Gerundelan David Ardyanta

(Cipt: B.S. Noerdian)
Kembang galengan
Meletik sing nggawa aran
Tanpa rupa tanpa ganda
Mekare mung sak sorenan
Kembang galengan
Kaudanan kepanasan
Kaidek eman-eman
Dipetik sapa oyan
Kaidek eman-eman
Dipetik sapa oyan
Dipetik sapa hang oyan
Dipetik sapa hang oyan
Taping temena nyawang langit
Ngelirik unyike godong
Weruh obahe wit-witan
Kepingin milu angin nggoleki sangkan paran
Kembang galengan
Iming-imingana emas berlian
Aluk mituhu nunggu kedokan
Meluk nggandoli lemah prujukan
#Terjemahan bebasnya:
Bunga penghias pematang
Terlempar tanpa nama
Tanpa pesona tanpa aroma
Hanya mekar untuk satu sore
Bunga penghias pematang
Kehujanan kepanasan
Terinjak sayang
Dipetik, siapa yang mau?
Terinjak sayang
Dipetik, siapa yang mau?
Dipetik, siapa yang mau menerimanya?
Dipetik, siapa yang maumenerimanya!
Tetapi, lihatlah langit dengan seksama
Melirik pupus-pupus daun
Terlihat gemulai gerak pepohonan
Ingin mengikuti arah angin mencari asal usul
Bunga penghias pematang
Bujuk rayulah ia dengan emas permata
Akan lebih baik menunggu petak-petak sawah
Memeluk dan memperjuangkan tanah dimana ia telah dibesarkan
Rangkaian kata-kata sederhana namun menurut saya memiliki kedalaman filosofi dan pemikiran dari penciptanya B.S Noerdian yang berasal dari kota Gandrung, Banyuwangi Jawa Timur. Syair lagu ini menggunakan bahasa Osing dari suku Osing yang tersebar di beberapa daerah di lereng Gunung Ijen.
Lirik lagu Kembang Galengan ini seakan mengisyaratkan tentang seseorang yang dengan sederhana dalam menyikapi hidup ini. Kembang galengan. Meletik sing nggawa aran. Tanpa rupa tanpa ganda. Mekare mung sak sorenan. Seseorang yang sederhana ibarat hanya sekuntum bunga penghias pematang, yang tak pelu mengunggulkan nama dan pribadi sebagai sebuah pencintraan. Penampilan yang sederhana, ibarat bunga pun ia tak beraroma dan ia sangar sadar benar bahwa hidup ini demikian pendek dan terbatas, seperti bunga yang hanya mekar untuk satu sore lalu layu dan mati.
Bungan penghias pematang yang demikian sederhana telah melakoni kehidupan yang penuh suka duka ini, sayang jika harus diinjak-injak dan hanya disia-siakan saja, namun jika dipetik pun siapakah gerangan yang mau menerima sesuatu yang begitu sederhana ini? Sesuatu yang mungkin dianggap tak ada harganya! Apa yang ia inginkan hanyalah untuk menjadi sesuatu, sebuah warna yang telah memperkaya warna-warna yang ada di kehidupan ini, apapun warna itu.
“Taping temena nyawang langit. Ngelirik unyike godong. Weruh obahe wit-witan. Kepingin milu angin nggoleki sangkan paran.” Sebuah unsur keyakinan dan religi yang demikian kokoh tersirat dalam syair ini. Ia yang sederhana dengan segala kesederhanaannya, hati, jiwa dan pikirannya selalu bermunajat dan berbhakti pada Tuhan Pencipta Semesta, mengagumi dan menyelaraskan diri dengan segala ciptaanNya serta mencoba mengerti/membaca segala firman-firmanNya yang tak tertulis namun tersirat dalam setiap materi ciptaanNYa. Selaras dengan konsep manusia Jawa tentang “Sangkan Paraning Dumadi”, sebuah konsep tentang asal usul, jati diri dan kemana kembalinya manusia pada akhirnya. Demikianlah juga mereka, sangat religius!
Ungkapan rasa Nasionalisme kebangsaan, kecintaan mereka pada tanah air, tanah kelahiran mereka, juga tersirat tegas dalam lirik terakhir dari syair lagu ini. “Kembang galengan. Iming-imingana emas berlian. Aluk mituhu nunggu kedokan. Meluk nggandoli lemah prujukan.” Sekali lagi meski dengan kesederhaannya, bujuk rayu dengan emas permata atau apapun juga, tak akan dapat menggoyahkan untuk tetap berpijak, memeluk dan memperjuangkan tanah kelahirannya, tanah yang telah menumbuhkan dan membesarkannya. Betapa nasionalis!
Semoga ada petikan makna yang bermanfaat yang dapat diambil dari syair lagu dan tulisan sederhana ini.
“kembang galengan, hang meletik sing nggawa aran, tanpa rupa tanpa ganda, mekare mung sak sorenan!”