Soal Ham dan Pemberangusan: Sekitar Polemik Pramoedya Lekra vs Manikebu

Oleh A.Kohar Ibrahim

polemik kebudayaanBung GM, dalam tanggapannya, antara lain menegaskan:

“Bagi saya, yang perlu adalah merintis bersama sebuah masa baru bagi Indonesia, setelah kita menempuh sebuah masa silam yang berdarah, kotor dan penuh kebencian – agar semua itu tak terulang lagi.”

Implementasi kongkritnya bagaimana? Secara prinsip saya setuju sekali dengan itikad yang luhur itu, dengan menarik pelajaran dari pengalaman. Tetapi baru pendapat orang perseorangan macam Bung GM. Hanya seorang penandatangan Manikebu juga peserta KKPI atau anggota PKPI. Tapi bagaimana yang lainnya? Seantero anggota, sponsor dan pendukungnya. Terutama sekali kaum militeris yang kemudian memegang tampuk kekuasaan Orba Jendral.

“Sudah lama saya telah memilih jalan ini, dan melakukan apa yang saya bisa, di tengah situasi yang tak mudah di bawah pengawasan Orde Baru,” tegas GM.

Iya. Bagaimana pula dalam praktek atau kenyataannya? Untuk itu saya acungkan jempol. Namun, lagi-lagi hanya “sebatas” skop “ke-saya-an” Bung GM sendiri. Bagaimana kongkritnya yang lain? Yang bersifat kolektif, terorganisasi atau kelembagaan. Baik berupa penerbitan majalah Horison, pendudukan di lembaga-lembaga penerbitan lainnya maupun berupa Dewan Dewan Kesenian, seminar, konferensi ini dan itu? Bukankah semua posisi penting aktivitas kebudayaan dan kesenian tersebut telah dihegemoni kaum Manikebuis alias pendukung Orba Jenderal belaka? Sedangkan orang-orang macam Pram atau orang-orang Lekra dan lainnya tetap saja berada di luar pagar, difitnah dan dimusuhi? Bahkan ketika ada pujian, penghargaan atau pembelaan secara obyektif atas hasil kreasi mereka pun, terhadap kaum yang peduli bukan saja tak diucapkan terima kasih malah dimusuhi pula adanya?

Sungguh, saya pun masygul, Bung GM. Jika mengingat bagaimana perilaku kaum penguasa kebudayaan Orba Jendral mengibar panji humanisme universil, pembela dan yang mempersucikan Pancasila dengan Sila Perikemanusiaan, namun dalam prakteknya berkenaan dengan kekuasaan, ternyata hanya menjalani tongkat komando kaum militeris anti-komunis. Mengucilkan semua mereka yang diberi cap terlibat “G30S/ PKI”, sebagai kaum penganut ideologi diharamkan: MarxisLeninis-Komunis. Makanya sah-sah saja terus diberangus, tidak diizinkan mengekspresikan diri yang merupakan hak azasi baik dengan tulisan (di penerbitan berupa majalah dan koran-koran) maupun secara lisan di berbagai forum seminar atau konferensi.

Iya mengingat semua itu, sungguh saya masygul, Bung GM. Kemasygulan yang agak terlipur ketika berupaya memahami persoalan, dan mendapatkan informasi seorang Indonesianis macam David Hill, dari makalahnya berjudul “Siapa Yang Kiri” (Sastra Indonesia Pada Mula Tahun 80-an). Menurut David Hill, konferensi atau seminar di TIM (diorganisir oleh Horison dan Tempo), dan penerbitan majalah adalah dalam rangka implementasi politik anti-komunis. Majalah Horison, yang didirikan dalam bulan Juni 1966, selama bulan-bulan sengit setelah coup yang menaikkan kaum konsevatif ke atas tahta adalah barisan depan seniman sayap kanan. Dengan menggelarkan Mochtar Lubis sebagai pimpinan, yang kepadanya seniman-seniman muda menganggapnya sebagai tokoh pimpinan politik dan kesenian, maka dewan redaksi mengumpulkan banyak penanda-tangan Manifes Kebudayaan dan mengabadikan pandangan seni dan sastra tersebut.”

Begitulah, antara lain, fakta yang mencerminkan betapa pesta kemenangan kekuasaan yang berjaya dari kaum Manikebuis. Dalam kaitan penikmat menikmati kekuasaan di institusi kebudayaan, saya jadi teringat akan adanya (lagi, seperti diinfokan David Hill) Seminar yang diorganisir Horison bulan Agustus 1982. Dengan topik tentang “Peranan Sastra Dalam Perubahan Sosial” yang diilhami oleh polemik antara Goenawan Mohamad dan Sutan Takdir Alisyahbana, mengenai fungsi sosial kesusastraan dan nilai tulisan berkonteks sosial. Muncul beberapa komentar. Akan tetapi, menurut David Hill, “penyair Sutardji Calzoum Bachri umpamanya, tidak melihat keharusan menggunakan puisinya sebagai mekanisme perubahan sosial. Ia mentertawakan dan meremehkan soal itu dengan menyatakan bahwa seorang penyair itu bodoh untuk membacakan sajak ketika berhadapan dengan tank yang sedang maju.”

Tetapi, tertawaan dan opini Tardji itu bisa jadi inspirasi untuk menggubah parodi: Bagaimana kalau para penyairnya itu bukan dalam posisi berhadapan dengan tank, melainkan membonceng atau ngintilin di belakang? Seperti yang terjadi di tahun 1966: Bersama pasukan militer “Yang Menang Sebelum Bertempur!”

Duh! Ironisnya! Tak urung para penyair, pengarang dan jurnalis macam itu juga yang setelah terjadinya kudeta militer berhasil, jadi bagian pelaksana mesin propaganda Orba Jendral. Menduduki posisi-posisi penting berbagai lembaga media ma-ssa maupun dewan-dewan kesenian di Jakarta maupun di dae-rah. Maka pemberangusan terhadap para wartawan, budayawan, seniman, sastrawan dan penyair oleh penguasa Orba Jenderal dilanggengkan. Bukan setahun dua tahun, tapi ber-dasa-dasa-warsa lamanya!

Ah, Bung GM, bagaimana orang semacam saya tak masygul mengingat kenyataan ini? Dan korbannya bukan hanya saya seorang, melainkan syak-gudang banyaknya! Termasuk yang paling kondang: Pramoedya Ananta Toer.

Lantas saya jadi tergugah seraya menggugat karena ujar kata Voltaire: “Sungguh pun aku benci pandanganmu, tapi akan kubela dengan jiwaku sendiri hakmu untuk mengutarakannya.” (MIMBAR N 1, 1990; Amsterdam, Editor: Dipa Tanaera alias A.Kohar Ibrahim).

Sungguh! Kisah-kisah ragam macam lagu manusia itu memang bisa merupakan tragedi dan bisa sebagai komedi, bahkan bisa digubah ubah jadi parodi!

Dalam soal pemberangusan untuk berekspresi menyatakan perasaan dan pikiran yang merupakan salah satu hak azasi manusia, agaknya sikap dan kesadaran orang memang ternyata tidaklah seragam. Bisa cepat sadar bisa pula bebal tak ketulungan! Ada juga yang menafsirkan atau memberi warna menurut selerasanya sendiri-sendiri. Seperti tafsiran ala Ikra dan semacamnya. Sedangkan bagi saya: Humanisme hanya satu! Yakni Humanisme itu sendiri. Karena, meskipun sekian miliar jumlahnya, sekian banyak macam warna dan besar kecilnya, umat manusia itu ya seumat manusia belaka yang jadi penghuni bola bumi yang bundar dan indah ini. Iya, tak?

Oleh karena itu, kiranya bisa Bung GM ketahui sudah, dengan penerimaan saya atas HAM yang dideklarasikan 10 Desember 1948 oleh PBB, dan penganut opini Voltaire tersebutkan itu, maka jelaslah posisi saya.

Akan halnya untuk memberikan pembuktian, akan jejak langkah saya atau aktivitas-kreativitas saya, memang tidak nampak oleh Bung GM, yah? Bukan salah Bung. Pun bukan salahku! Tapi terutama sekali salahnya sang penguasa Orba Jendral itu, lho!

Tapi, bagaimana pun juga, meski bak setetes air di samudera, bisalah dilacak jejak-langkah saya itu. Baik dalam karya lukis atau gambar maupun karya tulis atau penerbitan. Termasuk yang membela penerbitan Bung ketika dibredel Orba Jendral. (Simak Majalah ARENA N 14 1995, Culemborg. Editor : A.Kohar Ibrahim).

*

Catatan:

(1).Naskah ini pertama kali disiar milis ACI – Art-Cultur Indonesia, kemudian beberapa media internet lainnya.

Dipetik dari buku: “Sekitar Polemik Pramoedya-Lekra vs Manikebu” Penerbit: Titik Cahaya Elka, Batam.

(2).Biodata: tertuju bagi peminat dan pembaca mengetahui tonggak-tonggak jejak akivitas kreativitas Abe A.Kohar Ibrahim.

Beri Tanggapan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s