Jika revolusi adalah “pengejawantahan budi-nurani kemanusiaan”, seperti dikatakan Presiden Soekarno, bisakah kita menolak menempatkan diri di dalamnya? Di tahun 1948, di Perancis, Albert Camus berkata: “Bukan karena perjuanganlah kita menjadi seniman, tetapi karena kita seniman maka kita menjadi pejuang-pejuang”. Dengan kata lain ada hubungan yang wajar dan logis antara keduanya. Kita tak perlu melepaskan kesenian dari diri kita dalam revolusi atau perjuangan itu. Kesenian dan kesusastraan juga suatu “revolusi”:secara langsung atau tak langsung ia memperjuangkan kembali untuk hati nurani yang pada suatu masa dikaburkan, atau belum ditemukan, oleh suatu sejarah. Maxim Gorky, Multatuli, Jose Rizal. Dalam kenyataan juga sering terlihat, bagaimana benih dan semangat revolusi terungkap dengan jelas dalam karya-karya sastra.
Tapi tidakkah dengan begitu kesusastraan akan merupakan propaganda revolusi, suatu alat? Kesusastraan bukanlah semata-mata alat, meskipun mempunyai aspek itu, seperti kita mengakui bahwa kesusastraan bukanlah pensil atau pistol. Sebab kesusastraan mengandung fungsi komunikasi yang langsung. Ia membutuhkan faktor kemerdekaan, agar sifatnya tetap otentik. Jika kita memang membutuhkan kesusastraan sekarang dan di sini untuk itu, keretakan antara kesusastraan dan revolusi tidak harus terjadi.
Keretakan antara kesusastraan dan revolusi terjadi bila salah satu menjadi reaksioner, menyimpang dari cita-cita semula. Dalam sejarah memang terjadi hal itu, ketika kekuatan revolusi berpindah kepada kekuatan kekuasaan. Di situ sebenarnya telah terjadi sektarisme. Di situ sebenarnya telah terjadi penganutan paham, aliran atau sistim pemikiran secara dogmatis serta tegar, dan telah tumbuh sikap tak terbuka dalam menghadapi persoalan, dalam mencari kebenaran suatu masalah. Di situ telah terjadi kecenderungan kuat untuk menolak atau memalsukan kebenaran-kebenaran yang tidak tercakup oleh pemikiran sendiri. Dengan kata lain: satu proses kebohongan. Jika revolusi telah berpindah kepada kekuatan kekuasaan semata-mata, maka dasar kemanusiaan yang terdapat dalam tujuannya semula pun digilas dan dihancurkan.
Bagi kesusastraan itu merupakan suatu kontradiksi. Tak ada suatu kreasi kesusastraan yang berharga tanpa mempunyai dasar semacam kasih. Tentu saja harus dimaklumi, bahwa tindakan-tindakan politik, adanya penggunaan kekuasaan dalam revolusi – yang sering bisa mengganggu tidur nyaman dan hati nurani kita – merupakan suatu hal yang tak terelakkan sama sekali. Hanyalah harus dijaga, agar kita tidak kemudian menjadi kebal dan tebal muka akan kejadian-kejadian demikian. Saya kira justru di situlah letak kesusastraan dalam revolusi: di satu pihak ia adalah kritik terhadap kebudayaan yang harus tumbang oleh revolusi, di lain pihak ia adalah kritik terhadap ekses-ekses revolusi sendiri.
15 September 1962
Naskah diambil dari Buku Kesusastraan dan Kekuasaan
KARYA sastra bermutu tinggi mampu mengungkapkan kerumitan dan kepelikan watak manusia dalam realitas hidup yang kompleks. Novel, roman, cerita pendek, maupun cerita epik kepahlawanan yang ditulis secara prolifik, mampu menampilkan tokoh-tokoh dengan watak mempesona. Karya sastra yang dikonstruksi dengan kepiawaian logika estetik memberikan efek yang menggetarkan dan menggentarkan. Inilah alasannya, mengapa sastra memegang peran penting dalam proses pendidikan karakter. Bahkan, strategi pendidikan karakter dapat dilandaskan pada pencarian hikmah dan makna dari karya-karya sastra.
Tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer merupakan contoh karya sastra yang dapat dijadikan dasar penyelenggaraan pendidikan karakter. Baik plot maupun dialog dalam tetralogi tersebut membeberkan sosok tokoh-tokoh protagonis dan antagonis. Pembeberan tokoh-tokoh itu pun tidak karikatural sifatnya, tetapi justru berada dalam nuansa dialektika penuh warna. Tak mengherankan jika tokoh protagonis maupun antagonis dalam tetralogi tersebut melekat erat dalam benak publik pembaca. Langsung maupun tak langsung, publik pembaca memasuki proses pembelajaran untuk memilih watak protagonis dan melawan watak antagonis.
Sebagaimana diketahui, tujuan pokok pendidikan karakter adalah menumbuhkan nalar distingtif agar peserta didik dapat mencerna bahwa kebajikan berbeda secara diametral dengan kejahatan. Melalui nalar distingtif, pendidikan karakter membentuk kesadaran, bahwa ada serangkaian faktor dan sederet variabel penyebab timbulnya kebajikan maupun kejahatan. Pendidikan karakter membentuk kesadaran di kalangan peserta didik untuk memahami bahwa kebajikan atau kejahatan tidak muncul dari ruang vakum, tetapi merupakan akibat logis dari beragam sebab. Kebaikan atau kejahatan terbentuk melalui proses panjang, rumit dan berliku dalam keseluruhan aksi-reaksi manusia dengan alam semesta dan aksi-reaksi manusia dengan sesamanya. Tampak jelas dalam konteks ini, betapa sesungguhnya tidaklah sederhana pendidikan karakter.
Karya-karya sastra bermutu tinggi digdaya menjelaskan secara mempesona lekak-lekuk karakter manusia yang rumit. Hayat tokoh-tokoh protagonis dan antagonis bahkan dibentangkan segala laku dan sepak terjangnya dengan keindahan narasi. Melalui karya sastra, peserta didik lebih mudah memahami distingsi antara kebajikan dan kejahatan. Dari sini terbentuk kondisi psikologis, memilih dengan tegas kebajikan sebagai karakter. Mengabaikan arti penting pembacaan karya-karya sastra, justru membuat praksis pendidikan karakter kehilangan salah satu basisnya.
Masalahnya di Indonesia, pendidikan sastra diabaikan dan terabaikan. Sejak era Orde Baru, sastra sengaja diperlakukan sebagai subyek pembelajaran yang tidak signifikan, tidak penting, tidak berguna, dan segala macam ‘tidak’ lainnya. Dunia pendidikan di Indonesia terlena untuk hanya memandang bermakna pembelajaran sains dan matematika. Meskipun tak diungkapkan secara verbal, sastra dipandang lebih rendah derajatnya dibandingkan sains dan matematika. Ambisi untuk memajukan pendidikan sains lalu pincang, lantaran sengaja mengabaikan pendidikan sastra.
Sejalan dengan kian besarnya kebutuhan terhadap pendidikan karakter kini, mau tak mau pendidikan dan pembelajaran sastra mutlak direvitalisasi. Fokus pembelajaran mencakup pembacaan cerita rakyat (SD), pembacaan karya sastra nasional (SMP), pembacaan karya sastra dunia (SMA). Sastra dalam konteks ini, diperlakukan sebagai basis pendidikan karakter.
Bagaimana murid-murid mampu melakukan pembacaan terhadap karya-karya sastra sudah saatnya diperlakukan sebagai elemen penting pendidikan karakter. Agenda revitalisasi pendidikan sastra pun bermula dari upaya sengaja pemberdayaan guru. Bukan saja kalangan guru dituntut mampu mengapresiasi karya-karya sastra, hingga kemudian saksama membedakan mana karya sastra bermutu, dan mana yang tidak. Di atas segalanya, guru-guru juga dituntut mampu membimbing murid-murid berani melakukan uji coba melahirkan karya-karya sastra.[]
Novel “Sitoyen Sant-Jean – Antara Hidup Dan Mati” oleh A.Kohar Ibrahim; Penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, Kepri 2008. Editing: Lisya Anggraini.CERITA pendek ini menyapa hampir maut dengan lembut sekali – nyaris sebuah kepasrahan dari seseorang yang telah sabar mengalami derita panjang, derita yang nampaknya bukan sekedar dalam makna pikiran, tapi derita pikiran dan derita fisik dari sebuah perjalanan hidupnya yang panjang.
Saya adalah anak sejarah yang masamasa lalu itu seolah sejarah itu sendiri. Sejarah pahit yang gelap. Hingga saat ini pun masih gelap. Tak tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Ada pernah saya diberitahukan, bahwa karya sastra orang-orang LEKRA adalah tak lebih dari pamplet belaka. Semua kata yang mencungkup peristiwa dan makna memuara ke satu arah: politik revolusi. Sehingga cerita-cerita mereka, demikian sejarah itu memberitahukan,tak ada yang bermakna.
Tapi waktu membaca Pramoedya Anantatoer, semua kesimpulan semacam itu pupus. Apalagikah makna kalau kita berhadapan dengan cerita besar seperti Bumi Manusia itu misalnya.Lalu kini saya tertumbuk dengan sebuah cerita kecil hidup seseorang, yang dilambangkannya dengan terowongan. Terowongan, aduh, alangkah pas tanda ini untuk mengatakan hidup itu sendiri. Hidup adalah terowongan panjang yang kita tak tahu ujungnya. Sehingga berteriaklah orang seperti Albert Camus: absurd. Dan karena absurd, aku memilih tak Bertuhan saja.
Tapi lihatlah cerita A Kohar Ibrahim ini. Tiap katanya adalah sapaan lembut kepada Tuhannya. Kata yang berlapis membentuk dan mencampur dari jenis kata yang sama, seolah menganya labirin, seolah memasuki dan terowongan kata itu sendiri.
Tak sekalipun ia bercerita mati dalam peristiwa singkat yang diceritakannya ini. Ia begitu detil memapar daerah asing dari suatu peristiwa medis, detil asing seolah alam dari suatu daerah yang kita tak kenal tumbuhan dan batuannya. Ia pasrah saja berjalan melalui alam yang tak ia kenal itu. Pasrah dari sebuah tingkatan jiwa yang telah meninggi dari tempaan hidupnya sendiri. Seakan ia hendak berkata: sudah kulalui macam-macam terowongan fisik dan terowongan makna- seperti yang disebutkannya dengan mengutip beberapa cerita fiksi dari awal karangannya ini. Lalu apa lagi yang harus kutakuti?
Tentu saja takut bukanlah kata yang tepat. Yang lebih tepat lagi asing. Perasaan asing yang aneh seperti yang bolak-balik dikaitkannya dengan alat-alat medis agar ia selamat dari terowongan yang bernama operasi itu. Tapi dari cerita ini saya melihat sekali suatu ekspose dari manusia fakta dan manusia fiksi (yang lagi menuliskan ceritanya – seorang narator bernama aku) dengan terowongan itu seolah mengajak kita mengenang akan sepenggal kehidupan. Agar dari sepenggal kehidupan itu kita merenungkan apakah artinya dan apakah kesudahannya.
Di ruang yang sangat kecil ini, perasaan itulah yang saya alami. Mungkin kalau saya mengetik di ruang layar yang lebar komputer kelak, beberapa denyar yang merasuki hati saya ini bisa saya elaborasi ke dalam detildetil yang mungkin menjadi hak bagi peristiwa dan makna yang diletakkan, atau telah terjadi di sana. Saya kagum dengan cerita anda, Bung kohar.
Hari ini 30 November 2012, PBB mengakui kedaulatan Negara Palestina. Saya langsung teringat kepada salah seorang penyair komunis dari Palestina yang meninggal tahun 2008 lalu, Mahmoud Dharwis. Berikut salah satu artikel tentang sang penyair yang dengan gigih memperjuangkan kemerdekaan Palestina melalui karya-karya sastra dan budaya.
Pengantar: Ahmad Yulden Erwin
——————————————–
MAHMOUD DHARWIS: TANAH AIRKU SEKOTAK KOPOR
Artikel oleh Dian
Gambar diunduh dari fb Ahmad Yulden Erwin
Gempuran Israel atas Palestina mengingatkan pada seorang penyair bernama Mahmoud Darwish, yang meninggal dunia 4 tahun silam. Berikut ini catatan pendek tentang sejarah dirinya.Di usia enam tahun, Mahmoud Darwish menyaksikan peristiwa yang kelak sangat mewarnai puisi-puisinya. Tentara Israel, di tahun 1947, merangsek ke desa-desa Palestina dan menghancurkan al-Birwa, sebuah desa di Galilee Barat, tanah kelahirannya. Seperti kebanyakan keluarga Palestina, keluarga Salim dan Houreyyah Darwish membawa Mahmoud dan saudara-saudaranya mengungsi ke Libanon. Inilah pengasingan pertama Mahmoud.
Setahun di Libanon, keluarga Salim kembali ke desa mereka dan mendapatinya telah berubah: dua permukiman Yahudi sudah tegak berdiri. Tak banyak pilihan bagi mereka, kecuali menetap di Deir al-Asad, Galilee. Sejak itulah, Mahmoud kecil merasakan hidup sebagai orang asing di tanah kelahirannya sendiri. Kelak, ingatan masa kecil ini ia tuangkan dalam puisinya:
Mereka membungkam mulutnya dengan rantai,
Dan mengikatkan tangannya pada batu maut
Mereka berkata: Engkau pembunuh
Mereka merampas makanan, pakaian, dan benderanya
Dan melemparnya ke dalam sumur maut
Mereka berkata: Engkau pencuri
Mereka melemparnya keluar dari setiap pelabuhan
Dan menjauhkan yang dicintainya
Dan kemudian mereka berkata: Engkau pengungsi.
Kendati menyadari bahwa keluarganya hidup sebagai warga kelas dunia, Mahmoud masih berangan untuk turut merayakan negara Israel. Namun suara nuraninya tak bisa dibendung. Mahmoud kecil menulis puisi. “Saya tidak ingat puisi itu,” ujarnya puluhan tahun kemudian. “Tapi saya ingat gagasannya; ‘engkau bisa bermain di bawah matahari sesukamu, dan engkau punya mainan, tapi aku tidak. Engkau punya rumah, dan aku tidak. Engkau merayakan, tapi aku tidak. Mengapa kita tidak bisa bermain bersama?’” Ia ingat bagaimana ia diancam ketika itu: “Jika kamu menulis puisi semacam itu, aku akan memberhentikan ayahmu agar tidak bekerja lagi di pertambangan.”
Pendudukan, kolonialisme, penindasan, selalu melahirkan perlawanan. Sangat alamiah. Di usia 19 tahun, ketika ia sudah menerbitkan buku puisi pertamanya, Asafir bila ajniha (Burung-burung tak bersayap), ia bergabung dengan Partai Komunis Israel, Rakah. Menulis puisi dan melibatkan diri dalam aktivisme politik menjadi pilihan Darwish di usia muda. Hingga usia 30 ia berkali-kali masuk penjara dan dikenai tahanan rumah. Penguasa Israel, seperti penguasa di manapun di muka bumi ini, memakai ”subversi” sebagai senjata untuk memojokkan mereka yang berkata ”tidak.”
Darwish menjalani pengasingan. Moskow menjadi pilihan Darwish untuk belajar, 1971. Inilah perjalanan yang membawanya berkelana dari Kairo ke Beirut, dari Tunis ke Paris, dari Amman ke Houston, dari Damaskus ke Ramallah. ”Tanah airku sekotak kopor,” ujarnya suatu ketika. Dengan getir ia menulis:
Kita bepergian seperti orang lain, namun kita tak punya tempat untuk kembali
(Tapi) Kita memiliki negeri kata-kata.
Bagi Darwish, pengasingan tak berhenti hanya dalam pengertian geografis—keluar dari tanah kelahirannya yang kini dikuasai Israel. ”Anda bisa terasing di tanah air sendiri, di rumah Anda sendiri, di suatu ruangan,” ujarnya. Pengasingan, akhirnya, bukan sesuatu yang asing bagi Darwish. Malah, ia menduga-duga, ”Dapatkah aku mengatakan bahwa aku kecanduan untuk diasingkan?”
Rasa asing yang non-geografis itu ia rasakan tatkala ia diizinkan pulang ke Tepi Barat. ”Saya tak pernah tinggal di sini sebelumnya,” kata Darwish. ”Ini bukan tanah air pribadiku. Tanpa memori, Anda tak memiliki hubungan nyata dengan suatu tempat.” Betapapun, ucapnya lagi, ”Saya telah membangun tanah air saya, saya bahkan telah mendirikan negara saya—dalam bahasa saya.”
Bagi Darwish, pengasingan merupakan salah satu sumber kreasi sastra—sesuatu yang jamak ditemui di sepanjang sejarah manusia. Di Paris, tempat ia hidup selama sepuluh tahun, ia melahirkan Memory for Forgetfulness—sebuah memoar tentang Beirut dibawah pemboman Israel, 1982. Ia percaya, manusia yang berharmoni dengan masyarakatnya, budayanya, dirinya sendiri, tak bisa menjadi seorang kreator. ”Dan itu benar,” ujarnya, ”sekalipun jika negeri kami Surga itu sendiri.”
Dengan berjarak secara geografis dari tanah kelahirannya, Darwish mengekspresikan kerinduannya akan Palestina. Palestina bukan sekedar sepetak tanah, laiknya orang Yahudi menganggapnya demikian. Palestina adalah metafor bagi hilangnya Surga, kelahiran dan kebangkitan, serta kesedihan mendalam karena ketercerabutan dan pengasingan.
Suaranya yang menuntut keadilan terdengar nyaring: ”Mengapa kami selalu diberitahu bahwa kami tidak bisa memecahkan masalah kami tanpa memecahkan kegelisahan eksistensial orang-orang Israel dan pendukung mereka yang justru telah mengabaikan eksistensi terdalam kami selama puluhan tahun di tanah air kami sendiri?”
Catat! Aku seorang Arab/ Dan kartu identitasku adalah nomor limapuluh ribu/ Aku mempunyai delapan anak/ Dan yang kesembilan akan lahir sesudah musim panas/ Marahkah engkau?/ Catat!/ Aku seorang Arab/ Aku mempunyai nama tanpa hak/ Pasien di sebuah negeri / Di mana orang dibikin marah… Aku tidak membenci orang/ Aku tidak melanggar hak orang lain/ Tapi jika aku menjadi lapar/ Aku akan menyantap daging perampas kuasaku/ Sadarilah… / Sadarilah…/ Kelaparanku/ Dan kemarahanku!
(Kartu Identitas, 1964)
Walau Darwish dipersepsikan secara luas sebagai simbol perlawanan Palestina dan juru bicara bagi oposisi Arab terhadap Israel, ia menolak tuduhan antisemitisme: “Tuduhan itu bermakna saya membenci orang Yahudi. Sungguh tidak enak, mereka menunjukkan saya sebagai setan dan musuh Israel. Meskipun, tentu saja, saya bukan kekasih Israel. Saya tak punya alasan untuk begitu. Namun saya tidak membenci Yahudi..”
Di suatu kesempatan Darwish mengatakan ia akan terus memanusiakan orang lain, musuh sekalipun. Sukar baginya untuk menghindari sikap itu. Guru pertama yang mengajarkan padanya bahasa Ibrani adalah seorang Yahudi. Cinta pertama dalam kehidupannya adalah gadis Yahudi. Hakim pertama yang mengirimnya ke penjara adalah perempuan Yahudi. ”Sejak awal mula, aku tidak melihat Yahudi sebagai setan atau malaikat, tapi sebagai manusia,” tuturnya.
Beberapa puisinya ditujukan kepada kekasih Yahudi. “Puisi-puisi ini mengambil sisi cinta, bukan perang,” ujarnya. Di Knesset, parlemen Israel, Darwish mempunyai sejumlah kawan. Di Knesset pula, 1988, salah satu puisinya, Passers Between the Passing Words, dikutip oleh Yitzhak. Ia dituduh menuntut agar Yahudi meninggalkan Israel, meski ia mengaku bahwa yang ia maksudkan adalah Tepi Barat dan Gaza.
Maka, tinggalkanlah tanah kami
Pantai kami, laut kami
Gandum kami, garam kami, luka kami.
Penyair Ammiel Alcalay menyebut reaksi histeris orang-orang Yahudi terhadap puisi itu menjadi tes litmus yang akurat terhadap psyche orang Israel mengenai isu yang sensitif ini.
Namanya kembali menjadi kontroversi ketika Yossi Sarid, menteri pendidikan Israel, pada Maret 2000, mengusulkan agar dua puisi Darwish dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah menengah. Perdana Menteri Ehud Barak menolak usul itu dengan alasan Israel “tidak siap.” ”Orang Israel tidak ingin mengajar muridnya bahwa ada kisah cinta antara penyair Arab dan tanah ini,” kata Darwish. “Saya hanya ingin mereka membaca saya untuk menikmati puisi saya, bukan sebagai representasi musuh.” Empat jilid puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani oleh Muhammad Hamza Ghaneim: Sareer El-Ghariba (Bed of a Stranger, 2000), Limaza tarakt al-hissan wahida (Why Did You Leave the Horse Alone?, 2000), Halat Hissar (State of Siege, 2003), dan Halat Hissar (Mural, 2006).
Bagi Darwish, tanah yang kini diduduki Israel melahirkan ketegangan tersendiri. Sebuah paradoks bersitegang dalam dirinya: seorang nasionalis yang menulis deklarasi perjuangan Palestina yang diadopsi PLO, 1988, berusaha pula memperoleh kartu identitas Israel agar ia dapat hidup di tanah kelahirannya sepulang dari pengasingan. ”Bagi orang Arab di Israel selalu saja ada ketegangan di antara nasionalitas dan identitas,” kata Darwish. ”Saya menerima dokumen apapun yang melindungi hak saya untuk berada di sana.”
Persepsi dirinya sebagai simbol perlawanan Palestina membuat ia jengah. Darwish terkadang merasa seolah-olah dirinya sudah terbaca sebelum menulis. ”Ketika saya menulis puisi tentang ibu saya, orang Palestina mengira ibu saya adalah simbol Palestina,” ujarnya. ”Padahal saya menulis sebagai penyair, dan ibu saya adalah ibu saya. Ia bukan sebuah simbol.” Penyair Naomi Shihab Nye menulis bahwa Darwish “adalah napas esensial rakyat Palestina, saksi yang fasih atas pengasingan dan hak milik…”
Ia ikut memperjuangkan bangsanya, Palestina, tapi bukan tanpa kritik, khususnya kepada faksi-faksi politiknya. Darwish sering berselisih paham dengan banyak pemimpin Palestina, sebab ia menjaga jarak dari faksionalisme.
Ia mengritik keterlibatan PLO dalam perang saudara di Libanon. Ia mundur dari komite eksekutif PLO, 1993, sebagai protes atas perjanjian Oslo, bukan karena ia menolak perdamaian dengan Israel, tapi karena “tidak ada hubungan yang jelas antara periode sementara dan status final, dan tidak ada komitmen yang jelas untuk menarik dari wilayah pendudukan. Saya merasa Oslo membentangkan jalan bagi eskalasi. Saya berharap saya keliru. Namun saya sangat sedih bahwa saya benar.”
Eskalasi itu mewujudkan diri dalam aksi bom bunuh diri, yang merenggut jiwa pemuda Palestina, yang membuat Darwish memercayai bahwa ini bukan dilatari ideologi, melainkan wujud keputusasaan. “Kita harus memahami—bukan membenarkan—apa yang membangkitkan tragedi ini. Ini bukan karena mereka mencari perawan cantik di surga, sebagaimana para Orientalis menggambarkannya. Orang-orang Palestina mencintai kehidupan,” kata penyair ini. ”Bila kita memberi harapan pada mereka—suatu solusi politik—mereka akan berhenti membunuh diri sendiri.”
Di saat pulang, ketika ia merasa akan dilupakan oleh bangsanya, ia disambut di mana-mana. ”Saya pikir saya dilupakan, namun saya mendapati bahwa mereka masih menyayangi saya dan mengenal puisi-puisi saya,” ujarnya. ”Negeri ini begitu indah. Saya berusia 27 tahun ketika saya pergi, dan sekarang saya melihatnya dengan mata baru, hati baru.” Pembacaan puisinya dihadiri ribuan orang, tak ubahnya ketika ia membaca di Kairo atau Damaskus. Ia tak bisa mengunjungi sebuah kafe di negeri-negeri Arab tanpa menjadi perhatian orang lain. Sebab itulah, ia kerap menghindari tempat-tempat umum. ”Saya suka dalam bayang-bayang, bukan di dalam cahaya,” ungkapnya.
Bakat bersyairnya, yang ia pupuk sejak kecil dan disemangati oleh kakaknya, membuahkan lebih dari 30 jilid kumpulan puisi. Teman sekolahnya ingat betapa sangat bagus bahasa Ibrani Darwish—ia bercakap pula dalam bahasa Inggris dan Prancis. Penyair Irak Abd al-Wahhab al-Bayati dan Badr Shakir al-Sayyab mengesankannya. Begitu pula Nizar Kabbani. Darwish mengenal Frederico Garcia Lorca dan Pablo Neruda melalui bahasa Ibrani. Ia memuji Yehuda Amichai, dan menggambarkan puisi penyair Yahudi itu sebagai “tantangan bagiku, karena kami menulis tentang tempat yang sama. Ia ingin menggunakan lanskap dan sejarah demi keuntungannya sendiri, berdasarkan identitas saya yang hancur. Jadi kami bersaing: siapa pemilik bahasa tanah ini? Siapa yang lebih mencintai? Siapa yang menulisnya lebih baik?”
Puisi, bahasa, menjadi alat perjuangan Darwish. Dalam pidatonya, saat menerima penghargaan Prince Clause di Amsterdam, 2004, ia berkata: ”Seseorang hanya bisa dilahirkan di satu tempat. Tapi, ia mungkin mati beberapa kali di tempat lain: di pengasingan dan penjara, di tanah air yang diubah oleh pendudukan dan penindasan jadi mimpi buruk.
Puisi, barangkali, mengajarkan kita untuk menyuburkan ilusi yang mempesona: bagaimana lahir kembali berkali-kali, dan menggunakan kata untuk membangun dunia yang lebih baik, dunia khayalan yang memungkinkan kita meneken pakta perdamaian yang permanen dan utuh… dengan kehidupan.”
Tema kematian, mistis, kian intens menjelang maut menjemput Darwish. Mungkin karena sakit jantung yang kian menguras sehatnya. Barangkali pula karena peristiwa menjelang pertemuannya dengan Emile Habiby, penulis Yahudi, urung berlangsung lantaran maut lebih dulu menemui Habiby pada malam sebelumnya. Ia toh menghadapi kematian dengan lapang dada. Sebelum operasi jantung dilangsungkan, di Houston, ia meneken dokumen yang berisi permintaan: bila ia dinyatakan mengalami mati-otak, tak usah disadarkan.
Ia menghadapi kematian seperti ia menyikapi sarkasme. ”Sarkasme menolong saya mengatasi kekerasan realitas hidup kita, meringakan penderitaan karena birat, dan membuat orang tersenyum,” ujarnya. Sarkasme bukan hanya terkait dengan realitas saat ini, kata Darwish, tapi juga dengan sejarah. ”Sejarah menertawakan korban dan agresor.”
Di Memorial Hermann Hospital, di Houston, Texas, AS, 9 Agustus 2008, kematian mengalahkan Darwish. Penyair ini dimakamkan di Istana Budaya di Ramallah, di puncak bukit yang menghadap Jerusalem. “Mahmoud bukan hanya milik keluarga, tapi semua orang Palestina, dan harus dikubur di suatu tempat di mana orang Palestina dapat datang dan menziarahinya,” ujar Ahmed Darwish, saudara Mahmoud.
Waktu itu Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengumumkan tiga hari masa berkabung untuk menghormati Darwish dan pemakamannya dilakukan setara dengan pemakaman kenegaraan. Sejumlah anggota Knesset sayap-kiri menghadiri upacara resmi dan ribuan orang mengantarkan dengan berjalan kaki dari Mukataa ke Istana Budaya. Koran Israel, Ha’aretz, edisi 14 Agustus 2008 menurunkan laporan Mahmoud Darwish—The death of a Palestinian cultural symbol.
Simbol kultural itu pada akhirnya sampai pada tapal pemahaman: “Kupikir puisi dapat mengubah setiap hal, dapat mengubah sejarah dan dapat memanusiakan orang, dan kupikir ilusi sangat diperlukan untuk mendesak penyair agar terlibat dan memercayai, namun kini aku berpikir bahwa puisi hanya mengubah sang penyair.”
Mengapa cerpen menjadi satu cara untuk mengusik perasaan-perasaan manusia?. Karena disanalah letak karya sastra dipertaruhkan dalam hal membagi dunia imajinasi dan dunia realitas. Cerpen adalah jembatan bagi kita memahami dan mengarungi kehidupan yang serba luas ini. Pengarang meski ia tak selalu bicara dirinya,tapi pikirannya itulah yang membuat ia bergerak dalam karya sastra. Ia bersama karya sastra menyatu. Bila pramodya sadar betul dengan metode mistikumnya dalam membuat karya, maka sitor lebih bergerak pada cerpen yang meski singkat tapi ia adalah teks yang tak berhenti. Sitor pandai mengolah bahasa dan setiap kosakata yang menunjukkan betapa ia menekuni khazanah, kajian mendalam, pengamatan yang jitu hingga penulisan yang luar biasa sebelum membuat cerpen. A teeuw menyebut sitor ia menguasai bahasa Indonesia dengan cara yang kadang-kadang luar biasa.
Misal pada cerpennya Fonteny Aux Roses. Mendengarkan kata itu kita bisa terbayang-bayang tentang perempuan perancis, atau sekilas kita bisa menemui perancis. Dan kita pun tak menyangka nama tempat di perancis bisa dihubungkan ke dalam penguasaan cerita yang meluas. JJ rizal menyebut ini sebagai awal eksistensialisme sitor. Kematian diramu sedemikian mesrahnya, kematian dikemas sedemikian hebatnya dengan permainan ingatan. Ingatan sitor itulah yang membawa kita pada penjelajahan nama-nama tempat, suasana, hingga pada kemampuannya mengemas “tokoh” pada ingatan masa lampaunya. Ia bergerak lihai dan mencoba tidak lurus-lurus dalam bercerita meski pelan. Keunggulan bahasa itulah yang dimanfaatkan sitor dengan memadukan pengalaman ketika ia di perancis dengan menceritakan memori kematian dengan satu gambaran sederhana dan menyenangkan. Ini kita temui di cerpen Fontenay aux Roses yang ditutup dengan kata kunci yang indah : “surga adalah rindu”.
Kemampuannya mengemas ingatan, kenangan dan juga deskripsi peristiwa yang jitu itu pun ada dalam cerpennya “Gerbera”. Ia menutup cerpennya dengan menutup perasaannya pula dengan kalimat sederhana yang mengakhiri ingatannya pula tentang perempuan yang ia kagumi. Di timur fajar memerah. Memerah gerbera. Gerbera. Masihkah bunga mekar di lereng-lereng gunung?. Besok aku hraus terbang ke barat.
Dunia barat
Dunia barat dalam gambaran cerpen sitor begitu tak sederhana. Ia mengalami dan menyelami betul dunia barat itu ketika ia setahun tinggal di paris pada tahun 1952-1953. Perjalanan di barat ia salami di tahun 1950 hingga tahun 1953. Selama itu pula ia mengenali belanda, dan perancis sebagai kota yang memberinya ilham dan inspirasi di dalam membuat karyanya. Disebutkan setelah ia pulang dari perancis ia mengukuhkan posisinya sebagai sastrawan dengan menulis puisi, menulis cerpen, naskah drama, keirikus, penerjemah dan pengajar. Meski demikian cerpen-cerpennya yang dihasilkan tak banyak. Tapi di dalam cerpen itulah ia membuktikan kemampuannya sebagai sastrawan yang patut mendapat tempat di dunia international dan negerinya sendiri. Cerpen “kereta api international” dan cerpen “ Peribahasa Jepang” disebut patut masuk dalam cerita antology barat sebagaimana yang dikatakan A teeuw.
Paris membawa inspirasi dan kenangan dalam Cerpen salju di paris. Cerpen ini membawa kita pada suasana perancis dengan hawa berbeda. Ia lebih menonjolkan tempat dan suasana daripada perasaan tokoh. Sedang cerpen cinta pertama adalah cerpen yang menunjukkan betapa tak mengenakkannya cinta pertama dirasakan oleh gadis perancis. Jarak membawa pada perpisahan meski sebenarnya percintaan itu memungkinkan. Ia menempatkan tokoh pemuda Indonesia ini sebagai pihak jantan, dengan kemampuan menolak cinta si gadis perancis. Dan kelihaian sitor inilah yang menjadi kelebihan sitor dalam memadukan tokoh, identitas, cerita hingga pada kemampuannya menarasikan perasaan-perasaan tokoh.
Begitupun cerpen peribahasa jepang yang menarasikan identitas yang seperti sudah menyatu, antara keakraban dan betapa tingginya budaya jepang, tapi juga menggambarkan betapa perempuan jepang di deskripsikan dengan indah oleh sitor melalui konflik yang ada pada si gadis. Hingga pada kenangan tokoh pria Indonesia yang membawa ingatannya pada gadis jepang tersebut. Tanpa adanya pengetahuan, dan kemampuan dan data yang bagus tentang jepang, ia tak mungkin membolak-balikkan alur ceritapada imajinasi tempat, perasaan tokoh dan pertautan yang cukup intim antara tokoh dua negara tersebut.
Tanah Lahir
Meski ia pernah melakukan perjalanan ke barat, ia pernah mengalami “ketegangan dramatik’ seperti yang diungkapkan pengamat sastera Martin Heinschke, ia tak menghilangkan dengan begitu saja ingatan tentang tanah airnya. Ia kental dengan adat batak, di sebelah barat pantai danau toba di lembah gunung Pusuk Buhit. Ingatan itu dituangkan dengan jeli di cerpen “Perjamuan Kudus” dan “kehidupan Daerah Danau toba” .
Perjamuan kudus menceritakan pemeberontakan sitor akan kondisi zending yang membawa pada pelarangan adat masyarakat setempat. Ia menggambarkan ini di akhir ceritanya dengan menutup upacara terlarang yang digambarkan dengan Pusuk puhit yang merupakan upacara yang aneh dan tidak lazim di masyarakat batak. Di cerpen “Kehidupan Daerah Danau toba” ia ingin menjelaskan betapa kepribadian sitor tampak pada bagaimana kehidupan toba tak mempersoalkan perkara muslim maupun Kristen. Ia ingin menegaskan bahwa perkara agama tak menghalangi manusia berhubungan dan bergaul di masyarakat.
Kumpulan cerpen ini memiliki nilai penting di dalam kesusasteraan dunia karena menunjukkan betapa pentingnya relasi antara pengarang dengan dunia realitas di sekelilingnya. Inspirasi itulah dan kerja kreatif itulah yang ditunjukkan Sitor situmorang yang menghasilkan beragam cerpen yang menarik yang tak hanya mengangkat persilangan budaya, sosok kekosongan jiwa, hingga pencarian spiritual dan cinta. Lengkap sudah buku ini sebagai sebuah penyajian riwayat salah satu karya sitor yakni dalam bentuk cerpen. Sekaligus sebagai penyair ia mampu untuk mengolah dan melepaskan bahasa puitisnya dengan bahasa jiwanya. Hingga cerpen-cerpennya tak sekadar hidup, membawa jiwa kita terbang, hingga menyelami peristiwa hingga semua yang digambarkan oleh penulis dalam cerpen. Disanalah letak kerja kreatif dan keunggulan cerpen sebagai salah satu karya sastra kita. Sitor mampu meletakkan bahasa pada tempatnya, pada kebebasannya dan ia tak mau terjerat terlampau jauh kesana. Tiga peristiwa dan tempat penting dalam cerpen ini tak lain adalah Danau toba yang merupakan biografi pengarang dan kelahirannya, kemudian gunung merapi atau Jogjakarta, dan perancis. Ketiga tempat itu mendasari pengalaman yang erat dan menarik bagi pengarang sebagai jejak laku dan jejak kata.
Tanda seru sitor setidaknya mengingatkan kepada kita bahwa sebagai seorang sastrawan dan penulis yang memiliki etos dan kerja spiritualitas dan kerja literasi yang membawa misi bahwa diri, pribadi, lingkungan dan kemanusiaan adalah hal yang tak bisa dilepaskan dan disuarakan dari seorang pengarang. Kejujuran itulah yang dibawa sitor untuk memasuki dunia imajinasi dan dunia cerita yang mampu mengusik dan menggerakkan kita akan kesadaran lingkungan dan juga ketergerakan batin kita melihat berbagai fenomena dan peristiwa di dalamnya. Sitor mampu mengangkat isu kemerdekaan, perjuangan, cinta kasih, hingga kekosongan jiwa yang lembut dan juga silang budaya ketika ia berada di luar negeri. Kesemua itu tentu tak jauh beda dengan metode pram yang mengandalkan mistikum-nya. Sitor memiliki mistikum nya sendiri hingga ia mampu menggerakkan bahasa sebagai sesuatu yang elastic, manis, tapi tak berlebihan. Semua itu ada dalam cerpen-cerpen yang ia olah. Meski cerpen masa lampau dengan karakter yang sedikit, tapi jalan cerita, kekhasan cerita hingga makna cerita tak bisa ditinggalkan begitu saja dari cerpen-cerpen Sitor situmorang. Sitor telah menunjukkan sifat dan jiwanya yang penuh dengan etos intelektual, kejujuran dan kemanusiaan. Setidaknya cerpen ini adalah buktinya.
Kumpulan cerpen sitor dalam ibu pergi ke surga ini setidaknya menunjukkan betapa sitor adalah sastrawan yang tak hanya lengkap dengan kepribadian yang kuat, tapi juga lihai membawa suasana, konflik dan pengamatan yang kuat pada masanya. Ibu pergi ke surga setidaknya memberikan penegasan kembali meski baru 23 cerpen seumur hidup sitor, sitor telah berhasil memadukan danau toba, perancis dan kepribadian yang mengukuhkan dia sebagai sastrawan Indonesia dan patut di perhitungkan dunia.
Judul buku: Ibu pergi ke surga
Penulis : Sitor situmorang
Penerbit: Komunitas bambu
Hal: 218 halaman
ISBN: 979-3731-88-5
harga: Rp.55.000,00
tahun: januari 2011
Setiap kali berbicara tentang sastra, pikiran kita menerawang kembali ke masa-masa Chairil Anwar ketika menuangkan ide-ide spektakulernya dalam rangkaian puisi-puisi indah atau ke masa Merari Siregar ketika menuliskan penderitaan hidup dalam Si Jamin dan Si Johan-nya atau mungkin yang selainnya. Begitulah bangunan pemikiran yang sudah tertanam dalam otak pelajar di negeri ini. Sastra adalah puisi, gurindam, balada, novel dan yang sejenisnya.
Namun demikian, akan sangat sempit jika sastra hanya berkutat pada seputar masalah di atas karena sebenarnya puisi, gurindam dan yang selainnya hanyalah produk dari sastra itu sendiri. Ada yang lebih luas dan lebih dalam untuk dibicarakan terkait sastra ini, yakni bagaimana melihat dunia dan mengubah dunia melalui pena. Sejarah mencatat bahwa berbagai perubahan di dunia ini terjadi ketika pena telah berbicara melalui tangan-tangan mulia para penyair, pujangga dan orang-orang alim yang ada di masa itu. Lalu apa kaitannya dengan sastra? Secara sederhana, penulis mengibaratkannya sebagai sebuah sistem dalam mempresentasikan pemikiran orang-orang di masa itu dalam bahasa terbaik. Maka tidak mengherankan ketika ada banyak sekali karya sastra yang tetap masyur dari masa ke masa.
Lihatlah bagaimana maha karya yang sangat tua Ramayana dan Bharatayuda masih menarik untuk dikaji, atau setumpuk roman karya Khalil Gibran yang begitu menginspirasi atau karya-karya lain yang masih banyak jumlahnya dan tersimpan rapi serta terus digali melalui berbagai pengkajian. Hal itu menunjukkan bagaimana sastra itu dapat mewarnai kehidupan ini dan menawarkan perubahan-perubahan yang besar di tengah-tengah masyarakat.
Namun demikian, dalam tulisan yang singkat ini penulis cukup membatasi pada pembahasan sastra dalam dunia pendidikan. Lebih khusus lagi, penulis ingin mengungkap benang merah antara sastra dan pendidikan yang selama ini hanya melambai-melambai dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Padahal sastra amatlah luas dan mampu memberikan ruh baru dalam mengubah generasi Indonesia menjadi generasi yang berperadaban maju dan unggul. Dunia sastra adalah dunia yang memberikan cara pandang terindah dalam membaca kebesaran ayat-ayat kauniah-Nya, melihat realita dan menyenandungkan sebuah gerakan perubahan.
Realita pendidikan yang ada saat ini, sastra menjadi sesuatu yang seringkali terpinggirkan. Bahkan seolah-olah sastra hanyalah milik orang-orang linguistik, dalam hal ini adalah guru bahasa. Dampaknya adalah sedikit siswa yang tertarik dalam dunia sastra. Jangka panjangnya adalah terbentuknya bangunan pemikiran picik seperti ini yang justru dimulai dari dunia sekolah, tempat yang seharusnya meningkatkan kualitas kemanusiaan seseorang. Sampai-sampai banyak guru eksak yang skeptis terhadap sastra dan cenderung suka mempertentangkan sebagai penghambat dalam pelajaran-pelajaran mereka.
Demikianlah realita yang ada saat ini. Adalah tidak penting bagi kita menggerutu atas kenyataan yang ada. Yang lebih penting saat ini adalah bagaimana menunjukkan sastra sebagai salah satu akselerator perubahan masyarakat khususnya dalam dunia pendidikan. Baik dalam mendidik kepribadian sekaligus mendongkrak kecerdasan yang dimiliki oleh setiap orang. Dan ini telah dibuktikan oleh sastrawan-sastrawan kita di abad ini yang menurut penulis mampu membuka ruang geliat bagi dunia sastra untuk lebih memasyarakat.
Kita ambil contoh Habiburrahman el-Shirazy yang berhasil mengguncang Indonesia bahkan dunia ketika berhasil menerbitkan novel Ayat-Ayat Cintanya sebagai salah satu karya terpopuler di Indonesia pada abad ini. Isinya sederhana tetapi ternyata mampu memberikan pengaruh yang luar biasa bagi perubahan masyarakat. Banyak sekali testimoni yang menunjukkan adanya perubahan positif perilaku masyarakat pascapeluncuran novel tersebut. Bahkan karya-karya beliau berikutnya begitu dielu-elukan sekaligus dinanti-nantikan.
Contoh lainnya adalah Andrea Hirata. Ekonom yang tulisan-tulisan ilmiah sering dijadikan referensi di Eropa ternyata juga mampu mengguncang masyarakat kita dengan memotivasi para pemuda dalam menjalani pendidikan mereka. Bahkan jika kita membaca novel Laskar Pelangi-nya, banyak hal yang tak terpikirkan di otak kita dapat tersaji secara apik melalui rangkaian deskripsi yang luar biasa dan memikat. Kemudian Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov pun tidak kalah serunya. Semua itu menjadi salah satu contoh bagaimana sastra berbicara untuk membawa angin perubahan bagi masyarakat menuju ke arah yang lebih baik.
Yang terpenting di sini adalah seharusnya sastra dapat dijadikan sebagai salah satu media atau mungkin sistem pengantar pendidikan di negeri ini yang kehalusan budinya mulai luntur. Di sadari atau tidak, pelajaran sastra (dalam hal ini Bahasa Indonesia) terkesan membosankan karena pendekatan yang digunakan kepada peserta didik belum mampu membangkitkan sense mereka. Apakah setiap orang dapat bertahan dengan bacaan-bacaan ilmiah yang bahasanya kaku dan membosankan? Apakah setiap orang harus memahami matematika dengan menyusun rumus-rumus paten dan sulit dihafal secara konvensional? Apakah setiap orang harus melihat fenomena alam melalui rangkaian teori fisika, kimia dan biologi yang ada dalam buku-buku karangan orang asing yang jelas beda cara pembahasaan mereka? Di sinilah ruang bagi sastra untuk memberikan jawaban.
Salah seorang pengajar berdedidkasi bagi pendidikan negeri ini, Munif Chatif, murid angkatan pertamanya Bobbie de Porter menyampaikan bahwa manusia dikaruniai oleh tuhan kecerdasan majemuk. Di antara kecerdasan itu adalah kecerdasan linguistik. Kecerdasan ini boleh jadi merupakan pondasi bagi seseorang untuk mengenal bahasa dan sastra secara lebih kuat meskipun anggapan ini belum tentu benar. Lebih lanjut, beliau menyampaikan bahwa pendidikan yang terbaik adalah pendidikan yang memanusiakan bukan mengatur dan mendoktrin, yaitu pendidikan yang memberikan ruang kepada setiap siswa untuk berkembang meng-upgrade kapasitas mereka sesuai dengan potensi yang dimiliki. Maka segala pendekatan yang dilakukan seorang guru hendaknya disesuaikan dengan kecenderungan kecerdasan anak tersebut.
Benang merah dari uraian Munif tersebut adalah bagaimana sastra dapat menjadi warna dalam meng-upgrade potensi peserta didik dalam menguasai pelajaran dan kecakapan hidup. Dengan sastra, dunia dapat dieksplorasi dengan cara pandang dan cara berpikir yang indah. Jika pelangi dapat diungkapkan dalam rangkaian puisi, cerpen atau lagu yang lebih dekat dengan dunia anak-anak, mengapa harus dipaksakan dengan rumus-rumus yang begitu sulit dan terkesan hiperbolik di mata dan pikiran mereka. Jika ekosistem dapat dideskripsikan dalam novel menarik yang panjangnya berjilid-jilid mengapa mereka harus dipaksa untuk menelan mentah-mentah setiap butir teorinya. Di sinilah sastra berbicara, membuka dunia dalam untaian keindahan dan kearifan.
Dan masih banyak ruang-ruang yang dapat dimasuki sastra untuk membuktikan eksistensi dirinya. Sastra di mata pendidikan adalah sebuah keindahan. Sebuah senjata untuk menembus ruang-ruang pikiran siswa yang konkrit untuk dibentuk menjadi ruang-ruang abstrak yang siap melihat, mencerna dan mempresentasikan kenyataan. Dengannya perubahan yang diharapkan akan segera terjadi. Perubahan besar dan mendasar mulai dari pola pikir dan cara pandangnya. Dengan sastra, dunia ini terasa indah, hidup ini akan sangat halus, lembut, dan penuh dengan keharmonisan.
Aku mencintai bahasa. Aku mencintainya karena perannya terhadap kehidupan kita, bagaimana bahasa menyediakan kita cara untuk mendedakan luka, keagungan nuansa dan kehalusan eksistensi kita (Maya Angelou)
Pram, begitulah kita mengenal sastrawan yang mencintai bahasa dan menggunakan bahasanya untuk berbuat. Pram barangkali adalah sastrawan yang tak hanya kritis tapi juga konsisten dengan apa yang disuarakan. Perjalanan karir dan hidupnya seperti lika-liku yang tak habis untuk dibaca. Di balik kebesaran dan nama Pram, kita mengenal sosok Pram yang lain, Pram dikenal sebagai sosok yang keras, tegas dan juga sangat kritis terhadap para pengkritiknya. Dunia sastra Indonesia seperti tak seimbang menempatkan posisi Pram di samping para sastrawan yang lain. Pram adalah luka, karena keberpihakannya pada PKI yang dinilai Pram sebagai partai paling konsisten terhadap revolusi. Pram pun mengalami nasib naasnya setelah peristiwa 65 dengan menanggung resiko karyanya dihanguskan dan dibuang di pulau buru. Tapi di sanalah Pram justru menciptakan kuartet pulau buru di tahun 1975 meski sudah dilisankan di tahun 1972. Karya-karyanya erat dengan kehidupannya, ia seperti meniupkan nyawa dalam karyanya, hingga karya itu secara tak sadar adalah suara jiwanya. Meski demikian, ia menganggap karya sastra tetap tidak bisa dikontrol oleh sang pencipta itu sendiri. Ia adalah anak dan buah pikiran dari penulis yang terbuka terhadap kritik dan interpretasi pembaca. Di awal kepengarangannya, ia kerap diserang oleh para kritikusnya yakni balfas desember 1956 novel perburuan dinilai tidak terstruktur, akhir kisahnya dibuat-buat dan tokoh-tokohnya tidak meyakinkan. Pram pun akhirnya naik pitam dan menanggapi dengan cara yang emosional. Kritik ini dilancarkan setelah Pram dan teman-temannya mempelopori gelanggang seniman merdeka tahun 1947. Tahun 1950 ia ikut menandatangani “surat kepertjayaan gelanggang” 18 Februari 1950. Pramudya ikut menyepakati konsepsi “humanisme universal” yakni istilah yang dipopulerkan oleh HB.Jassin yang menandai angkatan 45. Buku karya Savitri Scherer ini membantu kita memahami mengapa dan bagaimana Pramudya bisa ikut luruh dalam peristiwa perdebatan dan polemik sastra yang semula ia ikut dalam “gelanggang seniman merdeka” hingga akhirnya ia pun tidak sepakat dan melepaskan diri dari kelompok gelanggang, ketika ia bergabung dengan lekra, ia pun mulai simpatik terhadap PKI dan juga terlibat dalam polemik sastra yang menyerang para generasi baru gelanggang dalam manifes kebudayaan 1963.
Goda Politik
Faktor-faktor yang menyebabkan Pram meninggalkan gelanggang dan akhirnya memutuskan hubungan dengan HB Jassin tidak semata persoalan politik semata, tapi juga karena Pramudya merasa dikhianati oleh prinsip-prinsip yang dinilainya tak sesuai dengan yang diajarkan Jassin kala ia mencetuskan “humanisme universal”. Pram menilai, Jassin dan para pengikutnya tak konsisten dan hanya “klenengan” dan tak mempedulikan rakyat sebagai aspek yang penting dalam karya sastra. Pram pun kecewa dengan sikap gurunya yang kemudian tak peduli ketika ia dipenjara karena menulis Hoa kiau di Indonesia (1960).
Buku ini mengurai dengan jelas mengapa Pramudya bergeser pada ideologi kiri dan memihak PKI. Meski ini berakibat dengan tuduhan ia adalah anggota PKI. Melalui lekra itulah ia bersuara dan menyuarakan prinsip-prinsipnya. Ia sadar betul, ide-ide awalnya bermula dari kritik para seniman dan kritikus lekra termasuk A.S Dharta yang membukakan matanya terhadap kenyataan-kenyataan sosial dan akan pentingnya arti rakyat dalam kesenian dan kesusasteraan. Ia pun tak mampu menahan goda politik yang waktu itu menjadi prinsip PKI bahwa politik adalah panglima, yang sebelumnya menggunakan demokrasi rakyat.
Melalui 10 bab dalam buku ini kita diajak tak hanya menelusuri karya Pramudya, riwayat kepenulisannya, tapi juga lika-liku politik dan kehidupan yang dijalani Pramudya sebagai penulis. Buku ini diawali dengan pendekatan kritis yang menganalisis terhadap perkembangan sastra Indonesia, kemudian menjelaskan kehidupan singkat Pramudya, bab berikutnya membahas tentang polemik sastra dan diikuti dengan pembahasan karya-karya Pramudya dan kontroversi karir Pram antara tahun 63-65. Menurut Savitri, Pramudya adalah penulis yang berdiri di tengah masyarakatnya dan bagian hakiki darinya, meminjam Teuw, Pram adalah “novelis yang tidak hanya mewakili Indonesia, melainkan juga seorang sastrawan yang mewakili kawasan Asia”.
Buku ini juga mendudukkan posisi Pram yang larut dalam posisi yang dilema antara berpihak pada corong partai atau tetap konsisten dengan karyanya yang dicipta. Ia menulis novel “Sekali Peristiwa di Banten” yang mencerminkan sikap Pramudya yang harmonis terhadap borjuasi nasional dan kekuatan angkatan bersenjata. Secara teoritis ini tidak sesuai dengan program pembentukan negara sipil sosialis. Di tahun 60, karya Pramudya yang membela minoritas tionghoa menyatakan siapa musuh Indonesia yang sebenarnya dan borjuasi nasional adalah bagian dari musuh tersebut. Savitri menyebut sikap ambivalen Ppramudya dapat dilihat cerminan akurat sikap ambivalen PKI terhadap “borjuasi nasional”.
Di akhir buku ini, Savitri menjelaskan bagaimana Pramudya menciptakan karyanya yang berbeda dari periode sebelum ia di pulau buru. Ia menciptakan “Bumi Manusia” dengan idealisme konservatif yang berbeda dengan “Gadis Pantai” dengan idealisme revolusioner. Bagaimanapun juga Pram adalah penulis yang tak pernah lepas dari prinsip-prinsip dan tujuan awal dia menulis yakni mendekapkan dirinya di tengah-tengah masyarakat dan tidak terlepas dari masyarakat. Pram adalah representasi dari sosok penulis yang konsisten dengan prinsip meski dengan sikapnya itu pula ia harus melibatkan diri dengan goda politik dan sikap politik partainya.
Judul buku : PRAMOEDYA ANANTA TOER , Luruh Dalam Ideologi
Penulis : Savitri Scherer
Penerbit : Komunitas Bambu
Hal : 190 halaman
ISBN : 978-602-9402-02-5
Harga : Rp.50.000,00
*) Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, Aktifis IMM, bergiat di Bilik Literasi Solo.
Selain bahasa yang sering disebut-sebut sebagai salah satu biang yang mengakibatkan krisis sastra masa kini di Indonesia, moralitas juga sekarang menjadi fokus para penulis senior ataupun para akademisi. Saya merasa sangat terusik untuk membahas soal krisis moral dalam sastra Indonesia yang konon oleh beberapa penulis senior ibarat tubuh yang sudah kehilangan kepala. Yang dimaksud penulis-penulis ini tentu saja adalah sastra modern seakan-akan sangat terjerumus dalam persoalan eros dan erotisisme ketimbang moralitas.
Pergunjingan soal moralitas muncul dalam kesusastraan dan kebudayaan pada awal agama mulai tersebar luas dalam peradaban. Sebelumnya moralitas dalam karya-karya drama ataupun mitos Yunani terasa sangat terbuka dan sifatnya tidak mengkhotbah, tetapi lebih sering merupakan sebuah ungkapan dari kehidupan, atau lebih tepatnya seperti disebut oleh Nietzsche, The Gay Science, yang intinya adalah bahwa moralitas pun merupakan suatu aspek ringan atau komedi dalam kehidupan kita. Moralitas menjadi momok yang sering dipergunakan oleh para wali keagamaan untuk menindas para pemikir dan pekerja kesenian selama berabad-abad. Walaupun demikian, dari masa ke masa, dari peralihan zaman pencerahan hingga ke era Victoria hingga masa kini, moralitas tidak hentinya digempur oleh para penulis dan seniman di mana pun.
Adalah suatu pemikiran yang sangat kolot dan antimodernisme untuk meneropong sastra Indonesia saat ini bagaikan seorang moralis yang merasa jijik melihat kenyataan bahwa dunia yang bajik dan sangat sempurna yang dihuni mereka sudah berubah begitu dahsyatnya. Keberatan mereka seharusnya ditujukan pada persoalan kehidupan masa kini yang memang sejak perang dunia kedua telah usang, daripada menekan para penulis sastra masa kini yang ingin membawakan berbagai kompleksitas kehidupan masa kini dalam karya-karya mereka. Keberanian dari para penulis ini, menurut saya patut kita puji, karena penulis-penulis ini telah beranjak jauh dari zaman di mana sastra masih ditindas oleh kekangan masyarakat ataupun agama, seperti pada masa Flaubert, yang karyanya Madame Bovary dihujat sebagai amoral, dan zaman DH Lawrence, yang karyanya Lady Chatterly’s Lover dianggap mesum, dan James Joyce dengan karyanya Ulysses yang terpaksa harus diterbitkan di Perancis, karena dianggap porno! Tetapi sebelum para penulis berani ini, mereka sudah punya kolega yang tidak kalah beraninya: Daniel Dafoe di abad ke-18, dengan karya yang berani Moll Flanders tentang pelacuran, di abad ke-16, Rabelais dengan karya Gargantua and Pantagruel yang heboh karena keberaniannya mencatat kebobrokan manusia dalam detail-detail yang berani, dan Chaucer, di abad ke-14 bahkan sebelum Shakespeare, dengan karyanya Canterbury’s Tales, melukiskan keanekaragaman karakter manusia dari yang munafik hingga yang seronok.
Di masanya, penulis-penulis ini dianggap sangat kontroversial dan sering ditindas oleh para wali agama ataupun penguasa, tetapi hari ini mereka kita anggap sebagai pahlawan-pahlawan sastra yang karyanya dipelajari oleh siswa-siswa di sekolah di segala penjuru dunia.
Penafsiran pada suatu karya sastra menurut saya menjadi problematika kalau tolok ukurnya adalah moralitas. Penulis sastra tidak bertanggung jawab pada suatu masyarakat ataupun pembaca akan keabsahan moralitas mereka dalam karya-karya yang ditampilkannya. Seorang seniman menciptakan sebuah karya tidak berdasarkan suatu konsensus massa ataupun masa, tujuan akhir dari sebuah karya bukanlah betapa tingginya nilai moralitas yang dicapai tetapi seberapa jauhnya estetika ataupun moralitas yang dianut sekelompok masyarakat dapat digeserkan. Karena melalui tiap pergeseran ini, yang sebenarnya juga merupakan cerminan dari masyarakat itu sendiri, maka terciptalah karya-karya terobosan besar. Persoalan menjadi semakin runyam ketika penulis-penulis yang berani menulis karya-karya yang berani dikaitkan dengan kebobrokan pribadi mereka. Atau mereka dianggap pengaruh negatif yang merusak serat moralitas masyarakat.
Di sini letak kemunafikan suatu komunitas. Karena di satu sisi para seniman diminta untuk melakukan terobosan dengan berani dalam karya-karya mereka, di sisi lain mereka juga diberikan batas-batas kelayakan yang dianggap merupakan konsensus umum yang perlu dipertahankan. Alasan mereka selalu adalah bila tidak pilar-pilar kesusilaan sipil akan roboh. Apakah kehebatan suatu masyarakat dan kemandiriannya bisa dirobohkan oleh karya-karya seni? Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana suatu karya seni bisa melakukan terobosan dengan batas-batas seperti ditetapkan oleh para petinggi moralitas itu? Saya kira pertanyaan balasan yang tepat adalah kenapa pula kita perlu takut dengan karya-karya berani ini? Kalau kita tidak ingin anak-anak kita membaca karya-karya tertentu, atau pemikiran kita bahwa mereka masih belum siap membaca karya-karya tertentu, kita bisa melarang mereka untuk tidak membaca karya-karya itu. Jadi batas-batas kelayakan pada karya sastra tidak perlu kita pergunjingkan sebagai persoalan publik tetapi membataskannya menjadi suatu persoalan individu. Seperti juga bagaimana kita menyambut dengan gembira buku-buku berbobot moralitas tinggi, kita seharusnya juga bisa menyambut dengan toleransi yang tinggi buku-buku yang berani menerobos batas-batas kelayakan itu. Keberatan kita dan ketakutan kita menerima karya-karya tersebut hanya mencerminkan keangkuhan supremasi moralitas kita atau memberikan kesan seakan batas zona keamanan pribadi sedang terancam.
Di sini kita perlu bedakan antara erotisisme dan pornografi, karena kedua hal sering disalahtafsirkan, atau menjadi tercampuraduk dalam pembahasan soal kelayakan dalam satu karya seni. Eros dan erotisisme oleh Octavio Paz digambarkan sebagai kecenderungan yang normal bagi manusia yang punya imajinasi dan budi pekerti. Berbeda dengan hewan yang dalam tindakan seksualnya hanya untuk mereproduksi, menurut Octavio Paz, manusia mempunyai kapasitas untuk merasakan kenikmatan dan punya daya imajinasi yang tinggi untuk menambah nilai kenikmatan itu dalam hubungan seksual. Dengan demikian, erotisisme adalah bagian yang wajar dari fakultas manusiawi, sedangkan pornografi adalah suatu penghasutan indera yang tidak mempunyai nilai imajinasi. Repetisi imaji yang ditampilkan untuk menggugah berahi terlihat jelas sangat mekanis dan tidak mempunyai nilai-nilai estetika ataupun tujuan lain selain menggugah insting-insting purba dalam diri kita.
Berbicara tentang estetika dan etika, perlu juga kita bahas apakah sebuah karya perlu ada sebuah tujuan etika yang konkret. Perlukah sebuah karya punya misi moralitas? Inilah antara lain hal yang sering dipersoalkan dalam pembahasan krisis moral dalam kesusastraan kita. Persoalan ini menurut saya akan sangat sulit diselesaikan karena kalau kita serapkan apa yang ditulis oleh Nietzsche dalam karyanya The Genealogy of Morals, maka sangat jelas sekali bahwa seharusnya kita menanggapi pergeseran moralitas dalam karya seni dengan keringanan jiwa. Karena persoalan moralitas akan sangat relatif. Bagaimana seseorang mengukur batas-batas etika yang seharusnya ataupun seharusnya tidak dilanggar dalam sebuah karya? Apakah karya-karya seni harus merujuk pada suatu pakam moralitas suatu kepercayaan ataupun suatu konsensus massa? Bila demikian halnya, saya kira karya-karya yang diciptakan tidak lagi bisa dikategorikan sebagai karya seni, tetapi lebih mendekati karya-karya hymna bagi suatu kepercayaan.
Tuntutan pada seorang seniman menjadi seorang panutan moralitas tinggi menurut saya adalah penafsiran yang salah pada fungsi seorang seniman. Penafsiran ini seakan menempatkan seorang seniman pada posisi seorang pengkhotbah ataupun seorang wali terhormat dari suatu masyarakat. Pemikiran demikian sangat bertolak belakang dengan kenyataan posisi seorang seniman. Seniman di bidang mana pun senantiasa akan tetap merupakan manusia marjinal. Posisi mereka, bila bukan karena dalam realitas mereka memang terpojok ke pinggiran kehidupan, adalah pilihan mereka sendiri dalam menempatkan diri di pinggiran sehingga mereka dapat menyaksikan ataupun meneropong dunia dari dekat, yang kemudian, melalui kepedihan hasil pergelutan kehidupan mereka dengan dunia ataupun kejeliannya dalam mengupas kehidupan di hadapan mata mereka, akan menjelma menjadi keoriginalitas karya-karya seniman itu.
Lihat dalam sejarah kesusastraan dunia dan Anda akan menemukan nama-nama besar seperti Rimbaud, penyair muda yang berhenti menulis syair pada saat dia berumur 20 tahun, yang mempunyai metode khusus mengakses keaslian jiwanya dengan membius otaknya dengan rangsangan alkohol dalam kuantitas yang tinggi. Pelbagai penggunaan obat terlarang juga dilakukan oleh penulis-penulis besar, seperti dengan opium oleh Graham Greene, LSD oleh semua penulis generasi Beatnik dari Allen Ginsberg hingga Jack Keruac, dan di era 80-an, kokain oleh Jay McInnerny, dan alkohol, pilihan Bacchus favorit rata-rata semua penulis, dari William Faulkner hingga Dylan Thomas. Mereka ini manusia besar dalam kesusastraan yang gagal dalam ketertiban kehidupan sehari-hari. Mereka jauh dari manusia sempurna yang didambakan banyak orang. Karya-karya mereka diciptakan juga bukan untuk diukur dari segi bobot moralitas pribadi mereka, tetapi dari kedalaman jiwa mereka yang lahir dari pergesekan mereka dengan dunia.
Sampai di sini, saya mendengar keluhan sang moralis yang menanyakan, “Jadi apa fungsi sastra sebenarnya?” Sastra menurut saya adalah muntahan balik dari seorang penulis kepada masyarakatnya. Keberaniannya dan ketulusannya dalam berkarya adalah keoriginalitas suaranya. Perkembangan sastra sudah lama bergeser dari karya-karya sastra yang gentil. Karya-karya penuh bobot moralitas Jane Austen hingga Nathaniel Hawthorn sudah tergeser oleh karya-karya pembangkang seperti Flaubert, James Joyce, DH Lawrence, Baudelaire, dan pada era modern oleh hampir semua penulis berani dari Jean Genet, Allen Ginsberg, Bukowski, John Fante hingga oleh pemenang Nobel tahun 2004 Elfriede Jelinek. Hampir semua tabu dalam kehidupan sudah dilabrak oleh penulis-penulis ini. Adalah sangat egois bagi para petinggi moralitas di negara kita menuntut bahwa penulis-penulis kita kembali ke zaman abad pertengahan dan mengabadikan karya-karya mereka pada kebesaran moralitas dengan huruf M besar, sedangkan perkembangan sastra dunia sudah berlaju demikian maju dan sudah lama meninggalkan rambu-rambu moralitas yang masih dipersoalkan kita. Karena selain tidak mungkin memutarbalikkan perkembangan masa, saya rasa tuntutan para petinggi moralitas ini sangat mengganjal perkembangan sastra di negeri ini. Persoalan moralitas seharusnya dibahas dalam konteks di luar kesenian seperti dalam forum kebatinan ataupun dalam kajian sosiologi. Karena persoalan moralitas sangat berseberangan dengan penciptaan karya seni. Seniman tidak kenal rambu-rambu moralitas dalam penciptaan mereka. Yang disasarkan dalam setiap karya seni bukan lagi capaian moralitas, tetapi capaian originalitas dalam suara, visi ataupun estetika. Sastra dunia sudah mencapai titik capaian yang begitu maju sehingga ia tidak lagi mencoba mengupas moralitas manusia tetapi lebih pada bagaimana menangkap dilema ataupun paradoks manusia dalam sekeping kehidupannya. Kadang bahkan tanpa suatu tujuan ataupun subyek yang jelas, selain potret-portret kecil suatu kehidupan seperti yang ditampilkan dalam cerita-cerita penulis Sicilia Giovanni Verga.
Menutup penulisan ini saya ingin mengutip Oscar Wilde, juga salah satu spirit pembangkang dalam kesusastraan yang ditindas oleh para petinggi moralitas masyarakatnya pada masanya. Dia mengatakan bahwa kebenaran tidak lagi benar bila ia diterima oleh semua pihak. Semangat setiap pekerja kreatif adalah bagaimana berbagi kebenaran individunya dengan dunia di mana dia bercokol. Persembahan mereka yang diperoleh dari tetes-tetes darah jiwa mereka merupakan ungkapan kecintaan ataupun ketulusan mereka pada dunia. Penindasan, penghujatan, pendakwahan negatif pada karya-karya seni sudah bukan hal baru lagi bagi mereka, dan tidak pernah berhasil menghalangi mereka, bahkan malah mengobarkan semangat mereka, untuk tetap menampilkan tiap karya mereka dengan keberanian dan ketulusan yang tidak dapat dikompromikan.