Arsip Tag: goenawan mohamad

Mengenang Munir

Catatan Pinggir Goenawan Mohamad

Jakarta, 10 September 2004,

– sepucuk surat untuk Sultan Alief Allende dan Diva Suki Larasati, yang ditinggalkan ayah mereka.

gambar dari loveindonesia.com
gambar dari loveindonesia.com

Kelak, ketika umur kalian 17 tahun, kalian mungkin baru akan bisa membaca surat ini, yang ditulis oleh seorang yang tak kalian kenal, tiga hari setelah ayahmu meninggalkan kita semua secara tiba-tiba, ketika kalian belum mengerti kenapa begitu banyak orang berkabung dan hari jadi muram. Kelak kalian mungkin hanya akan melihat foto di sebuah majalah tua: ribuan lilin dinyalakan dari dekat dan jauh, dan mudah-mudahan akan tahu bahwa tiap lilin adalah semacam doa: “Biarkan kami melihat gelap dengan terang yang kecil ini, biarkan kami susun cahaya yang terbatas agar kami bisa menangkap gelap.”

 Ayahmu, Alief, seperti kami semua, tak takut akan gelap. Tapi ia cemas akan kelam. Gelap adalah bagian dari hidup. Kelam adalah putus asa yang memandang hidup sebagai gelap yang mutlak. Kelam adalah jera, kelam adalah getir, kelam adalah menyerah.

 Dengan tubuhnya yang ringkih, Diva, ayahmu tak hendak membiarkan kelam itu berkuasa. Seakan-akan tiap senjakala ia melihat di langit tanah airnya ada awan yang bergerak dan di dalamnya ada empat penunggang kuda yang menyeberangi ufuk. Ia tahu bagaimana mereka disebut. Yang pertama bernama Kekerasan, yang kedua Ketidakadilan, yang ketiga Keserakahan, dan yang keempat Kebencian.

Seperti kami semua, ia juga gentar melihat semua itu. Tapi ia melawan.

Di negeri yang sebenarnya tak hendak ditinggalkannya ini, Nak, tak semua orang melawan. Bahkan di masa kami tak sedikit yang menyambut Empat Penunggang Kuda itu, sambil berkata, “Kita tak bisa bertahan, kita tak usah menentang mereka, hidup toh hanya sebuah rumah gadai yang besar.” Dan seraya berujar demikian, mereka pun menggadaikan bagian dari diri mereka yang baik.

Orang-orang itu yakin, dari perolehan gadai itu mereka akan mencapai yang mereka hasratkan. Sepuluh tahun yang akan datang kalian mungkin masih akan menyaksikan hasrat itu. Terkadang tandanya adalah rumah besar, mobil menakjubkan, pangkat dan kemasyhuran yang menjulang tinggi. Terkadang hasrat kekuasaan itu bercirikan panji-panji kemenangan yang berkibar? yang ditancapkan di atas tubuh luka orang-orang yang lemah.

Ya, ayah kalian melawan semua itu –Empat Penunggang Kuda yang menakutkan itu, hasrat kekuasaan itu, juga ketika hasrat itu mendekat ke dalam dirinya sendiri –dengan jihad yang sebenarnya sunyi. Seperti anak manusia di padang gurun. Ia tak mengenakan sabuk seorang samseng, ia tak memasang insinye seorang kampiun. Ia naik motor di tengah-tengah orang ramai, dan bersama-sama mereka menanggungkan polusi, risiko kecelakaan, kesewenang-wenangan kendaraan besar, dan ketidakpastian hukum dari tikungan ke tikungan. Mungkin karena ia tahu bahwa di jalan itu, dalam kesunyian masing-masing, dengan fantasi dan arah yang tak selamanya sama, manusia pada akhirnya setara, dekat dengan debu.

Alief, Diva, kini ayah kalian tak akan tampak di jalan itu. Ada yang terasa kosong di sana. Jika kami menangis, itu karena tiba-tiba kami merasa ada sebuah batu penunjang yang tanggal. Sepanjang hidupnya yang muda, Munir, ayahmu, menopang sebuah ikhtiar bersama yang keras dan sulit agar kita semua bisa menyambut manusia, bukan sebagai ide tentang makhluk yang luhur dan mantap, tapi justru sebagai ketidakpastian.

Ayahmu, Diva, senantiasa berhubungan dengan mereka yang tak kuat dan dianiaya; ia tahu benar tentang ketidakpastian itu. Apa yang disebut sebagai “hak asasi manusia” baginya penting karena manusia selalu mengandung makna yang tak bisa diputuskan saat ini.

Ada memang yang ingin memutuskan makna itu dengan menggedruk tanah: mereka yang menguasai lembaga, senjata, dan kata-kata sering merasa dapat memaksakan makna dengan kepastian yang kekal kepada yang lain. Julukan pun diberikan untuk menyanjung atau menista, label dipasang untuk mengontrol, seperti ketika mereka masukkan para tahanan ke dalam golongan “A”, “B”, dan “C” dan menjatuhkan hukuman. Juga mereka yang merasa diri menguasai kebenaran gemar meringkas seseorang ke dalam arti “kafir”, “beriman”, “murtad”, “Islamis”, “fundamentalis”, “kontra-revolusioner”, “Orde Baru”, “ekstrem kiri”? dan dengan itu membekukan kemungkinan apa pun yang berbeda dari dalam diri manusia.

Ayah kalian terus-menerus melawan kekerasan itu, ketidakadilan itu. Tak pernah terdengar ia merasa letih. Mungkin sebab ia tahu, di tanah air ini harapan sering luput dari pegangan, dan ia ingin memungutnya kembali cepat-cepat, seakan-akan berseru, “Jangan kita jatuh ke dalam kelam!”

Tapi akhirnya tiap jihad akan berhenti, Alief. Mungkin karena tiap syuhada yang hilang akan bisa jadi pengingat betapa tinggi nilai seorang yang baik.

Apa arti seorang yang baik? Arti seorang yang baik, Diva, adalah Munir, ayahmu. Kemarin seorang teman berkata, jika Tuhan Maha-Adil, Ia akan meletakkan Munir di surga. Yang pasti, ayahmu memang telah menunjukkan bahwa surga itu mungkin.

Adapun surga, Alief dan Diva, adalah waktu dan arah ke mana manusia menjadi luhur. Dari bumi ia terangkat ke langit, berada di samping Tuhan, demikianlah kiasannya, ketika diberikannya sesuatu yang paling baik dari dirinya?juga nyawanya?kepada mereka yang lemah, yang dihinakan, yang ketakutan, yang membutuhkan. Diatasinya jasadnya yang terbatas, karena ia ingin mereka berbahagia.

Maka bertahun-tahun setelah hari ini, aku ingin kalimat ini tetap bertahan buat kalian: ayahmu, syuhada itu, telah memberikan yang paling baik dari dirinya. Itu sebabnya kami berkabung, karena kami gentar bahwa tak seorang pun akan bisa menggantikannya. Tapi tak ada pilihan, Alief dan Diva. Kami, seperti kalian kelak, tak ingin jatuh ke dalam kelam.

Sumber: Majalah Tempo Edisi. 29/XXXIII/13 – 19 September 2004, sebagaimana ditulis ulang oleh Akhmad Sahal.

Catatan:

“Malam Renungan Mengenang 9 Tahun Munir” akan diselenggarakan pada hari  Sabtu 7 September 2013 Pk.19:00 WIB di Bundaran HI. Titik kumpul di Kantor Kontras Pk.17:00 WIB.7 September 2004-7 September 2013

Revolusi dan Kesusastraan

Goenawan Muhammad
Goenawan Muhammad (Photo credit: Wikipedia)

Gerundelan Goenawan Mohamad

Jika revolusi adalah “pengejawantahan budi-nurani kemanusiaan”, seperti dikatakan Presiden Soekarno, bisakah kita menolak menempatkan diri di dalamnya? Di tahun 1948, di Perancis, Albert Camus berkata: “Bukan karena perjuanganlah kita menjadi seniman, tetapi karena kita seniman maka kita menjadi pejuang-pejuang”. Dengan kata lain ada hubungan yang wajar dan logis antara keduanya. Kita tak perlu melepaskan kesenian dari diri kita dalam revolusi atau perjuangan itu. Kesenian dan kesusastraan juga suatu “revolusi”:secara langsung atau tak langsung ia memperjuangkan kembali untuk hati nurani yang pada suatu masa dikaburkan, atau belum ditemukan, oleh suatu sejarah. Maxim Gorky, Multatuli, Jose Rizal. Dalam kenyataan juga sering terlihat, bagaimana benih dan semangat revolusi terungkap dengan jelas dalam karya-karya sastra.

Tapi tidakkah dengan begitu kesusastraan akan merupakan propaganda revolusi, suatu alat? Kesusastraan bukanlah semata-mata alat, meskipun mempunyai aspek itu, seperti kita mengakui bahwa kesusastraan bukanlah pensil atau pistol. Sebab kesusastraan mengandung fungsi komunikasi yang langsung. Ia membutuhkan faktor kemerdekaan, agar sifatnya tetap otentik. Jika kita memang membutuhkan kesusastraan sekarang dan di sini untuk itu, keretakan antara kesusastraan dan revolusi tidak harus terjadi.

Keretakan antara kesusastraan dan revolusi terjadi bila salah satu menjadi reaksioner, menyimpang dari cita-cita semula. Dalam sejarah memang terjadi hal itu, ketika kekuatan revolusi berpindah kepada kekuatan kekuasaan. Di situ sebenarnya telah terjadi sektarisme. Di situ sebenarnya telah terjadi penganutan paham, aliran atau sistim pemikiran secara dogmatis serta tegar, dan telah tumbuh sikap tak terbuka dalam menghadapi persoalan, dalam mencari kebenaran suatu masalah. Di situ telah terjadi kecenderungan kuat untuk menolak atau memalsukan kebenaran-kebenaran yang tidak tercakup oleh pemikiran sendiri. Dengan kata lain: satu proses kebohongan. Jika revolusi telah berpindah kepada kekuatan kekuasaan semata-mata, maka dasar kemanusiaan yang terdapat dalam tujuannya semula pun digilas dan dihancurkan.

Bagi kesusastraan itu merupakan suatu kontradiksi. Tak ada suatu kreasi kesusastraan yang berharga tanpa mempunyai dasar semacam kasih. Tentu saja harus dimaklumi, bahwa tindakan-tindakan politik, adanya penggunaan kekuasaan dalam revolusi – yang sering bisa mengganggu tidur nyaman dan hati nurani kita – merupakan suatu hal yang tak terelakkan sama sekali. Hanyalah harus dijaga, agar kita tidak kemudian menjadi kebal dan tebal muka akan kejadian-kejadian demikian. Saya kira justru di situlah letak kesusastraan dalam revolusi: di satu pihak ia adalah kritik terhadap kebudayaan yang harus tumbang oleh revolusi, di lain pihak ia adalah kritik terhadap ekses-ekses revolusi sendiri.

15 September 1962

Naskah diambil dari Buku Kesusastraan dan Kekuasaan

Soal Ham dan Pemberangusan: Sekitar Polemik Pramoedya Lekra vs Manikebu

Oleh A.Kohar Ibrahim

polemik kebudayaanBung GM, dalam tanggapannya, antara lain menegaskan:

“Bagi saya, yang perlu adalah merintis bersama sebuah masa baru bagi Indonesia, setelah kita menempuh sebuah masa silam yang berdarah, kotor dan penuh kebencian – agar semua itu tak terulang lagi.”

Implementasi kongkritnya bagaimana? Secara prinsip saya setuju sekali dengan itikad yang luhur itu, dengan menarik pelajaran dari pengalaman. Tetapi baru pendapat orang perseorangan macam Bung GM. Hanya seorang penandatangan Manikebu juga peserta KKPI atau anggota PKPI. Tapi bagaimana yang lainnya? Seantero anggota, sponsor dan pendukungnya. Terutama sekali kaum militeris yang kemudian memegang tampuk kekuasaan Orba Jendral.

“Sudah lama saya telah memilih jalan ini, dan melakukan apa yang saya bisa, di tengah situasi yang tak mudah di bawah pengawasan Orde Baru,” tegas GM.

Iya. Bagaimana pula dalam praktek atau kenyataannya? Untuk itu saya acungkan jempol. Namun, lagi-lagi hanya “sebatas” skop “ke-saya-an” Bung GM sendiri. Bagaimana kongkritnya yang lain? Yang bersifat kolektif, terorganisasi atau kelembagaan. Baik berupa penerbitan majalah Horison, pendudukan di lembaga-lembaga penerbitan lainnya maupun berupa Dewan Dewan Kesenian, seminar, konferensi ini dan itu? Bukankah semua posisi penting aktivitas kebudayaan dan kesenian tersebut telah dihegemoni kaum Manikebuis alias pendukung Orba Jenderal belaka? Sedangkan orang-orang macam Pram atau orang-orang Lekra dan lainnya tetap saja berada di luar pagar, difitnah dan dimusuhi? Bahkan ketika ada pujian, penghargaan atau pembelaan secara obyektif atas hasil kreasi mereka pun, terhadap kaum yang peduli bukan saja tak diucapkan terima kasih malah dimusuhi pula adanya?

Sungguh, saya pun masygul, Bung GM. Jika mengingat bagaimana perilaku kaum penguasa kebudayaan Orba Jendral mengibar panji humanisme universil, pembela dan yang mempersucikan Pancasila dengan Sila Perikemanusiaan, namun dalam prakteknya berkenaan dengan kekuasaan, ternyata hanya menjalani tongkat komando kaum militeris anti-komunis. Mengucilkan semua mereka yang diberi cap terlibat “G30S/ PKI”, sebagai kaum penganut ideologi diharamkan: MarxisLeninis-Komunis. Makanya sah-sah saja terus diberangus, tidak diizinkan mengekspresikan diri yang merupakan hak azasi baik dengan tulisan (di penerbitan berupa majalah dan koran-koran) maupun secara lisan di berbagai forum seminar atau konferensi.

Iya mengingat semua itu, sungguh saya masygul, Bung GM. Kemasygulan yang agak terlipur ketika berupaya memahami persoalan, dan mendapatkan informasi seorang Indonesianis macam David Hill, dari makalahnya berjudul “Siapa Yang Kiri” (Sastra Indonesia Pada Mula Tahun 80-an). Menurut David Hill, konferensi atau seminar di TIM (diorganisir oleh Horison dan Tempo), dan penerbitan majalah adalah dalam rangka implementasi politik anti-komunis. Majalah Horison, yang didirikan dalam bulan Juni 1966, selama bulan-bulan sengit setelah coup yang menaikkan kaum konsevatif ke atas tahta adalah barisan depan seniman sayap kanan. Dengan menggelarkan Mochtar Lubis sebagai pimpinan, yang kepadanya seniman-seniman muda menganggapnya sebagai tokoh pimpinan politik dan kesenian, maka dewan redaksi mengumpulkan banyak penanda-tangan Manifes Kebudayaan dan mengabadikan pandangan seni dan sastra tersebut.”

Begitulah, antara lain, fakta yang mencerminkan betapa pesta kemenangan kekuasaan yang berjaya dari kaum Manikebuis. Dalam kaitan penikmat menikmati kekuasaan di institusi kebudayaan, saya jadi teringat akan adanya (lagi, seperti diinfokan David Hill) Seminar yang diorganisir Horison bulan Agustus 1982. Dengan topik tentang “Peranan Sastra Dalam Perubahan Sosial” yang diilhami oleh polemik antara Goenawan Mohamad dan Sutan Takdir Alisyahbana, mengenai fungsi sosial kesusastraan dan nilai tulisan berkonteks sosial. Muncul beberapa komentar. Akan tetapi, menurut David Hill, “penyair Sutardji Calzoum Bachri umpamanya, tidak melihat keharusan menggunakan puisinya sebagai mekanisme perubahan sosial. Ia mentertawakan dan meremehkan soal itu dengan menyatakan bahwa seorang penyair itu bodoh untuk membacakan sajak ketika berhadapan dengan tank yang sedang maju.”

Tetapi, tertawaan dan opini Tardji itu bisa jadi inspirasi untuk menggubah parodi: Bagaimana kalau para penyairnya itu bukan dalam posisi berhadapan dengan tank, melainkan membonceng atau ngintilin di belakang? Seperti yang terjadi di tahun 1966: Bersama pasukan militer “Yang Menang Sebelum Bertempur!”

Duh! Ironisnya! Tak urung para penyair, pengarang dan jurnalis macam itu juga yang setelah terjadinya kudeta militer berhasil, jadi bagian pelaksana mesin propaganda Orba Jendral. Menduduki posisi-posisi penting berbagai lembaga media ma-ssa maupun dewan-dewan kesenian di Jakarta maupun di dae-rah. Maka pemberangusan terhadap para wartawan, budayawan, seniman, sastrawan dan penyair oleh penguasa Orba Jenderal dilanggengkan. Bukan setahun dua tahun, tapi ber-dasa-dasa-warsa lamanya!

Ah, Bung GM, bagaimana orang semacam saya tak masygul mengingat kenyataan ini? Dan korbannya bukan hanya saya seorang, melainkan syak-gudang banyaknya! Termasuk yang paling kondang: Pramoedya Ananta Toer.

Lantas saya jadi tergugah seraya menggugat karena ujar kata Voltaire: “Sungguh pun aku benci pandanganmu, tapi akan kubela dengan jiwaku sendiri hakmu untuk mengutarakannya.” (MIMBAR N 1, 1990; Amsterdam, Editor: Dipa Tanaera alias A.Kohar Ibrahim).

Sungguh! Kisah-kisah ragam macam lagu manusia itu memang bisa merupakan tragedi dan bisa sebagai komedi, bahkan bisa digubah ubah jadi parodi!

Dalam soal pemberangusan untuk berekspresi menyatakan perasaan dan pikiran yang merupakan salah satu hak azasi manusia, agaknya sikap dan kesadaran orang memang ternyata tidaklah seragam. Bisa cepat sadar bisa pula bebal tak ketulungan! Ada juga yang menafsirkan atau memberi warna menurut selerasanya sendiri-sendiri. Seperti tafsiran ala Ikra dan semacamnya. Sedangkan bagi saya: Humanisme hanya satu! Yakni Humanisme itu sendiri. Karena, meskipun sekian miliar jumlahnya, sekian banyak macam warna dan besar kecilnya, umat manusia itu ya seumat manusia belaka yang jadi penghuni bola bumi yang bundar dan indah ini. Iya, tak?

Oleh karena itu, kiranya bisa Bung GM ketahui sudah, dengan penerimaan saya atas HAM yang dideklarasikan 10 Desember 1948 oleh PBB, dan penganut opini Voltaire tersebutkan itu, maka jelaslah posisi saya.

Akan halnya untuk memberikan pembuktian, akan jejak langkah saya atau aktivitas-kreativitas saya, memang tidak nampak oleh Bung GM, yah? Bukan salah Bung. Pun bukan salahku! Tapi terutama sekali salahnya sang penguasa Orba Jendral itu, lho!

Tapi, bagaimana pun juga, meski bak setetes air di samudera, bisalah dilacak jejak-langkah saya itu. Baik dalam karya lukis atau gambar maupun karya tulis atau penerbitan. Termasuk yang membela penerbitan Bung ketika dibredel Orba Jendral. (Simak Majalah ARENA N 14 1995, Culemborg. Editor : A.Kohar Ibrahim).

*

Catatan:

(1).Naskah ini pertama kali disiar milis ACI – Art-Cultur Indonesia, kemudian beberapa media internet lainnya.

Dipetik dari buku: “Sekitar Polemik Pramoedya-Lekra vs Manikebu” Penerbit: Titik Cahaya Elka, Batam.

(2).Biodata: tertuju bagi peminat dan pembaca mengetahui tonggak-tonggak jejak akivitas kreativitas Abe A.Kohar Ibrahim.

Kwatrin Musim Gugur

Setelah mendapat contoh puisi bentuk tanka, kali ini RetakanKata menampilkan puisi bentuk kwatrin yang diambil dari buku kumpulan puisi Goenawan Mohamad.

(1)

Di udara dingin proses pun mulai: malam membereskan daun
menyiapkan ranjang mati.
Hari akan melengkapkan tahun
sebelum akhirnya pergi.

(2)

Kini akan habis matahari
yang membujuk anak ke pantai.
Tinggal renyai.
Warna berganti-ganti. Dan engkau tak mengerti.

(3)

Pada kalender musim pun diam.
Pada kalender aku pun bosan.
Di bawah daun-daun merah, bersembunyi jejak-Mu singgah
Sunyi dan abadi. Musim panas begitu megah.

(4)

Kabar terakhir hanya salju.
Suara dari jauh, dihembus waktu.
Kita tak lagi berdoa. Kita tak bisa menerka.
Hanya ada senja, panas penghabisan yang renta.

 

 

Autumn Quatrains

(1)

And so, in the cold, the process begins: the night arrays the leaves,
making the death bed.
Day will end the year
befor it finally departs.

(2)

Soon it will die,
the sun that herds children to the beach.
Leaving only drizzle.
Shifting colors. And you do not understand.

(3)

On the calendar the season is mute.
Even I am bored with the calendar.
Beneath the red leaves, Your footprints are buried,
still and unchanged. The summer was so great.

(4)

The latest news is snow.
A distant murmur, ushered by time.
We pray no more. We fail to know.
We have only dusk, the worn-out final heat.

 

 

(Diambil dari Goenawan Mohamad: Selected Poems)

 

 
Membaca puisi yang lain:
September Suatu Hari
A JUBILEE
Puisi-Puisi Paulus Catur Wibawa