KISAH sekitar atau berkaitan dengan terowongan seringkali sarat akan perasaan gairah penuh asa bisa sekalian juga tak lepas rasa was-was. Seperti kisah dalam cerpen Maxim Gorky yang justeru berjudul ‘Terowongan’. Seperti kisah kapal tenggelam Titanic. Juga seperti perasaan yang timbul campur imajinasi ketika mengunjungi terowongan yang digunakan Tentara Merah dalam sejarah Perang Rakyat Tiongkok. Dan juga ketika kami sempat mengunjungi musium tambang batu bara Bligny di daerah Walonia Belgia. Yang kesemuanya, kisah-kisah itu saling silang seling berkaitan dengan makna operasi, makna kekerasan dalam aksi peperangan maupun aksi kerja keras rakyat pekerja.
Sungguh sesungguhnyalah kata operasi adalah kata yang jarang aku gunakan. Kata yang kedengarannya tak aku suka, lantaran secara subyektif kontan mengingatkan pada tindakan kekerasan. Apa pula ditambah kata bedah atau pembedahan. Lebih-lebih lagi operasi pembedahan itu bukan tertuju pada orang lain, melainkan pada diriku sendiri. Pada tubuhku sendiri. Pada perutku sendiri. Kedua kata itu – operasi bedah – sungguh membuat aku terkejut melongok, tercenung merenung, bingung.
Aku rasakan, aku bayangkan, diriku bagai sehelai daun menguning nyaris kering di ujung ranting. Antara asa dan putus asa. Runtuh jatuh melayang-layang antara bumi dan kahyangan. Betapa gamang kegamangan ini begitu mengerikan dalam kelengang-hampaan. Takut. Rasa takut ketakutan menerjang sekalian menyergap, menikung jiwa-ragaku dalam kurungan. Aku berteriak. Memberontak. Aku tak mau dikurung pun terkurung dalam kebingungan sekalian dirajam ketakutan.
Dalam mengayunkan langkah menelusuri perjalanan hidup kehidupanku tidaklah sederhana dan mudah. Seperti tertera dalam catatan atau kenangan tertulisku, sejak masa muda remaja sampai lansia. Antara lain pengakuanku: Iya, aku terjatuh jatuh bangun. Namun jejak langkah terus kuayun. Menelusuri rimba raya, lembah, lereng bukit dan gunung atau pun gurun. Ya Allah, Allahu Akbar! Betapa tabah ketabahan bermakna besar, seraya setia menjaga marwah dalam gairah maupun dalam susah payah. Tak kan sekali kali kubertekuk lutut sekalipun garangnya musuh dan maut. Sekali pun sekali terjatuh aku bangun lagi, mengayun langkah dengan tabah sekalian menjaga marwah.
Aku jatuh terjatuh lalu bangkit kembali menegakkan langkah yang jadi kebiasaanku selama ini. Begitulah. Tekadku tak berubah. Meski aku ngaku, ragaku tidak lagi dalam masa remaja sampai dewasa yang gagah; memasuki masa lansia terasa keperkasaannya berangsur melemah. Apa pula jatuh terajam penyakit yang tak pernah aku suka pun tak pernah aku duga. Hingga menjadi lemah lantaran kekurangan darah: Anemia adanya. Lantas mesti mengalami operasi bedah? Ah… !
Operasi dioperasi dibedah, sungguh aku tak suka mendengar ujar kata itu. Apa pula mesti aku sendiri yang akan mengalaminya. Tapi apa daya, hal itu sudah merupakan keputusan dari tim kedokteran dan pengobatan Klinik Saint-Jean. Sebagai diagnosa dari pemeriksaan-pengobatan-perawatan sejak aku masuk rumah sakit atau klinik ini. Jelasnya, sebagai hasil kesimpulan dari pemeriksaan yang terakhir aku jalani. Yakni gastroskopi dan kolonoskopi.
Dua pemeriksaan yang aku jalani Jumat kemarin — pagi-pagi sekali kemudian siang hari — macam pemeriksaan keadaan kesehatan badan yang paling berat aku rasakan.
Yang pertama. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Jam enam. Badanku yang sudah lemas bertambah lemas lantaran puasa. Tidak boleh makan dan minum sejak kemarin malam. Pagi hari tentu saja tanpa sarapan pagi. Pada jam delapan seorang juru-rawat sudah siap mengantarku, dengan menggunakan kursi-dorong, dari kamar biasa di tingkat tiga turun ke ruangan lantai bawah-tanah. Perutku yang memang sering terasa sakit dan mual, kian bertambah mual saja, ketika turun menggunakan lift.
“Courage, Monsieur“, ujar sang juru-rawat asal Afrika bernama Clemantine – seperti tertera di kartunama tanda pengenal yang nyantel di dadanya. “Gastroskopi merupakan pemeriksaan yang tak menyenangkan. Harap sabar dan tabah.”
Harus tabah dan bersabar, itulah nasihat sang juru-rawat berkulit-hitam manis teriring senyum, menyerahkanku kepada seorang juru-rawat yang bertugas di lantai bawah-tanah. Di ruangan yang cukup luas memanjang, dengan warna dinding tembok yang putih keabu-abuan. Rasanya dingin kebanding di ruang lantai atas. Dan aku dideret-jajarkan dengan para pasien lainnya. Lantas menyuruhku meminum segelas besar air yang sebenarnya dicampur zat obat pengobatan. Rasanya agak aneh sekalipun ada aroma jeruknya. Setelah tiga perempat jam baru aku dibawa masuk ke ruang khusus untuk gastoskopi. Dibaringkan dengan posisi miring sebelah kiri, di atas meja yang mirip ranjang berseprei putih. Lantas seorang dokter datang menyapa dengan ramah seraya minta kerjasamaku. Agar supaya pemeriksaan berlangsung secara lancar dan mencapai hasil yang diperlukan. Ketika aku penasaran tanya,” Kerjasamanya bagaimana, Tuan Dokter?”
Sang dokter tersenyum. “Mudah saja,” katanya. “Jaga ketenangan, jangan panik. Meski nanti terasa haus dan hangat di tenggorokan. Dan bernafaslah dengan mulut, setuju?”
“Oui, Docteur. D’accord,” jawabku polos.
Jawaban polosku itu sesungguhnya berupa kepasrahan saja, meski sarat nekad sekalian itikad untuk memulihkan kembali kesehatanku. Dengan mencari sekaligus menemukan sebab-musabab keadaan anemia lantaran terjadinya pendarahan. Maka aku tak berkutik pun tanpa berkata apa-apa lagi ketika menerima saluran oksigin via lubang hidungku. Ketika ada alat di mulutku supaya tetap mangap. Ketika menerima zat yang hangat-hangat panas mengalir di jalur kerongkonganku. Dan ketika, akhirnya, via kerongkongan sang dokter memasukkan pipa mungil yang dilengkapi kamera untuk mendeteksi sekaligus memotret panorama perutku — usus besar dan jalur kolon-nya sekalian. Rasa perasaan aneh menghujam-rajam diriku, seluruh jiwa-ragaku. Anehnya rasa haus kehausan dan sakit kesakitan yang luar biasa, ketika sang dokter melakukan pencariannya dengan alat yang bagiku aneh pula itu. Kadang rasa haus dahaga begitu terasa. Ah, kehaus-dahagaan melebihi ketika puasa di bulan Ramadan; mungkin lebih jitu kehaus-dahagaan seperti musyafir di padang pasir? Kadang pula terasa dingin, seperti terbenam di dasar laut. Tak ubahnya seperti kapal Titanic yang diselami penyelam dengan dilengkapi pipa berkamera untuk mendeteksi sekaligus memotret apa saja yang dianggap penting, sebagai penemuan yang layak disimak dan sebagai pengetahuan bermakna.
Selama beberapa saat panas-dingin merejam badan kian menigkat terasa, sepertinya aku telah kehabisan nafas, nyaris pingsan. Sampai saat sang dokter menarik kembali pipa secara keseluruhan, dan aku bisa bernafas kembali seperti biasanya. Aku pejamkan mata lantaran keletihan. Baru terjaga beberapa lama kemudian ketika sudah kembali berada di kamar pasien di lantai atas.
Agaknya selama dua jam lebih aku terlena dengan nyenyak, membikin badan terasa lebih enak. Hanya untuk mengalami pemeriksaan lainnya – kolonoskopi — beberapa jam kemudian. Yakni pada jam lima sore. Pemeriksaan yang juga aneh, menimbulkan rasa aneh keanehan akibat alat yang digunakan — semacam pipa yang juga dilengkapi pendeksi sekaligus pemotret keadaan kolon. Keanehan yang menerkam rejam jiwa raga terkesankan kenyerian dan kewaswasan serta penasaran. Meskipun berlangsung tidak lama dan betapa sigap-cakapnya sang dokter memanipulasi alat yang digunakannya – mulai dari mulut lubang dubur sampai masuk merasuk ke dalam perut, istimewa ke usus yang disebut kolon itu — namun kiranya, ya ampun, cukuplah sekali itu saja.
Iya. Sekali itu saja. Masing-masing sekali itu saja – pemeriksaan yang disebut gastroskopi dan kolonoskopi itu. Sekali itu saja dan terakhir kali, akupun bergerak secara otomatik begitu mendengar saran sang dokter supaya aku cepat ke toilet. Gerak cepat seperti robot otomatik dari meja pasien ke toilet hanya untuk secepatnya mengeluarkan isi perut sehabis-habisnya hingga kempis. Untuk kedua kalinya perasaan aneh lantaran keletihan menyergap jiwa-ragaku. Ketika sang juru-rawat menjemputku kembali ke ruang kamar pasien, aku segera terbaring di ranjang dan tertidur lelap.
Suasana kedua macam pemeriksaan medis itu layaknya membawaku pada kenangan sekaligus pengalaman yang menimbulkan perasaan sarat asa dan ketiadaan asa, campur-baur rasa ngeri dan was-was berkenaan dengan terowongan. Timbulnya rasa perasaan aneh di dalam terowongan sekaligus sebagai terowongan. Terowongan dalam perjuangan hidup-mati di medan laga peperangan, pekerjaan dan di dalam jiwa-raga diri sendiri.
Akan tetapi, suka tak suka, kedua macam pemeriksaan bagaikan terowongan itu, merupakan lanjutan yang wajar. Sebagai mata-rantai tak terpisahkan dari rangkaian pemeriksaan medis lainnya yang tidak bisa tidak dijalani. Karena atas dasar kesemuanya itulah team kedokteran menyatakan diagnosanya, menarik kesimpulan dan memutuskan cara terbaik untuk menghentikan pendarahan yang terjadi. Yakni dengan melakukan operasi pembedahan. Operasi untuk melikwidasi tumor yang mengidap di bagian kolon dalam perutku.
Iya. Kolon itu tak ubahnya bagai terowongan yang selain bisa hidup menghidupkan, sebagai saluran pembuangan sampah atau kotoran dari dalam perut, sekaligus juga bisa mematikan jika tersumbat atau diidapi tumor yang gawat jadi penyebab pendarahan hingga kehilangan darah.
Catatan:
Naskah “Terowongan Maut” bisa dianggap cerpen, meski merupakan bagian dari Novel berjudul “Sitoyen Sant-Jean – Antara Hidup Dan Mati” oleh A.Kohar Ibrahim, hlm 129-137; Penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, Kepri 2008. Editing: Lisya Anggraini.