Arsip Tag: google

Kemerdekaan, Google dan Sepatu

Gerundelan Ragil Koentjorodjati

Hari ini tampak ada yang istimewa di Google. Jika Anda buka googledotcom, maka tulisan ‘google’ akan membentang serupa bendera merah putih dengan lambang serupa burung garuda di tengah, menggantikan huruf ‘O’. Tampaknya, google turut merayakan peringatan hari kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke-68 tahun ini.

sepatu-bekas
gambar diolah dari annida.online

Berkat google, saya jadi tahu tema perayaan kemerdekaan tahun ini. Sebagaimana dipaparkan di situs sekretariat negara, kebetulan tahun ini pemerintah mengangkat tema “Mari Kita Jaga Stabilitas Politik dan Pertumbuhan Ekonomi Kita Guna Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat”. Bagi Google, Indonesia adalah partner yang punya prospek bisnis menggiurkan. Stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi berarti pula keuntungan bagi perusahaan. Rakyat bisa juga membaca seperti itu. Rakyat juga bisa saja membaca tema tersebut sebagai sebuah perintah, ajakan atau bisa juga iklan sosialisasi sesuatu yang disebut sebagai keberhasilan pemerintah mengisi kemerdekaan. Yang jelas, ada argumentasi yang disampaikan pemerintah dalam tema tersebut. Persoalannya, apakah ada cukup alasan untuk menerima argumentasi tersebut.

Sebuah cerita lama,-barangkali banyak dari Anda yang sudah mengetahuinya-, tentang sepatu Bally Bung Hatta. Cerita ini cukup menyedihkan, bagaimana seorang Bung Hatta yang juga seorang wakil presiden yang turut memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, menyimpan guntingan iklan sepatu yang tidak mampu dibelinya. Anda tahu, pada tahun itu, sekitar 1950-an, sepatu Bally adalah salah satu sepatu ‘kelas tinggi’. Namun bagaimanapun, Bally hanyalah sebuah sepatu, tidak akan lebih mahal dari sebuah mercedes dan Bung Hatta “tidak mampu” membelinya. Pertanyaannya: apa yang dikenakan di kaki Bung Hatta waktu itu? Jangan-jangan beliau tidak bersepatu.

Saya tidak hendak mengajak Anda untuk membandingkan sepatu Bung Hatta dengan sepatu para pejabat publik kita, apalagi membandingkan kekayaan Bung Hatta dengan kekayaan para pejabat publik kita. Konon Pak Ali Sadikin pernah membayar tagihan listrik rumah Bung Hatta karena beliau tidak sanggup membayar tagihan listrik. Barangkali akan banyak dari kita di jaman ini yang berpikir: “bodoh” sekali Pak Wapres ini, kesempatan emas dibuang begitu saja. Namun jika kita perhatikan betul, maka Bung Hatta menyimpan kekayaannya di sepatu, tapi bukan berbentuk dollar seperti yang ditangkap KPK, melainkan sebuah contoh manusia yang terus menerus belajar menjadi manusia merdeka.

Anda seharusnya percaya, kemerdekaan seseorang dapat dilihat dari apa yang dikenakan di kakinya. Seorang petani yang membajak sawah menjadi tidak merdeka sebagai petani ketika ia terkungkung sepatu di kakinya. Namun ia bisa menjadi petani yang bebas bergerak dengan sepatu boot ketika membuka lahan untuk ladang baru. Seekor kera dapat bebas bergelantungan di pohon tanpa harus mengenakan sepatu di kakinya tetapi pejabat publik menjadi murah harganya ketika ia tidak mengenakan sepatu di kakinya.

Pepatah jawa mengatakan: Ajining diri dumunung ana ing lati, ajining raga dumunung ana ing busana. Pepatah ini semacam pesan, rasa hormat dan patuh orang lain kepada Anda tergantung pada bagaimana ucapan dan perbuatan Anda. Pada tingkat paling dasar, orang menaruh hormat pada apa yang kelihatan, semacam baju dan sepatu yang dikenakan. Maka harga diri Anda tampaknya tergantung pada bagaimana penampilan fisik Anda. Untuk itu orang kemudian bersolek menghias diri, memilih berbagai sandal dan sepatu sebagai simbol-simbol kepribadian Anda. Anda berharap orang lain mengenali jati diri Anda dari apa yang Anda kenakan. Jika orang percaya pada apa yang dikenakan seseorang, maka orang tersebut akan mencoba mendengar kata-kata Anda. Rasa hormat kemudian muncul dari penghormatan terhadap kata-kata yang dapat “dipegang”. Dan perbuatan adalah pakaian bagi tubuh rohani Anda.

Maka ibarat topi, sepatu Bally dapat dikatakan sebagai mahkota yang dikenakan di kaki, pakaian bagi tubuh yang kasat mata.  Jika wapres dapat dianalogikan sebagai seorang wakil raja, maka sudah sepatutnya ia  menggenakan mahkota di kepalanya, namun Bung Hatta rela menjadi wakil raja tanpa mahkota. Dan Bung Hatta tidak menjual kemerdekaannya untuk sebuah sepatu Bally. Ada yang lebih penting dari sekedar sebuah sepatu yang ia kenakan, yaitu sepatu yang sebaiknya dikenakan bagi rakyatnya. Ia tidak berhenti pada pikiran bagaimana menggunakan kemerdekaannya untuk memerdekakan orang lain, namun juga mewujudkannya dalam perbuatan. Maka Ia adalah contoh manusia yang merdeka sejak dari pikiran hingga perbuatannya, kemerdekaan yang membantunya menjadi manusia jujur dan sederhana. Ia tidak berhenti pada tingkat fisik (kasat mata), tetapi lebih pada pencapaian pembebasan dari keinginan-keinginan duniawi. Lalu bagaimana dengan pejabat kita di jaman ini? Jawaban Anda menentukan pemahaman tema “Mari Kita Jaga Stabilitas Politik dan Pertumbuhan Ekonomi Kita Guna Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat”, sebagai cara memerdekakan rakyat atau malah menguatkan sepatu-sepatu kekuasaan yang menindas rakyat.

Buku Baru: Antologi Cerpen RetakanKata 2012

hari ketika seorang penyihir menjadi nagaKabar RetakanKata– Jika kita perhatikan, mungkin anda sependapat bahwa dunia sastra kita semakin hari semakin berkembang, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Berbagai acara berbau sastra dipagelarkan di berbagai tempat. Dengan mesin pencari google, anda bisa menemukan berbagai macam lomba menulis. Meningkatnya budaya baca-tulis merupakan petanda baik perkembangan budaya masyarakat yang menumbuhkan harapan di tengah hingar-bingarnya gempuran budaya instan.RetakanKata sebagai salah satu Blog Seni dan Budaya, tidak mau ketinggalan laju kereta perubahan. Lomba-lomba menulis terus digiatkan. Dan salah satu hasil dari lomba menulis di RetakanKata ini dibukukan menjadi Antologi Cerpen RetakanKata 2012. Antologi ini memuat 15 (lima belas) cerita pendek terbaik dari 361 cerpen yang lolos seleksi dalam perlombaan. Lima belas cerpen karya lima belas penulis dari 490 peserta lomba tersebut berjudul:

  1. Cincin karya Canaliy
  2. Rantai Mawar karya Adellia Rosa Rindry Poetri
  3. Rhesus karya Zakiya Sabdosih
  4. Dia karya Meilia Aquina Hakim
  5. Depan Cermin karya Dandun Suroto
  6. Budak-budak Tuhan karya M Nasif
  7. Ibuku Pelacur karya Sam Edy Yuswanto
  8. Cinta yang Menyebalkan karya Miftah Fadli
  9. Bungkam karya Latifatul Khoiriyah
  10. Tempe Busuk karya Victor Delvy Tutupary
  11. Stasiun Kesunyian karya Gatot Zakaria Manta
  12. Dotage karya MK Wirawan
  13. Burung Gereja di Nagoya karya Beta Tangguh
  14. Arwah Keibuan karya Fahrul Khakim
  15. Hari Ketika Seorang Penyihir Menjadi Naga karya Maria Wiedyaningsih

Soe Tjen Marching, salah satu juri dalam lomba penulisan cerpen ini mengatakan:

Cerpen-cerpen luar biasa telah lahir dari para penulis yang namanya tak dikenal dalam dunia sastra. Dengan berbagai tema dan gaya bahasa, sebuah imbuhan segar bagi dunia sastra.

Dan memang demikianlah adanya. Lima belas penulis yang memenangkan lomba tersebut adalah kaum muda berbakat yang namanya tak begitu dikenal dalam dunia sastra. Sebagian besar dari mereka masih berstatus mahasiswa. Namun, dengan berbagai gaya penulisan masing-masing, mereka mampu mengangkat tema-tema yang berbeda menjadi sebuah bacaan yang segar dan menarik. Tema sosial cukup mendominasi karya-karya mereka. Simak misalnya dalam cerpen Rhesus yang mengangkat tema aborsi, Kemudian Dia, mengangkat tema pengguna obat-obatan terlarang, Depan Cermin mengangkat tema kepalsuan, Budak-budak Tuhan, Ibuku Pelacur,  dan Hari Ketika Seorang Penyihir Menjadi Naga mengangkat tema kekerasan psikologis. Kisah anak jalanan dapat dibaca pada cerpen Arwah Keibuan, sedang kisah kemunafikan hidup seseorang diceritakan dengan sangat manis dalam cerpen Tempe Busuk.

Tema cinta yang disampaikan dengan gaya bahasa unik menambah segar kumpulan cerpen ini. Rantai Mawar, Cinta yang Menyebalkan dan Burung Gereja di Nagoya, tidak melulu melihat cinta sebagai sesuatu yang mendayu-dayu melainkan sebagai dilema-dilema yang harus dihadapi. Demikian juga dengan Cincin, Bungkam, Stasiun Kesunyian dan Dotage. Para penulis tema cinta ini seperti hendak menyampaikan bahwa setiap orang akan memberi respon yang berbeda ketika berhadapan dengan dilema cinta. Orang bisa mengambil sikap serius, namun juga bisa easy going -semua akan baik-baik saja. Membaca kisah-kisah mereka, mau tidak mau, pembaca diajak tersenyum getir sekaligus geli menghadapi kekonyolan-kekonyolan hidup ini. Para penulis ini begitu piawai merangkai kisah dan menyerahkan penyikapan situasi pada pembaca.

Berbagai ragam tema dan gaya bahasa tersebut telah menciptakan harmoni keindahan dalam buku kecil ini, Hari Ketika Seorang Penyihir Menjadi Naga: Antologi Cerpen RetakanKata 2012– persembahan RetakanKata dan Rose Management untuk Anda.

hari ketika seorang penyihir menjadi nagaJudul Buku: Hari Ketika Seorang Penyihir Menjadi Naga: Antologi Cerpen RetakanKata 2012
Penulis : Kumpulan 15 Penulis
Penyunting: Ragil Koentjorodjati
Penerbit: Rose Management
Tahun: 2012
Tebal: xx + 284 halaman
Harga: Rp. 45.000,-
ISBN: 978-602-19991-5-8

Pemesanan buku dilayani melalui:

Blog RetakanKata

Email retakankata@gmail.com
Sms 085958 55 11 55
Facebook Redaksi RetakanKata

Rose Management:

twitter@rosemanagement; @KRofficial_ ;
sms 0812 844 26 788 ; 0856 991 2595

Catatan: Harga di atas belum termasuk ongkos kirim.

Membaca Puisi Mbeling Meng Jiao (751-814)

Gerundelan John Kuan
Sambungan dari Dunia Tang yang Dingin dan Pahit di dalam Puisi Mbeling Meng Jiao ( 751 – 814 )

dunia dinasti tang
Gambar diunduh dari mw2.google.com

Nyanyian Perpisahan

Awan putih mengayut di gunung pinus,

kiambang sungai terpencar dibawa arus.

Awan pergi ada kalanya terbang kembali,

air berpisah tiada muara bertemu lagi.

Hamparan rumput musim semi letihkan mata,

pemandangan ini membuat badan lunglai

Dedalu sedang mengayam pilu perpisahan

ah, bahkan lebih seribu sulur ikut berjuntai

古离别

松山云缭绕,萍路水分离。

云去有归日,水分无合时。

春芳役双眼,春色柔四支。

杨柳织别愁,千条万条丝。

Nyanyian Si Anak Hilang

Benang di tangan lembut ibunda,

adalah baju di badan si anak hilang.

Sebelum berangkat dijahit rapat-rapat,

risau si anak terlambat ingat pulang.

Siapa bilang tunas rumput seinci

mampu membalas cahaya satu musim semi?

游子吟

慈母手中线,游子身上衣。

临行密密缝,意恐迟迟归。

谁言寸草心,报得三春晖。

Keluhan

Coba adu airmataku dan airmatamu,

di dua tempat menetes ke air kolam.

kita akan lihat bunga lotus tahun ini,

demi siapa mati direndam asin

古怨

试妾与君泪,两处滴池水。

看取芙蓉花,今年为谁死。

Nyanyian di Tepi Kolam

Di tengah kolam daun ekor kucing bagai selendang, chesnut air matang

ungu bertanduk, bongkol lotus penuh dan montok. Gadis bergaun sutera

selendang setipis sayap tonggeret bersandar, angin disambut sampan

dikayuh, sepasang-sepasang burung cendet kaget terbang ke timur

临池曲

池中春蒲叶如带,紫菱成角莲子大。

罗裙蝉鬓倚迎风,双双伯劳飞向东。

Suatu Hari di Musim Semi

Tetes hujan jatuh, rumput berhambur

keluar sambut, sehari makin panjang sehari

Angin meniup sulur-sulur dedalu gemulai

bergoyang, satu ranting bersambung satu ranting

Hanya dia berwajah galau, sebelah mata

memandang musim semi. Mari tuangkan

arak hingga cawan meluap, nyanyikan

nada setengah tawa, setengah gila.

春日有感

雨滴草芽出,一日长一日。

风吹柳线垂,一枝连一枝。

独有愁人颜,经春如等闲。

且持酒满杯,狂歌狂笑来。

Renungan Musim Gugur

( 15 nomor pilih 6 nomor )

1.

Tulang sepi ini sulit lelap di malam.

Nyanyian serangga saling menyayat

Tangisan renta sudah lama kerontang,

tinggal embun musim gugur menetes untuknya

Masa muda sekejap tercecer, bagai di mata

gunting, dan tua datang seperti menenun

tak bertepi, aku menyentuh ujung benang.

Hati tanpa riak baru, kenangan merayap pilu

Bagaimana tega naikkan layar ke selatan lagi,

mengembara gunung dan sungai masa lalu

2.

Wajah bulan musim gugur berwarna dingin,

semangat seorang pengembara tua disapu tipis.

Embun gigil jatuh menetes koyak mimpi, angin

bergerigi menyisir ke dalam tulang, dingin

tikar penuh cap stempel sakit, segulung-gulung

risau berputar di dalam dada terpilin. Takut ini

tiada ruang bersandar lagi, seperti hampa

aku mendengar suara dari antah berantah

Pohon wutong meranggas, ranting bergesek

suara menggema bagai ratapan kecapi

4.

Musim gugur tiba, aku makin tua dan miskin

gubuk bocor bahkan hilang daun pintunya

Sekeping bulan jatuh di tepi di ranjang, dinding

membiarkan angin menyusup ke dalam baju

Mimpi renggang tidak lagi bergerak jauh,

hati rapuh ini mudah menemui jalan pulang

Bunga di ujung musim siap berpisah daun

hijau, gemulai memamerkan bias warna terakhir

Kian jarang bawa hati menginjak setapak dusun,

derita badan ingin mengelabui segala benda

Serangga bersembunyi di antara batang dan akar

rumput, gairah hidupmu lemah seperti aku

6.

Tulang tua takut bulan musim gugur, bulan

musim gugur tajam dingin seperti mata pisau

Seutas tipis cahayanya tidak juga menolong,

dan roh dingin duduk membeku, Chang’er sepi

bersarang di atas sekeping cermin gantung

di langit, angin dewata menggoncang es

terapung, takut langkahku goyah tergelincir

derita ini terlalu luas, tidak tabah lewat melangkah

Terbangun dalam cahaya pucat, sendiri

di atas ranjang, rebah di dalam teror hati:

bagai dibasuh dalam sungai, walau tiada air

tetap menembus keruh tubuh jadi bersih dan bening

Tentang puisi bertenaga, itu percakapan kosong

masa lalu, kini ikut rapuh, di mana bersandar aku?

8.

Tahun berakhir di dalam satu dunia kerontang,

angin musim gugur memulai suara gesek pedang

dan perisai, suara jengkerik merajut risau

tiada baju dingin, percuma menjerit dan menjerit

sendiri, di tengah malam angin musim gugur diasah

kian tajam, langkah goyah melumpuhkan jalan depan

Begitu dipangkas, rambut hitamku seperti taman

musim gugur: tidak pernah tumbuh kembali

Masa kecil adalah kunang-kunang mampir di mata

lapar, berpijar sekejap dan tidak pernah berkedip lagi

Sekokoh puncak gunung, orang mulia bertahan

manusia picik bercakar demi seutas benang dan bulu

Makin berebut makin terkuras hidup mereka.

Sebab Tao Langit melarang kepenuhan

9.

Embun dingin penuh pilu menetes kecewa,

angin di dahan kering berbisik dan merintih,

musim gugur telah dalam: bulan pahit kian jernih

serangga tua sedang memperagakan nyanyian kalem

Mutiara merah tergantung dari dahan ke dahan,

bunga krisan agak malas emaskan setiap tempat.

Pohon dan bunga siap menjawab isyarat musim,

bunga-bunga mekar dalam dingin, bagai sisa musim

semi, aku meratap hidup jatuh berserpih,

dan adakah sesuatu seperti hatiku di sini?

秋怀

孤骨夜难卧,吟虫相唧唧。

老泣无涕洟,秋露为滴沥。

去壮暂如翦,来衰纷似织。

触绪无新心,丛悲有馀忆。

讵忍逐南帆,江山践往昔。

秋月颜色冰,老客志气单。

冷露滴梦破,峭风梳骨寒。

席上印病文,肠中转愁盘。

疑怀无所凭,虚听多无端。

梧桐枯峥嵘,声响如哀弹。

秋至老更贫,破屋无门扉。

一片月落床,四壁风入衣。

疏梦不复远,弱心良易归。

商葩将去绿,缭绕争馀辉。

野步踏事少,病谋向物违。

幽幽草根虫,生意与我微。

老骨惧秋月,秋月刀剑棱。

纤辉不可干,冷魂坐自凝。

羁雌巢空镜,仙飙荡浮冰。

惊步恐自翻,病大不敢凌。

单床寤皎皎,瘦卧心兢兢。

洗河不见水,透浊为清澄。

诗壮昔空说,诗衰今何凭。

岁暮景气干,秋风兵甲声。

织织劳无衣,喓喓徒自鸣。

商声耸中夜,蹇支废前行。

青发如秋园,一剪不复生。

少年如饿花,瞥见不复明。

君子山岳定,小人丝毫争。

多争多无寿,天道戒其盈。

冷露多瘁索,枯风晓吹嘘。

秋深月清苦,虫老声粗疏。

赪珠枝累累,芳金蔓舒舒。

草木亦趣时,寒荣似春馀。

悲彼零落生,与我心何如。

Sungai Dingin

( delapan nomor pilih empat )

1.

Embun beku membasuh warna air

bening, tampak Sungai Dingin berkedip sisik.

Berdiri di tepi cekung cermin hampa,

memantul tubuhku goyang berserpih.

Ini terlalu jernih buat menyembunyikan

diri, terlihat di dasar cahaya berpijar kembali,

bening terbuka seperti sebuah hati bersih,

pernah juga menenggelamkan nurani

Terang dimulai, hati sederhana dan dangkal

malam membeku dan pagi telah cair meluap

Segenggam penuh, hijau terang bersihkan

seribu debu gelisah di tempat jauh. Sekali

langkah berlumpur masuk ke sungai, sulit

seperti mata air di gunung, mengalir murni

3.

Pagi mencicip secawan arak, injak salju

lewati Sungai Dingin kristal. Ombak beku

seperti mata pisau, menyayat itik liar

membelah angsa. Burung-burung menginap

semalam, menyisakan bulu-bulu berceceran,

gelegak darah telah terkubur di lumpur

dan pasir. Aku berdiri sendiri, hilang kata,

diam-diam baca ngilu mengiris hati.

Darah beku jangan menjelma tanah musim semi,

sebab tunas-tunas akan tumbuh terluka.

Darah beku jangan merekah jadi bunga, kau

mekar dan airmata janda akan menetes.

Begini hening, dusun penuh tanaman berduri,

ladang beku dan mati, sulit membajak di sini.

4.

Pengayuh perahu membuka sungai beku, dayung

menerbangkan serpihan giok, berkedip sepanjang jalur

bagai kunang-kunang. Dan retak es menjerit dingin

hingga ke dasar, sudut bibir pemburu lapar memohon

amis ikan tersembunyi. Gigi gemeretak menggosok

serpihan es, lonceng bergetar pilu di dalam angin.

Seluruh kesedihan begitu jernih —— tak terhindarkan,

mendadak telinga bagai bisa menangkap suara terkecil

dibasuh air dingin. Perahu bergerak, riak hijau hilang

membeku, jas warna pengayuh perahu mengibas

di dalam angin. Sebentar turun tergelincir di atas es,

sebentar naik ke perahu kandas, begini tiada

henti, terluka, menyerit dan merintih,

meratap langit: bila semua akan berakhir?

8.

Angin meniup, meleraikan sisa-sisa beku, sungai

mengantar cerah musim semi kembali ke bumi.

Bunga menetes, menetes bagai giok mencair,

naga menggeliat lepas, sisik-sisiknya berkilau.

Aku melangkah turun di sisi teluk, awal musim

salju cair dan air wangi, di ujung dermaga aku

membasuh diri. Jauh, seribu li lapisan es retak

terbuka, mencicipi sesendok penuh kehangatan

hati. Intisari beku sudah mencair, saling membasuh

saling berebut membentuk selingkar-selingkar hidup baru

Tiba-tiba, bagai seluruh luka pedang telah sembuh,

dan tubuh seratus medan perang tegak kembali

寒溪

霜洗水色尽,寒溪见纤鳞。

幸临虚空镜,照此残悴身。

潜滑不自隐,露底莹更新。

豁如君子怀,曾是危陷人。

始明浅俗心,夜结朝已津。

净漱一掬碧,远消千虑尘。

始知泥步泉,莫与山源邻。

晓饮一杯酒,踏雪过清溪。

波澜冻为刀,剸割凫与鹥.

宿羽皆翦弃,血声沉沙泥。

独立欲何语,默念心酸嘶。

冻血莫作春,作春生不齐。

冻血莫作花,作花发孀啼。

幽幽棘针村,冻死难耕犁。

篙工磓玉星,一路随迸萤。

朔冻哀彻底,獠馋咏潜鯹.

冰齿相磨啮,风音酸铎铃。

清悲不可逃,洗出纤悉听。

碧潋卷已尽,彩缕飞飘零。

下蹑滑不定,上栖折难停。

哮嘐呷喢冤,仰诉何时宁。

溪风摆馀冻,溪景衔明春。

玉消花滴滴,虬解光鳞鳞。

悬步下清曲,消期濯芳津。

千里冰裂处,一勺暖亦仁。

凝精互相洗,漪涟竞将新。

忽如剑疮尽,初起百战身

Sekedar Buat Jia Dao

( Dua nomor, pilih satu )

1.

Musim gugur di Chang’an bunyinya garing,

daun-daun pohon saling menjerit pedih.

Ada satu biksu kurus seperti tidur di balok es

menggigil, baca puisi menahan sobek bibir.

Luka sobek ini bukan disayat pedang perang

hanya dia suka menguyah kata-kata tajam.

Tulang puisinya lebih kurus dari Meng Jiao,

dan ombak sajaknya segemuruh Han Yu

Langkahnya kadang miring kanan kadang miring

kiri, orang sering terkejut oleh biksu bangau ini

Sayang sekali Li Bai dan Du Fu telah mati,

belum pernah melihat ada biksu sesinting ini

戏赠无本

长安秋声干,木叶相号悲。

瘦僧卧冰凌,嘲咏含金痍。

金痍非战痕,峭病方在兹。

诗骨耸东野,诗涛涌退之。

有时踉跄行,人惊鹤阿师。

可惜李杜死,不见此狂痴。

Bangau Subuh

Lidah bangau subuh memetik irama

kuno, bunyi doa-doa kitab Brahmana

Kau seharusnya melantun nada Langit,

tidak usah mencari di dalam debu dunia.

Segala mimpi di kehampaan akan putus,

ah, dambaan ini bagaimana dikekang.

Laksana membuka mulut bulan yang sepi,

seperti berbisik hati bintang gemintang.

Jika bukan nada alam manusia, sungguh

sia-sia kau menjelma jadi burung duniawi

Atau lebih baik terbang beriring pergi

hinggap di kedalaman sarang biru langit

晓鹤

晓鹤弹古舌,婆罗门叫音。

应吹天上律,不使尘中寻。

虚空梦皆断,歆唏安能禁。

如开孤月口,似说明星心。

既非人间韵,枉作人间禽。

不如相将去,碧落窠巢深。

Nyamuk

Malam Juni tengah berehat,

nyamuk lapar masih sibuk berputar.

Hanya ingat mencari darah kental,

tidak tahu hidupnya rapuh dan ringan!

Sungguh demi diri ini siap menyesal?

Curi setetes kehidupan mengisap manusia.

Aku sudi menjadi kelambu dunia,

buat pemandangan damai di satu malam.

五月中夜息,饥蚊尚营营。

但将膏血求,岂觉性命轻。

顾己宁自愧,饮人以偷生。

愿为天下幮,一使夜景清。

Ratapan Ngarai

( sepuluh nomor pilih empat )

2.

Di atas langit air di bawah langit air,

satu perahu keluar masuk bumi

Pedang batu saling tebas menusuk,

ombak pecah batu, naga garang amuk

Bunga musim lalu masih tersisa, angin

beku menggigilkan musim gugur purba

Suara misterius berbisik di dalam gua

lalu terbang mengerebuti laju arus

Matahari terbenam dan ratapan ikut

tenggelam, adakah ingin aku tuturkan?

4.

Ngarai kocar-kacir meraung, suara jernih

dan tajam, lahir mengelepar di batu

jadi sisik sisik segar, menyembul air liur

hujan amis, berembus jadi selobang

perigi hitam. Cahaya aneh menjilat segala rupa,

pedang-pedang lapar sudah lama siaga.

Usus purba ini masih belum kenyang, gerigi

abadi gemeretak di tebing-tebing amarah

Air terjun dikunyah keluar dari Tiga Ngarai

suara Tiga Ngarai saling menyikut, mengeram

7.

Tanduk-tanduk ngarai menggores matahari

dan bulan, matahari dan bulan disayat putus

cahayanya. Segala benda tumbuh miring

di sini, burung-burung juga terbang miring.

Bebatuan di bawah air saling menggigit,

roh-roh tenggelam tidak bisa dipanggil.

Ikan-ikan timbul hilang bagai baju zirah sungai

jernih, berkilau jubah lumut batu hijau giok.

Air terjun dengan lahap menelan, membahana

seperti air liur dikunyah berputar menjadi buih

Jangan mengembara ngarai di musim semi:

hanya mencuat sedikit rumput lemah dan amis.

10.

Burung hantu memanggil suara manusia,

naga mengisap gelombang hempas gunung.

Bisa juga di tengah terang hari, memikat

keheningan langit cerah angin bersahabat

pikiran terkejut, risau segala kehidupan

mengumpul amis di dasar kedalaman

tertutup tanaman merambat. Taring-taring

air terjun tanpa dasar menyobek, ludah

muncrat ke segala arah. Burung tidak bersarang

di pohon miring, siamang melompat

berpapasan di dahan. Ratapan ngarai jangan

didengar, ngarai berkata: buat apa mengeluh

峡哀

上天下天水,出地入地舟。

石剑相劈斫,石波怒蛟虬。

花木叠宿春,风飙凝古秋。

幽怪窟穴语,飞闻肸蚃流。

沉哀日已深,衔诉将何求。

峡乱鸣清磬,产石为鲜鳞。

喷为腥雨涎,吹作黑井身。

怪光闪众异,饿剑唯待人。

老肠未曾饱,古齿崭岩嗔。

嚼齿三峡泉,三峡声龂龂。

峡棱剸日月,日月多摧辉。

物皆斜仄生,鸟亦斜仄飞。

潜石齿相锁,沉魂招莫归。

恍惚清泉甲,斑斓碧石衣。

饿咽潺湲号,涎似泓浤肥。

峡青不可游,腥草生微微。

枭鸱作人语,蛟虬吸水波。

能于白日间,谄欲晴风和。

骇智蹶众命,蕴腥布深萝。

齿泉无底贫,锯涎在处多。

仄树鸟不巢,踔ez猿相过。

峡哀不可听,峡怨其奈何。

Aprikot Mati Muda

( sembilan nomor pilih enam )

Aprikot mati muda, masih kuncup

Embun beku mengguting mereka luruh,

serpihannya membuat aku meratap anakku

telah lama pergi, demikianlah aku menulis puisi ini

1.

Jangan membelai mutiara, O tangan dingin

beku, mutiara dibelai mudah terbang luruh

Embun beku jangan mendadak sayat musim

semi, musim terluka ini segera hilang pijar

Kuncup-kuncup bunga kecil gugur berserak

dalam warna-warni terkenang baju bayiku

Sudah kukutip namun tidak penuh segenggam

dan senja tiba, sedih hampa, kubawa pulang

2.

Memungut bintang di tanah kehampaan,

tidak tampak bunga tersisa di ujung ranting

adalah sedih dan duka: seorang lelaki tua

sendiri, sebuah rumah tiada anak merintih pedih

Bagaimana bisa serupa itik terjun ke dalam air?

tidak juga seperti gagak kumpul ranting buat sarang:

ombak menghempas, anak itik mudah kepak sayap

dan terbang, gagak kecil angkuh memanggil

di dalam angin. Bunga dan bayi tidak akan kembali

dalam sebuah dunia dikosongkan sedih, aku meratap

3.

Ini mesti seuntai airmata yang sama,

menusuk ke jantung pohon musim semi;

ranting demi ranting tidak ada mengikat jadi

bunga, sekeping-sekeping jatuh di mata gunting

Umur musim semi tidak pernah panjang, memang,

namun ratapanku pada embun beku sudah terlalu

dalam. Seharusnya di sungai mandi bunga harum

hari ini airmata membasuh ujung lengan baju

5.

Takut langkahku bisa menyakiti bumi,

melukai akar di bawah pohon berbunga ini.

tapi Langit tidak bisa mengerti, memotong

dan menghempas anak cucuku. Dahan berat

melengkung ada seribu kuntum bunga gugur

tidak satu pun kehidupan wangi itu tumbuh

Siapa sebut ini sebuah rumah buat kehidupan?

Warna musim semi tidak pernah masuk pintu

6.

Sesayat-sesayat embun beku membunuh

musim semi, bagai pisau kecil satu ranting

ke satu ranting. Akhirnya jatuh berkeping,

percuma setiap hati pohon di bawah lembah

menjerit lirih. Serpihan-serpihan warna gugur

ke bumi, setitik-setitik bagai minyak berpijar.

Dan segalanya jelas dan terang: di antara Langit

dan bumi, sepuluh ribu benda merenggang

9.

Embun beku tampak telah selesai membinasa

bunga merah, menyobek kunyah beberapa

puluh pasang, bebas terbang dalam keluhan

angin ringan: mulut ikan keluar merebut udara

di sungai dangkal. Tangisan beku tidak mudah mencair,

dan bersedih sendiri sulit menahan getir ini

Di sini hampa, hanya tersisa hari yang hilang,

sebuah jendela kecil buat kata-kata juga terlalu besar

杏殇(杏殇,花乳也,霜翦而落,因悲昔婴,故作是诗 )

冻手莫弄珠,弄珠珠易飞。

惊霜莫翦春,翦春无光辉。

零落小花乳,斓斑昔婴衣。

拾之不盈把,日暮空悲归。

地上空拾星,枝上不见花。

哀哀孤老人,戚戚无子家。

岂若没水凫,不如拾巢鸦。

浪鷇破便飞,风雏袅相夸。

芳婴不复生,向物空悲嗟。

应是一线泪,入此春木心。

枝枝不成花,片片落翦金。

春寿何可长,霜哀亦已深。

常时洗芳泉,此日洗泪襟。

踏地恐土痛,损彼芳树根。

此诚天不知,翦弃我子孙。

垂枝有千落,芳命无一存。

谁谓生人家,春色不入门。

冽冽霜杀春,枝枝疑纤刀。

木心既零落,山窍空呼号。

班班落地英,点点如明膏。

始知天地间,万物皆不牢。

霜似败红芳,剪啄十数双。

参差呻细风,噞喁沸浅江。

泣凝不可消,恨壮难自降。

空遗旧日影,怨彼小书窗。

Meratap Lu Yin

( sepuluh nomor pilih dua )

4.

Di rumahmu, rumput tinggi dan pohon

rimbun menyempit jalan, di sini matahari

dan bulan tidak lagi melepas cahaya.

Lumut entah kenapa telah menyelimuti

kau. Terlalu sedih, lelaki tua tiada anak,

semut-semut berkitar di atas daging sakit,

kau rebah melengkung tahun berputar

tahun, ratapan gelap mengalir dan mengalir

ratapan gelap mungkin didengar macan tutul

selain itu tiada orang datang menjegukmu

Kerabat terdekat hanya tinggal puisi

hati merangkulnya hingga maut membawa

kau kesini. Han Yu masih tergantung dirimu,

menulis untukmu sebuah elegi: dari ngarai

dan tebing, dia menggosok keluar tinta

melepaskan kata-kata berpijar seribu abadi

7.

Saat kita bertemu, rambut masih dilumur cat

hitam, dan berjuang agar bahasa bisa bertunas

Malam menginjak jembatan cahaya bulan,

atau bersandar di kursi kedai arak langganan

Setelah mencicip dua cawan, kita sudah

melayang, nama dan harum arak tercium

di empat penjuru kota, kita pergi memetik bunga

plum di kuil Buddha, menggunting bunga berayun

di taman, hati tinggi mencecap kuah hijau

sayur, hilang nafsu menatap lemak daging empuk

Kita membaca puisi, setiap irama bening kristal,

kata-kata penuh berisi nyanyian hati purba

Tiba-tiba kepala kita sudah menjadi putih,

dan tahun-tahun penuh berisi itu telah habis dicuri

Tidak perlu lagi mengejar jernih atau keruh,

kenapa mesti menuduh Sungai Nasib ini

吊卢殷

登封草木深,登封道路微。

日月不与光,莓苔空生衣。

可怜无子翁,蚍蜉缘病肌。

挛卧岁时长,涟涟但幽噫。

幽噫虎豹闻,此外相访稀。

至亲唯有诗,抱心死有归。

河南韩先生,后君作因依。

磨一片嵌岩,书千古光辉。

初识漆鬓发,争为新文章。

夜踏明月桥,店饮吾曹床。

醉啜二杯酿,名郁一县香。

寺中摘梅花,园里翦浮芳。

高嗜绿蔬羹,意轻肥腻羊。

吟哦无滓韵,言语多古肠。

白首忽然至,盛年如偷将。

清浊俱莫追,何须骂沧浪。

Dunia Tang yang Dingin dan Pahit di dalam Puisi Mbeling Meng Jiao ( 751 – 814 ) #1

Gerundelan John Kuan

dunia dinasti tang
Gambar diunduh dari mw2.google.com
Pemberontakan An Lushan yang bertahan delapan tahun ( 755 – 763 ) telah menyapu habis seluruh kebesaran dan kemegahan Dinasti Tang. Sejak itu Dinasti Tang di mata penyairnya telah berubah menjadi selingkar matahari musim dingin di ufuk barat. Sekalipun kadang-kadang masih kelihatan berpijar kemerah-merahan, tetapi bagaimana pun sedang perlahan-lahan terbenam. Dan kelapangan dada, semangat bergelora, dan keyakinan mencengangkan yang diwakili oleh Li Bai dan Du Fu, telah layu dan gugur di dada penyair. Mungkin kadang-kadang masih berkedip sekejap di dalam satu dua puisi penyair masa itu, tetapi sudah tidak bisa bertahan lama lagi. Ini mungkin dapat disebut suatu penyakit zaman: Realita yang merosot telah meracuni jiwa penyair ——— realita yang terpampang jelas di depan mata, siapa pun tidak mampu berlagak tidak kelihatan.

Pemberontakan memang berhasil dipadamkan, tetapi kedaulatan dan kekuasaan Dinasti Tang telah jauh berbeda. Untuk memadamkan pemberontakan ini Klan Li sebagai penguasa Dinasti Tang telah melakukan berbagai kompromi politik dan meminta bantuan militer dari jenderal-jenderal asing yang berkuasa di perbatasan. Tentu bantuan militer begini bukan tanpa imbalan; ada yang dijanjikan untuk menjarah kota yang berhasil direbut, ada yang dijanjikan jabatan Gubernur Jenderal setelah berhasil menguasai daerah itu. Keputusan-keputusan begini yang kemudian membentuk provinsi-provinsi yang memiliki otonomi penuh yang biasa disebut Provinsi Militer atau dalam catatan sejarah Cina disebut 藩镇 ( baca: fanzhen ). Provinsi-provinsi ini sesungguhnya memiliki kedaulatan penuh atas teritorinya, mereka juga tidak menyerahkan pajak ke pemerintah pusat, yang mereka lakukan terhadap pemerintah pusat di Chang’an tidak lebih daripada lip service. Permbangkangan provinsi militer serta pertikaian politik istana antara gerombolan kasim yang mengitari Kaisar dengan pejabat-pejabat tinggi dan jenderal-jenderal yang masih setia kepada kerajaan menjadi pemicu utama runtuhnya Dinasti Tang.

Menyusul krisis politik tentu adalah krisis sosial. Setelah provinsi-provinsi militer menolak menyetor pajak ke kas negara, dan biaya besar yang mesti dikeluarkan untuk memerangi pemberontakan yang meletup di sana-sini, keuangan kerajaan pada dasarnya sudah bangkrut, dan keadaan ini telah menggoyahkan sendi-sendii perekonomian, ditambah lagi kota-kota besar seperti Chang’an dan Louyang sudah tinggal puing setelah berulang kali dijarah, baik oleh tentara pemberontak, tentara asing maupun tentara kerajaan, maka pengungsian terjadi di mana-mana, kehidupan rakyat merosot dratis.

Gelombang pengungsian terus mengalir ke daerah selatan Cina, terutama ke Zhexi ( Provinsi Zhejiang ), Suzhou ( Provinsi Jiangsu ), Guangdong, dan Fujian. Daerah-daerah ini cukup aman dan belum begitu tersentuh api perang, perekonomian dan kebudayaan juga cukup berkembang.

Pengungsian sejumlah besar intelektual dari Cina bagian utara telah mengairahkan kehidupan budaya di daerah selatan ini, terutama sastra. Pada masa inilah komunitas-komunitas sastra berkembang pesat di daerah ini. Sebagian besar komunitas begini dibentuk atau didirikan oleh biksu penyair ( biksu yang suka menulis puisi ) yang cukup terpandang ataupun pejabat penting setempat, dan mereka biasanya melakukan pertemuan, diskusi, pembahasan puisi di kuil ataupun tempat yang disediakan pejabat. Antologi puisi mereka juga berhasil melewati kekacauan jaman dan masih bisa kita nikmati hari ini. Salah satu bentuk puisi yang agak menonjol dari komunitas sastra masa ini adalah Puisi Berantai atau Puisi Kolaborasi yang dalam Sastra Cina Klasik disebut 联句 ( baca: lianju ). Sekalipun bentuk puisi ini tidak pernah mendapat tempat dalam Sastra Cina Klasik ——— bentuk ini sudah mulai digunakan sejak Dinasti Han ( 202 SM – 220 ), tetapi mungkin adalah bentuk awal yang dibawa ke Jepang dan kemudian berkembang menjadi Renga yang merupakan cikal bakal Haiku. Dalam catatan pendek ini saya tidak bermaksud dan juga tidak memiliki kapasitas untuk membahasnya, mengenai hubungan Lianju dan Renga yang ditulis di sini hanyalah sebuah bersitan pikiran, untuk membahas hubungan mereka saya rasa masih perlu pendalaman.

Sekarang seperti sudah saatnya menampilkan tokoh utama dalam catatan ini: Meng Jiao. Dia hidup di dalam waktu dan ruang seperti yang digambarkan dalam paragraf di atas, lahir pada tahun 751 di Huzhou ( sekarang Wukang, Provinsi Zhejiang ). Seluruh masa mudanya dihabiskan di daerah ini, dia mungkin pernah bergabung dengan salah satu komunitas sastra yang dibentuk oleh biksu di sana, tidak jelas, namun ada satu hal yang bisa dipastikan adalah dia pernah hidup sebagai pertapa sebelum meninggalkan kampung halamannya pada usia 30 tahun. Hanya itulah yang kita ketahui tentang masa mudanya, dan beberapa paragraf di atas memang khusus ditugaskan membawa dia ke hadapan pembaca yang terhormat.

Suatu malam di awal musim semi 792, Meng Jiao duduk sendiri di mulut jendela sebuah kamar penginapan di Chang’an. Dia sedang bersedih, pengembaraan selama sepuluh tahun untuk mengumpulkan keberanian dan biaya mengikuti Ujian Negara telah sia-sia, tadi pagi namanya tidak muncul di papan pengumuman lulus. Tanpa terasa malam telah berangsur-angsur mundur dan pagi musim semi yang menyongsong terasa luar biasa dingin dan kecut. Bulan yang tergantung di satu sudut langit seperti sekeping cermin bulat, pucat dan redup. Tunas-tunas daun di ranting pohon seluruhnya tertutup embun beku, tidak ada kepakan burung yang memberitakan pagi musim semi. Dia tahu dunia pagi ini masih bulat, hanya saja terlalu hening dan sunyi. Dan sunyi ini telah masuk dan mengiris-iris tulang sepinya.

Dia tentu tidak tahu ini bukan terakhir kali dia mencicipi kekalahan, tahun berikutnya 793, dia kembali gagal dalam Ujian Negara. Dunianya mungkin sudah lama tidak utuh, tetapi kali ini dentingan serpihannya terasa jauh lebih menyayat.

Meng Jiao mungkin termasuk salah satu penyair Tang yang paling menderita hidupnya, dia tidak pernah benar-benar berhasil melepaskan diri dari kemiskinan yang mengerogotinya sejak kecil, dan kemalangan-kemalangan yang menimpanya sepanjang hidupnya telah membuat puisi-puisinya memiliki ciri khas yang tidak dapat ditiru penyair lain: dingin, pahit dan eksentrik.

Tetapi kekalahan demi kekalahan dan kemalangan yang datang beruntun dalam hidupnya tidak membuatnya roboh, kekuatan penopang ini terutama datang dari orang-orang yang tidak kenal lelah mendukungnya; ibunya, isterinya, dan seorang teman karibnya: Han Yu. Dia dan Han Yu membentuk satu kelompok penyair yang kemudian menjadi salah satu kelompok yang paling menonjol dalam puisi Tang Tengah, biasanya disebut Perkumpulan Mbeling atau Eksentrik. Sekalipun Han Yu adalah tokoh sentral dalam kelompok ini, tetapi Meng Jiao merupakan penyair terpenting dalam kelompok ini, dan namanya juga disejajarkan dengan Han Yu, sehingga dalam Sastra Cina Klasik juga disebut Perkumpulan Han Meng.

Dia mengenal Han Yu mungkin sewaktu menempuh Ujian Negara di Chang’an, antara 791 sampai 792, persahabatan ini bertahan sepanjang hidupnya. Walaupun umur mereka terpaut jauh, Han Yu lebih muda 17 tahun dari Meng Jiao, tetapi mereka memiliki pandangan yang sangat dekat tentang puisi, mungkin ini yang menyebabkan mereka selalu dianggap mewakili suatu kelompok penyair eksentrik yang suka menggunakan kata-kata kuno dan menciptakan suasana surealis dalam puisi-puisi mereka. Namun sesungguhnya puisi penyair-penyair ini memiliki perbedaan yang sangat mendasar dengan Meng Jiao maupun Han Yu.

Atas dorongan dan dukungan Han Yu, Meng Jiao kembali mencoba Ujian Negara dan berhasil lulus pada tahun 796, waktu itu usianya sudah 45 tahun. Upaya selama bertahun-tahun akhirnya membawa hasil. Kegembiraan dan hati yang meluap-luap ini dia tuangkan dalam sebuah puisi; walaupun puisi itu kedengaran sedikit lupa diri, tetapi kegalauan yang terpendam selama bertahun-tahun ketika dilepaskan pasti agak sedikit bau, saya rasa masih wajar, lagipula puisinya jarang ada yang bersuasana riang:

Gelisah tempo hari gemeretak di sela gigi

tidak usah diungkit,

pagi ini lepas kendali pikiran mengapung

tak bertepi

Angin musim semi meniup hati angkuh

tapak kuda melesat pergi.

Satu hari mata menyapu seluruh bunga

Chang’an habis

登科后

昔日龌龊不足夸,今朝放荡思无涯。

春风得意马蹄疾,一日看尽长安花。

Keriangan yang meluap ini sebentar saja sudah berubah menjadi sebuah penantian pahit. Setelah menunggu empat tahun yang melelahkan, Meng Jiao yang sudah berumur setengah abad ini akhirnya diberi sebuah jabatan kecil di kota Liyang ( Provinsi Jiangsu ). Hanya beberapa bulan berkantor di sana dia sudah dilaporkan melalaikan tugas. Dilaporkan bahwa dia sering seorang diri naik keledai ke pinggiran kota, memandang gunung menatap sungai, saya rasa pasti juga menulis sajak.

Dulu saya tidak bisa mengerti mengapa sebuah kesempatan yang ditunggu dengan susah payah selama puluhan tahun bisa dibuang begitu saja. Untung akhirnya saya paham. Paham akan frustasi seorang lelaki berumur 50 tahun yang mungkin seumur hidupnya belum pernah menyentuh birokrasi pemerintah, tiba-tiba sudah berada di dalam sebuah sistem yang kusut masai. Apakah ini bukan suatu hal yang membosankan dan melelahkan? Dia mungkin gagap atau enggan belajar, tetapi jabatan yang diberikan kepadanya memang terlalu kecil, semacam pegawai rendah di kantor kecamatan. Jabatan Meng Jiao ini akhirnya tetap dipertahankan atas bantuan teman-temannya di pemerintah pusat, namun gajinya dipotong separuh untuk mengangkat seorang wakil yang akan membantu dia menyelesaikan tugas-tugasnya. Keuangannya yang baru sedikit membaik kembali terpuruk.

Keadaan ini tidak bertahan lama, dia akhirnya mengundurkan diri dan membawa keluarganya kembali ke kampung halamannya: Huzhou pada tahun 804. Kemudian pindah menetap di Changzhou ( Provinsi Jiangsu ), di sini dia membeli rumah dan sawah. Pada tahun 806 pindah lagi ke Chang’an dan setahun kemudian pindah ke Louyang. Walaupun berpindah-pindah, tetapi kehidupannya pada tahun-tahun ini termasuk tenang dan berkecukupan.

Tetapi kemalangan kembali menghampirinya. Dia kehilangan anak bungsunya pada tahun 808, waktu itu usianya sudah 58 tahun. Dari puisi-puisinya kita tahu dia kehilangan tiga anak lelaki, dua meninggal ketika masih bayi, dan satu lagi meninggal pada usia sepuluh tahun. Di ujung senja usia dia tiba-tiba mendapati dirinya sudah tidak memiliki keturunan, hal ini adalah pukulan terberat bagi Meng Jiao. Dia adalah seorang pengikut Kongfuzi, dan tidak memiliki keturunan adalah durhaka terbesar dalam Konghucuisme. Penderitaan batinnya tidak usah ditulis lagi.

Ibunya meninggal dunia di tahun berikutnya. Pukulan demi pukulan telah menghancurkan sedikit ketenangan yang tidak mudah dia peroleh di usia senja. Pada masa-masa inilah Meng Jiao menulis cukup banyak puisi-puisi sekuens yang panjang, dingin, dan pahit. Ini adalah cara dia mengobati dirinya. Penderitaan tahun-tahun terakhirnya di Louyang sangat sulit dibayangkan; tua, miskin, dan sunyi. Walaupun demikian, keinginan untuk berbuat sesuatu untuk negara ( dunia? ) masih belum padam.

Pada awal musim semi 814 dia menerima tawaran seorang kenalannya, Zheng Yuqing – 郑余庆 ( waktu itu memegang jabatan sekretaris jenderal biro eksekutif ) sebagai penasehat. Dia berangkat bersama isterinya, tetapi jatuh sakit di tengah perjalanan, dan meninggal beberapa waktu kemudian. Dia meninggal dalam keadaan miskin, tanpa anak, jauh dari rumah. Bab penutupnya ini terlalu menyedihkan. Pemakamannya diurus oleh Han Yu dan beberapa temannya yang merupakan penyair Tang Tengah terkenal, seperti Zhang Jie, Wang Jian, dan Jia Dao. Dia dikubur di sebelah timur luar kota Louyang.

Puisi-puisi Meng Jiao baru mulai dikumpulkan dan dibukunya pada awal Dinasti Song ( 960 -1279 ), sehingga jumlah puisi yang hilang mungkin tidak kalah dengan yang berhasil dikumpulkan. Kumpulan puisinya yang beredar hingga hari ini adalah sebuah buku berisi 511 puisi yang disusun oleh sejarawan Dinasti Song: Song Minqiu – 宋敏求 ( 1019 – 1079 ). Dari 511 puisi saya memilih 13 puisi untuk diterjemahkan.

Di catatan ini saya rasa tidak usah lagi membahas puisi-puisinya, terlalu pahit dan dingin, mungkin dilompati dengan satu dua kalimat saja, dan tulisan ini memang sudah terlalu panjang. Hidupnya yang malang tertuang seluruhnya di dalam puisi-puisinya, ini sangat mudah kita rasakan. Dia hampir tidak menggunakan alusi dalam puisi-puisinya, cara ini dianggap aneh bagi pembaca puisi Cina Klasik. Dia suka menggunakan kata-kata kuno, atau yang mati suri, atau yang jarang digunakan. Dia sengaja menciptakan irama janggal yang terasa menusuk bagi telinga-telinga tradisional. Dia suka menciptakan pemandangan artifisial atau fantasi dan menghadirkan indah dan buruk secara beriringan…

Bersambung ke Membaca Puisi Mbeling Meng Jiao (751-814)