Arsip Tag: sel telur

Pengumuman: Artikel Terbaik I Lomba Menulis Opini dengan Tema Aborsi

Post Abortion Syndrome (PAS)

Oleh: Era Sofiah

 

bayi mungil
Ilustrasi: ceritayosi.files.wordpress.com

Betapa haru ketika menyaksikan seorang ibu yang dengan sepenuh jiwa bertaruh nyawa demi menghadirkan sang cabang bayi yang telah 9 bulan bersemayam dalam rahimnya tak peduli rasa sakit itu menyayat tubuhnya. Detik demi detik serasa waktu begitu lama berlalu. Dan perlahan rasa sakit itu berganti bahagia ketika mendengar tangisan sang bayi dan itulah awal perngabdian seorang ibu membesarkan buah hatinya.

Lain lagi cerita seorang ibu yang mendambakan kehadiran anak dalam perkawinannya yang telah dibina selama bertahun-tahun namun Tuhan belum juga menitipkan anugerah-Nya.  Segala upaya pun ditempuh tak peduli berapapun biaya yang dikeluarkan hingga berobat keluar negeri demi kehadiran sang buah hati yang diharapkan akan semakin merekatkan ikatan perkawinannya. Kelak bayi-bayi di atas akan merasa beruntung dapat merasakan kasih yang tak terbatas dari sang bunda. Amat kontras dengan kehidupan bayi-bayi malang yang harus menelan pil pahit di kehidupan awal harus tersingkirkan karena kehadirannya tak dikehendaki.  Di kolong jembatan, di hulu sungai, di tempat pembuangan sampah  menjadi kuburan mereka. Atau bahkan sebelum mereka sempat menghirup udara dunia mereka para bayi malang itu dipaksa kembali ke surga lewat berbagai cara atau lazim disebut aborsi.

Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus” berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh. Tindakan aborsi diizinkan jika memang memiliki indikasi medis tertentu, misalnya kelahiran tersebut dapat membahayakan nyawa sang ibu. Tindakan aborsi yang dilakukan atas dasar indikasi medis disebut sebagai abortus provocatus medisinalis. yaitu aborsi yang dilakukan atas keinginan pasien (Wirawan, 2007). Istilah ini kontras dengan abortus provokatus medisinalis, yaitu aborsi yang dilakukan atas indikasi medis.

Setiap tahun, diperkirakan ada 2,5 juta nyawa tak berdosa melayang sia-sia akibat aborsi. Angka ini terhitung besar sebab jumlahnya separuh dari jumlah kelahiran di Indonesia, yaitu 5 juta kelahiran per tahun. Dari 2,5 jutaan pelaku aborsi tersebut, 1 – 1,5 juta di antaranya adalah remaja berusia 15 -24 tahun. ( detik Health 30/5/2012). Dalam situs berita VIVA news (2011), tercatat bahwa terdapat 70.000 ibu yang meninggal dunia akibat praktik aborsi yang ilegal. Data lainnya dipublikasikan dalam situs VOA Indonesia (2012), bahwa diperkirakan terjadi lebih dari 45 juta kasus aborsi setiap tahunnya.

Seks bebas yang sekarang menjadi bagian dari gaya hidup hingga maraknya prostitusi khususnya di kalangan remaja menjadi pemicu tingginya angka aborsi. Ketidaksiapan mental untuk bertanggung jawab atas tindakannya serta anggapan bayi yang dikandungnya kelak hanya akan membawa aib menjadi alasan utama dan aborsi menjadi pilihan.  Dan ironi, seringkali  keputusan untuk melakukan aborsi kerap didukung oleh orang-orang terdekat pelaku dan lagi-lagi alasannya demi menutupi aib. Dan fenomena ini dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk membuka praktek aborsi illegal. Padahal sejatinya melakukan aborsi bukanlah solusi dan hanya menutupi masalah dengan menghadirkan masalah baru Post abortion syndrome (PAS).

PAS adalah dampak dari pelaku aborsi berupa trauma emosional, psikologis, fisik, dan spiritual yang diakibatkan oleh aborsi, di mana kejadian tersebut berada di luar pengalaman manusia biasa (Rooyen & Smith, 2004). Babbel (2010) mengungkapkan gejala-gejala dari PAS, yaitu: (1) rasa bersalah, yang dialami karena membuat sebuah kesalahan atau melanggar moralitas; (2) gelisah atau anxiety, yang mungkin muncul pada isu-isu kemandulan dan kemungkinan untuk hamil kembali; (3) mati rasa atau depresi; (4) kilas balik atau flashback, aborsi dilakukan dengan operasi dan umumnya terjadi saat pasien dalam keadaan sadar sehingga dapat menjadi sebuah pengalaman yang menjadi sumber stres; (5) pemikiran untuk bunuh diri, terjadi dalam kasus-kasus ekstrim.      Mencegah lebih baik dari mengobati. Sebagai bahan renungan adalah Penelitian dari Robert Blum, seorang profesor perkembangan remaja di University of Minnesota mengatakan bahwa remaja yang dekat dengan ibunya cenderung takut dalam melakukan hubungan seks (Harnowo, 2012).