirinya sendiri atau persoalan-persoalan jasmaniah. Agama berkembang sebagai pengalaman spiritual, pengalaman mengenai sesuatu “yang suci” atau sesuatu “yang tidak diketahui”. Bagi sebagian orang, agama juga merupakan usaha mencapai kesatuan keteraturan di antara kekacauan (chaos). Agama juga dapat digambarkan sebagai suatu cara sebuah masyarakat melakukan interpretasi atas kehidupan dan membangun standard-standard moral serta perilaku terkait interpretasi tersebut guna memenuhi kebutuhan suatu komunitas. Dari berbagai macam arti dan makna agama tersebut dapat ditarik satu definisi bahwa agama merupakan suatu keyakinan dan praktik-praktik yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat dengan merujuk pada persoalan mendasar umat manusia, pencarian makna, penderitaan dan ketidakadilan; yang kemudian secara khusus merumuskan cara-cara fundamental untuk mengurangi persoalan-persoalan tersebut serta menghadapi kenyataan sembari tetap berupaya memecahkan persoalan mendasar tersebut meskipun ketidakberartian, penderitaan dan ketidakadilan terus berlanjut.

Berbagai konsep agama tersebut berkontribusi pada berbagai variasi “konsep keadilan” dan “persepsi ketidakadilan”. Berbagai macam agama dapat ditemukan di dunia ini. Agama-agama tersebut memiliki perbedaan satu sama lain. Suatu hal yang mendasar bagi satu agama, tidak demikian bagi agama lain. Demikian juga dengan keyakinan pada dewa-dewa atau pada Tuhan, tidak bersifat berterima umum meskipun masing-masing agama sama-sama melakukan peribadatan dan memiliki pemimpin ibadat. Kesamaan dari berbagai agama tersebut barangkali dapat ditemukan pada aspek pengalaman religius dalam beragama. Konsep dan persepsi yang bervariasi tersebut menuntun pada respon yang berbeda-beda dalam menyikapi ketidakadilan yang sama. Hal ini juga yang menempatkan agama sebagai bagian persoalan manusia sekaligus juga sebagai sarana menyelesaikan persoalan manusia.

Persepsi ketidakadilan sebagian besar umat manusia biasanya berkutat pada persoalan:

  • otoritas (siapa yang berhak mengambil keputusan dan siapa yang harus mengikuti?)
  • pembagian kerja (siapa yang mengerjakan, apa yang dikerjakan, kapan dan bagaimana pekerjaan itu dikerjakan?)
  • distribusi sumber daya (bagaimana sumber daya, kesempatan, kewajiban, hukuman, penghargaan, atribut yang mempengaruhi psikologi, ekonomi atau kesejahteraan suatu masyarakat dialokasikan?)

Setiap orang berhadapan dengan persoalan tersebut. Kebutuhan akan keadilan (memenuhi rasa keadilan), membutuhkan koordinasi segenap komponen masyarakat termasuk di dalamnya agama.

Salah satu dampak konsep menyikapi ‘ketidakadilan’ pada suatu keyakinan adalah penindasan terhadap rasa ketidakadilan (pasrah pada ketidakadilan-red). Jika ‘keadilan’ itu bersifat universal, mengapa ada orang yang memilih menerima ketidakadilan daripada menolaknya? Menjawab pertanyaan tersebut, hasil penelitian Barrington Moore menunjukkan bahwa doktrin agama memberi pengaruh kuat pada seseorang untuk menekan rasa ketidakadilan. Beberapa ajaran keyakinan semacam ‘asceticism’, sistem kasta dalam agama dan penerimaan diri sebagai korban, pada intinya menanamkan ‘rasa bangga dan bahagia telah mengalami penderitaan’. Pada kasus tersebut terdapat otoritas moral yang harus diterima dan diyakini para pengikutnya.

Di satu sisi agama mempengaruhi seseorang untuk menerima ketidakadilan dan di sisi lain agama juga menumbuhkan semangat penolakan terhadap ketidakadilan. More menunjukkan bukti-bukti bahwa mereka yang kuat bertahan di kamp konsentrasi Nazi adalah orang-orang yang taat beragama. Demikian juga mereka yang lantang melawan Ferdinan Marcos di Filipina adalah anggota kongregasi Kristen dan Katholik yang taat. Mereka memilih untuk bersiap menerima penderitaan, ditahan atau dibunuh daripada diam menyaksikan ketidakadilan.

Agama dan Ideologi Pembenaran Kekerasan

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, agama dapat menekan atau menumbuhkan rasa ketidakadilan pada tataran sadar dan bawah sadar manusia. Agama juga memberi peran penting dalam pendefinisian makna hidup, penderitaan manusia dan cara mengatasi penderitaan itu. Namun, ketika berbicara soal tatanan sosial yang secara sistematis menguntungkan satu pihak dan merugikan banyak pihak lain dan dominasi satu pihak berada pada tataran kesadaran budaya, maka itu masuk pada ranah ideologi.

Ideologi tidak seharusnya dibangun secara negatif. Ideologi tidak seharusnya dilihat pada batas kesadaran semata. Ideologi dibangun untuk memperbaiki masyarakat, untuk mengelola sistem sehingga ide-ide menemui kemapanannya. Dan sebuah ideologi yang sukses adalah yang meresap dalam kesadaran  budaya setiap orang tanpa perlu dipertanyakan lagi. Banyak orang tidak menyadari bahwa keberadaan mereka dibawah kendali ideologi. Kurangnya kesadaran ini membuat orang sulit untuk diajak bicara secara terbuka atau untuk mengubah perilaku mereka. Untuk membangun budaya perdamaian yang positif dibutuhkan peningkatan kesadaran tidak hanya pada soal ideologi. Perdamaian positif berbeda dengan perdamaian negatif. Perdamaian negatif bercirikan lingkungan yang aman -jauh dari peperangan-, namun budaya kekerasan secara verbal dan struktural masih mendominasi. Perdamaian positif tidak sekedar jauh dari peperangan, tetapi juga bercirikan adanya sistem sosial, ekonomi, politik dan budaya yang menempatkan dan memperlakukan manusia secara adil serta humanis dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Untuk membangun perdamaian yang positif, maka para pemimpin agama dan pengikutnya dapat berkontribusi dengan:

  1. Mengakui bahwa keadilan sosial merupakan hal mendasar pembentuk budaya perdamaian;
  2. Mengakui bahwa agama turut bertanggung jawab terhadap keadilan sosial terkait dengan perannya mengajar dan membentuk standard-standard keadilan sosial. Hal ini termasuk juga menghormati keadilan sosial sesuai dengan kesepakatan internasional terkait dengan hak-hak asasi manusia;
  3. Mengakui bahwa kelompok beragama, baik secara sadar atau tidak sadar turut serta menciptakan ketidakadilan sosial, mencederai perdamaian dengan mendiamkan terjadinya praktik-praktik dan kebijakan yang tidak adil di manapun mereka berada;
  4. Berani melakukan uji keyakinan, ide-ide, ajaran dan praktik beragama dengan selalu melakukan konfirmasi apakah hal-hal tersebut memperkuat keadilan sosial dan perdamaian atau malah kontraproduktif terhadapnya;
  5. Turut serta membangun harga diri, rasa percaya diri, disiplin dan membangun kesadaran rasa solidaritas sebagai sebuah komunitas yang berkepentingan terhadap keadilan sosial dan perdamaian. Selain itu juga menumbuhkan kepekaan akan ketidakadilan, menolak kekerasan dan menyelesaikan konflik tanpa kekerasan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang terlatih dalam membangun kepekaan sosial dengan dukungan iman dan keyakinan mereka, dapat dipercaya mampu membangun perdamaian yang positif;
  6. Bersedia merangkul para korban ketidakadilan;
  7. Bekerja sama dengan para penganut keyakinan atau agama lain untuk tidak membenarkan ketidakadilan dan kekerasan. Kerja sama dapat dilakukan mulai dari mengeluarkan pernyataan, memberi bantuan baik secara fisik maupun moral, memposisikan diri sebagai penjaga penyelesaian masalah tanpa kekerasan, serta menempatkan diri sebagai mediator dalam mencapai perdamaian;
  8. Para pengikut agama dan keyakinan membiasakan diri untuk tidak memberikan dukungan baik fisik maupun moral terhadap tindakan kekerasan, pelestarian sistem yang tidak adil dan lebih mengutamakan perdamaian.

Naskah sumber: The Significance of Religions for Sosial Justice and a Culture of Peace by Patricia M. Mische.

Disarikan oleh Ragil Koentjorodjati.

 

Artikel terkait:

 
Sekali Lagi Mempertanyakan Sikap Pemerintah Terkait Kekerasan Atas Nama Agama
Fenomena Sondang dan Nurani Bangsa Sakit
Tentang Kolom Agama di KTP, Ini Pelajaran Berharga dari Libanon
Siapa Saja Ateis di Indonesia?
Arak, Alkitab Terjemahan, Taoisme, Socrates, dan Lain-lain

Kajian Kearifan Lokal: “Kembang Galengan”

Gerundelan David Ardyanta

foto David Ardyanta
#Syair lagu Kembang Galengan
(Cipt: B.S. Noerdian)

Kembang galengan
Meletik sing nggawa aran
Tanpa rupa tanpa ganda
Mekare mung sak sorenan

Kembang galengan
Kaudanan kepanasan
Kaidek eman-eman
Dipetik sapa oyan

Kaidek eman-eman
Dipetik sapa oyan
Dipetik sapa hang oyan
Dipetik sapa hang oyan

Taping temena nyawang langit
Ngelirik unyike godong
Weruh obahe wit-witan
Kepingin milu angin nggoleki sangkan paran

Kembang galengan
Iming-imingana emas berlian
Aluk mituhu nunggu kedokan
Meluk nggandoli lemah prujukan

#Terjemahan bebasnya:

Bunga penghias pematang
Terlempar tanpa nama
Tanpa pesona tanpa aroma
Hanya mekar untuk satu sore

Bunga penghias pematang
Kehujanan kepanasan
Terinjak sayang
Dipetik, siapa yang mau?

Terinjak sayang
Dipetik, siapa yang mau?
Dipetik, siapa yang mau menerimanya?
Dipetik, siapa yang maumenerimanya!

Tetapi, lihatlah langit dengan seksama
Melirik pupus-pupus daun
Terlihat gemulai gerak pepohonan
Ingin mengikuti arah angin mencari asal usul

Bunga penghias pematang
Bujuk rayulah ia dengan emas permata
Akan lebih baik menunggu petak-petak sawah
Memeluk dan memperjuangkan tanah dimana ia telah dibesarkan

Rangkaian kata-kata sederhana namun menurut saya memiliki kedalaman filosofi dan pemikiran dari penciptanya B.S Noerdian yang berasal dari kota Gandrung, Banyuwangi Jawa Timur. Syair lagu ini menggunakan bahasa Osing dari suku Osing yang tersebar di beberapa daerah di lereng Gunung Ijen.

Lirik lagu Kembang Galengan ini seakan mengisyaratkan tentang seseorang yang dengan sederhana dalam menyikapi hidup ini. Kembang galengan. Meletik sing nggawa aran. Tanpa rupa tanpa ganda. Mekare mung sak sorenan. Seseorang yang sederhana ibarat hanya sekuntum bunga penghias pematang, yang tak pelu mengunggulkan nama dan pribadi sebagai sebuah pencintraan. Penampilan yang sederhana, ibarat bunga pun ia tak beraroma dan ia sangar sadar benar bahwa hidup ini demikian pendek dan terbatas, seperti bunga yang hanya mekar untuk satu sore lalu layu dan mati.

Bungan penghias pematang yang demikian sederhana telah melakoni kehidupan yang penuh suka duka ini, sayang jika harus diinjak-injak dan hanya disia-siakan saja, namun jika dipetik pun siapakah gerangan yang mau menerima sesuatu yang begitu sederhana ini? Sesuatu yang mungkin dianggap tak ada harganya! Apa yang ia inginkan hanyalah untuk menjadi sesuatu, sebuah warna yang telah memperkaya warna-warna yang ada di kehidupan ini, apapun warna itu.

“Taping temena nyawang langit. Ngelirik unyike godong. Weruh obahe wit-witan. Kepingin milu angin nggoleki sangkan paran.” Sebuah unsur keyakinan dan religi yang demikian kokoh tersirat dalam syair ini. Ia yang sederhana dengan segala kesederhanaannya, hati, jiwa dan pikirannya selalu bermunajat dan berbhakti pada Tuhan Pencipta Semesta, mengagumi dan menyelaraskan diri dengan segala ciptaanNya serta mencoba mengerti/membaca segala firman-firmanNya yang tak tertulis namun tersirat dalam setiap materi ciptaanNYa. Selaras dengan konsep manusia Jawa tentang “Sangkan Paraning Dumadi”, sebuah konsep tentang asal usul, jati diri dan kemana kembalinya manusia pada akhirnya. Demikianlah juga mereka, sangat religius!

Ungkapan rasa Nasionalisme kebangsaan, kecintaan mereka pada tanah air, tanah kelahiran mereka, juga tersirat tegas dalam lirik terakhir dari syair lagu ini. “Kembang galengan. Iming-imingana emas berlian. Aluk mituhu nunggu kedokan. Meluk nggandoli lemah prujukan.” Sekali lagi meski dengan kesederhaannya, bujuk rayu dengan emas permata atau apapun juga, tak akan dapat menggoyahkan untuk tetap berpijak, memeluk dan memperjuangkan tanah kelahirannya, tanah yang telah menumbuhkan dan membesarkannya. Betapa nasionalis!

Semoga ada petikan makna yang bermanfaat yang dapat diambil dari syair lagu dan tulisan sederhana ini.

“kembang galengan, hang meletik sing nggawa aran, tanpa rupa tanpa ganda, mekare mung sak sorenan!”

Manusia Baru

Gerundelan Ragil Koentjorodjati

pembebasan
gambar diunduh dari shraddhananda.com

Ada satu cerita tentang seorang bocah yang menginginkan mainan baru. Anggaplah mainan itu sebuah boneka Timmy. Anda tahu, Timmy si anak kambing pada kartun Shaun The Sheep cukup digemari anak-anak. Bukan saja karena bentuknya lucu menggemaskan, tetapi juga karakter yang kuat untuk memenuhi rasa ingin tahu, ciri khas anak-anak. Wajar jika si bocah terpikat dan ingin memiliki boneka Timmy ini. Persoalannya, si bocah telah memiliki banyak boneka di ranjang tidurnya. Beberapa telah bau pesing dan sebagian lainnya kotor berdebu.

Memancing rasa tahu si bocah, sang ibu bertanya,”Mengapa harus beli boneka baru? Bukankah yang lama masih bagus?” Karena si bocah tidak menjawab sesuai dengan keinginan ibunya, ia tidak dibelikan boneka baru. Si ibu lebih senang membeli buku-buku pelajaran untuk si anak yang kadang harus dipanggulnya ketika berangkat sekolah. Ya, saya menyebut dipanggul karena memang buku pelajaran dalam satu hari untuk anak SD mendekati berat beras 10 kg. Begitu berat beban yang dipanggul anak-anak SD jaman sekarang. Dan tentu sebagian besar harus buku baru.

Saya tidak hendak melenceng membahas dunia pendidikan kita yang Anda tahu cukup menyedihkan. Lebih menarik minat saya jika membahas pertanyaan “mengapa harus beli boneka baru?” Pertanyaan ini bisa disubstitusi dengan kata-kata lain seperti: mengapa harus buku baru, mengapa harus rumah baru, mengapa harus mobil baru. Jika lebih abstrak lagi: mengapa harus aturan baru, mengapa harus undang-undang baru, mengapa harus agama baru, mengapa harus baru, termasuk di dalamnya “mengapa harus manusia baru?” Apakah yang baru pasti lebih baik dari yang lama?

Jawaban pertanyaan ini bisa ruwet namun juga bisa sederhana, tergantung dari mindset masing-masing orang. Mindset sebagai seperangkat cara pandang konsep berpikir dan bertindak manusia, memegang peran penting dalam menyikapi fenomena-fenomena di abad ini. Kemudian beberapa ajaran menyodorkan konsep “manusia baru” guna menyikapi jaman yang bagi sebagian orang tampak semakin buruk. Manusia baru yang bagaimana?

Beberapa ajaran dan agama menekankan “manusia baru” sebagai “perpindahan manusia lama yang penuh dosa ke manusia baru yang suci.” Konsep pertobatan, penebusan dosa, berdoa, berpuasa, samadhi, bertapa, pada intinya sebagai usaha “menghapus manusia lama menjadi manusia baru.” Lalu mengapa sekian lama kita tidak melihat perubahan yang berarti dari hadirnya manusia baru hasil proses beribadah, berdoa, berpuasa, mati raga dan lain sebagainya itu? Kita masih cukup kesulitan menemukan sebuah hubungan antar manusia yang saling menghormati dan menghargai. Memang negara ini menganut demokrasi, namun masih jauh dari egaliter. Alih-alih menjadi manusia yang hijrah dari keburukan, konsep manusia baru justru membawa manusia “naik kelas” merasa boleh merendahkan yang lain. Simak kejadian akhir-akhir ini soal film dan kartun Nabi Muhammad. Ada perubahan cara pandang (mindset), tetapi tidak bergeser dari fondasi “ke-aku-an” sehingga yang terjadi adalah cara pandang “surga buatku”, “kabar gembira buatku”, atau “alam semesta buatku.” Salah satu tujuan beribadah, berdoa, berpuasa dan mati raga untuk menjadikan manusia sebagai pembawa kabar gembira, sebagai rahmat bagi alam semesta, tidak tercapai. Berdoa dan beribadah sebagai salah satu cara mengubah mindset -cara pandang lama ke cara pandang baru-, berubah fungsi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan diri sendiri semata.

Kembali ke soal Timmy. Karena sang ibu tidak mengabulkan permohonannya, si bocah berdoa, memohon kepada Tuhan agar keinginannya memiliki boneka Timmy dikabulkan. Itu dilakukan sebab guru-guru agama mengajarkan demikian: berdoalah agar Tuhan mengabulkan permintaanmu. Di suatu malam yang sepi, si bocah berdoa dengan keras sehingga seisi rumah mendengarnya, termasuk sang ayah. Keesokan paginya, sang Ayah membelikannya boneka Timmy. Tuhan telah mengabulkan doanya.

Pertanyaan selanjutnya: apakah Jokowi dan Ahok sebagai pemimpin baru akan lebih baik dari pemimpin lama?

Salam pembaharuan! 🙂

Tukang Obat

Monolog Y.S. Agus Suseno

tukang obat
Gambar diunduh dari 3.bp.blogspot.com

Di keramaian pasar. Di antara lalu lalang orang. Di bawah tenda. Siang hari.

Saat lampu panggung menyala, ia sudah hadir. Hilir mudik, sibuk menata berbagai barang yang terletak di depannya: tengkorak buaya besar, tengkorak-tengkorak kecil,  kulit ular, jimat, kalung dari gigi binatang, tombak, mandau dan sumpit yang disandarkan pada sebuah perisai;  jaring besar, butah, tali nilon dengan mata kail besar di ujungnya, biji-biji buah kering, akar-akar kayu dan ratusan botol besar-kecil berisi cairan aneka warna. Ada juga kliping koran bergambar orang-orang berpenyakit kulit, kliping foto pejabat penting, sertifikat dan tiket pesawat bekas pakai. Di satu sisi, tampak onggokan benda yang  ditutupi kain hitam. Di sudut lain, lebih besar dan paling mencolok, tampak sebuah benda yang diselimuti kain kuning, bertabur melati dan kenanga.

(Ceria dan bersemangat) Ayooo…! Mari… Mari kemari, bapak, ibu dan saudara-saudara. Ini pudak bukan sembarang pudak, tapi pudak harum mewangi. Ini minyak bukan sembarang minyak, tapi minyak yang manjur sekali! (Tertawa) Mari! Jangan segan, jangan ragu. Jangan sungkan, jangan malu!

Ya. Mari, saudara-saudara… Mau cari sahabat? Mari mendekat. Mau cari musuh? Harap menjauh. Saya ada di sini, khusus untuk Anda. Untuk silaturahmi, demi kebaikan bersama.

Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara… Hari ini saya tidak jualan obat, tapi ingin berbagi pengalaman. Percayalah, saya tidak akan mengambil uang Anda. Jadi, jangan ragu-ragu. Mendekatlah! Anda beruntung sekali hari ini, karena akan bertemu dengan sesuatu yang belum pernah Anda lihat seumur hidup! Boleh percaya, boleh tidak: ketika benda ini saya tunjukkan di tempat lain di kota lain, beberapa orang pingsan, yang lain kesurupan! Jadi, saya mau mengingatkan: bagi Anda yang tidak kuat mental alias lamah bulu, jangan terlalu dekat! Silakan agak ke belakang. Soalnya, reaksi awal bagi yang pertama kali melihat biasanya dada berdebar, badan gemetar!

(Tersenyum lebar) Tapi jangan khawatir! Karena saya yang membawanya, tentu cuma sayalah yang mampu mengendalikannya (Tertawa). Jadi, tenang saja! Selama bersama saya, Anda aman. Dijamin! Sekarang… Apa yang saya maksud sebagai benda yang belum pernah Anda lihat seumur hidup itu? Anda ingin tahu?

(Dengan mimik serius, menunjuk benda yang diselimuti kain kuning) Anda lihat itu? (Mendekati benda itu) Inilah benda yang saya maksud. Anda tahu, ketika benda ini saya perlihatkan di tempat lain di kota lain, turis asal Malaysia dan Brunei berebut ingin membelinya, karena dianggap sebagai salah satu keajaiban dunia! Mereka mendatangi hotel tempat saya menginap dengan membawa uang sekoper!         Anda tahu, berapa mereka berani bayar? S-a-t-u  m-i-l-i-a-r! Tapi tidak saya jual. Anda pasti tidak percaya: ditawar satu miliar, tapi tidak dijual. Apa saya sudah gila? Apa saya tak perlu uang? (Tertawa)
Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara, maaf… Saya bukan sombong, tidak takabur! Anda lihat tiket-tiket bekas itu? Tiap bulan saya bepergian ke kota lain dengan pesawat terbang. Jadi, bagi saya, uang bukan soal. Maaf.

Tapi bukan itu intinya. Anda tahu, tanah warisan kakek saya saja di Pegunungan Meratus sudah ditawar perusahaan tambang s-e-r-a-t-u-s  m-i-l-i-a-r! Kenapa? Sebab, di dalam tanah itu isinya b-a-t-u  b-a-r-a semua! Jadi, apa artinya uang semiliar bagi saya? Yang ingin saya katakan adalah: berapa pun benda ini mau dibeli, t-i-d-a-k   a-k-a-n  s-a-y-a j-u-a-l. Kenapa? Karena b-e-n-d-a ini sendiri dan s-e-j-a-r-a-h yang melatarbelakanginya. Saya akan mengisahkan sejarah ditemukannya benda ini kepada Anda. Tetapi, sebelumnya, maaf, saya haus. Jadi, saya minum dulu… (Tertawa, mengambil botol air mineral dan meminumnya)

(Meletakkan botol air mineral) Anda sudah tidak sabar ingin melihatnya, setelah mendengar cerita saya tentang benda ini? (Tertawa) Sabar, sabar… Benda ini tidak akan ke mana-mana. Dia tidak boleh jauh dari saya. Soalnya, kalau benda ini lepas dari saya dan jatuh ke tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, akan terjadi bencana! Saya akan mendapat sanksi luar biasa dari suku pedalaman yang memercayai saya untuk menjaganya.

S-u-k-u  p-e-d-a-l-a-m-a-n? Ya! Anda tahu, saya telah mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan benda ini. (Mengubah ekspresi, menjadi lebih serius dan dramatis) Anda lihat ini? (Kepada penonton, memperlihatkan goresan bekas luka di sepanjang lengan dan leher) Inilah harga yang harus saya bayar untuk mendapatkan benda itu. Tapi hasilnya sepadan! Saya dan banyak orang sudah membuktikan keampuhan benda itu, meskipun, sebagai akibatnya, kepala saya hampir lepas dari badan. Anda mau bukti? Maaf, saya tidak bermaksud pamer. Bagi Anda yang punya ilmu sama atau lebih tinggi daripada saya, tolong jangan diganggu. Dilihat, boleh. Diganggu, jangan!

Maaf… (Mengambil mandau dan menghunusnya. Membacokkannya ke lengan, leher dan sekujur badan, lalu mengiris lidahnya) Anda melihat luka? (Memperlihatkan bekas bacokan dan irisan) Ada darah? Tidak? (Melemparkan mandau, mengambil tombak dan menyodorkannya kepada penonton) Ada yang bersedia menombak saya, lalu gantian saya yang menombak Anda? Jangan takut! Tak apa-apa. Kalau saya luka, saya tidak akan menuntut Anda! (Kepada penonton tertentu) Anda berani? Tidak? Oh. (Tertawa) Ya. Sudah. Tak apa-apa. (Kepada penonton tadi) Tak perlu pucat dan berkeringat begitu… (Tertawa, menaruh tombak)

(Serius lagi) Tadi sudah saya katakan: kepala saya hampir lepas dari badan untuk mendapatkan benda itu. Betul! Asal Anda tahu, sejak remaja saya sudah melanglang buana, merantau ke mana-mana, terutama ke pedalaman. Bila di antara Anda ada yang berasal dari suku yang akan saya sebutkan nanti, tolong maju ke depan. Saya akan bicara dalam bahasa suku Anda, agar Anda yakin bahwa saya tidak bohong. Di setiap suku di mana saya pernah tinggal, saya punya satu istri. Jadi, silakan hitung sendiri berapa jumlah istri saya, sebab saya sendiri lupa jumlah persisnya! (Tertawa)

Saya pernah tinggal dengan suku Dayak Meratus di Loksado, di Halong, dengan orang Maanyan di Warukin, orang Bukit di Labuhan. Juga, saya punya istri dari suku Bakumpai, Ot Danum, Lawangan, Deyah, Ngaju, Kenyah, Benuaq…
Ada di antara Anda yang berasal dari suku-suku itu? Mau bicara dengan saya dalam bahasa suku Anda, untuk membuktikan bahwa saya benar-benar pernah tinggal di sana? Ada yang berani maju? (Tangan kanan mengambil mandau, tangan kiri mengambil botol air mineral dan mereguknya. Mata nyalang mengedari penonton)

Tidak? Tidak ada di antara bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara yang berasal dari salah satu suku yang saya sebutkan tadi? Baiklah… (Menaruh mandau dan botol air mineral) Saya mau mengatakan… (menunjuk benda berselimut kain kuning) benda itu bukan berasal dari salah satu suku yang saya sebutkan tadi, tapi dari suku terasing tak dikenal yang belum diketahui. Mereka tak mengenal, dan tidak dikenal, oleh masyarakat umum, tinggal di gua pegunungan angker yang tak terjamah orang-orang beradab seperti kita. Mereka tak punya nama, tak punya bahasa, tinggal di tempat yang tak ada di peta. Mereka tanpa busana, dan hidup di zaman batu. Dari lima orang yang pernah ke sana, cuma saya yang selamat. Yang lain… (dengan jari tangan, melakukan gerakan memotong leher). Cuma saya yang tahu tempatnya. Tapi, maaf, saya tak bisa mengatakannya kepada Anda,  sebab ini rahasia…

Namun, sebelum saya melanjutkan cerita tentang suku tak dikenal itu dan benda keramat mereka yang nanti akan saya buka, saya mau menyampaikan rahasia lain. Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara semua mungkin bertanya: kenapa saya bisa selamat saat bertemu suku terasing tak dikenal, pengayau dan kanibal, yang masih tinggal dalam gua dan tak bernama itu? (Lebih rileks) Saya akan membuka rahasianya. Orangtua angkat saya, yang berasal dari salah satu suku yang saya sebutkan tadi, sebelum saya pergi, membekali saya dengan minyak. M-i-n-y-a-k? Ya! (Mengambil bungkusan kain kuning) Mungkin selama ini Anda kenal minyak sinyongnyong, minyak kuyang, minyak wayang, minyak kukang, minyak bintang, minyak bubut, minyak rambut dan minyak…  kulanjar (Tertawa).

Nah, berbeda dengan minyak-minyak tadi, yang kegunaannya kita semua tahu, ini minyak yang sama sekali lain! Bila minyak sinyongnyong, minyak wayang dan minyak kukang untuk pekasihan, seperti pelet di Jawa, minyak kuyang dan minyak bintang untuk kesaktian, dan minyak bubut untuk pengobatan, maka minyak timpakul yang saya bawa ini adalah untuk keselamatan dan kemakmuran.

Minyak timpakul? Ya! Saya ulangi:  m-i-n-y-a-k  t-i-m-p-a-k-u-l. Ya, betul! Anda tak salah dengar. Menurut saudara ipar dari sepupu keponakan istri saya yang makan sekolahan, Djebar Hapip, timpakul itu i-k-a-n  b-u-t-a. Entah apa maksudnya, padahal matanya sebesar mata kodok. Katanya, manimpakul adalah sifat orang yang mudah berubah, tidak tetap pendirian. Sedangkan timpakul janjan adalah sifat orang yang jelek perilakunya. Tapi itu menurut Djebar Hapip! (Ketawa ngakak.). Nah, kalau timpakul berhabitat di rawa-rawa, di pinggir sungai atau di kayu apung, ada juga hewan lain yang perilakunya mirip, tapi tinggal di pepohonan. Apa itu? Angui. Saya ulangi: a-n-g-u-i.

Tapi, berbeda dengan timpakul yang tak ada persamaan namanya dengan binatang sejenis dalam bahasa Indonesia, angui punya, yaitu b-u-n-g-l-o-n. Lalu, menurut Djebar Hapip tadi, angguk angui adalah ungkapan untuk orang yang selalu mengiyakan, tapi kerjanya juga yang jalan.

Baiklah, saya tidak akan bicara panjang lebar tentang angui atawa bunglon, tapi khusus tentang timpakul saja. Anda tahu, setelah orangtua angkat saya itu memanggil ruh timpakul melalui upacara khusus, sesuai dengan adat dan kepercayaannya, proses pembuatannya pun dimulai. Empat puluh satu ekor timpakul dimasak tepat tengah malam Jumat, saat langit tak berbulan tak berbintang. Dengan minyak yang dibuat dari kelapa gading dempet tiga, dicampur ramuan khusus, dikerjakan setelah orangtua angkat saya itu berpuasa empat puluh satu hari, dan selama itu tak boleh menikmati makanan yang dimasak dengan api, ditambah mantra-mantra rahasia, jadilah saripati timpakul: muncul dalam bentuk minyak, seperti yang akan Anda lihat.

(Perlahan dan hati-hati mengeluarkan botol kecil berisi cairan dari dalam bungkusan kain kuning, meletakkannya di telapak tangan) Anda lihat? Ini adalah  s-a-r-i-p-a-t-i alias i-n-t-i atawa h-a-k-i-k-a-t jiwa timpakul. Tepat tengah malam Jumat, olesi jari manis Anda dengan minyak ini. Tanpa menarik napas, tekan jari manis Anda ke langit-langit mulut. Selesai. Keselamatan dan kemakmuran menanti Anda. Mengapa? Karena Anda sudah menyatu dengan jiwa timpakul, sudah manimpakul, mambatang timbul! (Ketawa ngakak)

Manimpakul tidak jelek. Itu cermin kemampuan bertahan hidup yang luar biasa. Kita tahu, timpakul biasanya tinggal di tebing-tebing sungai atau di kayu apung yang hanyut. Bila gelombang datang menyapu tebing atau kayu apung tempat timpakul berada, dengan gesit ia melompat ke tebing atau ke kayu apung lain untuk menyelamatkan diri. Tebing atau kayunya tenggelam, dia tidak. Begitu seterusnya. Nah, mengapa cara bertahan hidup yang luar biasa  itu dimaknai jelek? Apa salah timpakul? (Ketawa ngakak)

(Mengambil handuk kecil dekat bangku, menyeka keringat yang membanjiri wajahnya) Timpakul tidak bersalah! Andalah yang salah kalau hari ini, pada hari baik bulan baik ini, tidak memiliki minyak ini, karena belum tentu kita akan bertemu lagi. Kalau Anda berminat, silakan. Jumlahnya terbatas. Ini hanya untuk sepuluh orang. Jadi, Anda harus cepat kalau mau dapat. Apakah saya menjualnya? Berapa harganya? Eit, maaf! Sejak awal sudah saya katakan: saya tidak berjualan.

Eit…! Eit, eit,  eit…! Sabar, sabar…! Jangan saling dorong begitu! Sabar saja. Kalau memang berjodoh, Anda semua pasti kebagian. Dengar… Dengarkan saya! Saya tidak menjual minyak ini. Kalau tetap memaksa, Anda bisa mendapatkannya, tapi dengan maharnya: mengganti ongkos transportasi saya dari-pedalaman-kemari. Anda tentu tahu berapa tarif angkutan umum dari sana ke sini. Itu saja. Dan minyak ini saya hadiahkan kepada Anda. Anda ikhlas memenuhi permintaan saya?

(Tersenyum lebar) Baik, baik, baik… Anda semua ikhlas. Baiklah. Tapi nanti dulu! Sabar. (Menunjuk benda yang ditutupi kain kuning) Anda ingin saya membuka benda itu sekarang? Atau, nanti saja? Anda ingin buru-buru menebus minyak ini? Baiklah. (Bertepuk tangan, memanggil seseorang di antara penonton) Ini asisten saya. Silakan berhubungan dengan dia untuk mengambil minyak timpakul dan, jangan lupa, serahkan maharnya. Dia akan berkeliling untuk membagikannya pada bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara yang beruntung. Sementara itu, saya akan menyampaikan kisah sukses orang-orang yang sudah menggunakan minyak ini.

Seperti dapat dilihat, di depan ini adalah foto-foto dan kliping berita surat kabar. Anda tahu, siapa mereka? Mereka adalah pedagang, pengusaha, kontraktor, ulama, guru, pegawai, karyawan, wartawan, seniman, jaksa, hakim, polisi, tentara, pejabat dan wakil rakyat yang sukses karena sudah menggunakan kehebatan minyak timpakul alias manimpakul. Karyawan rendahan yang ingin selamat dan disukai atasan, siapa pun atasannya, gunakan minyak timpakul!

Lurah, camat, kepala bagian atau kepala dinas yang ingin disayangi bupati atau walikota, gunakan minyak timpakul. Kasi, kabag, kasubag, kasubdin, kabid, kepala dinas, kepala perwakilan atau asisten yang ingin selamat dan disayangi gubernur, gunakan minyak timpakul. Bupati, walikota atau gubernur yang ingin lancar berurusan dengan depdagri atau presiden, gunakan minyak timpakul. Sekjen, dirjen atau menteri yang ingin selamat dan disayangi presiden, tidak dicopot walau bagaimanapun kondisi rakyat, bangsa dan  negara,  gunakan minyak timpakul.

Anda tahu, yang terbukti sukses karena sudah manimpakul adalah wakil rakyat di parlemen: di kabupaten, di kota, di provinsi, apalagi di pusat…  (Ketawa ngakak)

(Ceria dan bersemangat) Ayooo…! Mari… Mari kemari, bapak, ibu, dan saudara-saudara. Ini pudak bukan sembarang pudak, tapi pudak harum mewangi. Ini minyak bukan sembarang minyak, tapi minyak yang manjur sekali. (Tertawa) Mari! Jangan segan, jangan ragu. Jangan sungkan, jangan malu!

Lampu padam.

*) Y.S. Agus Suseno, lahir dan bermukim di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Menulis puisi, cerita pendek, naskah teater, editor buku sastra, pekerja seni dan budaya.

Melihat Dunia dalam Keindahan

Gerundelan Ardika Abuzaid

prosa liris
gambar diunduh dari bp.blogspot.com

Setiap kali berbicara tentang sastra, pikiran kita menerawang kembali ke masa-masa Chairil Anwar ketika menuangkan ide-ide spektakulernya dalam rangkaian puisi-puisi indah atau ke masa Merari Siregar ketika menuliskan penderitaan hidup dalam Si Jamin dan Si Johan-nya atau mungkin yang selainnya. Begitulah bangunan pemikiran yang sudah tertanam dalam otak pelajar di negeri ini. Sastra adalah puisi, gurindam, balada, novel dan yang sejenisnya.
Namun demikian, akan sangat sempit jika sastra hanya berkutat pada seputar masalah di atas karena sebenarnya puisi, gurindam dan yang selainnya hanyalah produk dari sastra itu sendiri. Ada yang lebih luas dan lebih dalam untuk dibicarakan terkait sastra ini, yakni bagaimana melihat dunia dan mengubah dunia melalui pena. Sejarah mencatat bahwa berbagai perubahan di dunia ini terjadi ketika pena telah berbicara melalui tangan-tangan mulia para penyair, pujangga dan orang-orang alim yang ada di masa itu. Lalu apa kaitannya dengan sastra? Secara sederhana, penulis mengibaratkannya sebagai sebuah sistem dalam mempresentasikan pemikiran orang-orang di masa itu dalam bahasa terbaik. Maka tidak mengherankan ketika ada banyak sekali karya sastra yang tetap masyur dari masa ke masa.
Lihatlah bagaimana maha karya yang sangat tua Ramayana dan Bharatayuda masih menarik untuk dikaji, atau setumpuk roman karya Khalil Gibran yang begitu menginspirasi atau karya-karya lain yang masih banyak jumlahnya dan tersimpan rapi serta terus digali melalui  berbagai pengkajian. Hal itu menunjukkan bagaimana sastra itu dapat mewarnai kehidupan ini dan menawarkan perubahan-perubahan yang besar di tengah-tengah masyarakat.
Namun demikian, dalam tulisan yang singkat ini penulis cukup membatasi pada pembahasan sastra dalam dunia pendidikan. Lebih khusus lagi, penulis ingin mengungkap benang merah antara sastra dan pendidikan yang selama ini hanya melambai-melambai dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Padahal sastra amatlah luas dan mampu memberikan ruh baru dalam mengubah generasi Indonesia menjadi generasi yang berperadaban maju dan unggul. Dunia sastra adalah dunia yang memberikan cara pandang terindah dalam membaca kebesaran ayat-ayat kauniah-Nya, melihat realita dan menyenandungkan sebuah gerakan perubahan.
Realita pendidikan yang ada saat ini, sastra menjadi sesuatu yang seringkali terpinggirkan. Bahkan seolah-olah sastra hanyalah milik orang-orang linguistik, dalam hal ini adalah guru bahasa. Dampaknya adalah sedikit siswa yang tertarik dalam dunia sastra. Jangka panjangnya adalah terbentuknya bangunan pemikiran picik seperti ini yang justru dimulai dari dunia sekolah, tempat yang seharusnya meningkatkan kualitas kemanusiaan seseorang. Sampai-sampai banyak guru eksak yang skeptis terhadap sastra dan cenderung suka mempertentangkan sebagai penghambat dalam pelajaran-pelajaran mereka.
Demikianlah realita yang ada saat ini. Adalah tidak penting bagi kita menggerutu atas kenyataan yang ada. Yang lebih penting saat ini adalah bagaimana menunjukkan sastra sebagai salah satu akselerator perubahan masyarakat khususnya dalam dunia pendidikan. Baik dalam mendidik kepribadian sekaligus mendongkrak kecerdasan yang dimiliki oleh setiap orang. Dan ini telah dibuktikan oleh sastrawan-sastrawan kita di abad ini yang menurut penulis mampu membuka ruang geliat bagi dunia sastra untuk lebih memasyarakat.
Kita ambil contoh Habiburrahman el-Shirazy yang berhasil mengguncang Indonesia bahkan dunia ketika berhasil menerbitkan novel Ayat-Ayat Cintanya sebagai salah satu karya terpopuler di Indonesia pada abad ini. Isinya sederhana tetapi ternyata mampu memberikan pengaruh yang luar biasa bagi perubahan masyarakat. Banyak sekali testimoni yang menunjukkan adanya perubahan positif perilaku masyarakat pascapeluncuran novel tersebut. Bahkan karya-karya beliau berikutnya begitu dielu-elukan sekaligus dinanti-nantikan.
Contoh lainnya adalah Andrea Hirata. Ekonom yang tulisan-tulisan ilmiah sering dijadikan referensi di Eropa ternyata juga mampu mengguncang masyarakat kita dengan memotivasi para pemuda dalam menjalani pendidikan mereka. Bahkan jika kita membaca novel Laskar Pelangi-nya, banyak hal yang tak terpikirkan di otak kita dapat tersaji secara apik melalui rangkaian deskripsi yang luar biasa dan memikat. Kemudian Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov pun tidak kalah serunya. Semua itu menjadi salah satu contoh bagaimana sastra berbicara untuk membawa angin perubahan bagi masyarakat menuju ke arah yang lebih baik.
Yang terpenting di sini adalah seharusnya sastra dapat dijadikan sebagai salah satu media atau mungkin sistem pengantar pendidikan di negeri ini yang kehalusan budinya mulai luntur. Di sadari atau tidak, pelajaran sastra (dalam hal ini Bahasa Indonesia) terkesan membosankan karena pendekatan yang digunakan kepada peserta didik belum mampu membangkitkan sense mereka. Apakah setiap orang dapat bertahan dengan bacaan-bacaan ilmiah yang bahasanya kaku dan membosankan? Apakah setiap orang harus memahami matematika dengan menyusun rumus-rumus paten dan sulit dihafal secara konvensional? Apakah setiap orang harus melihat fenomena alam melalui rangkaian teori fisika, kimia dan biologi yang ada dalam buku-buku karangan orang asing yang jelas beda cara pembahasaan mereka? Di sinilah ruang bagi sastra untuk memberikan jawaban.
Salah seorang pengajar berdedidkasi bagi pendidikan negeri ini, Munif Chatif, murid angkatan pertamanya Bobbie de Porter menyampaikan bahwa manusia dikaruniai oleh tuhan kecerdasan majemuk. Di antara kecerdasan itu adalah kecerdasan linguistik. Kecerdasan ini boleh jadi merupakan pondasi bagi seseorang untuk mengenal bahasa dan sastra secara lebih kuat meskipun anggapan ini belum tentu benar. Lebih lanjut, beliau menyampaikan bahwa pendidikan yang terbaik adalah pendidikan yang memanusiakan bukan mengatur dan mendoktrin, yaitu pendidikan yang memberikan ruang kepada setiap siswa untuk berkembang meng-upgrade kapasitas mereka sesuai dengan potensi yang dimiliki. Maka segala pendekatan yang dilakukan seorang guru hendaknya disesuaikan dengan kecenderungan kecerdasan anak tersebut.
Benang merah dari uraian Munif tersebut adalah bagaimana sastra dapat menjadi warna dalam meng-upgrade potensi peserta didik dalam menguasai pelajaran dan kecakapan hidup. Dengan sastra, dunia dapat dieksplorasi dengan cara pandang dan cara berpikir yang indah. Jika pelangi dapat diungkapkan dalam rangkaian puisi, cerpen atau lagu yang lebih dekat dengan dunia anak-anak, mengapa harus dipaksakan dengan rumus-rumus yang begitu sulit dan terkesan hiperbolik di mata dan pikiran mereka. Jika ekosistem dapat dideskripsikan dalam novel menarik yang panjangnya berjilid-jilid mengapa mereka harus dipaksa untuk menelan mentah-mentah setiap butir teorinya. Di sinilah sastra berbicara, membuka dunia dalam untaian keindahan dan kearifan.
Dan masih banyak ruang-ruang yang dapat dimasuki sastra untuk membuktikan eksistensi dirinya. Sastra di mata pendidikan adalah sebuah keindahan. Sebuah senjata untuk menembus ruang-ruang pikiran siswa yang konkrit untuk dibentuk menjadi ruang-ruang abstrak yang siap melihat, mencerna dan mempresentasikan kenyataan. Dengannya perubahan yang diharapkan akan segera terjadi. Perubahan besar dan mendasar mulai dari pola pikir dan cara pandangnya. Dengan sastra, dunia ini terasa indah, hidup ini akan sangat halus, lembut, dan penuh dengan keharmonisan.

Lesbian dalam Pandangan Psikiatrik, Sebuah Tanggapan

Gerundelan Soe Tjen Marching

hati perempuan
Gambar diunduh dari http://www.images03.olx.com.ph

Sangat mengejutkan membaca artikel “Lesbian dalam Pandangan Psikiatrik” di Koran Tempo, Kamis, 14 Juni 2012. Sang penulis, H. Soewadi, mengajukan argumen bahwa lesbian adalah penyimpangan dan gangguan seksual yang perlu disembuhkan. Padahal, sejak 1973, the American Psychiatric Association sudah menetapkan bahwa homoseksualitas tidak lagi digolongkan sebagai gangguan mental. Lalu, pada 17 Mei 1990, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) secara resmi menyatakan homoseksualitas bukanlah penyakit atau gangguan jiwa. Di Indonesia, Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa III juga mencabut homoseksualitas sebagai gangguan, pada 1993.

Yang tidak kalah mengejutkan, penulis menyetujui pendapat bahwa homoseksual terjadi karena berbagai faktor, antara lain: (1) Faktor biologi berupa terganggunya struktur otak kanan dan kiri serta adanya ketidakseimbangan hormonal; (2) Faktor psikologis, kurangnya kasih ibu, dan tidak adanya peran seorang ayah; (3) Pengaruh lingkungan yang tidak baik bagi perkembangan kematangan seksual yang normal; (4) Faktor pola asuh, kurangnya ketaatan agama.

Saya ingin membahas satu per satu faktor yang telah disebut oleh penulis artikel sebagai penyebab homoseksualitas. Pertama, kalau homoseksualitas memang manusia yang terganggu struktur otak dan hormonnya, artinya mereka akan mengalami rasa letih, pening, stres, insomnia, dan terkadang disertai dengan kejang. Apakah para homoseksual mempunyai gejala demikian? Mungkin benar, banyak homoseksual di Indonesia yang mengalami stres berat, pening, dan insomnia. Tapi bukan lantaran gangguan otak, melainkan karena banyak dari mereka mendapat tekanan dan stigma dari masyarakat!

Sekarang sudah tersedia berbagai terapi dan pengobatan bagi mereka yang struktur otak atau hormonnya terganggu. Saya telah menjumpai beberapa pasien, baik yang heteroseksual maupun homoseksual, dengan gangguan otak atau hormon. Dan setelah gangguan otak pasien homoseksual disembuhkan, ia tidak lalu menjelma menjadi heteroseksual. Para homoseksual yang masuk rumah sakit dengan gangguan otak biasanya akan keluar dari rumah sakit sebagai homoseksual juga-–mereka tetap setia pada orientasi seksual masing-masing. Jadi tidak ada hubungannya struktur otak dan gangguan hormon dengan orientasi seksual manusia. Dan gangguan otak macam apa yang dialami petenis lesbian Martina Navratilova, sehingga dia bisa bermain dengan dahsyat-–memenangi 18 grand slam. Navratilova bahkan masih bertarung di Wimbledon pada usianya yang ke-50.

Faktor kedua yang disebut oleh H. Soewadi adalah kurangnya kasih ibu dan tiadanya peran seorang ayah. Namun saya mengenal banyak sekali homoseksual yang tumbuh dengan kasih sayang kedua orang tua mereka, dan banyak juga heteroseksual yang tidak mempunyai ayah dan ditelantarkan oleh ibu mereka. Ilmuwan Dede Oetomo (juga homoseksual) bahkan sempat menceritakan bahwa ayahnya sangat memperhatikan dirinya, dan betapa ibunya begitu mendukung ide-ide dan aktivitasnya dalam memperjuangkan hak-hak lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia. Yang sering terjadi di Indonesia bukannya anak menjadi homoseksual karena kurangnya kasih sayang orang tua, tapi orang tua (konservatif) berkurang kasih sayangnya setelah mengetahui anak mereka homoseksual.

Faktor ketiga yang disebut oleh penulis ini: pengaruh lingkungan yang tidak baik. Mungkin banyak dari kita yang telah mendengar nama Socrates, Plato, Aristoteles, dan Alexander Agung, para filsuf terpelajar dengan lingkungan para bangsawan. Tapi apakah kita semua sadar bahwa para lelaki ini mempunyai kekasih lelaki? Apakah ini karena lingkungan mereka yang tidak baik?

Sekali lagi, saya akan menyebut Dede Oetomo, yang saya kenal cukup dekat. Dia mempunyai orang tua dan saudara heteroseksual, dan teman-teman heteroseksual juga. Tidak ada “lingkungan” yang membentuk dia menjadi homoseksual! Yang lebih tepat mungkin bukan lingkungan yang tidak baik yang membentuk homoseksual, tapi homoseksual di Indonesia sering kali harus menghadapi lingkungan yang “tidak baik” (yang berpikiran sempit dan menyudutkan LGBT).

Faktor keempat, kurangnya ketaatan agama. Dalam artikel ini, sang penulis menyiratkan, dalam agama, heteroseksuallah yang diklaim benar. Tapi agama mana yang dimaksud? Dewa-dewi di Nusantara (yang kebanyakan berasal dari India) tidak mengacu pada dualisme heteroseksual. Salah satunya adalah Ardhanarishvara, yang merupakan persatuan antara Dewi Parwati dan Dewa Syiwa, sehingga ia mempunyai dua tubuh (separuh lelaki dan separuh perempuan). Patungnya masih bisa ditemukan di Bali dan di Museum Trowulan (Mojokerto).

Begitu juga dalam agama Hindu. Beberapa dewa-dewi agama Hindu tidak berpaku pada kemapanan gender. Misalnya, Wishnu, yang pandai menjelma menjadi beberapa makhluk. Suatu ketika ia menjelma menjadi Dewi Mohini, dan saat itu Dewa Syiwa jatuh cinta kepadanya. Akhirnya, bersetubuhlah penjelmaan Dewa Wishnu dengan Dewa Syiwa. Dari persetubuhan ini, lahirlah seorang bayi bernama Ayyapa.

Selain Mohini, tokoh pewayangan Hindu yang kisahnya memuat ambiguitas gender adalah Srikandi, yang merupakan titisan Dewi Amba. Dalam kitab Mahabharata, Srikandi lahir sebagai seorang wanita, tapi karena sabda para dewa, ia diasuh sebagai seorang pria. Srikandi sering kali dianggap mempunyai jenis kelamin waria, dan ia jatuh cinta kepada seorang perempuan juga.

Agama masyarakat Bugis mempunyai pendeta lelaki yang feminin (biasa dikenal sebagai waria di Indonesia), yang disebut bissu. Bissu mempunyai kedudukan yang cukup disegani di masyarakat Bugis-–karena perpaduan karakter feminin dan maskulin dalam satu tubuh inilah, ia dianggap sebagai makhluk yang lebih sempurna daripada mereka yang hanya mempunyai sifat maskulin atau feminin. Masih ada beberapa contoh agama yang tidak menabukan homoseksual atau biseksual, tapi karena keterbatasan tempat, saya tidak bisa menyebut semua.

Sangatlah disayangkan bila stigma yang diberikan kepada LGBT dipertahankan. Inilah yang sering kali tidak disadari: bila LGBT disudutkan, masyarakat itu sendiri juga mengalami kerugian. Berapa banyak waktu dan uang orang tua yang terbuang untuk mengirim anak LGBT mereka ke psikiater dan mencoba menyembuhkan orientasi seksual mereka? Energi yang tersia-sia hanya untuk merendahkan hak manusia. Justru stigma seperti inilah yang bisa menyebabkan stres dan depresi berkepanjangan.

Di negara-negara yang tidak melecehkan LGBT, mereka bisa mengembangkan kemampuan dengan lebih leluasa. Dengan demikian, akhirnya kemampuan para LGBT tidak terhambat dan tersia-sia, atau menjelma menjadi frustrasi berkepanjangan, hanya karena kutukan masyarakat atau stigma.

Selama kita merendahkan keberadaan LGBT, kita juga telah ikut membunuh kemampuan mereka yang di masa depan bisa menjadi penerus tokoh-tokoh seperti Leonardo da Vinci, Hans Christian Andersen, Jodie Foster, dan Martina Navratilova.

 

(Soe Tjen Marching ;  Komponis.)

Artikel ini telah dimuat di KORAN TEMPO, 21 Juni 2012

Pengumuman: Artikel Terbaik I Lomba Menulis Opini dengan Tema Aborsi

Post Abortion Syndrome (PAS)

Oleh: Era Sofiah

 

bayi mungil
Ilustrasi: ceritayosi.files.wordpress.com

Betapa haru ketika menyaksikan seorang ibu yang dengan sepenuh jiwa bertaruh nyawa demi menghadirkan sang cabang bayi yang telah 9 bulan bersemayam dalam rahimnya tak peduli rasa sakit itu menyayat tubuhnya. Detik demi detik serasa waktu begitu lama berlalu. Dan perlahan rasa sakit itu berganti bahagia ketika mendengar tangisan sang bayi dan itulah awal perngabdian seorang ibu membesarkan buah hatinya.

Lain lagi cerita seorang ibu yang mendambakan kehadiran anak dalam perkawinannya yang telah dibina selama bertahun-tahun namun Tuhan belum juga menitipkan anugerah-Nya.  Segala upaya pun ditempuh tak peduli berapapun biaya yang dikeluarkan hingga berobat keluar negeri demi kehadiran sang buah hati yang diharapkan akan semakin merekatkan ikatan perkawinannya. Kelak bayi-bayi di atas akan merasa beruntung dapat merasakan kasih yang tak terbatas dari sang bunda. Amat kontras dengan kehidupan bayi-bayi malang yang harus menelan pil pahit di kehidupan awal harus tersingkirkan karena kehadirannya tak dikehendaki.  Di kolong jembatan, di hulu sungai, di tempat pembuangan sampah  menjadi kuburan mereka. Atau bahkan sebelum mereka sempat menghirup udara dunia mereka para bayi malang itu dipaksa kembali ke surga lewat berbagai cara atau lazim disebut aborsi.

Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus” berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh. Tindakan aborsi diizinkan jika memang memiliki indikasi medis tertentu, misalnya kelahiran tersebut dapat membahayakan nyawa sang ibu. Tindakan aborsi yang dilakukan atas dasar indikasi medis disebut sebagai abortus provocatus medisinalis. yaitu aborsi yang dilakukan atas keinginan pasien (Wirawan, 2007). Istilah ini kontras dengan abortus provokatus medisinalis, yaitu aborsi yang dilakukan atas indikasi medis.

Setiap tahun, diperkirakan ada 2,5 juta nyawa tak berdosa melayang sia-sia akibat aborsi. Angka ini terhitung besar sebab jumlahnya separuh dari jumlah kelahiran di Indonesia, yaitu 5 juta kelahiran per tahun. Dari 2,5 jutaan pelaku aborsi tersebut, 1 – 1,5 juta di antaranya adalah remaja berusia 15 -24 tahun. ( detik Health 30/5/2012). Dalam situs berita VIVA news (2011), tercatat bahwa terdapat 70.000 ibu yang meninggal dunia akibat praktik aborsi yang ilegal. Data lainnya dipublikasikan dalam situs VOA Indonesia (2012), bahwa diperkirakan terjadi lebih dari 45 juta kasus aborsi setiap tahunnya.

Seks bebas yang sekarang menjadi bagian dari gaya hidup hingga maraknya prostitusi khususnya di kalangan remaja menjadi pemicu tingginya angka aborsi. Ketidaksiapan mental untuk bertanggung jawab atas tindakannya serta anggapan bayi yang dikandungnya kelak hanya akan membawa aib menjadi alasan utama dan aborsi menjadi pilihan.  Dan ironi, seringkali  keputusan untuk melakukan aborsi kerap didukung oleh orang-orang terdekat pelaku dan lagi-lagi alasannya demi menutupi aib. Dan fenomena ini dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk membuka praktek aborsi illegal. Padahal sejatinya melakukan aborsi bukanlah solusi dan hanya menutupi masalah dengan menghadirkan masalah baru Post abortion syndrome (PAS).

PAS adalah dampak dari pelaku aborsi berupa trauma emosional, psikologis, fisik, dan spiritual yang diakibatkan oleh aborsi, di mana kejadian tersebut berada di luar pengalaman manusia biasa (Rooyen & Smith, 2004). Babbel (2010) mengungkapkan gejala-gejala dari PAS, yaitu: (1) rasa bersalah, yang dialami karena membuat sebuah kesalahan atau melanggar moralitas; (2) gelisah atau anxiety, yang mungkin muncul pada isu-isu kemandulan dan kemungkinan untuk hamil kembali; (3) mati rasa atau depresi; (4) kilas balik atau flashback, aborsi dilakukan dengan operasi dan umumnya terjadi saat pasien dalam keadaan sadar sehingga dapat menjadi sebuah pengalaman yang menjadi sumber stres; (5) pemikiran untuk bunuh diri, terjadi dalam kasus-kasus ekstrim.      Mencegah lebih baik dari mengobati. Sebagai bahan renungan adalah Penelitian dari Robert Blum, seorang profesor perkembangan remaja di University of Minnesota mengatakan bahwa remaja yang dekat dengan ibunya cenderung takut dalam melakukan hubungan seks (Harnowo, 2012).

Pengumuman: Artikel Terbaik II Lomba Menulis Opini dengan Tema Aborsi

Pantaskah Aborsi Dilakukan?

Oleh: Omelia Mercy Tikupadang

bayi mungil
Ilustrasi: ceritayosi.files.wordpress.com

Aborsi bukan lagi fenomena yang baru kita dengar. Perempuan Indonesia khususnya mengalami kehamilan tanpa rencana dan sebagian perempuan melakukan aborsi untuk mengakhiri kehamilan, sekalipun menyadari bahwa aborsi adalah tindakan ilegal. Perempuan-perempuan Indonesia mencoba mencari praktek-praktek non-medis yang menggunakan cara-cara tradisional dan tidak melihat dampak jangka panjang yang kemudian membahayakan diri sendiri.Pada tahun 2000, sekitar dua juta perempuan Indonesia melakukan aborsi. Hal ini diketahui ketika fasilitas-fasilitas kesehatan melakukan penelitian di enam wilayah dan juga termasuk aborsi yang dilakukan secara spontan yang tidak diketahui jumlahnya. Pengukuran pada penelitian ini yakni 37 aborsi untuk setiap 1.000 perempuan usia reproduksi antara 15-49 tahun dan perkiraan ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan beberapa negara di Asia yaitu 29 kasus aborsi untuk setiap 1.000 perempuan usia reproduksi.

Perempuan-perempuan yang melakukan aborsi dikarenakan ada dua hal, yaitu 1) kondisi ibu atau janin yang tidak memungkinkan untuk memiliki kehidupan di luar kandungan dan 2) kondisi ibu yang tidak menginginkan janin untuk hidup di dunia ini. Aborsi atau abortus (bahasa medis) merupakan pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan yang kurang dari 26 minggu dan berat janin kurang dari 500 gram. Hal-hal yang menyebabkan abortus itu dilakukan, yaitu : a) kelainan pada plasenta misalnya endarteritis dapat terjadi dalam vili koriales dan menyebabkan oksigenisasi plasenta terganggu, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kematian pada janin, b) ibu mengalami penyakit yang mendadak, seperti pneumonia, tifus abdominalis, anemia berat, dan keracunan, c) ibu mengalami kelainan bawaan uterus yang menyebabkan abortus. Dan selain itu, servik inkompeten disebabkan oleh kelemahaan bawaan pada serviks, dilatari serviks berlebihan, konisasi, amputasi atau robekan serviks luar yang tidak dijahit dan hal ini terjadi pada usia tiga bulan pertama kehamilan.

Proses abortus dalam dunia medis terjadi pendarahan dalam desidua basalis, diikuti oleh nekrosis jaringan di sekitarnya yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas. Uterus berkontraksi untuk mengeluarkan benda asing tersebut. Pada kehamilan kurang dari delapan minggu, vili korialis belum menembus desidua secara dalam, jadi hasil konsepsi dapat dikeluarkan seluruhnya. Sedangkan, pada kehamilan antara delapan sampai empat belas minggu menyebabkan perempuan mengalami pendarahan yang banyak karena penembusan lebih dalam sehingga plasenta tidak terlepas dengan sempurna. Usia kehamilan lebih dari empat belas minggu, janin dikeluarkan dari plasenta. Pendarahan tidak terlalu banyak, jika dilepas dengan lengkap dan peristiwa abortus seperti persalinan dalam bentuk miniatur.

Pada kondisi kedua, ibu memang tidak menginginkan adanya kehamilan sehingga memutuskan untuk aborsi dengan alasan bahwa a) masih menginginkan untuk tetap sekolah, b) belum siap menjadi ibu, dan c) tidak ingin menambah anak lagi. Alasan masih ingin tetap sekolah dan belum siap menjadi ibu kebanyakan terjadi pada kasus remaja yang melakukan seks pranikah tanpa menggunakan pengaman. Atau bisa jadi perempuan yang mengalami kasus pemerkosaan-tidak siap untuk menerima pengalaman ini karena trauma yang diderita. Selain itu, perempuan yang mengupayakan aborsi adalah mereka sudah mencapai jumlah anak yang diinginkan.

Di Indonesia, perempuan-perempuan seringkali melakukan aborsi tidak pada tenaga-tenaga medis melainkan tenaga-tenaga non-medis yang memungkinkan tidak diketahui oleh pihak lain, biaya yang relatif murah, dan tanpa menyadari bahwa risiko-risiko negatif yang akan dialami. Aborsi yang dilakukan dengan tidak aman menimbulkan gangguan kesehatan hingga kematian pada perempuan itu sendiri. Kenyataan yang lain bahwa perempuan-perempuan Indonesia lebih memilih dukun bersalin, dukun tradisional yang menggunakan cara pemijatan untuk melakukan tindakan aborsi. Aborsi yang tidak aman dapat menyebabkan pendarahan yang berat, infeksi dan keracunan dari bahan yang digunakan untuk pengguguran kandungan, mengalami kerusakan pada alat kemaluannya, rahim, dan perforasi rahim.

Setelah melihat kenyataan-kenyataan di atas, masih pantaskah aborsi dilakukan? Ketika kita berbicara dari sudut etika, baik etika agama maupun hukum, maka aborsi tidak bisa dibenarkan, karena hal ini menyangkut pembunuhan nyawa manusia dengan kata lain kita merampas hak orang lain atau nyawa manusia yang tidak berdosa untuk memiliki kehidupan di dunia ini. Sehingga, perempuan-perempuan Indonesia perlu menyadari bahwa kehamilan sesungguhnya bagian dari anugerah Yang Maha Kuasa-yang tidak bisa ditolak.

Pada akhirnya, semua keputusan ada di tangan setiap orang, khususnya perempuan untuk secara bijak perlu memikirkan kondisi-kondisi lain yang lebih memungkinkan bernilai positif bagi diri ketimbang hal-hal negatif yang merugikan diri sepanjang hidup.

 

 

SUMBER – SUMBER:

  • Badan Kesehatan Dunia (WHO), Aborsi Tidak Aman: Estimasi Globaldan Regional dari Insiden AborsiTidak Aman dan Kematian yangBerkaitan pada tahun 2003. (UnsafeAbortion: Global and RegionalEstimates of the Incidence of UnsafeAbortion and Associated Mortality in2003), edisi kelima, Geneva:WHO, 2007.
  • Badan Pusat Statistik (BPS) dan ORC Macro, Survei Demographi danKesehatan Indonesia 2002-2003 (Indonesia Demographic and HealthSurvey 2002-2003), Calverton, MD.USA: BPS dan ORC Macro, 2003.
  • Grimes DA dkk., Aborsi yang tidak aman: pandemik yang dapat dihindari (Unsafe abortion: thepreventable pandemic), Lancet, 2006, 368(9550):1908-1919.
  • Supriyadi, 2001, ”Politik Hukum Kesehatan terhadap Pengguguran Kandungan”, Makalah disampaikan dalam Diskusi Ilmiah, ”Aborsi Dari kajian Ilmu Politik Hukum” (Hukum Kesehatan dan Hukum Pidana), Yogyakarta: Bagian Hukum Pidana, FH-UAJY, tanggal 2 Juli 2002
  • Wignyosastro, G. 2001. Masalah Kesehatan Perempuan Akbat Reproduksi, Makalah Seminar Penguatan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, diselenggarakan PP Fatayat NU dan Ford Foundation, Jakarta, 1 September 2001.

Pengumuman: Artikel Terbaik III Lomba Menulis Opini dengan Tema Aborsi

Aborsi Bukan Tanggung Jawab Individu

Oleh: Inggi Tri Noviarianti

bayi mungil
Ilustrasi: ceritayosi.files.wordpress.com

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, aborsi diartikan sebagai pengguguran. Dan aborsi juga dibedakan menjadi dua, yaitu aborsi kriminalis dan aborsi legal. Aborsi kriminalis adalah aborsi yang dilakukan dengan sengaja karena suatu alasan dan bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Sedangkan aborsi legal adalah pengguguran kandungan dengan sepengetahuan pihak berwenang.Sementara itu, yang lebih berbahaya dan secara tidak langsung sedang menjadi trend di jaman sekarang adalah aborsi kriminalis, dan pelakunya adalah mayoritas pelajar dan mahasiswa. Berkembangnya jaman bukan membuat generasi muda makin pintar malah makin sesat. Pergaulan yang menggila, kebebasan yang keblabasan, dan mulai terkikisnya budaya timur, mungkin tiga hal tersebutlah yang menjadi pencetus lahirnya pikiran sempit yang tak bertanggung jawab. Dan pada akhirnya yang menjadi korban adalah perempuan serta calon manusia yang tak berdosa.

Di era globalisasi di mana pertukaran budaya sedang gencar dipromosikan, menggeser budaya kolot ke budaya modern, yang kini berpacaran di tempat-tempat umum sudah bukan hal tabu lagi malah dapat dilihat dengan mata telanjang oleh semua orang, seperti tontonan adegan romantis gratis. Tapi sayang, mereka tidak mengimbanginya dengan proses kontrol diri. Dan nasi telah menjadi bubur.

Sebenarnya tidak semua kesalahan harus ditumpahkan kepada dua insan yang sedang dimabuk cinta saja namun peran masyarakat, pemerintah dan orang tua juga sangat berpengaruh penting. Jika tiga elemen tersebut bersatu padu dan saling berpegangan tangan untuk lebih peduli maka persentase tingkat aborsi akan turun dengan signifikan dan nasib generasi muda juga akan terselematkan.

Peran masyarakat dibutuhkan untuk mengurangi beban batin bagi para perempuan yang sudah terlanjur mengandung. Biasanya, para tetangga malah menggunjing, mengolok, dan bergosip jika diketahui memiliki tetangga yang hamil duluan sebelum nikah. Bukankah hal inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya aborsi? Bukankah seharusnya yang tua yang dewasa? Rangkul dan dekati, karena tidak ada satu manusia pun yang luput dari khilaf dan dosa. Setiap manusia berhak mempunyai kesempatan kedua, dan mereka semua juga tahu, bahwa hanya keledailah yang akan jatuh untuk kedua kalinya di lubang yang sama.

Selain itu, ada fakta yang mencengangkan, jasa aborsi dijadikan sebagai lahan untuk mengais rejeki. Yang lebih menyedihkan lagi, yang menyediakan jasa tersebut adalah mereka yang berkecimpung di dunia kesehatan yang katanya berpendidikan serta memiliki tugas mulia menolong sesama. Sangat disayangkan, kesempatan dan keahlian yang telah dianugerahkan oleh Tuhan disalahgunakan hanya untuk mengantongi pundi-pundi dari hasil membunuh yang sudah tentu haram.

Dan untuk peran pemerintah sendiri, masih terkesan malu-malu kucing dalam bersosialisasi pada masyarakat luas. Karena dapat dilihat, bahwa para pelaku aborsi masih lebih takut aibnya tersebar luas dari pada resiko dari aborsi itu sendiri, yaitu yang biasanya sering terjadi adalah pendarahan dan tidak jarang berujung pada kematian. Acara talkshow di televisi memang sudah ada yang membahas mengenai bahaya aborsi namun masih kurang intens. Masih sekedar topik pilihan. Seharusnya bisa dibuatkan iklan di televisi, seperti iklannya keluarga berencana yang dibintangi oleh pasangan artis papan atas, dengan slogan yang membahana dan selalu terngiang di otak pemirsanya.

Meskipun nantinya pemerintah sudah getol mengkampanyekan anti aborsi tapi jika peran orang tua tidak ada, mustahil persentase aborsi di seluruh dunia bisa menurun. Karena pada hakekatnya, yang sedang dibutuhkan remaja bukan belaian pacar yang jika berlebihan akan berakibat fatal namun mereka butuh perhatian, pengertian, dan persahabatan dari orang tuanya. Jangan sungkan jika berdiskusi mengenai pacar anak-anak kalian, jangan menggurui juga jika anak sudah mulai membahas soal ketertarikan mereka pada lawan jenis, dan ini yang lebih penting jangan pelit waktu pada anak sendiri. Nah, bukan teori yang sulit kan? Sekarang tinggal mempraktekannya saja.

Cinta: antara Budaya dan Tanggung-Jawab, Juga antara Perasaan dan Akal Sehat

Gerundelan Rere ‘Loreinetta

bersyukur
Gambar diunduh dari bp.blogspot.com
Cinta memiliki dimensi spiritual yang dinamakan Isyq-o muhasbat yang memberikan daya kreatifitas yang hidup dan sebagai berdirinya suatu pribadi dan kepribadian. Dimana cinta menduduki urutan pertama dalam tariqh (suatu jalan, cara atau ikhtiar) hingga menuju penyempurnaan diri dan pensucian hati. Cinta juga merupakan stasiun terakhir yang terletak pada Tuhan yang bersifat fundamental.

*Muhamad Iqbal, seorang philosof asal Pakistan ketika bicara tentang cinta.

Definisi tepat yang dapat menggambarkan tentang cinta sangatlah sulit untuk dijelaskan secara terperinci dan sempurna, karena jika api cinta sudah berkobar dan tertebar maka sesungguhnya akan sangat sulit untuk dipadamkan.

Cinta merupakan kekuatan spiritual yang dapat membangkitkan fungsi – fungsi kecerdasan emosional dan secara spiritualitas dapat menembangkan potensi – potensi dari orang yang sedang mengalaminya.

Cinta bukan lagi sebuah rasa, bukan sebuah tampilan emosi saja, TETAPI Cinta adalah sebuah KEADAAN, dimana cinta tak hanya berdiri sendiri, karena ada banyak hal tersimpan di dalam kata cinta itu..

Perasaan yang berawal dari pandangan mata hingga turun kehati merupakan bagian dari hidup dan kehidupan manusia, yang esensinya dapat melahirkan kreativrtas dan sesuatu sebagai hasil karya melalui proses tahap akhir, yaitu tanggung jawab.

Cinta pada dasarnya boleh dikatakan sebagai budaya yang menggunakan perasaan serta akal sehat. Yup, CINTA adalah sebuah KEADAAN yang sendi-sendinya mampu membuat (memaksa) Manusia untuk berpikir. Apa yang sebaiknya…dan Apa yang tidak sebaiknya. Yang Tak Sama antara Individu satu dengan yang lainnya, walau semua itu SAMA, yaitu tentang CINTA.

Selebihnya CINTA adalah sebuah ANugerah dari TUHAN, yang bahkan ada yang bilang bahwa tak semua mampu merasakan RASA CINTA itu….eh yang bener…weeeehhh?? Karenanya ALHAMDULILLAH, jika anda masih memiliki cinta dan kasih sayang.

Virginitas dan Sekelumit Problematikanya

Oleh: Gyan Pramesty
Virginitas dianggap sebagai mahkota terindah yang melekat kepada diri wanita, terjaga, terlindungi dan tak diperkenankan diganggu-gugat. Sebagian manusia mempergunakan eksistensi virginitas sebagai alat untuk mengukur nilai seorang wanita. Selaput tipis yang membentengi liang peranakan wanita dianggap gerbang keramat yang tak boleh terkoyak, sebelum waktu yang ditetapkan, yakni pernikahan. Terkoyaknya selaput tipis tersebut akan merusak nilai seseorang, setidaknya itulah yang ditanamkan oleh ribuan orang kepada wanita-wanita muda yang akan menginjak vase matangnya keinginan akan persetubuhan. Dogma positive yang dimaksudkan untuk memberi pengertian tentang seberapa rendahnya wanita yang membiarkan benda tersebut terkoyak. Amat sangat positive.
Tetapi dogma tersebut, sering kali berpindah fungsi sebagai pembatas hak asasi manusia (HAM), khususnya wanita. Masa puber merupakan masa berkembangnya hasrat terdalam dari seorang wanita, dan dogma tersebut memaksa mereka mengungkung hasrat tersebut sedalam-dalamnya, kewajaran yang dialih-fungsikan menjadi ketidak-wajaran.
Para wanita mengkerut, menyembunyikan hasrat mereka dalam balutan jubah-jubah kehormatan yang digadang-gadang sebagai kesucian. Mereka takut mengekspresikan diri-mereka sendiri, mereka mengingkari eksistensinya sebagai makhluk yang berhasrat. Terpaku dalam keharusan berselaput. Terdidik untuk menyembunyikan kucuran yang hanya bisa terealisasi dalam mimpi. Terdiam.
Salah interpretasi sudah melanda dunia kewanitaan. Masyarakat menuntut mereka tetap virgin, selalu perawan, sebelum ijab kabul di depan penghulu. Mereka melupakan ada hasrat yang keberadaannya tak mampu disangkal siapapun. Hasrat biologis.
Wanita semakin tersudutkan. Mereka yang terlanjur memberikan keperawanannya kepada seseorang, akan terus mempertahankan hubungan tersebut. meskipun mereka terkukung dalam penderitaan. Karena tak dapat dipungkiri, pria yang telah merenggut virginitas seorang wanita akan memperlakukan wanita tersebut sesuai dengan kehendaknya, karena yang ada dalam benaknya adalah si wanita tidak akan meninggalkan si pria karena tidak akan ada pria lain yang sudi menikahi makhluk tak berselaput dara. Alhasil, wanita kehilangan keberhargaannya.
Hal tersebut akan berimbas kepada seluruh aspek kehidupan wanita. Ia akan terlihat lebih suram, wajahnya tak bercahaya. Karena benaknya dipenuhi oleh berbagai yang tak pasti, sudikah si pria yang telah merenggut keperawanannya mengiringi langkahnya hingga ke pelaminan, adakah pria lain yang sudi menjadi suaminya setelah mereka mengetahui ketidak-perawanannya. Ia tertekan.
Maka dari itu, solusi yang paling tepat untuk fenomena tersebut adalah solusi psikologis yang harus diamalkan oleh para wanita di seluruh dunia.
Sebelum melakukan hubungan pranikah, para wanita harus berfikir ulang, cukup kuatkah landasan berfikirnya. Apabila si wanita tidak dapat melepaskan diri dari paradigma tentang virginitas yang ditanamkan masyarakat kepadanya, lebih baik ia menjauhi perbuatan tersebut. karena hanya akan menimbulkan penderitaan jiwa terhadap dirinya.
Tetapi, apabila ia yakin mampu melepaskan diri dari paradigma tersebut yakinlah dengan apa yang dilakukan. Yakinlah bahwa ia dan nilai yang melekat dari padanya tidak berdasarkan kepada selaput tipis yang ada di selangkangannya. Yakinlah bahwa ia adalah mahkluk mulia yang mampu menaklukan dunia. Yakinlah bahwa ia hanya ia yang mampu mendeskripsikan, bukan masyarakat serta paradigma kunonya.

Catatan:
Opini ini terpilih sebagai opini terbaik ketiga tentang ‘Seks Pranikah’

Pentingnya Dukungan Sosial bagi Kaum Muda (Perempuan) Seks Pranikah

Oleh Omelia Mercy Tikupadang

Berbicara mengenai seks bukan lagi hal yang tabu dan terkadang pembicaraan tentang seks dijadikan bahan lelucon di kalangan kaum muda. Pendidikan seks diberikan tidak hanya melalui sekolah formal namun juga melalui didikan yang diberikan dari orang tua. Orang tua memiliki kewajiban untuk memberikan informasi tentang seks ketika anak pada masa pubertas, sebelum diberikan oleh pendidikan formal.
Pada masa kini, seks tidak lagi dilakukan dalam koridor yang tepat dan dengan bebasnya kaum muda melakukan hubungan seks tanpa adanya status pernikahan. Bagi budaya Indonesia, seks pranikah tidak bisa diterima dan dianggap memalukan. Memalukan yang dimaksud adalah karena seks hanya dilakukan ketika dua manusia yang berakal itu telah berstatus suami-isteri.
Banyak kaum muda melakukan hubungan seks dengan pasangannya yang pada akhirnya tidak menjadi suami mereka dengan mengatasnamakan “CINTA” tanpa menyadari resiko atau konsekuensi di kemudian hari. Resiko atau konsekuensi seperti penyesalan seumur hidup dan atau hamil. Kaum muda yang tidak bisa menikmati masa mudanya dengan baik memilih untuk menjadi ibu muda di usia yang muda dan belum matang baik secara psikologis (mental) dan secara finansial menjadi sebuah bencana dalam rumah tangga. Anak menjadi korban karena ketidaksiapan orang tua.
Resiko lain yakni penyesalan seumur hidup dengan memberikan pernyataan negatif pada diri “kenapa aku bisa sebodoh ini melakukan hal itu dengan laki-laki yang bukan suamiku?” atau “betapa tidak berharganya diriku. Aku sudah kotor, tidak layak lagi untuk dicintai orang lain”. Dan atau pertanyaan lainnya yang menjurus pada hal negatif tentang diri. Beberapa perempuan yang saya temui dan mereka menceritakan betapa menyesal mereka karena telah melakukan seks pranikah. Pemikiran negatif yang melahirkan perasaan negatif menyebabkan perempuan-perempuan tersebut seakan tidak ingin memiliki kehidupan yang lebih baik. Apalagi ditambah dengan cibiran negatif dari lingkungan yang semakin memperparah kondisi psikologis perempuan tersebut.
Mungkin benar, perempuan-perempuan yang terlanjur memberikan kehormatan pada pria yang bukan suaminya adalah tindakan yang keliru, tetapi ketika dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab sekiranya bukanlah hal yang salah, melainkan pemikiran negatif dari orang lain tentang mereka adalah salah. Apa hak kita untuk mencibir atau memberikan pernyataan negatif terhadap mereka, seakan kita tidak pernah melakukan kesalahan di dunia ini. Kaum muda (perempuan-perempuan) yang sudah terlanjur “terjatuh” ada baiknya kita rangkul dan memberikan dukungan sosial baik secara dukungan emosional, penghargaan, informasi, dan appraisal.
Secara tidak sadar, dukungan sosial menjadi penting dalam kehidupan setiap orang, terlebih khusus bagi kaum muda yang terlanjur melakukan seks pranikah. Dukungan sosial berupa emosional yakni dengan memberikan ekspresi simpati, perhatian, dan keprihatinan. Pastikan bahwa kaum muda tersebut merasa nyaman, dicintai, dimiliki, dan menjadi bagian dalam relasi dengan kita.
Dukungan sosial dalam bentuk penghargaan yakni dengan memberikan penghargaan positif, dorongan, penguatan, membantu membangun perasaan harga-diri, rasa dihormati dan dibangun. Dukungan sosial dalam bentuk informasi yakni saran, arahan dan umpan-balik yang mengarahkan mereka pada kondisi yang lebih baik. Dukungan appraisal dalam bentuk informasi yang menolong untuk penilaian-diri dan penilaian atas suatu situasi atau kejadian. Dukungan dalam bentuk ini akan membantu mereka dalam mengatasi masalah dalam segala situasi atau bagaimana situasi itu harus dihadapi.
Kaum muda membutuhkan perhatian dalam bentuk dukungan sosial dari lingkungan baik keluarga, teman, sahabat, maupun pihak lain yang menjadi bagian dalam kehidupan mereka. Tanpa dukungan bagaimana kehidupan mereka selanjutnya, mereka juga masih menginginkan kehidupan yang lebih baik di kemudian hari. Karena itu, dukungan sosial menjadi sangat penting tanpa harus kita mengenal mereka secara lebih dekat, tetapi mulailah dari lingkungan yang terdekat yang membantu mereka mengembangkan potensi mereka jauh lebih baik. Kaum muda lebih membutuhkan hal itu ketimbang penilaian negatif tentang mereka dan perlu diingat bahwa mereka sama berharganya dengan kita.

* Penulis adalah Mahasiswa, tinggal di Salatiga.
Catatan:
Opini ini terpilih sebagai opini terbaik kedua tentang ‘Seks Pranikah’