Arsip Kategori: Gerundelan

Mengenal Puisi-Puisi Sufi yang Menenangkan Jiwa dan Universal

Gerundelan Sonny H. Sayangbati

Di dalam cahaya-Mu aku belajar mencintai. Di dalam keindahan-Mu aku belajar menulis puisi. Kau senantiasa menari di dalam hatiku, meski tak seorang pun melihat-Mu, dan terkadang aku pun ikut menari bersama-Mu. Dan “ Penglihatan Agung” inilah yang menjadi inti dari seniku. – (Rumi – Blog Sastra Indonesia)

Puisi-puisi sufi banyak diperkenalkan oleh para penyair Arab dan Persia sebagai salah satu cara melestarikan nilai-nilai keagamaan atau ajaran-ajaran dalam kitab suci mereka. Para penyair sufi berupaya menulis dengan nilai-nilai luhur atau menggunakan pendekatan yang dinamakan : ” Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa Arab: تصوف , ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi).” – Wikipedia Indonesia.

Pendekatan yang lain mengatakan bahwa : “Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata “Sufi”. Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan.” – (Wikipedia Indonesia).

Di Indonesia yang saya tahu dan baca buku-buku puisinya tokoh penyair sufi atau pun puisi-puisinya banyak mengulas masalah-masalah sufi dan maknanya adalah : Abdul Hadi WM, Sutardji Colzoum Bachri, Martha Sinaga (Martha Poem), Dhenok Kristianti, juga ada yang mengatakan bahwa Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo dan Remy Sylado (tokoh mbling), dan mungkin banyak yang lain yang belum dipublikasikan dan tidak diketahui, ini pendapat pribadi saya membaca karya-karya puisi mereka yang seringkali memiliki nilai-nilai religi, walaupun saya tahu ada perbedaan antara puisi sufi dan puisi religi menurut beberapa pakar puisi, namun bagi saya perbedaannya sangat tipis sekali.

Tokoh penulis puisi-puisi sufi dunia seperti yang sering disebutkan dalam media dan buku : Jalaluddin Rumi, Ibnu Arabi, Abunawas, Rabiah Al-Adawiyah, Hasan al-Bashr, Malik bin Dinar, Ma’ruf al-Kharkhi, Fudhayl ibn ‘ Iyadh dan banyak lagi yang lainnya yang dicatat.

Sebenarnya masyarakat puisi belum terinformasikan dengan baik mengenai berbagai macam karya puisi-puisi ini, sepenuhnya kita tergantung dengan buku-buku terjemahan baik terjemahan dalam bahasa Inggris atau pun terjemahan dengan menggunakan bahasa yang lain, umumnya para sarjana Barat sangat menaruh minat yang besar sekali terhadap tulisan-tulisan puisi sufi ini dan merekalah yang paling pertama menggali tulisan-tulisan puisi ini untuk menambah kekayaan ilmu puisi sufi mereka, dan kita masyarakat puisi di Indonesia hanya menunggu terbitan penerjemahannya saja dan buku-buku ini boleh di kata sangat langka baik diperpustakaan maupun di toko-toko buku komersial lainnya, ironis sekali.

Buku-buku puisi sufi sungguh sangat bernilai sekali untuk masyarakat yang pluralisme, beragam kebudayaan dan agama, seharusnya tokoh-tokoh pemerintah dalam sastra menuruh minat besar terhadap karya-karya seperti ini dan ini sesungguhnya mengajarkan nilai-nilai moral yang luhur bagi generasi ke generasi lainnya dan juga sebagai jejak rekaman peristiwa, sungguh sayang sekali buku-buku semacam ini dikalahkan oleh buku-buku yang lainnya.

Saya mengamati, bahwa salah satu kelemahan khususnya juga bagi para ahli sastra dan puisi, mereka kesulitan dalam memperoleh sumber, kesulitan dalam mencari penerjemah sastra yang baik serta mungkin masalah dana dan kesulitan-kesulitan teknis lainnya. Saya berharap bahwa kepada para sastrawan dan tokoh-tokoh yang berwenang bisa mendatangkan karya-karya sastra terjemahan ke dalam khasanah kesuasteraan kita di tanah air, suatu hari kelak !

Mungkin karena di Indonesia memiliki banyak penulis puisi sufi, makanya mereka ingin menjadi tuan di negeri sendiri, iya itu sesuatu yang sangat positif, hanya saja puisi sufi belum populer di Indonesia, seandainya pun banyak dibahas hanya sebatas komunitas, dan mari kita menikmati hidangan rohani dari salah satu penyair religius ini, Abdul Hadi WM dalam blog pribadinya Kampung Puisi :

RAMA-RAMA

rama-rama, aku ingin rasamu yang hangat

meraba cahaya

terbanglah jangan ke bunga, tapi ke laut

menjelmalah kembang di karang

rama-rama, aku ingin rasamu yang hangat

di rambutmu jari-jari matahari yang dingin

kadang mengembuni mata, kadang pikiran

melimpahinya dengan salju dan hutan yang lebat

1974

Sebuah puisi yang indah dan bermakna religius, sejuk di hati, saya menganggap ini puisi bermakna sufi atau religi, mendambakan kehangatan cahaya dan kesejukan embun, bukankah kata-kata ini banyak digunakan untuk sesuatu yang religi ?

Menurut hemat saya siapa pun penyairnya bisa menulis puisi sufi atau bermakna religi ini, tidak terkecuali penyair dari Kalimantan Barat ini, Saifun Arif Kojeh (nama penanya) sedangkan nama aslinya Raden Sarifudin, puisinya menurut saya memiliki makna yang religius, dan dia menulis dengan indahnya dalam buku antologi puisinya : Sembahyang Puisi Menerjemahkan Rindu, h. 13

Sembahyang Puisi

Beduk menabuh di subuh kala

Menalu-nalu jantung kerinduan

Menyegerakan sembayang puisi-puisi terbuai

Menemui dan mencumbui kekasihnya

Dikerelungan yang syahdu ini

Dia mengharu biru dalam munazatnya

“Akulah pecinta dan yang dicinta”

Puisi ini menyejukkan hati, seperti kita ketahui seorang Muslim merupakan kewajiban baginya untuk sembahyang subuh, dan bagi pemeluk agama lain bangun pagi subuh juga merupakan pendekatan yang menyegarkan apabila kita khusuk berdoa dalam keadaan yang segar baik tubuh dan hati yang terdalam, pada saat-saat seperti ini jiwa manusia akan berkomunikasi dengan syahdunya antara pecinta dan yang dicinta.

Kata ‘kekasih’ dan ‘rindu’, seringkali digunakan dalam memaknai sebuah arti dalam puisi sufi dan religi ini, umum diketahui kata-kata ini memiliki arti tersendiri yaitu memaknai : Tuhan atau Allah, saya memaknai puisi Saifun Arif Kojeh ini sebagai puisi sufi dan puisi ini sungguh indah dan puitis :

Bila kutahu

Bahasa air yang mengalir ke muara

Sudah ribuan rindu mampu kuterjemahkan

Rindu ingin terbang seperti burung merpati

Dengan kesetiaannya

Mengantarkan amanat pengirimnya

Kepada orang yang ditujunya

Rindunya Leuser mengarungi laut lepas

menemui bidadari di ujung pulau impian itu

Menantang ombak dan badai yang mengganas

Untuk sampai di sana

Berbagai perasaan yang telah melepas sauh di hati

Bila kutahu

Bahasa bintang menerangi malam

Sudah ribuan rindu mampu kuterjemahkan

(Sembahyang Puisi Menerjemahkan Rindu, Saifun Arif Kojeh, Cover belakang buku)

Sesungguhnya syair-syair dalam puisi sufi itu memiliki nilai keabadiaan, ia sangat dekat dengan ‘Kekasih’, karena Allah adalah Kasih, ia mengasihi manusia tanpa batas dan kasihNya sangat ‘bermartabat’ dan ‘murni’ serta ‘universal’, mengapa demikian ?

Penyair Martha Sinaga (Martha Poem) menulis puisi singkatnya yang religius dalam bukunya : “Kumpulan Seribu Puisi”, h. 30. Ia menulis :

Ayat-Ayat Kekal

Semua ada

Lengkap

Runtun

Ajaib

Mujizat

Pengisi Iman

Kekal

Banyak penyair sufi dan religi beranggapan bahwa nilai-nilai rohani ini membawa manusia kepada sebuah kehidupan yang lebih baik, sebuah kehidupan yang sangat didambakan seluruh umat manusia yaitu kehidupan abadi, sesuatu yang kekal dan tidak binasa, begitupun dengan nilai-nilainya, mungkin juga sebuah puisi akan dibacakan di taman firdaus sebagai pembuka bagi para manusia yang mendapatkan kehormatan untuk hidup abadi di sana.

Banyak sahabat-sahabat penyair yang suka menulis puisi-puisi jenis sufi ini dan beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :

MUNAJAT

wahai pemutus tali pusatku, hingga pisah dengan ketuban pahit. ajari aku faham jeriji hidup

di tajamnya kerikil singgahan dan simpang terlewati. tak keliru tafsir perhentian itu

biar dada teguh mengemudi beban dengan roda ganjil. di simpang-siur pertemukan bukan benang kusut

duhai penghulur rahmat. kolong ranah liar meriak. lubang-lubang pecah berserak bertubi-tumbang; aku terambing di bebatuan serpih antara duri-duri

duhai yang Maha. kentali dadaku dengan kasih.

Januari, 2013

(Kameelia, Bintang Kartika, penyair wanita Malaysia)

Artikel Terkait:

Puisi 2 Koma Tujuh, Sebuah Fenomena

Puisi-puisi Sonny H. Sayangbati

Apa Kata Pendukung Petisi Pembubaran Kementiran Agama?

Gerbang Surga

Tidak tahu, saya hanya tertarik saja untuk menulis kembali kisah ini. Sejak pertama kali membacanya, kisah ini melekat dalam benak saya, dalam ingatan saya. Tak pernah menjadi terlupa.

Begini:

kebersamaan-itu-menyenangkan
gambar dari devianart.net

“Terkisahkan di sebuah desa yang tentram sejahtera hidup satu keluarga yang hanya terdiri dari Bapak dan Putranya yang sudah dewasa. Bapak dan Putra ini hidup sangat sederhana dan hanya mempunyai hewan ternak berupa sebuah kuda. Kuda ini yang jadi tulang punggung penghasilan mereka, mereka gunakan sebagai kendaraan jasa angkut hasil hasil panen penduduk desa. Pada sebuah pagi, tanpa diketahui sebabnya kuda ini hilang dari kandang, sudah dicari ke mana mana oleh mereka berdua, tetap saja tidak ketemu. Akhirnya mereka menyerah mencari kudanya dan beralih mata pencaharian menjadi buruh tani .

Para penduduk desa tahu kalau kuda mereka hilang. Satu per satu para penduduk desa mendatangi rumah keluarga kecil ini. Para penduduk desa datang sambil membawakan bahan makanan yang banyak untuk diberikan ke keluarga ini. Mereka datang bermaksud menghibur sambil mengatakan, “Kami turut berduka cita atas hilangnya kuda kalian…”.

Oleh si Bapak dijawab,” Terimakasih atas wujud simpati kalian, semoga Tuhan membalas kebaikan kalian, tapi saya masih tidak tahu apakah peristiwa hilangnya kuda kami ini merupakan kabar duka atau kabar suka…”. Para penduduk desa pun pergi dari rumah mereka dalam keadaan bingung tidak mengerti apa maksud ucapan si Bapak.

Hari demi hari, selang satu minggu ternyata kuda kesayangan keluarga kecil ini kembali. Dan bahkan kembalinya bukan hanya sendiri, entah bagaimana kuda ini bisa kembali dan malah membawa sekumpulan kuda liar sebanyak sembilan ekor. Tentu saja ini kabar yang menggembirakan, artinya kekayaan keluarga ini menjadi sepuluh ekor kuda sekarang. Para penduduk desa mengetahui kabar ini kemudian datang berkunjung ke rumah si Bapak. Para penduduk desa mengatakan,“Selamat atas kembalinya kuda kalian dengan membawa kuda-kuda lainnya, kami turut berbahagia mendengar kabar ini…”

Oleh si Bapak dijawab,”Terimakasih atas wujud simpati kalian, semoga Tuhan membalas kebaikan kalian, tapi saya masih tidak tahu apakah peristiwa ini merupakan kabar suka atau kabar duka…”. Untuk kedua kalinya para penduduk desa pun pergi dari rumah mereka dalam keadaan bingung tidak mengerti apa maksud ucapan si Bapak.

Putra si Bapak begitu senang kini memiliki sepuluh ekor kuda. Setiap hari dia mencoba menaiki masing-masing kuda yang dia punya. Sampai pada suatu hari terjadi kecelakaan, dia terjatuh dari kuda, kaki kanannya patah. Kejadian ini terdengar juga oleh penduduk desa. Mereka mendatangi rumah si Bapak, “Kami turut berduka cita atas jatuhnya putra Anda, semoga kakinya segera sembuh kembali.”, begitu ucap para penduduk desa.

Oleh si Bapak dijawab, “Terimakasih atas wujud simpati kalian, semoga Tuhan membalas kebaikan kalian, tapi saya masih tidak tahu apakah peristiwa ini merupakan kabar duka atau kabar suka…”. Lagi-lagi para penduduk desa dibuat bingung oleh ucapan si Bapak.

Selang satu minggu kaki si Putra masih belum sembuh juga. Ada seorang pejabat pemerintahan yang datang mengumumkan bahwa setiap pemuda yang ada di desa akan diikutkan dalam perekrutan militer karena negara membutuhkan tentara tambahan dalam sebuah perang dengan negara lain. Akhirnya semua pemuda ikut, hanya tinggal putra si Bapak yang tidak ikut karena fisiknya yang sakit tak layak ikut perang.

Waktu berlalu, dua bulan semenjak perekrutan, pejabat pemerintahan yang sama datang kembali ke desa. Dia mengumumkan kepada seluruh warga desa bahwa setiap pemuda yang dulu direkrut dari desa ini telah gugur dalam medan perang. Sontak kesedihan menyelimuti seluruh penduduk desa yang putranya gugur di medan perang.

Kini di desa tersebut hanya tinggal seorang pemuda saja, yakni putra si Bapak. Keluarga kecil ini terpanggil untuk menghibur seluruh penduduk desa. Maka mereka datangi setiap rumah yang mempunyai putra yang telah meninggal. Dibawakan oleh mereka makanan, dan dikatakan oleh mereka kepada penduduk desa,“Kami turut berduka cita atas meninggalnya putra Anda…”

Setiap dari penduduk desa yang mereka datangi rumahnya menjawab,“Terimakasih atas wujud simpati kalian, semoga Tuhan membalas kebaikan kalian, tapi kami masih tidak tahu apakah peristiwa ini kabar duka atau kabar suka bagi kami…” “

Begitulah…

Saya tidak tahu apa yang kini ada dalam benakmu setelah membaca kisah ini. Tapi saya hanya ingin berbagi, kisah ini menginspirasi saya akan begitu banyak hal. Akan keikhlasan, sebuah keadaan di mana sesuatu tampaknya terjadi menimpamu, tapi tak pernah benar-benar menimpa dirimu, kejadian tak pernah benar-benar menjadi terlalu terhormat untuk menyentuh perasaanmu, kamu tahu sesuatu telah terjadi tapi pada saat yang sama kamu juga tahu telah tidak terjadi apa-apa selama ini.

Akan kedamaian sejati, sebuah keadaan di mana ketika kamu tidak tahu apa-apa, dirimu tetap tak tersedihkan oleh buruk sangkamu juga tak terbahagiakan oleh baik sangkamu. Seakan akan tanganmu terbuka menyambut apapun yang terjadi, apapun dalam arti yang sebenar-benarnya, bukan dalam arti yang terpagari oleh batasan-batasan dalam benakmu.

Akan ketulusan, sebuah keadaan keterserahan yang hebat, pembunuhdirian paling bernilai. Segalanya terjadi tetapi kamu telah tak memiliki diri untuk merasakan, tetapi kamu tak sedang mati, justru kamu sedang hidup dalam kehidupan yang benar-benar hidup.

Akan cinta yang tertinggi, yakni seperti halnya dirimu yang mencintai, yang kamu cintai pun juga sebenarnya sesuatu yang tidak ada, tetapi kamu tetap mencintai, tetapi kamu tetap mencintai, tetapi kamu tetap mencintai.

Di sinilah surga, gerbangnya surga.

Penulis: Binandar Dwi Setiawan

Agama dan Kesesatan

Gerundelan Nasaruddin Umar

harmony gives happiness
ilustrasi diunduh dari peace from harmony.org

Suatu saat ketika Usama, seorang anak muda diminta menjadi panglima angkatan perang memimpin peperangan, menjebak seorang musuh bebuyutan di sudut cekung bebatuan. Merasa terjepit seorang diri, tentara musuh itu tak ada pilihan lain selain harus bersyahadat. Dia bersyahadat secara sempurna: Asyhadu an laillaha illalah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah. Namun, Usama tetap membunuh tentara itu. Salah seorang sahabat melaporkan hal itu kepada nabi, lalu nabi memanggil Usama dalam keadaan marah. Yang terlihat urat di dahi menonjol ke atas. Nabi menanyai Usama kenapa membunuh orang yang sudah bersyahadat. Usama memberi alasan, orang itu bersyahadat hanya cari selamat karena terdesak, bukan didorong kesadaran. Akhirnya Nabi menyatakan: Nahnu nahkumu bi al-dhawir wallahuyatawallas sarair (kita hanya menghukum apa yang tampak dan hanya Allah yang menentukan apa yang ada di dalam bathin orang).
Sejalan dengan hadis yang diriwayatkan dalam kitab Al-Muwaththa itu ialah firman Allah SWT: Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya (QS Al Qashash/28:56). Kita tidak diberi hak memaksa orang masuk agama Islam, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran: Tidak ada paksaan (memasuki) agama (Islam). (QS Al-Baqarah/2:256). Jika kita sudah menyampaikan lantas mereka tidak mau mengikuti ajaran itu, itu menjadi urusan dan tanggung jawab mereka. Demikianlah kehendak Allah SWT, sebagaimana dinyatakan dalam ayat: Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semua? (QS Yunus/10:99).
Tentu ada kejengkelan atau ketidaksenangan terhadap mereka yang tidak mau mengikuti ajaran yang ditawarkan. Namun, betapapun kejengkelan itu muncul tidak dibenarkan melakukan tindakan tidak terpuji melampaui batas, seperti tindakan anarkistis apalagi membunuh mereka. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran: Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil (QS Al-Maidah/5:8). Tindakan melampaui batas sangat dicela dan kita tidak dibenarkan mengikuti ajaran siapapun yang dinilai melampaui batas. Sebagaimana ditegaskan Allah: Dan janganlah kamu menaati perintah orang-orang yang melampaui batas (QS Al Syuara/26: 151-152).
Terlebih kita dilarang membunuh hanya karena perbedaan pandangan. Orang kafir sekalipun tidak halal dibunuh tanpa ada pembenaran khusus dalam syariah. Membunuh anak manusia apapun agama dan kepercayaan, apapun etnik dan warna kulit, tidak dibenarkan membunuh dan menyakiti. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran: Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semua. (QS Al-Maidah/5:32).
Dalam ayat di atas Allah SWT menggunakan redaksi man qatala nafsan (barang siapa membunuh manusia), tidak dikatakan man qatala muminan (barang siapa membunuh orang mukmin). Ini artinya Allah SWT memberikan penghargaan besar pada dunia kemanusiaan. Bahkan dalam salah satu ayat ditegaskan: Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam. (QS Al-Isra/17:70). Allah SWT menggunakan kata Bani Adam (anak cucu Adam). Artinya siapapun yang dipandang sebagai anak cucu Adam tanpa membedakan latar belakang agama, etnik, jenis kelamin, warna kulit, bahasa, perbedaan geografis, juga perbedaan kewarganegaraan, yang penting dia manusia, maka wajib hukumnya yang percaya kepada Al-Quran untuk menghargai dan menghormati.
Perbedaaan adalah sunatullah. Allah SWT sejak awal merancang alam ini dihuni penghuni yang majemuk dan plural. Sebagaimana ditegaskan dalam Al Quran: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku  supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. (QS Al Hujurat/49/13).
Perbedaan agama dan sumber aliran tidak perlu menjadi sumber konflik karena demikianlah rancangan Allah SWT. Idealnya antara umat beragama, terutama agama Samawi, mesti lebih gampang menjalin persatuan dan kesatuan. Karena sama-sama dirancang sejak awal,  sebagai agama monoteisme atau agama anak cucu Ibrahim. Tugas para pemuka dan pemimpin agama ialah bagaimana menekankan aspek persamaan dan pertemuan (encounters) antara satu agama dan agama lain. Bagaimana menitikberatkan persamaan antar agama sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran: katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu. (QS Al Imran/3:64).
Jika para tokoh agama memegang teguh pesan-pesan suci keagamaan ini, sudah barang tentu tokoh-tokoh agama akan tampil sebagai tokoh persatu dan figur yang selalu berwibawa dalam masyarakat. Agama akan tampil mencerahkan. Namun, jika tokoh-tokoh agama tampil sebaliknya, lebih menekankan aspek perbedaan (distinctiveness), dampak pada umat akan mengalami keresahan dan ketegangan. Agama akan tampil menakutkan. Kesabaran dan kejiwabesaran Rasullullah patut untuk diteladani. Sekalipun tumit berdarah-darah karena lemparan batu oleh kaum kafir Thaif dan sekalipun berhadapan dengan Musailamah al-kazzab, seorang yang mendeklarasikan diri sebagai nabi palsu, dia tetap tidak bergeming dan emosional sedikitpun. Agama dijalankan secara konsisten sesuai sendi-sendi ajaran Islam. Karena itu, Islam mempunyai nilai tawar sangat mengesankan ketika itu. Betul-betul membawa perubahan mendasar yang mengarah pada peningkatan martabat kemanusiaan.
Kita berharap, kriris kekerasan yang dihubungkan dengan agama yang terjadi di negeri ini secepatnya diselesaikan bersama. Salah satu cara, kembali menegok substansi dan ajaran dasar agama masing-masing yang sesungguhnya lebih mengedepankan kearifan dan kedamaian. Berhentilah mengekspos agama sebagai komoditas politik atau bisnis yang hanya menguntungkan segelintir masyarakat. Namun, akibatnya ditanggung masyarakat luas.

Sumber: Koran Jurnal Nasional, Senin, 21 Februari 2011

Mengenang Munir

Catatan Pinggir Goenawan Mohamad

Jakarta, 10 September 2004,

– sepucuk surat untuk Sultan Alief Allende dan Diva Suki Larasati, yang ditinggalkan ayah mereka.

gambar dari loveindonesia.com
gambar dari loveindonesia.com

Kelak, ketika umur kalian 17 tahun, kalian mungkin baru akan bisa membaca surat ini, yang ditulis oleh seorang yang tak kalian kenal, tiga hari setelah ayahmu meninggalkan kita semua secara tiba-tiba, ketika kalian belum mengerti kenapa begitu banyak orang berkabung dan hari jadi muram. Kelak kalian mungkin hanya akan melihat foto di sebuah majalah tua: ribuan lilin dinyalakan dari dekat dan jauh, dan mudah-mudahan akan tahu bahwa tiap lilin adalah semacam doa: “Biarkan kami melihat gelap dengan terang yang kecil ini, biarkan kami susun cahaya yang terbatas agar kami bisa menangkap gelap.”

 Ayahmu, Alief, seperti kami semua, tak takut akan gelap. Tapi ia cemas akan kelam. Gelap adalah bagian dari hidup. Kelam adalah putus asa yang memandang hidup sebagai gelap yang mutlak. Kelam adalah jera, kelam adalah getir, kelam adalah menyerah.

 Dengan tubuhnya yang ringkih, Diva, ayahmu tak hendak membiarkan kelam itu berkuasa. Seakan-akan tiap senjakala ia melihat di langit tanah airnya ada awan yang bergerak dan di dalamnya ada empat penunggang kuda yang menyeberangi ufuk. Ia tahu bagaimana mereka disebut. Yang pertama bernama Kekerasan, yang kedua Ketidakadilan, yang ketiga Keserakahan, dan yang keempat Kebencian.

Seperti kami semua, ia juga gentar melihat semua itu. Tapi ia melawan.

Di negeri yang sebenarnya tak hendak ditinggalkannya ini, Nak, tak semua orang melawan. Bahkan di masa kami tak sedikit yang menyambut Empat Penunggang Kuda itu, sambil berkata, “Kita tak bisa bertahan, kita tak usah menentang mereka, hidup toh hanya sebuah rumah gadai yang besar.” Dan seraya berujar demikian, mereka pun menggadaikan bagian dari diri mereka yang baik.

Orang-orang itu yakin, dari perolehan gadai itu mereka akan mencapai yang mereka hasratkan. Sepuluh tahun yang akan datang kalian mungkin masih akan menyaksikan hasrat itu. Terkadang tandanya adalah rumah besar, mobil menakjubkan, pangkat dan kemasyhuran yang menjulang tinggi. Terkadang hasrat kekuasaan itu bercirikan panji-panji kemenangan yang berkibar? yang ditancapkan di atas tubuh luka orang-orang yang lemah.

Ya, ayah kalian melawan semua itu –Empat Penunggang Kuda yang menakutkan itu, hasrat kekuasaan itu, juga ketika hasrat itu mendekat ke dalam dirinya sendiri –dengan jihad yang sebenarnya sunyi. Seperti anak manusia di padang gurun. Ia tak mengenakan sabuk seorang samseng, ia tak memasang insinye seorang kampiun. Ia naik motor di tengah-tengah orang ramai, dan bersama-sama mereka menanggungkan polusi, risiko kecelakaan, kesewenang-wenangan kendaraan besar, dan ketidakpastian hukum dari tikungan ke tikungan. Mungkin karena ia tahu bahwa di jalan itu, dalam kesunyian masing-masing, dengan fantasi dan arah yang tak selamanya sama, manusia pada akhirnya setara, dekat dengan debu.

Alief, Diva, kini ayah kalian tak akan tampak di jalan itu. Ada yang terasa kosong di sana. Jika kami menangis, itu karena tiba-tiba kami merasa ada sebuah batu penunjang yang tanggal. Sepanjang hidupnya yang muda, Munir, ayahmu, menopang sebuah ikhtiar bersama yang keras dan sulit agar kita semua bisa menyambut manusia, bukan sebagai ide tentang makhluk yang luhur dan mantap, tapi justru sebagai ketidakpastian.

Ayahmu, Diva, senantiasa berhubungan dengan mereka yang tak kuat dan dianiaya; ia tahu benar tentang ketidakpastian itu. Apa yang disebut sebagai “hak asasi manusia” baginya penting karena manusia selalu mengandung makna yang tak bisa diputuskan saat ini.

Ada memang yang ingin memutuskan makna itu dengan menggedruk tanah: mereka yang menguasai lembaga, senjata, dan kata-kata sering merasa dapat memaksakan makna dengan kepastian yang kekal kepada yang lain. Julukan pun diberikan untuk menyanjung atau menista, label dipasang untuk mengontrol, seperti ketika mereka masukkan para tahanan ke dalam golongan “A”, “B”, dan “C” dan menjatuhkan hukuman. Juga mereka yang merasa diri menguasai kebenaran gemar meringkas seseorang ke dalam arti “kafir”, “beriman”, “murtad”, “Islamis”, “fundamentalis”, “kontra-revolusioner”, “Orde Baru”, “ekstrem kiri”? dan dengan itu membekukan kemungkinan apa pun yang berbeda dari dalam diri manusia.

Ayah kalian terus-menerus melawan kekerasan itu, ketidakadilan itu. Tak pernah terdengar ia merasa letih. Mungkin sebab ia tahu, di tanah air ini harapan sering luput dari pegangan, dan ia ingin memungutnya kembali cepat-cepat, seakan-akan berseru, “Jangan kita jatuh ke dalam kelam!”

Tapi akhirnya tiap jihad akan berhenti, Alief. Mungkin karena tiap syuhada yang hilang akan bisa jadi pengingat betapa tinggi nilai seorang yang baik.

Apa arti seorang yang baik? Arti seorang yang baik, Diva, adalah Munir, ayahmu. Kemarin seorang teman berkata, jika Tuhan Maha-Adil, Ia akan meletakkan Munir di surga. Yang pasti, ayahmu memang telah menunjukkan bahwa surga itu mungkin.

Adapun surga, Alief dan Diva, adalah waktu dan arah ke mana manusia menjadi luhur. Dari bumi ia terangkat ke langit, berada di samping Tuhan, demikianlah kiasannya, ketika diberikannya sesuatu yang paling baik dari dirinya?juga nyawanya?kepada mereka yang lemah, yang dihinakan, yang ketakutan, yang membutuhkan. Diatasinya jasadnya yang terbatas, karena ia ingin mereka berbahagia.

Maka bertahun-tahun setelah hari ini, aku ingin kalimat ini tetap bertahan buat kalian: ayahmu, syuhada itu, telah memberikan yang paling baik dari dirinya. Itu sebabnya kami berkabung, karena kami gentar bahwa tak seorang pun akan bisa menggantikannya. Tapi tak ada pilihan, Alief dan Diva. Kami, seperti kalian kelak, tak ingin jatuh ke dalam kelam.

Sumber: Majalah Tempo Edisi. 29/XXXIII/13 – 19 September 2004, sebagaimana ditulis ulang oleh Akhmad Sahal.

Catatan:

“Malam Renungan Mengenang 9 Tahun Munir” akan diselenggarakan pada hari  Sabtu 7 September 2013 Pk.19:00 WIB di Bundaran HI. Titik kumpul di Kantor Kontras Pk.17:00 WIB.7 September 2004-7 September 2013

Puisi 2 Koma Tujuh, Sebuah Fenomena

Gerundelan Sonny H. Sayangbati

2 koma tujuh
Gambar diambil dari grup puisi 2 koma tujuh

Tentang Payung

Jika dukamu adalah hujan

Payung itu aku

 

Mencintaimu

Kubiarkan mataku menggali kubur

Dengan huruf huruf

 

Sumber : Koleksi Puisi-Puisi Imron Tohari [@ Lifespirit) Imron Tohari (Catatan Pribadi) Facebook]

Menurut kamus populer (ensiklopedia) kata ‘fenomena’ (1) diambil dari bahasa Yunani ‘phainomenon’ yang artinya apa yang terlihat, menurut arti kata turunannya (adjektif) berarti : ‘sesuatu yang luar biasa’. Di mana luar biasanya puisi 2 koma 7 ini?

Saya pribadi mengagumi puisi ini, baik secara filosofi, estetika dan lain sebagainya, khususnya dari dua sudut pandang. Puisi ini mengagumkan, sejak pertama saya mengenalnya, bahasanya padat sekali dan kata-kata harus dibangun dengan teknik ‘bahasa tinggi’, bahasa filosofis, memiliki metafora yang unik, dibangun dengan susunan kata-kata yang indah, coba perhatikan dengan saksama puisi-puisi di atas tersebut.

Antara judul dan tubuh puisi, berkesinambungan dan serasi sekali, itulah sebabnya tidak mudah untuk menulis puisi jenis ini, namun mudah bagi seseorang yang mencintai dan mendalami puisi ini. Tentu saja secara teknik kita harus menguasainya terlebih dahulu.

Dalam hal ini secara tehnik atau teknis penulisan saya tidak membicarakan ini, dan sebaiknya Anda dianjurkan untuk memperhatikan dan mempelajari puisi 2 koma tujuh ini secara lebih mendalam.

Diluncurkannya Buku Puisi 2 Koma 7 Baru-Baru Ini

Buku di atas akan segera terbit dalam waktu dekat dengan sampul cover depan seperti tertera dalam gambar di atas. Dan ini merupakan sejarah bagi puisi 2 koma 7 yang akan ikut serta dalam meramaikan khasanah perpuisian di tanah air, dan ini merupakan karya dari penemu, penggagas, anggota dan simpatisan yang bergelut dalam fenomena puisi 2 koma 7 ini. Secara pribadi saya menyambut hal ini dengan hangat dan gegap gempita. Saya menulis bukan berdasarkan atas pesanan atau ingin sesuatu yang sensasi biasa. Semata-mata karena saya menyukai dan mengagumi, walaupun memang saya kenal penemu dan penggagasnya serta sahabat-sahabat simpatisan puisi 2 koma tujuh ini.

Sejak saya mengenal puisi 2 koma 7 ini sekitar bulan Desember 2012 di group puisi Bengkel Puisi Swadaya Mandiri asuhan penyair Prof. Dimas Arikha Mihardja (Nama Pena), saya mencoba menulis beberapa puisi jenis ini dan berhasil diapresiasi oleh creator dan admin group tersebut, dan inilah puisi yang pertama saya buat di group tersebut :

Nostalgia

jika kali ciliwung meluap,

kuingat rumahku, tenggelam

Puisi ini akan selalu saya kenang dan memang puisi ini sebuah nostalgia yang merupakan kenangan saya seumur hidup berdasarkan kisah nyata, sewaktu sungai Ciliwung meluap maka rumah-rumah di bantaran kali Ciliwung akan tenggelam.

Boleh dikata banyak juga mungkin para penyair membuat sesuatu kerangka baru dalam pembuatan puisi, seperti halnya puisi-puisi lama dan kontemporer : soneta, haiku, mbeling, stanza dan lain sebagainya dan ada yang jenis baru di laman media sosial facebook seperti puisi 517 di Ekspresi Seni yang diperkenalkan oleh Syafrein Effendi Usman.

Puisi 2 koma 7 menurut saya lebih fenomenal atau luar biasa, dan mungkin prediksi ke depan puisi model ini akan lebih banyak lagi penikmatnya, walaupun kelihatannya sederhana namun memiliki daya pikat tersendiri. Sama halnya puisi Haiku sangat terkenal dan disukai banyak kalangan penyair-penyair di Malaysia saat ini.

Kita harapkan puisi 2 koma 7 ini menjadi setidak-tidaknya tuan di negeri sendiri, dan bisa jadi sama halnya dengan seni-seni tradisional lainnya di Indonesia yang populer di negara-negara lain.

Puisi 2 koma 7 memang baru dikenal dikalangan terbatas saja, khususnya dalam dunia sastracyber atau cybersastra, namun jangan dikira penggemarnya dari kalangan penyair biasa, penyair-penyair akademik maupun penyair-penyair yang memang memiliki bakat tradisional dari lahir juga banyak yang menyukainya.

Tantangan Ke Depan Bagi Puisi 2 Koma 7

Secara tradisi puisi memang dibangun dalam komunitas seni atau hidup secara mandiri di kelompoknya yaitu sanggar. Jika dahulu para anggota dalam sanggar saling bertemu muka dan bercengkerama, bergaul dengan hangat dan membuat acara atau pagelaran ataupun sayembara puisi, kini ada fenomena baru yaitu sanggar cybersastra atau group puisi di facebook, di mana para anggotanya memiliki jaringan yang luas dan tersebar lintas batas dan dari berbagai macam kelompok strata sosial bergaul dan saling memberikan gagasan serta karya-karya mereka dalam group.

Fungsi sanggar yang tradisional memang tidak tergantikan keakrabannya, dari segi kehangatan tentu berbeda antara sanggar dengan komunitas cybersastra semisal group puisi di Facebook, namun dari segi kualitas serta daya jangkau memang ini sebuah fenomena tersendiri.

Tidaklah heran puisi 2 koma 7 tumbuh subur karena hal ini, kemudahan jangkauan, fasilitas yang mudah dan cepat, banyaknya informasi, serta apresiasi yang cepat ditanggapi membuat puisi 2 koma 7 ini tumbuh pesat sekali, sekitar 1.300 orang yang terdaftar dalam group ini yang tersebar dalam jangkauan daerah yang luas sampai ke luar negeri.

Membuat buku adalah salah satu cara untuk melestarikan sebuah karya menuju keabadian. Ini adalah sebuah rekam peristiwa yang tercatat. Hal ini akan lebih mudah lagi jangkauannya dalam menyebarkan atau mempopulerkan karya puisi atau gagasan baru, seperti halnya Remy Sylado dalam memperkenalkan puisi Mbelingnya di majalah Aktuil serta buku-buku puisinya ‘Mbeling’.

Dengan beredarnya puisi 2 koma 7 ini tentu akan direspon oleh para pembaca dari berbagai kalangan, dan interaksi tentu akan terjadi dan kita tidak tahu bagaimana interaksi ini disambut di kalangan masyarakat puisi di Indonesia, baik yang bersikap menerima dengan aktif, biasa-biasa saja atau kalangan sastra yang kritis. Ini merupakan ujian bagi puisi 2 koma 7, kita semua mengharapkan umpan balik itu, apa pun hasilnya.

Pertumbuhan dan perkembangan puisi 2 koma 7 ke depan bukan semata-mata tergantung dari para kritikus sastra semata, menurut hemat saya tergantung dari orang-orang yang memiliki dan mencintai serta meghargainya sebagai sebuah karya yang indah.

Kritikus sastra hanya sebagai medan uji atau secara akademik teori saja, namun yang penting adalah prakteknya, atau hasil mujarabnya bagaimana sebuah gagasan itu dicintai dan dinikmati.

Oleh sebab itu mari kita lihat bersama, bagaimana sebuah karya indah puisi 2 koma 7 ini direspon oleh masyarakat perpuisian di Indonesia, apakah ia memuisi atau tidak, Anda-lah yang tahu dan memilihnya.

JATUH CINTA

 Kulihat kupu-kupu di tanganmu

 Oh, kau memuisi

 (lifespirit, 1 Januari 2013)

KELUHAN CINTA

 Menatap selimut kesepian

Bersisian kabut adakah rindu?

 (lifespirit, 29 Januari 2013)

 Sebenarnya Hatiku yang Telah Kau Genggam

 (Puisi No. 1)

 Kau ada dalam gerabah,

setiap sentuhan tanganku

(Puisi No. 3)

Remaslah jari-jariku, genggamlah!

Milikmulah aku ini selamanya

Jakarta, 14/8/2013

*) Penulis kelahiran Jakarta, 14 Desember, tinggal di Jakarta, menyukai sastra, senang menulis puisi, prosa dan artikel mengenai sastra. Karyanya diterbitkan di beberapa media cetak dan media online seperti di : SKH Republika, SKH Mata Banua, Jurnal Kebudayaan Indoprogres, SKH Berita Minggu Singapura, SKH New Sabah Times, SKH Utusan Borneo, Kompas.com, Koran Atjeh Post, Koran Bogor, Jateng Times, Rima News, Radar Seni, RetakanKata, Jurnal Kebudayaan Tanggomo, Wawasan News, Angkringan News, Artadista.com, Majalah Sastra Digital Frasa, Majalah Review Malaysia, Ourvoice, Sastra Kobong.

Karya puisinya telah dibukukan dalam antologi bersama beberapa penyair manca negara : ‘Lentera Sastra’ diluncurkan pada tanggal 22 Juni 2013 di Kuala Lumpur bersama komunitas Puisikan Bait Kata Suara, ‘Manusia Dan Mata-Mata Tuhan’ bersama komunitas Coretan Dinding Kita, ‘Jendela Senja’ bersama komunitas Kabut Tipis, sedangkan buku Cinta Rindu Dan Kematian di komunitas Coretan Dinding Kita sedang dalam proses cetak.

Saat ini aktif menulis di sastra cyber (cybersastra) dan memiliki halaman puisi yang diberi nama : Info For Us by Sonny H. Sayangbati di media sosial Facebook, dan beberapa website sastra.

 Penulis bisa dihubungi di alamat email : sonny_sayangbati@yahoo.com dan sonny14sayangbati@gmail.com

Kemerdekaan, Google dan Sepatu

Gerundelan Ragil Koentjorodjati

Hari ini tampak ada yang istimewa di Google. Jika Anda buka googledotcom, maka tulisan ‘google’ akan membentang serupa bendera merah putih dengan lambang serupa burung garuda di tengah, menggantikan huruf ‘O’. Tampaknya, google turut merayakan peringatan hari kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke-68 tahun ini.

sepatu-bekas
gambar diolah dari annida.online

Berkat google, saya jadi tahu tema perayaan kemerdekaan tahun ini. Sebagaimana dipaparkan di situs sekretariat negara, kebetulan tahun ini pemerintah mengangkat tema “Mari Kita Jaga Stabilitas Politik dan Pertumbuhan Ekonomi Kita Guna Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat”. Bagi Google, Indonesia adalah partner yang punya prospek bisnis menggiurkan. Stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi berarti pula keuntungan bagi perusahaan. Rakyat bisa juga membaca seperti itu. Rakyat juga bisa saja membaca tema tersebut sebagai sebuah perintah, ajakan atau bisa juga iklan sosialisasi sesuatu yang disebut sebagai keberhasilan pemerintah mengisi kemerdekaan. Yang jelas, ada argumentasi yang disampaikan pemerintah dalam tema tersebut. Persoalannya, apakah ada cukup alasan untuk menerima argumentasi tersebut.

Sebuah cerita lama,-barangkali banyak dari Anda yang sudah mengetahuinya-, tentang sepatu Bally Bung Hatta. Cerita ini cukup menyedihkan, bagaimana seorang Bung Hatta yang juga seorang wakil presiden yang turut memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, menyimpan guntingan iklan sepatu yang tidak mampu dibelinya. Anda tahu, pada tahun itu, sekitar 1950-an, sepatu Bally adalah salah satu sepatu ‘kelas tinggi’. Namun bagaimanapun, Bally hanyalah sebuah sepatu, tidak akan lebih mahal dari sebuah mercedes dan Bung Hatta “tidak mampu” membelinya. Pertanyaannya: apa yang dikenakan di kaki Bung Hatta waktu itu? Jangan-jangan beliau tidak bersepatu.

Saya tidak hendak mengajak Anda untuk membandingkan sepatu Bung Hatta dengan sepatu para pejabat publik kita, apalagi membandingkan kekayaan Bung Hatta dengan kekayaan para pejabat publik kita. Konon Pak Ali Sadikin pernah membayar tagihan listrik rumah Bung Hatta karena beliau tidak sanggup membayar tagihan listrik. Barangkali akan banyak dari kita di jaman ini yang berpikir: “bodoh” sekali Pak Wapres ini, kesempatan emas dibuang begitu saja. Namun jika kita perhatikan betul, maka Bung Hatta menyimpan kekayaannya di sepatu, tapi bukan berbentuk dollar seperti yang ditangkap KPK, melainkan sebuah contoh manusia yang terus menerus belajar menjadi manusia merdeka.

Anda seharusnya percaya, kemerdekaan seseorang dapat dilihat dari apa yang dikenakan di kakinya. Seorang petani yang membajak sawah menjadi tidak merdeka sebagai petani ketika ia terkungkung sepatu di kakinya. Namun ia bisa menjadi petani yang bebas bergerak dengan sepatu boot ketika membuka lahan untuk ladang baru. Seekor kera dapat bebas bergelantungan di pohon tanpa harus mengenakan sepatu di kakinya tetapi pejabat publik menjadi murah harganya ketika ia tidak mengenakan sepatu di kakinya.

Pepatah jawa mengatakan: Ajining diri dumunung ana ing lati, ajining raga dumunung ana ing busana. Pepatah ini semacam pesan, rasa hormat dan patuh orang lain kepada Anda tergantung pada bagaimana ucapan dan perbuatan Anda. Pada tingkat paling dasar, orang menaruh hormat pada apa yang kelihatan, semacam baju dan sepatu yang dikenakan. Maka harga diri Anda tampaknya tergantung pada bagaimana penampilan fisik Anda. Untuk itu orang kemudian bersolek menghias diri, memilih berbagai sandal dan sepatu sebagai simbol-simbol kepribadian Anda. Anda berharap orang lain mengenali jati diri Anda dari apa yang Anda kenakan. Jika orang percaya pada apa yang dikenakan seseorang, maka orang tersebut akan mencoba mendengar kata-kata Anda. Rasa hormat kemudian muncul dari penghormatan terhadap kata-kata yang dapat “dipegang”. Dan perbuatan adalah pakaian bagi tubuh rohani Anda.

Maka ibarat topi, sepatu Bally dapat dikatakan sebagai mahkota yang dikenakan di kaki, pakaian bagi tubuh yang kasat mata.  Jika wapres dapat dianalogikan sebagai seorang wakil raja, maka sudah sepatutnya ia  menggenakan mahkota di kepalanya, namun Bung Hatta rela menjadi wakil raja tanpa mahkota. Dan Bung Hatta tidak menjual kemerdekaannya untuk sebuah sepatu Bally. Ada yang lebih penting dari sekedar sebuah sepatu yang ia kenakan, yaitu sepatu yang sebaiknya dikenakan bagi rakyatnya. Ia tidak berhenti pada pikiran bagaimana menggunakan kemerdekaannya untuk memerdekakan orang lain, namun juga mewujudkannya dalam perbuatan. Maka Ia adalah contoh manusia yang merdeka sejak dari pikiran hingga perbuatannya, kemerdekaan yang membantunya menjadi manusia jujur dan sederhana. Ia tidak berhenti pada tingkat fisik (kasat mata), tetapi lebih pada pencapaian pembebasan dari keinginan-keinginan duniawi. Lalu bagaimana dengan pejabat kita di jaman ini? Jawaban Anda menentukan pemahaman tema “Mari Kita Jaga Stabilitas Politik dan Pertumbuhan Ekonomi Kita Guna Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat”, sebagai cara memerdekakan rakyat atau malah menguatkan sepatu-sepatu kekuasaan yang menindas rakyat.

Sekilas Tentang Inggit Garnasih

Gerundelan diambil dari Dokumen Salakanagara

gambar diunduh dari http://aleut.wordpress.com
gambar diunduh dari http://aleut.wordpress.com

Perjalanan hari ini pendek saja, jaraknya mungkin tidak sampai 2km, mulai dari Gedung MKAA sampai ke rumah Inggit Garnasih di Jl. Inggit Garnasih No. 8. Rumah ini mirip sebuah dapur. Dapur bagi perjuangan politik menuju kemerdekaan RI.

Banyak tokoh perintis kemerdekaan RI yang pernah menumpahkan ide-ide perjuangan mereka di rumah ini, Ki Hajar Dewantoro, Agus Salim, HOS Cokroaminoto, KH Mas Mansur, Hatta, Moh Yamin, Trimurti, Oto Iskandardinata, Dr Soetomo, MH Thamrin, Abdul Muis, Sosrokartono, Asmara Hadi, dan lain-lain. Di rumah ini pula diskusi-diskusi dilansungkan dan kemudian melahirkan berdirinya Partai Nasional Indonesia (PNI, 1927), Sumpah Pemuda (1928), dan Partindo (1931).

Inilah rumah tinggal milik Inggit Garnasih, istri seorang intelektual muda yang kemudian hari menjadi presiden RI pertama, Soekarno. Inggit dilahirkan di Kamasan, Banjaran tanggal 17 Februari 1888. Pada usia 12 tahun Inggit sudah menikah dengan Nata Atmaja seorang patih di Kantor Residen Priangan. Perkawinan ini tidak bertahan lama dan beberapa tahun kemudian Inggit menikah lagi dengan seorang pedagang kaya yang juga tokoh perjuangan dari Sarekat Islam Jawa Barat, H. Sanoesi. Mereka tinggal di Jl. Kebonjati.

Tahun 1921, datanglah ke rumah mereka seorang intelektual muda dari Surabaya yang akan melanjutkan pendidikan ke THS (sekarang ITB). Saat itu Soekarno muda datang bersama istrinya, Siti Oetari, puteri dari Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Hubungan Soekarno dengan Oetari ternyata tidak pernah selayaknya suami-istri, Soekarno lebih menganggap Oetari sebagai adiknya saja. Di sisi lain, Soekarno menaruh cinta pada Inggit Garnasih.

Soekarno akhirnya menceraikan Oetari. Dan ajaib, H. Sanoesi merelakan Inggit untuk dinikahi oleh Soekarno. Mereka menikah pada 24 Maret 1923. Alasan apa yang membuat H. Sanoesi mau melakukan itu tetap menjadi misteri mereka hingga sekarang. Menurut Bpk. Tito Zeni, cucu Inggit, kemungkinan karena H. Sanoesi melihat ada banyak harapan perjuangan pada diri Soekarno. Untuk itu Soekarno memerlukan seorang pendamping yang tepat. Dan Inggit, bagian dari perjuangan Sarekat Islam, adalah perempuan yang paling tepat. Kemudian hari terbukti, Inggit selalu mendampingi Soekarno dalam setiap kegiatan politiknya.

Soekarno-Inggit sempat beberapa kali pindah rumah, ke Jl. Djaksa, Jl. Pungkur, Jl. Dewi Sartika hingga akhirnya ke Jl. Ciateul. Rumah terakhir ini menjadi pangkalan para intelektual muda dalam menggodok pemikiran-pemikiran kebangsaan Indonesia. Rumah ini juga dijadikan tempat penyelenggaraan kursus-kursus politik yang diberikan oleh Soekarno.

Inggit selalu mengambil peran terbaiknya sebagai pendamping dalam setiap kegiatan politik Soekarno, saat keluar masuk penjara akibat kegiatan politiknya, maupun ketika dibuang ke Ende, Flores (1934-1938), dan juga waktu dipindahkan ke Bengkulu (1938-1942), Inggit selalu di samping Soekarno.

Di Bengkulu, Soekarno menampung seorang pelajar, putri dari Hassan Din bernama Fatma. Soekarno dan Inggit tidak memiliki keturunan. Dengan alasan itu Soekarno meminta izin pada Inggit untuk menikahi Fatma. Inggit menolak untuk dimadu, dia memaklumi keinginan Soekarno, namun juga memilih bercerai. Mereka kemudian bercerai di Bandung pada tanggal 29 Feruari 1942 dengan disaksikan oleh KH Mas Mansur. Soekarno menyerahkan surat cerainya kepada H. Sanoesi yang mewakili Inggit.

19 tahun sudah Inggit mendampingi Soekarno sejak masih berupa bibit intelektual muda dalam perjuangan memerdekakan Indonesia, pergelutannya dengan berbagai pemikiran kebangsaan, sampai pematangannya dalam penjara-penjara dan pembuangannya hingga ke Ende dan Bengkulu. Inggit mendampingi seluruh proses pembelajaran Soekarno hingga menjadi dan setelah itu kembali ke rumahnya yang sekarang menjadi sepi di Jl. Ciateul No. 8.

Inggit Garnasih menjalani pilihannya persis seperti yang digambarkan dalam judul buku roman-biografis Soekarno-Inggit karya Ramadhan KH, “Kuantar ke Gerbang” (1981), Inggit hanya mengantarkan Soekarno mencapai gerbang kemerdekaan RI, ke gerbang istana kepresidenan RI. Walaupun begitu, saya merasa lebih suka bila boleh mengatakan Inggit tidak sekadar mengantarkan, namun juga mempersiapkan Soekarno menuju gerbang itu. Soekarno kemudian memroklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan menjadi presiden pertama untuk periode 1945-1966.

Inggit sempat mengungsi ke Banjaran dan Garut pada masa Agresi Militer I & II (1946-1949) sebelum kembali lagi ke Bandung dan tinggal di rumah keluarga H. Durasid di Gg. Bapa Rapi. Rumah Jl. Ciateul rusak karena peristiwa Agresi Militer dan baru dibangun ulang dengan bangunan permanen pada tahun 1951 atas prakarsa Asmara Hadi dkk. Di sini Inggit Garnasih melanjutkan hari tua hingga akhir hayatnya. Inggit wafat pada 13 April 1984 dalam usia 96 tahun dan dimakamkan di permakaman Caringin (Babakan Ciparay), Bandung.

Soekarno wafat lebih dulu pada 21 Juni 1970 di Jakarta. Inggit yang renta masih sempat melayat ke rumah duka dan mengatakan, “Ngkus, gening Ngkus teh miheulaan, ku Nggit didoakeun…”

Rumah peninggalan Inggit di Jl. Ciateul No. 8 sekarang selalu tampak sepi. Sudah bertahun-tahun sepi. Sempat terbengkalai tak terurus, kemudian dipugar hanya untuk menemui sepi kembali. Beberapa waktu lalu, rumah ini kembali mengalami beberapa perbaikan, temboknya dicat bersih dan di halaman depan dipasang bilah beton bertuliskan “Rumah Bersejarah Inggit Garnasih”. Mungkin sebuah upaya untuk menghargai sejarah yang sayangnya, tetap saja disambut sepi.

Memang begitulah apreasiasi kita terhadap sejarah bangsa sendiri, seringkali masih tampak lemah. Masih banyak di antara kita yang terus saja mengandalkan dan mengharapkan orang lain untuk melakukan sesuatu sementara kita duduk anggun membicarakan berbagai masalah dalam masyarakat tanpa pernah menyadari bahwa kaki kita tidak menjejak bumi, bahwa tangan kita tak berlumpur karena ikut berkubang dalam berbagai persoalan masyarakat.

Akhirulkalam, bagi saya, Inggit adalah seorang pendamping yang luar biasa, dia bukan pendamping yang sekadar melayani, melainkan pendamping yang menjaga, merawat, dan mengarahkan. Seorang pendamping yang berdaulat atas keputusannya sendiri.

Semasa hidupnya Inggit Garnasih mendapatkan dua tanda kehormatan dari pemerintah RI. “Satyalancana Perintis Kemerdekaan” yang diberikan pada tanggal 17 Agustus 1961 dan “Bintang Mahaputera Utama” yang diserahkan di istana negara pada tanggal 10 November 1977 dan diterima oleh ahliwarisnya, Ratna Djuami.

Nama Sukarno di sini masih ditulis dengan bentuk populernya, dieja dengan ‘oe’ menjadi Soekarno. Namun sebetulnya, sejak diresmikannya Ejaan Republik (sering disebut juga Ejaan Suwandi) pada 19 Maret 1947 menggantikan Ejaan van Ophuijsen, Sukarno menginginkan agar namanya juga dieja berdasarkan ejaan baru tersebut. Sementara mengenai tandatangannya yang masih menuliskan ‘oe’, Sukarno mohon permakluman karena kesulitan mengubah kebiasaan yang sudah dilakukannya selama puluhan tahun.

(Dicandak tina : http://rgalung.wordpress.com/)

Sumber:

  • Cindy Adams, 1966, Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat, Gunung Agung, Jakarta.
  • Obrolan dengan Bpk. Tito Zeni Asmara Hadi, putra Ratna Djuami & Asmara Hadi, cucu Inggit Garnasih, pada tanggal 13 dan 30 Januari 2011.
  • Ramadhan KH, 1981, Kuantar ke Gerbang, Bandung.
  • Wiana Sundari (ed), Dra Eha Solihat, Drs. Eddy Sunarto, Dra., “Rumah Bersejarah -Inggit Garnasih”, Disparbud Pemprov Jabar, Bandung.

 

Artikel Terkait:

Kisah di Balik Pintu

Peluncuran Buku ‘Kisah di Balik Pintu’

Korupsi Pertama Sebuah Bangsa

Gerundelan Hendi Jo

gambar diunduh dari uniknyaindonesia.blogspot.com
gambar diunduh dari uniknyaindonesia.blogspot.com

Beberapa waktu yang lalu, saya pernah menulis tentang prilaku para pejuang dan lasykar yang kerjaannya “nyusahin” rakyat di daerah pendudukan selama Perang Kemerdekaan berlangsung (1945-1949). Mereka yang mengatasnamakan pejuang kemerdekaan, sesungguhnya hanya terdiri dari para “penumpang gelap” revolusi: berlaku gagah-gagahan tapi kerjaannya hanya merampok, menggarong dan memperkosa (mayoritas korbannya perempuan-perempuan Belanda dan Indo).

Tapi sesungguhnya prilaku konyol dan merugikan itu bukan hanya milik para bawahan saja ataupun terbatas hanya prilaku kaum bersenjata semata. Laiknya hari ini, di tingkat pejabat, praktek penggarongan dalam nama korupsi pun juga terjadi. Bahkan dengan memakan korban jumlah uang yang lumayan banyak. Inilah salah satu kisahnya.

Juni 1948, Presiden Sukarno melakukan muhibah ke Aceh. Di ranah rencong tersebut, ia tidak saja disambut secara gempita tapi juga didapuk oleh tokoh-tokoh setempat untuk menyebut sesuatu hal yang menjadi kebutuhan urgen dari pemerintah barunya. “Alangkah baiknya jika Indonesia mempunyai kapal udara untuk membuat pertahanan negara dan mempererat hubungan antara pulau dan pulau…”kata Sukarno seperti dituliskan oleh M. Nur El Ibrahimy dalam Kisah Kembalinya Tengku Muhammad Daud Beureueh ke Pangkuan Republik Indonesia (1979).

Begitu keluar ucapan tersebut dari mulut Sukarno, tanpa banyak cakap, rakyat Aceh merogoh saku dan mencopot perhiasan yang ada di tubuh mereka. Begitu tingginya semangat untuk berkorban, hingga konon antrian para donatur (terdiri dari kalangan kaya maupun kalangan biasa) di beberapa masjid dan pusat pemerintahan Kotaradja (sekarang Banda Aceh) panjangnya sampai ratusan meter. Beberapa jam kemudian terkumpulah dana sebesar 120.000 straits dollar ditambah 20 kg emas.

Singkat cerita, dana itu kemudian diancer-ancer untuk membeli sebuah pesawat terbang. Sebagai pimpro dipilihlah Wiweko Soepono, penerbang senior Indonesia sekaligus salah satu direktur Garuda paling sukses sepanjang sejarah. Dengan bekal wessel 120.000 straits dollar ia kemudian terbang untuk mencari pesawat di Thailand. Namun anehnya, saat Wiweko ke bank, mereka hanya bilang dana yang ada tinggal 60.000 straits dollar saja. Raib 50%!

Wiweko akhirnya mafhum, dirinya “dibokisin”. “Saya hanya menerima setengah dari dana sumbangan…,” ungkapnya ketika diwawancara oleh Majalah Angkasa pada tahun 2000.

Soal siapa yang bokis dalam masalah ini, Wiweko mengaku tak tahu sama sekali. Ia pun tak mau berspekulasi bahwa pemberi wessel (yang enggan ia sebut namanya) adalah penilep sebagian uang sumbangan itu. Untuk menghindari fitnah dan intrik, Wiweko memotokopi pencairan wessel tersebut. Hingga dirinya beranjak tua, fotokopi wessel itu tetap ia simpan.

Dengan uang 60.000 straits dollar, perwira Angkatan Udara Republik Indonesia itu berhasil membawa pulang sebuah Dakota DC-47B yang kemudian diberi nama Seulawah (artinya Gunung Emas). Nomor registrasi penerbangannya: RI-001. Pesawat itu kemudian secara resmi menjadi pesawat kepresidenan pertama sebelum beberapa tahun kemudian dikomersialisasi untuk melayani penerbangan sipil di Burma.

Lantas, bagaimana kabar uang 60.000 staits dollar dan 20 kg emas hasil sumbangan dari rakyat Aceh? Laiknya kasus-kasus mega korupsi yang terjadi kemudian, soal itu seolah sirna, tertumpuki cerita-cerita sejarah yang lainnya hingga orang-orang lupa sama sekali . Indonesia banget ya?

Revolusi dan Kesusastraan

Goenawan Muhammad
Goenawan Muhammad (Photo credit: Wikipedia)

Gerundelan Goenawan Mohamad

Jika revolusi adalah “pengejawantahan budi-nurani kemanusiaan”, seperti dikatakan Presiden Soekarno, bisakah kita menolak menempatkan diri di dalamnya? Di tahun 1948, di Perancis, Albert Camus berkata: “Bukan karena perjuanganlah kita menjadi seniman, tetapi karena kita seniman maka kita menjadi pejuang-pejuang”. Dengan kata lain ada hubungan yang wajar dan logis antara keduanya. Kita tak perlu melepaskan kesenian dari diri kita dalam revolusi atau perjuangan itu. Kesenian dan kesusastraan juga suatu “revolusi”:secara langsung atau tak langsung ia memperjuangkan kembali untuk hati nurani yang pada suatu masa dikaburkan, atau belum ditemukan, oleh suatu sejarah. Maxim Gorky, Multatuli, Jose Rizal. Dalam kenyataan juga sering terlihat, bagaimana benih dan semangat revolusi terungkap dengan jelas dalam karya-karya sastra.

Tapi tidakkah dengan begitu kesusastraan akan merupakan propaganda revolusi, suatu alat? Kesusastraan bukanlah semata-mata alat, meskipun mempunyai aspek itu, seperti kita mengakui bahwa kesusastraan bukanlah pensil atau pistol. Sebab kesusastraan mengandung fungsi komunikasi yang langsung. Ia membutuhkan faktor kemerdekaan, agar sifatnya tetap otentik. Jika kita memang membutuhkan kesusastraan sekarang dan di sini untuk itu, keretakan antara kesusastraan dan revolusi tidak harus terjadi.

Keretakan antara kesusastraan dan revolusi terjadi bila salah satu menjadi reaksioner, menyimpang dari cita-cita semula. Dalam sejarah memang terjadi hal itu, ketika kekuatan revolusi berpindah kepada kekuatan kekuasaan. Di situ sebenarnya telah terjadi sektarisme. Di situ sebenarnya telah terjadi penganutan paham, aliran atau sistim pemikiran secara dogmatis serta tegar, dan telah tumbuh sikap tak terbuka dalam menghadapi persoalan, dalam mencari kebenaran suatu masalah. Di situ telah terjadi kecenderungan kuat untuk menolak atau memalsukan kebenaran-kebenaran yang tidak tercakup oleh pemikiran sendiri. Dengan kata lain: satu proses kebohongan. Jika revolusi telah berpindah kepada kekuatan kekuasaan semata-mata, maka dasar kemanusiaan yang terdapat dalam tujuannya semula pun digilas dan dihancurkan.

Bagi kesusastraan itu merupakan suatu kontradiksi. Tak ada suatu kreasi kesusastraan yang berharga tanpa mempunyai dasar semacam kasih. Tentu saja harus dimaklumi, bahwa tindakan-tindakan politik, adanya penggunaan kekuasaan dalam revolusi – yang sering bisa mengganggu tidur nyaman dan hati nurani kita – merupakan suatu hal yang tak terelakkan sama sekali. Hanyalah harus dijaga, agar kita tidak kemudian menjadi kebal dan tebal muka akan kejadian-kejadian demikian. Saya kira justru di situlah letak kesusastraan dalam revolusi: di satu pihak ia adalah kritik terhadap kebudayaan yang harus tumbang oleh revolusi, di lain pihak ia adalah kritik terhadap ekses-ekses revolusi sendiri.

15 September 1962

Naskah diambil dari Buku Kesusastraan dan Kekuasaan

Soal Ham dan Pemberangusan: Sekitar Polemik Pramoedya Lekra vs Manikebu

Oleh A.Kohar Ibrahim

polemik kebudayaanBung GM, dalam tanggapannya, antara lain menegaskan:

“Bagi saya, yang perlu adalah merintis bersama sebuah masa baru bagi Indonesia, setelah kita menempuh sebuah masa silam yang berdarah, kotor dan penuh kebencian – agar semua itu tak terulang lagi.”

Implementasi kongkritnya bagaimana? Secara prinsip saya setuju sekali dengan itikad yang luhur itu, dengan menarik pelajaran dari pengalaman. Tetapi baru pendapat orang perseorangan macam Bung GM. Hanya seorang penandatangan Manikebu juga peserta KKPI atau anggota PKPI. Tapi bagaimana yang lainnya? Seantero anggota, sponsor dan pendukungnya. Terutama sekali kaum militeris yang kemudian memegang tampuk kekuasaan Orba Jendral.

“Sudah lama saya telah memilih jalan ini, dan melakukan apa yang saya bisa, di tengah situasi yang tak mudah di bawah pengawasan Orde Baru,” tegas GM.

Iya. Bagaimana pula dalam praktek atau kenyataannya? Untuk itu saya acungkan jempol. Namun, lagi-lagi hanya “sebatas” skop “ke-saya-an” Bung GM sendiri. Bagaimana kongkritnya yang lain? Yang bersifat kolektif, terorganisasi atau kelembagaan. Baik berupa penerbitan majalah Horison, pendudukan di lembaga-lembaga penerbitan lainnya maupun berupa Dewan Dewan Kesenian, seminar, konferensi ini dan itu? Bukankah semua posisi penting aktivitas kebudayaan dan kesenian tersebut telah dihegemoni kaum Manikebuis alias pendukung Orba Jenderal belaka? Sedangkan orang-orang macam Pram atau orang-orang Lekra dan lainnya tetap saja berada di luar pagar, difitnah dan dimusuhi? Bahkan ketika ada pujian, penghargaan atau pembelaan secara obyektif atas hasil kreasi mereka pun, terhadap kaum yang peduli bukan saja tak diucapkan terima kasih malah dimusuhi pula adanya?

Sungguh, saya pun masygul, Bung GM. Jika mengingat bagaimana perilaku kaum penguasa kebudayaan Orba Jendral mengibar panji humanisme universil, pembela dan yang mempersucikan Pancasila dengan Sila Perikemanusiaan, namun dalam prakteknya berkenaan dengan kekuasaan, ternyata hanya menjalani tongkat komando kaum militeris anti-komunis. Mengucilkan semua mereka yang diberi cap terlibat “G30S/ PKI”, sebagai kaum penganut ideologi diharamkan: MarxisLeninis-Komunis. Makanya sah-sah saja terus diberangus, tidak diizinkan mengekspresikan diri yang merupakan hak azasi baik dengan tulisan (di penerbitan berupa majalah dan koran-koran) maupun secara lisan di berbagai forum seminar atau konferensi.

Iya mengingat semua itu, sungguh saya masygul, Bung GM. Kemasygulan yang agak terlipur ketika berupaya memahami persoalan, dan mendapatkan informasi seorang Indonesianis macam David Hill, dari makalahnya berjudul “Siapa Yang Kiri” (Sastra Indonesia Pada Mula Tahun 80-an). Menurut David Hill, konferensi atau seminar di TIM (diorganisir oleh Horison dan Tempo), dan penerbitan majalah adalah dalam rangka implementasi politik anti-komunis. Majalah Horison, yang didirikan dalam bulan Juni 1966, selama bulan-bulan sengit setelah coup yang menaikkan kaum konsevatif ke atas tahta adalah barisan depan seniman sayap kanan. Dengan menggelarkan Mochtar Lubis sebagai pimpinan, yang kepadanya seniman-seniman muda menganggapnya sebagai tokoh pimpinan politik dan kesenian, maka dewan redaksi mengumpulkan banyak penanda-tangan Manifes Kebudayaan dan mengabadikan pandangan seni dan sastra tersebut.”

Begitulah, antara lain, fakta yang mencerminkan betapa pesta kemenangan kekuasaan yang berjaya dari kaum Manikebuis. Dalam kaitan penikmat menikmati kekuasaan di institusi kebudayaan, saya jadi teringat akan adanya (lagi, seperti diinfokan David Hill) Seminar yang diorganisir Horison bulan Agustus 1982. Dengan topik tentang “Peranan Sastra Dalam Perubahan Sosial” yang diilhami oleh polemik antara Goenawan Mohamad dan Sutan Takdir Alisyahbana, mengenai fungsi sosial kesusastraan dan nilai tulisan berkonteks sosial. Muncul beberapa komentar. Akan tetapi, menurut David Hill, “penyair Sutardji Calzoum Bachri umpamanya, tidak melihat keharusan menggunakan puisinya sebagai mekanisme perubahan sosial. Ia mentertawakan dan meremehkan soal itu dengan menyatakan bahwa seorang penyair itu bodoh untuk membacakan sajak ketika berhadapan dengan tank yang sedang maju.”

Tetapi, tertawaan dan opini Tardji itu bisa jadi inspirasi untuk menggubah parodi: Bagaimana kalau para penyairnya itu bukan dalam posisi berhadapan dengan tank, melainkan membonceng atau ngintilin di belakang? Seperti yang terjadi di tahun 1966: Bersama pasukan militer “Yang Menang Sebelum Bertempur!”

Duh! Ironisnya! Tak urung para penyair, pengarang dan jurnalis macam itu juga yang setelah terjadinya kudeta militer berhasil, jadi bagian pelaksana mesin propaganda Orba Jendral. Menduduki posisi-posisi penting berbagai lembaga media ma-ssa maupun dewan-dewan kesenian di Jakarta maupun di dae-rah. Maka pemberangusan terhadap para wartawan, budayawan, seniman, sastrawan dan penyair oleh penguasa Orba Jenderal dilanggengkan. Bukan setahun dua tahun, tapi ber-dasa-dasa-warsa lamanya!

Ah, Bung GM, bagaimana orang semacam saya tak masygul mengingat kenyataan ini? Dan korbannya bukan hanya saya seorang, melainkan syak-gudang banyaknya! Termasuk yang paling kondang: Pramoedya Ananta Toer.

Lantas saya jadi tergugah seraya menggugat karena ujar kata Voltaire: “Sungguh pun aku benci pandanganmu, tapi akan kubela dengan jiwaku sendiri hakmu untuk mengutarakannya.” (MIMBAR N 1, 1990; Amsterdam, Editor: Dipa Tanaera alias A.Kohar Ibrahim).

Sungguh! Kisah-kisah ragam macam lagu manusia itu memang bisa merupakan tragedi dan bisa sebagai komedi, bahkan bisa digubah ubah jadi parodi!

Dalam soal pemberangusan untuk berekspresi menyatakan perasaan dan pikiran yang merupakan salah satu hak azasi manusia, agaknya sikap dan kesadaran orang memang ternyata tidaklah seragam. Bisa cepat sadar bisa pula bebal tak ketulungan! Ada juga yang menafsirkan atau memberi warna menurut selerasanya sendiri-sendiri. Seperti tafsiran ala Ikra dan semacamnya. Sedangkan bagi saya: Humanisme hanya satu! Yakni Humanisme itu sendiri. Karena, meskipun sekian miliar jumlahnya, sekian banyak macam warna dan besar kecilnya, umat manusia itu ya seumat manusia belaka yang jadi penghuni bola bumi yang bundar dan indah ini. Iya, tak?

Oleh karena itu, kiranya bisa Bung GM ketahui sudah, dengan penerimaan saya atas HAM yang dideklarasikan 10 Desember 1948 oleh PBB, dan penganut opini Voltaire tersebutkan itu, maka jelaslah posisi saya.

Akan halnya untuk memberikan pembuktian, akan jejak langkah saya atau aktivitas-kreativitas saya, memang tidak nampak oleh Bung GM, yah? Bukan salah Bung. Pun bukan salahku! Tapi terutama sekali salahnya sang penguasa Orba Jendral itu, lho!

Tapi, bagaimana pun juga, meski bak setetes air di samudera, bisalah dilacak jejak-langkah saya itu. Baik dalam karya lukis atau gambar maupun karya tulis atau penerbitan. Termasuk yang membela penerbitan Bung ketika dibredel Orba Jendral. (Simak Majalah ARENA N 14 1995, Culemborg. Editor : A.Kohar Ibrahim).

*

Catatan:

(1).Naskah ini pertama kali disiar milis ACI – Art-Cultur Indonesia, kemudian beberapa media internet lainnya.

Dipetik dari buku: “Sekitar Polemik Pramoedya-Lekra vs Manikebu” Penerbit: Titik Cahaya Elka, Batam.

(2).Biodata: tertuju bagi peminat dan pembaca mengetahui tonggak-tonggak jejak akivitas kreativitas Abe A.Kohar Ibrahim.

Jika Kamu Lelah Mendengar ‘Budaya Perkosaan’

Artikel Lauren Nelson

Suntingan dan Alih Bahasa RetakanKata

Seseorang bertanya padaku hari ini,” Apa yang dimaksud dengan budaya perkosaan itu? Aku lelah mendengar semua itu.”

Ya. Aku mendengar dan aku juga lelah membicarakannya. Tetapi aku akan tetap membicarakannya sebab orang sepertimu terus menerus menanyakan hal yang sama.

Budaya perkosaan adalah:

 Ketika sekelompok atlet memperkosa gadis belia dan meskipun ada puluhan saksi mata namun tak seorang pun berkata, “Hentikan!”

Ketika sekelompok atlet memperkosa gadis belia dan meskipun ada puluhan saksi mata namun mereka tidak menemukan seorang pun membantu.

Ketika sekelompok atlet memperkosa gadis belia dan orang tua mendapatkan informasi itu namun tidak ada konsekwensi apapun karena sang lelaki berkata.”tidak terjadi apa-apa!”

Ketika sekelompok atlet memperkosa gadis belia dan di kemudian hari kita mendapati para pelatih mereka menjadikan itu sebagai sebuah lelucon dan tetap melestarikannya.

Ketika sekelompok atlet memperkosa gadis belia dan meskipun para staf menenukan dokumentasi tersimpan di bawah karpet sang pelatih, mereka tetap bekerja seperti biasa.

Ketika sekelompok atlet memperkosa gadis belia, dan sang pelatih mengancam reporter yang berkata,”Temukan dirimu. Jika tidak, maka seseorang akan menemukanmu”, tetapi penghuni kota lebih khawatir kehilangan pelatih mereka yang berbakat daripada kehilangan integritas.

Ketika sekelompok atlet memperkosa gadis belia, mereka mengambil foto dari setiap proses perkosaan dan dijadikan lelucon di berbagai jejaring sosial, menggunakan hashtag menyebarluaskan kejahatan.

gambar dari www.rantagainsttherandom.wordpress.com
gambar dari http://www.rantagainsttherandom.wordpress.com

Budaya perkosaan adalah:

Ketika sekelompok atlet memperkosa gadis belia, dan seseorang membuat lelucon di video,”Gadis itu telah diperkosa.””Mereka memperkosa lebih cepat dari Mike Tyson!” dan yang lain terbahak-bahak.

Ketika sekelompok atlet memperkosa gadis belia dan seluruh kota lebih berkonsentrasi meningkatkan pelayanan mereka pada program sepakbola daripada memperhatikan kenyataan anak-anak mereka di bawah ancaman tanpa rasa bersalah.

Ketika sekelompok atlet memperkosa gadis belia dan media-media menyesalkan fakta bahwa masa depan yang menjanjikan telah dihancurkan oleh kejahatan mereka, seolah-olah mereka adalah korban.

Ketika sekelompok atlet memperkosa gadis belia dan meskipun ia belum cukup umur, namun nama korban perkosaan berumur 16 tahun disebar luas di stasiun televisi nasional.

Ketika sekelompok atlet memperkosa gadis belia, tetapi karena perkosaan terjadi di sebuah pesta seks dan minuman, orang asing di internet bisa begitu galak berpendapat bahwa perempuan itulah yang salah membiarkan dirinya menjadi korban serangan.

Ketika sekelompok atlet memperkosa gadis belia dan anggota masyarakat menyebarkan isu: korban perkosaan mendapat ancaman pembunuhan.

Ketika sekelompok atlet memperkosa gadis belia, seluruh media sosial mendokumentasikan dan memberi tahu kita untuk berhati-hati melakukan posting di media sosial.

Ketika sekelompok atlet memperkosa gadis belia dan ketika upaya menutup-tutupi kejahatan di-ekspose para hacker, kita menyebutnya aksi teroris dan menyalahkan korban.

Ya, aku sedang berbicara tentang Steubenville. Lelah mendengar semua ini? Baiklah, mari kita berbicara sesuatu yang lain.

Budaya perkosaan adalah ketika Steubenville begitu jauh sebagai contoh pertama sebuah klub atletik yang menutupi tuduhan kekerasan seksual.

Budaya perkosaan adalah ketika kampus-kampus di seluruh pelosok negeri tidak melaporkan kejadian ke polisi namun cukup dikelola para pejabat yang terhormat yang malah melindungi pelaku dari konsekwensi perbuatan jahat mereka.

Budaya perkosaan adalah ketika universitas mengancam mengeluarkan siswa yang berbicara bahwa dia diperkosa (bahkan tanpa sempat mengidentifikasi sang pemerkosa), sebab menceritakan penderitaannya adalah sebuah pelecehan.

Budaya perkosaan adalah ketika pelawak yang sepanjang karirnya menggunakan perkosaan dan pelecehan seksual sebagai bahan lelucon, tetap dipertahankan oleh komunitas leluconnya dan tidak kehilangan penggemarnya.

Budaya perkosaan adalah ketika jurnalis mengatakan ini:

            Saya pikir, keseluruhan percakapan ini tidak benar. Saya tidak ingin seseorang pun berbicara tentang perempuan. Saya tidak ingin seorang lelaki berkata pada saya mengenai apa yang harus saya pakai, bagaimana harus berperilaku atau bahkan bagaimana minum. Dan sejujurnya, saya tidak ingin kamu berkata bahwa saya butuh senjata untuk mencegah perkosaan. Dalam kasus ini, jangan beri tahu saya bahwa meski dengan senjata, saya luput dari perkosaan. Jangan meminta saya untuk mencegah perkosaan.

…dan inilah respon masyarakat…

Budaya perkosaan adalah ketika politisi tidak mengerti bagaimana tindakan aborsi yang dicari para korban perkosaan adalah serupa dengan memperkosanya sekali lagi.

Budaya perkosaan adalah ketika para kader partai politik berkata: Tuhan kadang diperkosa, dan beberapa gadis begitu mudah diperkosa, dan perkosaan yang legal tidak akan menyebabkan kehamilan, namun mereka tidak pernah kehilangan dukungan konstituen maupun dukungan pimpinan partainya.

Budaya perkosaan adalah ketika seorang berpidato pada sebuah konvensi politik membuat lelucon kekerasan seksual dan ia membuat gedung perwakilan itu nyaris runtuh karena gelak tawa.

Budaya perkosaan adalah ketika kita menghabiskan banyak waktu untuk memberi tahu perempuan agar mengubah perilaku mereka supaya tidak diperkosa, mengembalikan kesalahan pada sang korban.

Budaya perkosaan adalah ketika hak-hak istimewa dan ketololan yang disengaja bergabung menjadi satu seperti iklan-iklan ini:

voice-for-men

BECAUSE THIS HAS BEEN A POINT OF CONFUSION – NO, ALL MEN ARE NOT RAPISTS.
THE FOLLOWING AD IS A REPREHENSIBLE ATTEMPT BY AN MRA GROUP TO UNDERMINE PRODUCTIVE DIALOGUE ON RAPE CULTURE BY FALSELY ASSOCIATING IT WITH INFLAMMATORY STATEMENTS.

WE GOOD? GOOD.

Budaya perkosaan adalah ketika perempuan berbicara keluar dan menjadikan dirinya contoh yang dibicarakan.

Budaya perkosaan adalah ketika kita melihat iklan seperti ini terlalu sering muncul di layar.

belvedere-ad

rape-jump

dominos

Budaya perkosaan adalah ketika kamu lelah mendengar ini karena membuatmu tidak nyaman dalam posisi diammu dan tidak pernah memunculkan cukup kesadaran untuk melawan semua itu,- inilah sebab mengapa budaya ini masih berkeliaran.

Yah…Maaf jika kamu lelah mendengar semua ini. Tetapi, bukankah kita tidak berharap kita tutup mulut selekas ini, bukan?

Sumber tulisan dan gambar dari rantagainsttherandom.wordpress.com

Buku, Musik dan Film

Gerundelan Binandar Dwi Setiawan

Ini hanya sekedar catatan. Cara saya untuk menghabiskan waktu, cara yang lumayan menyenangkan. Juga untuk mengingat periode-periode dalam waktu yang telah saya habiskan selama dua puluh tiga tahun ini, mengenai beberapa karya yang sedikit banyak menarik minat saya, menguras perhatian saya, dan atau bahkan menginspirasi saya, mengubah cara berpikir. Setidaknya ini bisa dikatakan sebagai rangkuman tentang tiga hal yang selama ini selalu memiliki peran dalam kehidupan saya, entah sebagai penyakit entah sebagai suplemen, entah sebagai dokter entah sebagai perawat, entah sebagai obat entah sebagai racun, atau apapun lainnya yang lebih luas dari penggambaran penggambaran d iatas itu,  yakni Buku, Musik, dan Film.

Yang pertama adalah tentang buku. Buku, dalam hemat pemikiran saya adalah cara paling brilian sekaligus paling dermawan dalam dunia kita untuk berbagi. Melalui sebuah buku, kita bukan hanya bisa berbagi segala apa yang telah kita tahu atau kita anggap sebagai pengetahuan, tetapi juga bisa berbagi tentang keresahan-keresahan, tentang apapun yang kita ingin bagi. Hal istimewanya, buku acap kali melakukan sesuatu lebih dari yang dia bisa, paham tidak maksud saya, sebagai contoh saja, jadi kadang-kadang ada seorang penulis yang mengandalkan beberapa kalimat sebagai penggambar sesuatu, sebenarnya yang digambarkan oleh penulis adalah rumah tapi bisa terjadi yang tertangkap oleh pemahaman pembaca justru apartemen, hotel, atau bahkan istana. Itulah kenapa kemudian pena menjadi lebih tajam dari pedang.

Saya pertama kali menamatkan sebuah buku, maksud saya menghabiskan dari halaman pertama sampai halaman terakhir, ketika usia kelas tiga atau kelas empat sekolah dasar, barangkali umur delapan atau sembilan tahun, buku itu sekitar tiga ratus sekian halaman. Waktu itu saya merasa biasa saja, baru di kemudian hari setelah agak remaja saya sadari kalau menamatkan buku setebal itu merupakan hal yang agak di luar kebiasaan anak-anak seumuran itu. Buku itu sudah saya lupa judulnya maupun pengarangnya, covernya berwarna hitam dengan gambar Ka’bah yang dikelilingi jutaan manusia, kertasnya sudah buram dengan prosentase gambar yang hanya sekitar lima persen dari keseluruhan halaman. Berkisah tentang perjalanan hidup dua puluh lima rasul yang wajib dipercayai. Saya tidak tahu karena apa, mungkin karena itu buku pertama yang saya selesai baca, jadi buku itu cukup berkesan, seperti peletak dasar pertama mengenai bagaimana baik itu, atau bagaimana buruk itu, bahkan tanpa mengurangi hormat saya sedikitpun, buku itu jauh lebih mengajari saya ketimbang kedua orang tua saya.

Setelah buku itu, saya mengalami rentang waktu yang relative panjang tanpa membaca buku, kecuali buku pelajaran tentunya. Oh ya, tentang buku pelajaran, di usia antara kelas empat sampai lulus sekolah dasar ada dua tema dalam pelajaran yang selalu saya suka, yakni fisika yang waktu itu masih menyatu  dalam bidang pelajaran  ilmu pengetahuan alam dan sejarah yang masuk ke dalam bidang pelajaran ilmu pengetahuan sosial. Untuk fisika, saya menyukai tema bunyi dan gelombang, atau tentang tata surya yang menjelaskan gambaran awal untuk saya mengenai matahari, planet, bulan, dan benda-benda langit  lainnya. Untuk sejarah, saya menyukai tentang tema kerajaan-kerajaan, era di mana Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, Jepang belum masuk ke wilayah bersebut Nusantara. Saya menyukai tentang bagaimana Raden Wijaya membangun Majapahit, bagaimana sebuah keris bisa membunuh tujuh keturunan Ken Arok dan Tunggul Ametung, favorit saya tentunya penggambaran bagaimana sebuah kerajaan telah runtuh tetapi kemudian salah seorang keturunan rajanya berhasil melarikan diri untuk membangun kerajaan yang baru. Waktu itu saya berkeyakinan bahwa sesungguhnya setiap kerajaan yang ada di Nusantara ini pasti sejatinya dipimpin oleh satu keturunan yang sama, keyakinan itu sampai sekarang belum berubah. Kedua hal itu, fisika dan sejarah, buku-bukunya selalu saya baca berulang-ulang, beberapa teman sekolah saya mengira saya seorang penghafal yang kuat , tapi yaa sebenarnya tidak, itu lebih karena saya menyukai dan karena memang saya baca berulang-ulang, jadi yaa mudah saja bagi saya mengingat materi-materinya.

Periode selanjutnya yakni usia sebelas sampai empat belas tahun ,saya juga tak banyak membaca. Beranjak ke usia lima belas saya mulai mengenal novel sebagai bacaan yang asyik. Saya bertemu dengan Sherlock Holmes, seorang tokoh rekaan fiktif Sir Arthur Conan Doyle, saya membaca semua novel Sherlock Holmes, kalau tidak salah hanya empat atau lima buah tapi kini mengembang menjadi begitu banyak dan tak pernah benar-benar Sir Arthur Conan Doyle yang mengarangnya. Ada satu prinsip Sherlock Holmes yang saya kagumi, yakni ketika setiap dugaan tak memiliki bukti kebenarannya, maka dugaan terakhir yang tersisa semustahil apapun itu, itulah kebenarannya. Melalui Sherlock Holmes saya juga belajar bahwa setiap manusia seharusnya berpikiran terbuka terhadap setiap kemungkinan.

Setelah Sherlock Holmes, saya tertarik dengan bacaan sastra, khususnya cerpen dan novel. Tetapi rupanya saya mengalami apa ya namanya, semacam kesalahan atau mungkin boleh dibilang ketidaktepatan dalam memilih sebuah karya. Saya katakan tidak tepat karena waktu itu saya sering memilih bacaan terbaik dalam jenisnya saat pertama kali, jadi ketika saya ingin membaca lagi yang sejenis, saya tidak menemukan satu pun karya yang lebih baik. Sebagai contoh saya pertama kali membaca novel detektif, yaa Sherlock Holmes-nya Sir Arthur Conan Doyle, mencari lagi yang lain bertemu  dengan Poirot-nya Agatha Christie, yaa kecewa jadinya. Kalau novel-novel pencerahan pertama kali The Alchemist-nya Paulo Coelho, dan sampai sekarang tak ada novel sejenis yang sebaik The Alchemist. Di dunia cerpen ada Godlob-nya Danarto, ini benar-benar kumpulan cerpen mahakarya, yang bahkan cerpen-cerpen Danarto lainnya sekalipun tak ada yang bisa menandinginya.

Bertemu dengan The Alchemist itu seperti bertemu dengan jatidiri. Bertemu dengan kalimat-kalimat yang saya sendiri mencarinya selama ini. Kebanyakan hal dalam The Alchemist adalah hal-hal yang sebenarnya saya sudah memahaminya, hanya saja tak bisa menjelaskannya dalam bentuk kalimat. Jadi membacanya adalah pengalaman yang hebat bagi saya, lembar per lembarnya selalu membuat saya tercengang, kadang-kadang sambil merasa laahhh ini ni. Setelah Coelho, saya bertemu dengan karya-karya Leo Tolstoy, Rabindranath Tagore, Ben Okri, Dostoyevsky, Kafka, Ernest Hemmingway, Stephen King, Kahlil Gibran,… Mereka itu adalah nama-nama terbaik bagi saya di dunia satra, tetapi tetap saja saya memilih Coelho sebagai yang paling hebat. Salah satu hal hebatnya adalah kemampuannya menyajikan  pelajaran-pelajaran terdalam dengan cara seakan akan itu sebagai pelajaran-pelajaran teringan. Membaca Coelho itu seperti mendapatkan emas dengan cara memetik dari pohon, kita tak perlu bersusah susah sesusah menggali tanah ratusan meter ke dalam.

Oh, ya, tentang Kahlil Gibran saya ingin memberi catatan sedikit. Waktu itu nama ini begitu populer di kalangan lingkungan sekolah saya, hampir setiap teman tahu dan pernah membacanya. Tapi tidak tahu kenapa saya tidak begitu tertarik dengan karya-karyanya, mungkin karena di dalam pikiran saya ada semacam persepsi  bahwa menulis seperti Kahlil Gibran itu gampang, saya anggap gampang karena memang yang ditulis hanya inti-intinya, langsung ke pelajaran-pelajarannya. Kahlil Gibran tidak pernah atau jarang sekali menyembunyikan atau menyamarkan pesan-pesannya, bagi saya karya-karya Gibran terlalu tersurat. Sedangkan menurut saya, penulis yang hebat itu yang bisa memberi pesan dengan tanpa menyertakan kalimat pesannya secara langsung. Karya sastra yang hebat itu adalah sebuah rumah sederhana yang di dalamnya tersimpan almari perhiasan yang terkunci rapat yang tidak seorangpun tahu keberadaannya kecuali penulis dan pembaca yang sebijak penulis itu sendiri. Konteksnya, Gibran terlalu mengumbar almari perhiasannya hingga semuanya tahu.

Godlob, lain lagi ceritanya. Saya membaca Godlob hanya karena bertemu secara sepintas saja dengannya di taman bacaan langganan saya. Berapa kali bertemu tak pernah saya ambil untuk saya bawa pulang ke rumah. Hingga ketika akhirnya saya bingung memilih buku apa yang hendak saya baca, si petugas taman bacaan merekomendasikan Godlob. Godlob ini berisi sekitar belasan cerpen, yang menurut saya semuanya bagus. Danarto sangat khas dengan cerpen-cerpen yang ceritanya tak masuk akal, tokoh-tokohnya unik, seringkali tokohnya bukan manusia, temanya tasawuf. Tasawuf yang biasanya berbentuk bukan cerpen, ditangannya bisa menjadi cerpen, bisa menjadi begitu profokatif. Godlob ini semacam asap yang kemudian saya telusuri terus , membuat saya bertemu dengan apinya, yakni  karya-karya Ibnu Arabi, Al Hallaj, Syekh Siti Jenar, Syekh Ahmad Sirhindi, Al Junayd, dan lain lain sejenisnya. Jika soal kualitas cerpen setelah Danarto ada lagi nama besar yang semua karyanya saya suka, AA Navis.

Setelah Godlob dan The Alchemist, filsafat menjadi semacam mainan baru bagi jiwa kanak kanak saya, saya begitu enjoy menikmati berbagai macam bahasan filsafat, awalnya sebuah buku berjudul Socrates Café, kemudian buku-buku yang bersifat kajian yang banyak saya baca,termasuk di dalamnya ada Bhagavad Ghita. Begitu banyak istilah, begitu banyak pemahaman, begitu banyak versi, itulah filsafat menurut saya, filsafat itu hanya makanan pikiran, hanya memancing kita untuk berlatih berpikir, tak pernah benar-benar kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga sekaligus tak pernah benar-benar terlepas dalam kehidupan sehari-hari, perannya seperti kunci yang hanya berguna saat kita hendak masuk dan atau saat kita hendak keluar rumah, selebihnya tidak. Semua jenis filsafat itu kemudian ditendang lenyap oleh nama baru yang kemudian begitu menginspirasi saya. Lao Tze. Ketika Karl Marx mengatakan manusia itu harus super fisik, tak berperasaan, kuat, bisa mengalahkan yang lain. Ketika Sidharta Gautama mengatakan yang suci adalah dia yang pikirannya baik, perkataannya baik, perbuatannya baik. Lao Tze justru mengatakan orang suci adalah dia yang suka tertawa terbahak bahak, bicaranya ngawur, dan lain lain. Lao Tze adalah kejelasan jalan tengah yang hebat antara Marx yang super fisik dan Gautama yang super rohani, antara Musa yang super manusia dan Isa yang super malaikat. Lao Tze menyuruh kita untuk berbuat mengerahkan sekuat-kuatnya apapun daya yang kita punya, tapi setelah itu berlepas diri akan hasilnya. Berbuat tanpa berbuat, mengajar tanpa kata-kata. Menjadi tidak menonjol, wajar, selaras dengan alam. Menjadikan diri kita sekuat alam semesta tapi sekaligus serendah hati makhluk terlemah. Pertemuan dengan Lao Tze memungkasi keinginan saya untuk menjelajah berbagai jenis aliran filsafat.

Setelah periode itu, saya menjadi lebih tertarik untuk menulis daripada membaca. Dan seringkali yang membuat saya membaca karena saya mengalami kemacetan ide ketika menulis. Puthut EA, iya, nama inilah yang kemudian mengajari saya banyak hal tentang bagaimana menulis itu. Sebenarnya saya tidak begitu menyukai tentang materi-materi tulisannya, tetapi karena gaya bahasanya terlampau enak untuk dinikmati makanya saya jadi membaca hampir semua karyanya. Satu yang tampaknya enak untuk dibagi adalah novel Cinta Tak Pernah Tepat Waktu. Novel ini memang bukan sebuah novel berkualitas wah, tapi lagi-lagi gaya bertuturnya yang membuat saya jatuh cinta dengan novel ini, berkisah tentang perjalanan seorang penulis yang mencari pasangan hidup. Di samping novel ini, ada lagi karya Puthut EA yang sangat brilian bagi saya, yakni Makelar Politik, hanya kumpulan esai esainya tentang hal-hal menarik baginya, tapi Makelar Politik mempunyai kebisaan yang luar biasa untuk dibaca saat luang ataupun saat sibuk, saat sedih ataupun saat senang, saat kopi ataupun saat dehidrasi.

Di tengah-tengah semua yang telah saya ceritakan tadi, saya juga bertemu dengan buku-buku populer seperti Chicken Soup, Harry Potter, Ippho Santosa, Laskar Pelangi, Supernova, dan banyak lagi lainnya, tapi tampaknya tidak menarik untuk saya turut sertakan dalam tulisan ini.

Yaa sekedar begitulah sharing tentang buku dalam kehidupan saya, kalau saya punya waktu luang berbarengan dengan mood iseng menulis lagi, pasti akan saya lanjutkan share tentang musik, terus juga tentang film. Semoga bisa memberi sedikit manfaat bagi anda yang punya waktu luang berbarengan dengan mood iseng membaca note ini.

Salam berbagi…!!! Jreeng Jreeeeenkkk…!!!

(Red=Nah, sekarang bagaimana pengalamanmu dengan buku? Buku apa saja yang paling memberi inspirasi pada hidupmu)