Arsip Tag: detik

Menyematkan Rindu Pada Bulir Padi yang Menguning

Cerpen DeAnnita

Panas terik matahari siang ini kembali membakar kulit sawo matangku. Setelah lelah sedari pagi membantu mamak dan bapak memanen padi, aku duduk di sebuah gubuk bambu yang sengaja bapak buat sebagai tempat peristirahatan. Kulihat mamak dan bapak tampak begitu lahap menyantap bekal makan siang yang setiap hari mamak persiapkan sebelum pergi ke sawah. Mamak selalu membawanya dalam rantang abu-abu itu.

Aku tak lapar, sama sekali tidak. Di setiap waktu makan siang seperti ini, rasa laparku selalu terkalahkan oleh satu rasa yang begitu menggebu. Rasa yang mengikat hatiku pada sebuah janji yang kau ucapkan dua tahun yang lalu–di gubuk bambu ini. Rasa itu kuberi nama rindu. Lalu hari-hariku seperti anak-anak sekolah. Aku mempunyai pekerjaan rumah untuk menyematkan rindu pada bulir padi yang menguning.

Dulu, sebelum kau pergi membawa mimpimu ke kota megapolitan itu, kita selalu berbagi makan siang di sini. Kau selalu membawa ubi rebus yang mamak-mu rebus sebelum kau pergi bermain ke tanah hijau ini. Sebagai gantinya, aku membawakanmu pisang bakar yang kubakar sendiri di bawah luweng. Kau mengatakan bahwa pisang bakar buatanku adalah pisang bakar terlezat yang pernah kau makan sepanjang hidupmu.

Beberapa detik kemudian, kurasakan batinku mulai mengharu biru kembali. Sementara itu, mamak dan bapak bersiap untuk kembali memanen padi. Mamak dan bapak memakai caping yang di beberapa sisi anyaman bambunya sudah agak berantakan dan mencuat dari jalurnya. Tak bisa kucegah sekeping memori tentang pertemuan kita dulu. Pertemuan yang membawa kita berjalan menuju sebuah rangkaian yang kebanyakan orang menyebutnya dengan panggilan persahabatan.

Waktu itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga dan kau kelas empat. Siang itu aku duduk di kelas sendiri dan menundukkan kepala dalam-dalam. Ruang kelas kita bersebelahan. Kau berhenti tepat di depan kelasku dan menatapku dengan penuh tanda tanya. Terang saja, di saat anak-anak lain sudah pulang, aku masih duduk di kelas dengan sikap yang aneh.

Kau berjalan mendekatiku, duduk di sampingku, lalu berkata, “Kamu ndak pulang?”

Perlahan kutengadahkan kepala untuk melihat wajahmu sambil menghapus sisa air mata yang membasahi pipiku. Aku diam tak menjawab pertanyaanmu. Lalu aku kembali menundukkan kepala dan memilin-milinkan ujung dasiku.

“Aku ndak akan jahatin kamu kok. Kamu ngopo nangis?” rupanya kau seperti bisa membaca pikiranku saat itu. Kau malah semakin ingin tahu mengapa aku menangis sendirian di kelas saat itu.

Sekuat tenaga kutahan tangisku untuk menjawab pertanyaanmu. Kau sedikit memiringkan kepala untuk melihat wajahku yang masih tertunduk.

“Aku mau pulang,” aku masih mengingat dengan jelas bagaimana nada bicaraku saat itu. Sungguh, aku begitu terdengar menderita dan memelas.

Kau tertawa begitu puas setelah mendengar jawabanku. Seketika saja, kau berdiri dan memegang tangaku untuk berdiri. Aku masih menatapmu tanpa kata-kata.

“Pulang tinggal pulang, to? Kalau di sini terus kapan sampai rumah?”

Dengan malu-malu kujawab pertanyaanmu, “Aku ndak punya uang. Uangku diambil sama Si Lemu.” Setelah itu tangisku kembali pecah.

Kau melepaskan genggaman tanganmu dan menghapus air mataku. Aku tersentak kaget dengan perlakuanmu saat itu. Tawamu yang tadi mengejekku berubah menjadi sifat seorang kakak yang mengayomi adiknya.

“Ya, sudah, ayo tak antar pulang,” ucapmu sambil menuntunku keluar kelas.

Siang itu kau mengantarku sampai rumah. Aku tersenyum begitu bahagia saat itu.

Kau mengulurkan tanganmu seraya berkata, “Panji.”

Secepat kilat aku membalas uluran tanganmu, “Ayu.”

Siang itu adalah awal persahabatan kita. Kau dan aku mulai bermain bersama di sekolah ketika istirahat tiba. Tak jarang, kau berkunjung ke rumahku. Kau mengajariku menerbangkan layang-layang. Aku ingat layang-layang pertama yang bisa kuterbangkan berkat ajaranmu. Warnanya putih dengan garis hitam di sisi kirinya. Lalu di tengahnya tertulis nama kau dan aku.

Aku berteriak kegirangan, “Panjiii, layang-layangku bisa terbang!”

Kau berdiri di sampingku sambil melihat ke layang-layang yang berhasil kuterbangkan dengan indah. “Siapa dulu yang mengajari? Panji!” jawabmu bangga sambil membusungkan dada.

Sebagai gantinya, aku mengajakmu bermain di sawah bapakku. Kau begitu sumringah ketika kuajak melihat padi-padi yang menguning dan siap dipanen. Kau juga mengatakan bahwa suara burung pipit di sawahku membuat hatimu ceria.

Aku tersadar dari lamunanku ketika bapak menggerakkan boneka sawah yang sengaja dibuat untuk mengusir burung-burung pipit yang datang mematuki padi-padi kami. Tanpa kusadari ada setetes bulir hangat yang jatuh membasahi pipiku. Ah, jangan menyebutku sebagai gadis desa yang cengeng! Aku memang selalu seperti ini. Rinduku padamu seperti cambuk yang siap mengeksekusi teroris di tiang cambukkan. Tidak, rinduku padamu serupa bulir padi yang menguning begitu indah dan dinantikan berjuta umat manusia.

Seandainya saja aku bisa mencegah kepergianmu untuk tidak menuntut ilmu di kota besar yang kini membuatmu lupa akan ubi rebus, pisang bakar buatanku, bermain layang-layang, dan kicau burung pipit yang membuat hatimu ceria. Seandainya saja aku bisa sedikit berargumen, mungkin kau akan mempertimbangkan kembali kepergianmu. Ah, sudahlah. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu kedatanganmu setiap tahun dan terus fokus pada pendidikanku yang sudah separuh jalan ini.

Aku memang selalu menasihati diri agar bersabar menunggumu, namun batinku meronta karena setiap keping kenangan kita berbunyi seperti logam yang jatuh di atas keramik. Dan memori kepergianmu terputar lagi di benakku.

Senja menguning dengan sempurna sore itu. Padi-padi yang siap dipanen merunduk dan menari setelah angin sore mengecupnya dengan lembut. Suara jangkrik dan katak sawah mulai terdengar melantunkan nyanyian malam dengan penuh semangat. Kau menjemputku di rumah dengan sepeda ontelmu dan membawaku ke gubuk bambu yang bapak buat. Kau bilang ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting. Lagi-lagi kau bilang hal yang akan kau sampaikan menyangkut masa depan kita.

“Bagaimana perasaanmu menunggu hasil ujian nasional?” ucapku saat itu dengan hati yang berdebar. Ujian Nasional yang baru saja kau lewati menciptakan lega sekaligus ketegangan baru untukku.

Sepertinya kau tak mendengar ucapanku. Kau terlihat begitu gelisah. Kakimu kau ayunkan ke depan dan ke belakang yang semakin mempertegas kegelisahanmu.

“Aku harus pergi, Yu,” ucapmu sambil menatap mataku lekat-lekat.

Aku terkaget mendengar ucapanmu. Seketika saja, kurasakan detak jantungku seperti berhenti setelah beberapa detik. Aku tersadar dan dengan cepat menyuruh jantungku untuk berdetak kembali. Namun, hanya diam yang kuberikan sebagai jawaban atas ucapanmu.

“Aku akan melanjutkan kuliah di ibu kota. Aku sudah diterima di salah satu universitas di sana,” ucapmu lanjut. Dari air wajahmu aku tahu ada rasa yang memberatkanmu saat menyampaikannya padaku.

pemandangan_sawah
foto milik Teresia Prahesti

Seketika saja aku terhenyak dan menyandarkan diri pada bambu penyangga gubuk. Aku merasa seperti ada yang menghujam tepat di jantungku. Kau yang menyadari perubahan ekspresiku langsung berkata, “Tenanglah, Yu. Aku ndak akan melupakanmu. Aku akan pulang kampung setiap tahun.”

Kau diam sejenak sebelum akhirnya menggenggam tanganku erat dan berjanji, “Aku berjanji tak akan melupakanmu. Percayalah padaku. Aku akan setia pada janji kita. Kau dan aku di usia 25 tahun nanti.”

Lalu padi yang menguning semakin merunduk saat itu. Senja yang berubah menjadi jingga rasanya begitu kelabu. Sepanjang perjalanan pulang, aku hanya diam dan memegangi pinggangmu dengan erat. Kau mengayuh sepeda ontelmu dengan pelan, layaknya petani yang kelelahan setelah seharian mengurus sawahnya.

Suara mamak memanggilku dengan lantang, membuyarkanku dari lamunan tentangmu.

“Ayo pulang, wis sore mengko ndak kewengen,” mamak berteriak sekali lagi.

Inggih, Mak,” jawabku singkat.

Aku beranjak dari gubuk bambu yang penuh dengan kepingan kenangan kita dengan malas. Sebelum benar-benar melangkahkan kaki, kupandangi gubuk bambu itu dengan rasa yang mengharu biru. Aku melihat tawa, kata, cerita, dan tangis kita menguap di udara menuju peristirahatan hari. Lalu kepingan-kepingan itu berserakan, usang karena lama tak kau sentuh.

Sejenak aku berdiri memandangi padi-padi yang menguning dengan rasa haru yang luar biasa. Isakanku kujelmakan pada lukisan langit jingga yang sempurna. Ah, aku tak akan berharap terlalu banyak. Sebab kedatanganmu selalu membuatku  kecewa bahwa kau melupakan setiap hal yang pernah kita lalui dengan alasan setumpuk tugas dan hal baru di ibu kota yang kau anggap sebagai modernisasi.

Kau mengernyitkan dahi melihat pisang bakar yang kusodorkan. Dengan penuh semangat dan sukacita aku membakarnya untukmu, namun kau membalas kegembiraanku dengan tanda tanya.

“Aku tak lagi memakan pisang bakar seperti ini, Yu. Jorok dan tidak menarik. Di kampus aku diajari kebersihan yang begitu ketat. Aku baru menyadari bahwa pola hidupku selama ini sungguh jorok,” ucapmu ringan sambil memainkan handphone layar sentuh yang kau bilang sedang trend.

Aku hanya diam, mengangguk, dan berkata “oh” atau “iya” atas segala ceritamu tentang isi ibu kota. Lalu kau membuat hatiku hancur berkeping-keping. Rasanya seperti banjir yang membuat semua isi kolam ikan mbah kakung meluap, berserakan ke jalanan dan ikan-ikan di dalamnya tak bisa bernafas. Akulah ikan itu.

“Setelah selesai S1, aku ditawarkan untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri oleh salah satu kawanku. Bagaimana menurutmu, Yu?” kali ini kau bertanya sambil menatapku.

Aku diam sejenak, kebingungan dengan jawaban yang harus kupersembahkan untukmu. “Ya, itu bagus. Lalu bagaimana dengan janji kita di usia 25 tahun?” kuberanikan diri untuk melontarkan pertanyaan itu.

“Yang terpenting saat ini adalah pendidikan. Kau tak perlu memikirkan hal yang belum tentu terjadi,” lalu kau mengeluarkan sebuah gantungan kunci dengan boneka beruang biru yang menggantung pada lingkaran pengaitnya.

Kau memberikannya untukku. Aku memandangi gantungan kunci itu dengan hampa. Tak tahu lagi harus berkata apa. Lalu kuseka air mata yang hampir saja memberontak ingin menampar kata-katamu.

Sekuat tenaga kukatakan padamu, “Aku menunggumu di usia 25 tahun itu, Panji. Aku menunggu janjimu, janji kita.” Kau tersenyum mendengar ucapanku. Lalu tanganmu menggenggam erat tanganku. Kurasakan ada kehangatan yang mendarat di keningku. Ah rasanya begitu manis.

Aku berdebar mengingatnya, selalu berdebar. Aku melangkah perlahan menyusuri pematang sawah. Dan biarlah, tetap dan terus kusematkan rindu pada bulir padi yang menguning.

Kampus GG IPB

10:42

DeAnnita, kelahiran kota hujan. Mencintai hujan, rindu, senja, dan pantai.

Pengumuman: Artikel Terbaik I Lomba Menulis Opini dengan Tema Aborsi

Post Abortion Syndrome (PAS)

Oleh: Era Sofiah

 

bayi mungil
Ilustrasi: ceritayosi.files.wordpress.com

Betapa haru ketika menyaksikan seorang ibu yang dengan sepenuh jiwa bertaruh nyawa demi menghadirkan sang cabang bayi yang telah 9 bulan bersemayam dalam rahimnya tak peduli rasa sakit itu menyayat tubuhnya. Detik demi detik serasa waktu begitu lama berlalu. Dan perlahan rasa sakit itu berganti bahagia ketika mendengar tangisan sang bayi dan itulah awal perngabdian seorang ibu membesarkan buah hatinya.

Lain lagi cerita seorang ibu yang mendambakan kehadiran anak dalam perkawinannya yang telah dibina selama bertahun-tahun namun Tuhan belum juga menitipkan anugerah-Nya.  Segala upaya pun ditempuh tak peduli berapapun biaya yang dikeluarkan hingga berobat keluar negeri demi kehadiran sang buah hati yang diharapkan akan semakin merekatkan ikatan perkawinannya. Kelak bayi-bayi di atas akan merasa beruntung dapat merasakan kasih yang tak terbatas dari sang bunda. Amat kontras dengan kehidupan bayi-bayi malang yang harus menelan pil pahit di kehidupan awal harus tersingkirkan karena kehadirannya tak dikehendaki.  Di kolong jembatan, di hulu sungai, di tempat pembuangan sampah  menjadi kuburan mereka. Atau bahkan sebelum mereka sempat menghirup udara dunia mereka para bayi malang itu dipaksa kembali ke surga lewat berbagai cara atau lazim disebut aborsi.

Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus” berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh. Tindakan aborsi diizinkan jika memang memiliki indikasi medis tertentu, misalnya kelahiran tersebut dapat membahayakan nyawa sang ibu. Tindakan aborsi yang dilakukan atas dasar indikasi medis disebut sebagai abortus provocatus medisinalis. yaitu aborsi yang dilakukan atas keinginan pasien (Wirawan, 2007). Istilah ini kontras dengan abortus provokatus medisinalis, yaitu aborsi yang dilakukan atas indikasi medis.

Setiap tahun, diperkirakan ada 2,5 juta nyawa tak berdosa melayang sia-sia akibat aborsi. Angka ini terhitung besar sebab jumlahnya separuh dari jumlah kelahiran di Indonesia, yaitu 5 juta kelahiran per tahun. Dari 2,5 jutaan pelaku aborsi tersebut, 1 – 1,5 juta di antaranya adalah remaja berusia 15 -24 tahun. ( detik Health 30/5/2012). Dalam situs berita VIVA news (2011), tercatat bahwa terdapat 70.000 ibu yang meninggal dunia akibat praktik aborsi yang ilegal. Data lainnya dipublikasikan dalam situs VOA Indonesia (2012), bahwa diperkirakan terjadi lebih dari 45 juta kasus aborsi setiap tahunnya.

Seks bebas yang sekarang menjadi bagian dari gaya hidup hingga maraknya prostitusi khususnya di kalangan remaja menjadi pemicu tingginya angka aborsi. Ketidaksiapan mental untuk bertanggung jawab atas tindakannya serta anggapan bayi yang dikandungnya kelak hanya akan membawa aib menjadi alasan utama dan aborsi menjadi pilihan.  Dan ironi, seringkali  keputusan untuk melakukan aborsi kerap didukung oleh orang-orang terdekat pelaku dan lagi-lagi alasannya demi menutupi aib. Dan fenomena ini dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk membuka praktek aborsi illegal. Padahal sejatinya melakukan aborsi bukanlah solusi dan hanya menutupi masalah dengan menghadirkan masalah baru Post abortion syndrome (PAS).

PAS adalah dampak dari pelaku aborsi berupa trauma emosional, psikologis, fisik, dan spiritual yang diakibatkan oleh aborsi, di mana kejadian tersebut berada di luar pengalaman manusia biasa (Rooyen & Smith, 2004). Babbel (2010) mengungkapkan gejala-gejala dari PAS, yaitu: (1) rasa bersalah, yang dialami karena membuat sebuah kesalahan atau melanggar moralitas; (2) gelisah atau anxiety, yang mungkin muncul pada isu-isu kemandulan dan kemungkinan untuk hamil kembali; (3) mati rasa atau depresi; (4) kilas balik atau flashback, aborsi dilakukan dengan operasi dan umumnya terjadi saat pasien dalam keadaan sadar sehingga dapat menjadi sebuah pengalaman yang menjadi sumber stres; (5) pemikiran untuk bunuh diri, terjadi dalam kasus-kasus ekstrim.      Mencegah lebih baik dari mengobati. Sebagai bahan renungan adalah Penelitian dari Robert Blum, seorang profesor perkembangan remaja di University of Minnesota mengatakan bahwa remaja yang dekat dengan ibunya cenderung takut dalam melakukan hubungan seks (Harnowo, 2012).

Detik

Gerundelan Alra Ramadhan
detik waktu
gambar diunduh dari bp.blogspot.com
Pernah terpikir olehku bahwa dunia ini akan berakhir bahagia. Bahwa kehidupan ini akan memberi akhir yang menyenangkan bagi semua manusia. Bahwa akhir kehidupan ini tak sebegitu ngeri. Bahwa dunia ini berakhir dengan penuh pengertian Yang Maha. Bukan berakhir dengan berbagai perhitungan dan hukuman-hukuman, seperti yang diceritakan kitab-kitab, guru agama, atau kyai. Di suatu senja yang memerah aku terpikir hal tersebut.
“Kau sudah sinting!”
Demikian kata salah satu teman rumah kontrakku ketika suatu hari kuceritakan apa yang terserak dalam pikiranku tersebut.
“Tidak kawan,” timpalku.
Aku diam sejenak, mendeham.
“Percayalah, kehidupan ini berakhir bahagia kelak. Dan hal yang kukatakan ini bukan pula tanpa alasan. Alasan, tepatnya dasar teori, itu begitu banyak. Semuanya bercampur, melebur, dan lantas kutarik kesimpulan sederhana bahwa kehidupan ini berakhir dengan damai.”
“Peradaban,” kataku lagi kemudian. “bukankah dapat dipandang sebagai suatu proses bagaimana manusia menunjukkan kemampuannya dalam menaklukkan alam semesta?”
Mungkin saja bila Adam tak diturunkan ke dunia ini, beliau akan tetap hidup bergantung pada Tuhan. Di surga, atau sekali waktu berjalan-jalan di sekitar neraka bila bosan atau kedinginan. Tapi Tuhan sungguh baik, kawan, Ia tetap tak mau Adam yang dibuat-Nya dengan sesempurna mungkin itu hanya bermanja-manja saja di khayangan. Maka ditakdirkan oleh Yang Maha demikian:
Makhluk yang sudah ia ciptakan sebelumnya, malaikat, salah satu di antara mereka membangkang ketika Tuhan memerintahkan bersujud kepada Adam. Keduanya beradu, Tuhan dan pembangkang tersebut.
“Aku hanya mau bersujud kepada-Mu,” kata pembangkang itu.
Tuhan pun menghukum malaikat tersebut: melemparkannya, dengan kengerian yang kau sendiri tak bisa bayangkan, ke padang tanah gersang. Lantas memburukkan rupanya, menjadi apa yang disebut iblis.
Aku menghela napas.
Ketika satu saat malaikat pembangkang tersebut hendak mencari kawan, digodalah Adam dan Hawa. Ia masuk ke taring ular dan lantas berbicara pada Adam agar memakan buah terlarang yang ada di surga. Tuhan, meskipun aku sendiri tak mengerti bagaimana Yang Maha Tahu bisa ‘kecolongan’ atas tindakan tersebut, lantas menghukum Adam dan Hawa dengan hukuman yang sama dengan apa yang didapatkan si pembangkang: turun ke dunia. Dihilangkan-Nya kemewahan surga, terbukalah aurat di antara keduanya, tapi keduanya terpisah sedemikian jauh di dunia ini.
“Inilah alasanku!!” kataku. Kawanku tetap diam.
“Usaha,” lanjutku.
Itulah usaha manusia pertama untuk yang pertama kali. Mereka berdua berjalan, berjalan, dan berjalan sedemikian jauh, untuk bertemu. Mereka berjuang agar mereka dapat berjumpa kembali dan kemudian dapat saling mengisi dan melengkapi. Tuhan masih tetap Maha Baik, mereka dipertemukan. Lalu terjadilah putra dan putri dari mereka. Dunia semakin meriah. Putra-putrinya pun disilangkan, maka semakin berkelompoklah manusia. Kemudian, terjadilah peradaban manusia. Malaikat pembangkang yang membuat istana di gua tua yang mendengar berita tersebut tak bisa menerima begitu saja keputusan Tuhan. Bagaimana mungkin ia dihukum, tanpa mendapatkan kemudahan, hanya gara-gara tak mau bersujud. Sedang Adam Hawa yang makan buah terlarang, masih diberi kemudahan. Ia menggoda Adam, juga Hawa, juga keturunan peradaban manusia tersebut.
“Hingga detik terakhir,” demikian niatnya.
Tuhan tetap Maha Baik, peradaban tersebut diizinkan tetap berusaha dan berjuang. Entah berapa abad setelah era Adam Hawa, konsepsi pertama yang dicari adalah tentang Tuhan. Sembari berburu, lalu bercocok tanam, menunggu hujan, atau pun ketika membangun keluarga dan anak turun. Segalanya dikaitkan dengan Tuhan Tertinggi: tak terkonsepkan. Tapi manusia sungguh makhluk Tuhan yang pantang menyerah. Mereka menguji seberapa tangguh mereka melawan alam semesta buatan Tuhan. Tidakkah ini bentuk pembangkangan pula, kawan?
Kawanku diam.
Dan hingga sekarang, di antara beberapa manusia telah banyak mencipta benda untuk menaklukkan keterbatasan mereka. Manusia, termasuk aku dan kau, mulai dapat mengendalikan kekuatan yang besar dan yang kecil. Aku contohkan, ribuan tahun lalu manusia memanfaatkan keberadaan hewan untuk dapat dimakan dan tetap bertahan hidup. Manusia memanfaatkan kulitnya untuk berlindung dari badai. Juga taringnya untuk berburu hewan selanjutnya, atau bila dirangkai, jadilah pemanis di leher mereka. Tetumbuhan dibabat, dijadikan tempat tinggal yang lebih hangat dari bebatuan gua. Dedaunan dapat dimasak. Bebuahan bisa menjadi cemilan ketika menunggu buruan lengah.
Dan berabad berlalu, manusia menemukan alat untuk mempersingkat jarak. Dengan telepon, jarak jauh sekali pun mereka tetap dapat saling bersapa. Atau dengan internet, berbicara, bahkan melihat foto atau pun gambar gerak dapat dilakukan dengan mudah. Manusia telah dapat memperluas kemampuan indera mereka, melebihi yang diberikan Tuhan.
Kau pikir Tuhan marah?
“Tidak kataku!!” Tuhan, bagiku, tetap Maha Baik. Berabad berlalu lagi, orang tuli kini sudah dapat mendengar suara dari yang lain dengan alat bantu yang pastilah buatan manusia. Petir, dapat ditangkal dengan sebuah kabel yang terhubung ke tanah, kekuatannya dapat dikendalikan ke arah tanah dengan itu. Motor juga mobil, menaklukkan waktu, mempersingkatnya, sayang tak memikirkan dimensi ruang. Manusia tak hanya berdiam di dunia, mereka menjelajah dunia lain, planet lain, meneliti sumber cahaya kehidupan, lain sebagainya.
“Dan bukan tidak mungkin esok, lusa, atau beberapa waktu nanti, Tuhan dapat dijelaskan dengan akal sehat yang dimiliki manusia,” kataku sembari mengepulkan asap kretekku.
“Pemikiranmu terlalu sederhana, kawan!!” katanya bersungut.
“Hmm, mungkin…”
Tapi bisa saja, suatu hari manusia dapat merumuskan bagaimana Tuhan. Bentuk-Nya, singgasana-Nya, dan lantas takjub melihat mata Tuhan. Mereka kembali menemukan yang telah berabad tak diketahui manusia: Tuhan. Aku rasa, Tuhan menakdirkan Adam dan Hawa tak bercerita tentang wujud-Nya. Karenanya berabad kemudian barulah manusia sadar akan kehadiran Yang Maha.
Dan di suatu senja yang mulai memerah inilah aku terpikir bahwa akhir dunia ini adalah bahagia: ketika, suatu saat kelak, Tuhan dapat terumuskan oleh manusia. Dan manusia yang mulanya menentang kehadiran-Nya menjadi percaya. Tak lagi ada peperangan keyakinan, tak ada lagi alasan manusia dapat menyerang agama lain karena keyakinannya lebih benar.
Saat itulah Tuhan ikut turun ke dunia, memberi penghargaan kepada manusia atas apa yang diperjuangkannya. Tuhan bertemu mereka tanpa perantara barang kabut pun—seperti ketika Musa bercengkerama di Sinai. Saat itulah, manusia mendapat bukti nyata bahwa mereka berasal dari satu sumber Yang Maha. Manusia kembali percaya pada satu Tuhan Tertinggi yang kekuasaannya sungguhlah amat dahsyat.
Kemudian dunia bosan menari……

Malang, 21 Maret 2012
Alra Ramadhan, Lahir 9 Maret 1993 di Kulon Progo, salah satu nama kabupaten di D.I. Yogyakarta.. Saat ini berkuliah di Jurusan Teknik Elektro Univ. Brawijaya, Malang.. Lebih lanjut, dipersilakan berkunjung di @alravox..