Arsip Tag: kesenian

Revolusi dan Kesusastraan

Goenawan Muhammad
Goenawan Muhammad (Photo credit: Wikipedia)

Gerundelan Goenawan Mohamad

Jika revolusi adalah “pengejawantahan budi-nurani kemanusiaan”, seperti dikatakan Presiden Soekarno, bisakah kita menolak menempatkan diri di dalamnya? Di tahun 1948, di Perancis, Albert Camus berkata: “Bukan karena perjuanganlah kita menjadi seniman, tetapi karena kita seniman maka kita menjadi pejuang-pejuang”. Dengan kata lain ada hubungan yang wajar dan logis antara keduanya. Kita tak perlu melepaskan kesenian dari diri kita dalam revolusi atau perjuangan itu. Kesenian dan kesusastraan juga suatu “revolusi”:secara langsung atau tak langsung ia memperjuangkan kembali untuk hati nurani yang pada suatu masa dikaburkan, atau belum ditemukan, oleh suatu sejarah. Maxim Gorky, Multatuli, Jose Rizal. Dalam kenyataan juga sering terlihat, bagaimana benih dan semangat revolusi terungkap dengan jelas dalam karya-karya sastra.

Tapi tidakkah dengan begitu kesusastraan akan merupakan propaganda revolusi, suatu alat? Kesusastraan bukanlah semata-mata alat, meskipun mempunyai aspek itu, seperti kita mengakui bahwa kesusastraan bukanlah pensil atau pistol. Sebab kesusastraan mengandung fungsi komunikasi yang langsung. Ia membutuhkan faktor kemerdekaan, agar sifatnya tetap otentik. Jika kita memang membutuhkan kesusastraan sekarang dan di sini untuk itu, keretakan antara kesusastraan dan revolusi tidak harus terjadi.

Keretakan antara kesusastraan dan revolusi terjadi bila salah satu menjadi reaksioner, menyimpang dari cita-cita semula. Dalam sejarah memang terjadi hal itu, ketika kekuatan revolusi berpindah kepada kekuatan kekuasaan. Di situ sebenarnya telah terjadi sektarisme. Di situ sebenarnya telah terjadi penganutan paham, aliran atau sistim pemikiran secara dogmatis serta tegar, dan telah tumbuh sikap tak terbuka dalam menghadapi persoalan, dalam mencari kebenaran suatu masalah. Di situ telah terjadi kecenderungan kuat untuk menolak atau memalsukan kebenaran-kebenaran yang tidak tercakup oleh pemikiran sendiri. Dengan kata lain: satu proses kebohongan. Jika revolusi telah berpindah kepada kekuatan kekuasaan semata-mata, maka dasar kemanusiaan yang terdapat dalam tujuannya semula pun digilas dan dihancurkan.

Bagi kesusastraan itu merupakan suatu kontradiksi. Tak ada suatu kreasi kesusastraan yang berharga tanpa mempunyai dasar semacam kasih. Tentu saja harus dimaklumi, bahwa tindakan-tindakan politik, adanya penggunaan kekuasaan dalam revolusi – yang sering bisa mengganggu tidur nyaman dan hati nurani kita – merupakan suatu hal yang tak terelakkan sama sekali. Hanyalah harus dijaga, agar kita tidak kemudian menjadi kebal dan tebal muka akan kejadian-kejadian demikian. Saya kira justru di situlah letak kesusastraan dalam revolusi: di satu pihak ia adalah kritik terhadap kebudayaan yang harus tumbang oleh revolusi, di lain pihak ia adalah kritik terhadap ekses-ekses revolusi sendiri.

15 September 1962

Naskah diambil dari Buku Kesusastraan dan Kekuasaan

Hello 2013, Goodbye 2012!

Oleh Erlinda Sukmasari Wasito

Sebentar lagi kita akan meninggalkan 2012 dan memasuki 2013. Tahun yang menyenangkan dan penuh gelombang. Tahun yang membuat saya tumbuh dan berkembang. Dua belas bulan, 52 minggu, dan 365 hari yang terasa singkat adalah bukti betapa saya menikmati hidup. Betapa cepat waktu bergulir. Hingga ketika akan melepas 2012, banyak kenangan indah yang tersimpan dalam memori.

Salah satu pengalaman paling menakjubkan di tahun 2012 adalah saat saya dan tim membuat film dokumenter berdurasi 15 menit dengan tema kebudayaan lokal. Ini terjadi di semester dua kuliah saya di jurusan Komunikasi Diploma IPB. Saya yang tidak punya pengalaman membuat film apalagi terlibat dalam sebuah pembuatan film langsung didapuk sebagai sutradara. Jangan ditanya bagaimana perasaan saya. Jelas bangga. Teman-teman satu tim memberikan kepercayaan yang luar biasa pada saya.

Film kami berjudul “Bekasi Bukan Betawi”. Dalam film ini kami menyoroti kehidupan Teh Eem Bilyanti dan keluarganya sebagai seniman yang memperjuangkan eksistensi kebudayaan Bekasi. Kami mengikuti kemanapun Teh Eem melangkah. Mulai dari mengurus anaknya yang masih bayi, melatih tari anak-anak di sanggar di halaman rumahnya, hingga mengantar anak didiknya mengikuti lomba tari. Tak kalah dengan sang putri, ayah Teh Eem yang seorang dalang dan ibunya yang sinden masih giat melaksanakan pertunjukan dari panggung ke panggung.

Saya terpesona. Akibat tugas pembuatan film ini, saya tidak hanya mendapat kesempatan menjadi seorang sutradara. Mata saya pun menjadi terbuka. Karena seperti kebanyakan orang awam lainnya, dulu saya berpikir kesenian yang dimiliki Bekasi sama saja dengan Betawi. Padahal Bekasi bukanlah Betawi. Bekasi memiliki ciri khasnya sendiri.

Selain misi mendapat nilai yang bagus, saya dan tim pun terdorong ingin mengangkat kisah perjuangan Teh Eem dan keluarganya agar dapat diapresiasi lebih banyak orang. Dengan memutar film itu di kelas, di depan dosen dan mahasiswa lain, saya ingin menunjukkan “Ini lho Bekasi. Bekasi juga punya seni.” Hasilnya luar biasa. Decak kagum mewarnai pemutaran film kami. Meski hasil penyuntingannya masih standar dengan berbagai kekurangan di sana sini, saya dan tim cukup berbangga hati.

Kini, menyambut 2013, saya akan segera menginjak semester empat. Di semester empat nanti saya akan kembali mendapat tugas membuat film. Hal itu membuat saya senang. Saya sangat ingin melakukan reuni, mengerjakan film bersama tim yang lama. Saya bersyukur pernah dipertemukan dan ditakdirkan mengerjakan proyek bersama mereka. Tim saya adalah orang-orang yang luar biasa, tidak banyak mengeluh, mau bersusah-susah, dan pekerja keras.

Jadi, apa saja keinginan saya di 2013? Pertama, saya ingin kembali membuat film bersama tim, terutama dengan editor. Sebab kami sudah sangat kompak dan saling memahami isi pikiran masing-masing. Kedua, saya ingin UAS berjalan dengan lancar. Saya ingin mengalami peningkatan dalam hal akademik. Ketiga, saya berharap acara yang saya dan teman-teman buat tanggal 3 Januari nanti sukses besar. Acara tersebut dibuat oleh Aksi Event Organizer, yaitu 31 orang mahasiswa yang tergabung dalam 1 kelas praktikum. Acara tersebut bernama Sparteen, akronim dari Sport and Art for Teen. Terdiri dari kompetisi 3 on 3 Basketball, Modern Dance, dan Rally Photo. Tentu, lagi-lagi, proyek sebesar ini dibuat untuk pengambilan nilai.

Tentu semua orang menginginkan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Begitu pula dengan saya. Saya juga mengharapkan hal-hal baik untuk mengisi sepanjang 2013. Namun, bukankah tidak ada yang namanya hal baik jika tidak ada hal buruk? Saya tidak mau memiliki daftar resolusi terlalu panjang. Saya hanya akan berusaha memaksimalkan kemampuan dan daya juang. Beginilah indahnya hidup.

*) Artikel terpilih dari weekly writing challenge (WWC) RetakanKata karya Erlinda Sukmasari Wasito, Mahasiswi Institut Pertanian Bogor.