Jika revolusi adalah “pengejawantahan budi-nurani kemanusiaan”, seperti dikatakan Presiden Soekarno, bisakah kita menolak menempatkan diri di dalamnya? Di tahun 1948, di Perancis, Albert Camus berkata: “Bukan karena perjuanganlah kita menjadi seniman, tetapi karena kita seniman maka kita menjadi pejuang-pejuang”. Dengan kata lain ada hubungan yang wajar dan logis antara keduanya. Kita tak perlu melepaskan kesenian dari diri kita dalam revolusi atau perjuangan itu. Kesenian dan kesusastraan juga suatu “revolusi”:secara langsung atau tak langsung ia memperjuangkan kembali untuk hati nurani yang pada suatu masa dikaburkan, atau belum ditemukan, oleh suatu sejarah. Maxim Gorky, Multatuli, Jose Rizal. Dalam kenyataan juga sering terlihat, bagaimana benih dan semangat revolusi terungkap dengan jelas dalam karya-karya sastra.
Tapi tidakkah dengan begitu kesusastraan akan merupakan propaganda revolusi, suatu alat? Kesusastraan bukanlah semata-mata alat, meskipun mempunyai aspek itu, seperti kita mengakui bahwa kesusastraan bukanlah pensil atau pistol. Sebab kesusastraan mengandung fungsi komunikasi yang langsung. Ia membutuhkan faktor kemerdekaan, agar sifatnya tetap otentik. Jika kita memang membutuhkan kesusastraan sekarang dan di sini untuk itu, keretakan antara kesusastraan dan revolusi tidak harus terjadi.
Keretakan antara kesusastraan dan revolusi terjadi bila salah satu menjadi reaksioner, menyimpang dari cita-cita semula. Dalam sejarah memang terjadi hal itu, ketika kekuatan revolusi berpindah kepada kekuatan kekuasaan. Di situ sebenarnya telah terjadi sektarisme. Di situ sebenarnya telah terjadi penganutan paham, aliran atau sistim pemikiran secara dogmatis serta tegar, dan telah tumbuh sikap tak terbuka dalam menghadapi persoalan, dalam mencari kebenaran suatu masalah. Di situ telah terjadi kecenderungan kuat untuk menolak atau memalsukan kebenaran-kebenaran yang tidak tercakup oleh pemikiran sendiri. Dengan kata lain: satu proses kebohongan. Jika revolusi telah berpindah kepada kekuatan kekuasaan semata-mata, maka dasar kemanusiaan yang terdapat dalam tujuannya semula pun digilas dan dihancurkan.
Bagi kesusastraan itu merupakan suatu kontradiksi. Tak ada suatu kreasi kesusastraan yang berharga tanpa mempunyai dasar semacam kasih. Tentu saja harus dimaklumi, bahwa tindakan-tindakan politik, adanya penggunaan kekuasaan dalam revolusi – yang sering bisa mengganggu tidur nyaman dan hati nurani kita – merupakan suatu hal yang tak terelakkan sama sekali. Hanyalah harus dijaga, agar kita tidak kemudian menjadi kebal dan tebal muka akan kejadian-kejadian demikian. Saya kira justru di situlah letak kesusastraan dalam revolusi: di satu pihak ia adalah kritik terhadap kebudayaan yang harus tumbang oleh revolusi, di lain pihak ia adalah kritik terhadap ekses-ekses revolusi sendiri.
15 September 1962
Naskah diambil dari Buku Kesusastraan dan Kekuasaan
setelah menjura untuk kesekian kali, kaucabut
kepada lembut
kabut, kaupusatkan dua lensa
yang nila
“oh, kau harus lihat garis edar bendabenda angkasa.”
aih, ya saja, merekamereka berputarberputar
di gelas memar
waktu kaudaratkan ujung penamu di kotak
tekateki silang, dan kekatamu tak pas:
revolusi, katamu
revolusi (?), ini aku
revolusi, kau beri tanda seru
dan kausebut angka pasti
ratus hari
tapi aku tak ingat angka itu
dan revolusi, aku cuma menjawabnya sendiri
sebab sejak itu kauberlalu
sisakan ampas kopi yang masih mengorbit
di kotakkotak yang belum kaupenuhi
(Malang, 2013)
TEH
tenang,
sebentar lagi bakal datang,
sst… kubilang tenang,
tahan pelatukmu
dan lihat itu, di celah pohonan yang menyerap air langit, dekat semak tempat kaukencing tadi, kau lihat bukan, itu buruan kita!
toh aku mengangguk saja waktu ia menyuruhku untuk tenang. baru kali ini aku benarbenar menurut. tapi bagaimana lagi, dia memang lebih jago berburu, sedang aku tak tahu apaapa soal ini. amatir. maka kutahan juga pelatukku–butuh waktu menariknya
kubilang juga apa,
dia mengendusnya,
bau pipismu! haha, dia benci itu. ia tak senang ada pengganggu masuk wilayahnya. dan kalau kau sadari, dia segera mencarimu setelah ia tahu cirimu. dan perlu kugaris bawahi, seperti dugaanku, ia tak akan pedulikan jika itu air seniku
oh ya, dia berkata begitu,
sebelum menyuruhku
keluarkan kelamin dan menyemprot pohon itu,
katanya: kalau aku, buruanku sudah hapal pada taktikku, kita perlu yang baru, tenang saja, kau akan tetap aman di dekatku
tenang, tenang,
aku tempelkan telunjukku di mulut,
kudesiskan desis,
sempat ia tadi tak percaya: bagaimana kautahu ia akan mencariku, dengan membaui kencingku? seakan kaubisa menjadi mereka saja!
tapi dia benar,
dan kami duduk di beranda sekarang,
dengan hasil buruan
dan gelas yang masih penuh
berisi teh panas
di mana di sana muncul raut wajah tenang
sang serigala yang kutembak mati tadi
(Malang, 2013)
SUSU
nyatanya masih aku palingkan juga
wajah ke arah celahnya
bahkan ketika kausekedar lewat
di depanku dan tanpa sapaku,
tanpa juga sapamu,
sapa kita
siapa kita
yang tak dikenal tak dikekang tak dikenang?
ah tapi kuingat juga senyummu manis
dan gigigigimu yang berbaris
begitu rapi,
dekat sisasisa susu, di pojok bibirmu,
yang kuhapus dengan kecupan merdu
nyatanya aku masih palingkan pula
wajahku
ke arah tak tentu
ketika kuteguk hangat susu
dan berharap kutemu lagi kamu
serta baris putih gigimu rapi
di sudut gelas bundar ini
(Malang, 2013)
Alra Ramadhan lahir di Kulon Progo, D.I. Yogyakarta, dan sekarang berkuliah di Jurusan Teknik Elektro Universitas Brawijaya, Malang. Saat ini ia sedang menyiapkan himpunan puisi dengan judul Salindia. Selebihnya, dipersilakan merapat ke twitter @alravox