Arsip Tag: jakarta

Wanita Jawa Tulen

Cerpen Annisa Zahra Maharani
Editor Ragil Koentjorodjati

Parasnya ayu. Perawakan jawa tulen. Kulitnya kuning langsat, bersinar – sinar bagai ratusan lampu kelip di bawah gunung. Jika dia tersenyum, ada satu sihir yang memabukkan, bahkan mungkin membuat pria tua bangka sekalipun jatuh hati pada kepolosan dan keserasian senyum pada mukanya yang lonjong kecil. Di sudut ujung  bibirnya, lekukan kecil semacam cekungan ceruk. menakjubkan sekali, seakan – akan, serupa mata air kecil di mana air dan penghidupan memancar dari sela – selanya.

wanita-jawaLama aku jatuh hati padanya, berandai – andai bahwa dia bisa kuperistri dan bakalnya jadi kantung rahim untuk keturunan – keturunanku. Sikapnya yang lugu, sopan tak berlagak-lah yang justru memikatku kuat. Wanita jawa beradab. Wanita gunung yang santun dan begitu ayu. Pendiam, pemalu namun anggun berpendar di antara pohon – pohon pinus di pinggir hutan.

Sudah 3 bulan aku di desa. Memaksa diri untuk ngabekti pada tanah leluhur. Meninggalkan sengkarut perkotaan dan kebangsatan tender – tender kantor. Kupaksa penuh, kuhajar telak nafsu kedonyan-ku meraup harta di Jakarta. Sebagaimana Jakarta memukul telak kewarasanku sebagai pria bujang mapan, membuatku hampir gila dengan kesendirian dan neraka jahanam duniawi pekerjaan. Jadi manajer tim pemenangan tender proyek konstruksi, benar – benar menguras sisi manusiawiku. Menggodokku jadi manusia materialis sejati. Diperhamba uang. Diperkekang duit dan hidup tersistem atas nama cari duit. Aku ingin cari ketenangan. Lepas dari segala perputaran yang seringkali dilabeli materialisme, hedonisme, -atau apalah itu, yang penting aku merasa tidak nyaman untuk sekarang ini. Kurasa cukuplah, apa yang aku kejar selama ini. Finansial yang berlebih, pangkat, teman – teman hedon, rumah, mobil, semua hampir kupunyai. Tapi tidak untuk satu ini: istri.

Udara dingin dini hari di Pananjakan sungguh menyiksaku. Tak kuasa menangkis serangannya, seringkali tiap malam aku hanya bisa berdiam diri di villa kecil ini – setelah menjual rumahku di Jakarta dan Bandung. Villa yang kubeli dan ambil alih pengelolaannya dari Pak Rekso, seorang milliarder kaya dari kepanjen, Malang. Villa gaya art deco kecil. Masih cukup bagus dan nyaman untuk kutinggali sendiri. Letaknya agak terpencil, di samping perkebunan teh dengan letak di atas sebuah gundukan kecil. Atau entahlah apapun itu bukit atau gunung kecil sekalipun.

Gigi – gigi rasanya sudah berkeletuk saling bersitegang. Tak ayal, arabika panas, rokok kretek dan jagung bakar yang kubeli di depan villa cukup jadi teman-angan-seksualku. Tak ada lagi yang lebih seksual selain gabungan arabika panas-rokok kretek-dan jagung bakar di tempat sedingin ini. Duduk sendiri –ya memang siapa lagi, teman wanita? Cih! Aku tak mau terseret dalam angan seksual – di depan perapian di tengah ruang utama, cukuplah menyamankan gigil badan yang gemetarnya serupa gempa.

Seminggu yang lalu, aku bertemu dia, si wanita jawa tulen. Berdiri di belokan 100 meter dari villa. Sedang berdoa di sebuah altar sambil menyajikan sesaji di atas meja batu kecil. Rambutnya dikuncir, kebaya putihnya padu sekali dengan warna kulitnya yang kuning langsat. Kuning bersih.

Sekilas dia melihatku, sehabis doanya selesai. Jarak lima meter kami serasa sungguh dekat. Seperti adegan di Mohabbattein, serasa ada angin magis bertiup membelaiku. Leherku, mukaku, rambutku, tepat seperti scene di film itu. Tapi bedanya, mohabbattein di India, dan adeganku ini di Pananjakan. Di Mohabbattein scene itu diiringi orcestral backsound, sedang scene-ku dibacksound  lenguh kerbau dan suara bedhes gunung. Ah, tak apalah.

Perjumpaan awal yang menakjubkan. Baru ditatap dan disenyuminya saja, kurasa ada satu ruang di hati terisi penuh, tergegap – gegap oleh bayangnya. Seminggu lebih, kuikuti dia. Di pasar, di kali, di altar seberang belokan, di Telogo Pasir saat dia turun  berdoa di Pura, di manapun. Tapi satu kejanggalan, dari pagi sampai malam kukuntit dia, sekalipun, tak kutemukan di mana rumahnya. Pun jika arah pulangnya sama, dia selalu tiba – tiba saja hilang dari pengawasan. Hilang di balik pinus besar samping hutan, hilang di antara kerumunan petani karet, hilang di pekat kabut gunung. Hilang begitu saja. Aneh. Seakan kena sirep, aku tetap berusaha mati – matian mencari rumahnya.

***

Sudah 2 minggu lebih sehabis pertemuan kami terakhir. Aku terpaku di villa, hanya berkutat dengan perapian, laptop, arabika, dan rokok kretek. Merasa kehilangan setelah dia samasekali tak kelihatan di peredaran pasar dan orang orang yang berdoa di Pura, pun di altar seberang belokan. Ada satu kerinduan yang begitu mendidih. Bergejolak berimbang antara penyesalan dan rindu picisan. Penyesalan ketika rumahnya tak ketemu, dan kerinduan hebat ketika senyum dan ceruk di ujung bibirnya tersesat dalam mimpi – mimpiku saban hari. Blah, bahkan namanya saja aku tak tahu. Payah.

Habis tungku perapian, mataku lebam menghitam dihajar kelelahan dan dingin gunung. Dingin tetap menusuk meski 3 jaket tebal Rei dan Camp menutupi tubuh. Arabika pahit tak cukup kuat menyangga kantuk. Tubuhku lemas tergeletak di karpet depan perapian. Jam masih pukul 2 dini hari. Lamat – lamat kudengar suara banyak orang di samping villa. Ada yang bersitegang, ada yang bercakap hebat berdesas desus. Kulihat dari balik jendela, mataku silau tergegap. Silau puluhan obor dari kerumunan orang. Mencoba menelisik, kuberanikan keluar.

Ono opo cak? Cek ramene koyo mari onok kobongan.[1]

Hus! Ojok dagelan sira Dik, iki lho Dik, onok bayi![2]” Seorang dari kerumunan menyahut. Dari nyala obor berkilau kilau, kukenali dia adalah Cak Pri. Penjual jagung bakar langgananku.

Bayi opo seh cak. Sopo sing mari babaran?[3]

“Ora dik, ora. . Bayi mati. Bayi gari sirah-e thok. Awak’e mbuh nangndi.[4]

Terkesiap darahku, kucoba tak percaya. Tapi kulihat dari balik kerumunan, memang sebentuk bulatan remuk tak sempurna tergeletak di tanah. Tak ada torso, hanya segenggam bulatan bermata berkuping. Tanpa badan. Darah bercucur dari pangkal leher.Bergenang – genang di bawah kaki kerumunan. Seorang wanita muda pingsan dibopong warga keluar kerumunan. Barangkali ibu dari bayi nahas itu.

Dari desas-desus orang, spekulasi meruncing ke arah hutan. Dari warga, kudengar informasi bahwa seringkali anjing hutan memangsa ternak. Bahkan gawatnya, bayi banyak dimangsa olehnya. Jajaran pamong, warga, bahkan Perhutani sekalipun saling membantu memusnahkan populasi anjing hutan di gunung – gunung sekitar Pananjakan. Tapi masih saja  terjadi kejadian begini. Nyaris habis kambing ternak warga. Pun juga bayi dan balita – balita tak berdosa. Warga hanya bisa gedhek – gedhek mengatasi masalah ini.

Jam 3 pagi, warga menyisir gunung. Sebagian memutari lereng, sebagian mencari di hutan pinus dan kebun teh, sebagian lagi sibuk mengaduk – aduk semak mencari potongan tubuh si bayi. Aku turut membantu, masuk pada massa yang menuju ke atas gunung. Sambil memegang obor dan belati, takut kalau – kalau mendapat serangan mendadak dari target. Ya, target utama, jelas si anjing hutan yang jadi tersangka kasus pemangsaan tak bertanggung jawab ini.

Dari kerumunan di bawah, terdengar teriakan bahwa dua ekor bersembunyi di balik rimbun semak. Tanpa pikir panjang, warga mengamuk, membunuh keduanya. Tapi meleset, satu lagi lari masuk ke hutan. Tak ketemu. Yang satunya, mati dengan kepala menganga disabet golok warga. Mati mengenaskan dihajar massa.

Jam 4 subuh, aku tersesat, hilang dari kerumunan. Masuk justru ke arah melenceng. Cih, gara – gara sok tahu. Malah jauh meninggalkan warga. Bakal rumit cerita kalau satu lagi korban ditemukan: “Korban hilang tersesat”. Kukubur pikiran itu jauh-jauh. Rasanya jam nyaris pukul lima. Tak ada tanda – tanda apapun. Kini misi berubah. Tak lagi masalah anjing bedebah itu. Tapi bagaimana cara aku sampai ke villa secepatnya. Dingin sudah diambang puncak. Kukira di bawah sepuluh derajat pun ada.

Menggigil menahan dingin. Dengan minyak di obor tinggal sedikit. Tak cukup barang satu jam. Aku coba bergegas mempercepat langkah. Dari arah lain, masih terdengar suara warga bersahut – sahutan. Sepertinya ada yang kena sabet golok lagi. Batinku.

Tiba – tiba saja ada satu gerakan dari arah samping. Curiga, kucoba mendekat masuk ke semak tebal di bawah rimbun pinus gunung. Terlalu gelap. Tak cukup ruang dan cahaya menembus tebal semak. Dari sekitar lima meter kuintip tanpa banyak gerak. Takut, kalau kalau si anjing target ternyata di sini dan bakal lari kepalang kalau dia menyadari kedatanganku.

Lampu obor bekilap – kilap. Dari balik kegelapan dan kilap obor minyak tanah. Tubuhku menggigil, gigi berkeletukan saling bersitegang. Angin gunung berembus aneh, naik. Bukan turun dari gunung. Ada satu ketakutan sekaligus ketakjuban. Wanita yang tempo minggu lalu mengisi hatiku, kugilai, kukuntit terus menerus seminggu penuh, wanita jawa tulenku, wanita kebaya putih dengan senyum dan ceruk bibir melengkung padu, wanita agung anggunku: kini ketemu. Mataku nyalang menyuruki kilauan obor dan kabut pagi. Si wanita jawa tulen berkebaya putih, rambutnya dikuncir, duduk di sebuah batu. Tapi tak nampak ceruk bibirnya. Justru bibirnya tertutup gincu merah pekat. Gincu cair mengalir dari mulut dan gigi – gigi padunya. Matanya berkilau-kilau, tapi menghitam menyalang. Kebaya putih kini bertumpukan dengan merah gincu yang terus mengucur. Sebagian ada yang mengering. Sekepal kaki dan gundukan organ habis di makan. Sadar setengah tidak, kulihat dia menyalang gila melahap onggokan potongan tubuh bayi. Dia kelaparan. Lehernya meregang dan urat – uratnya mencuat. Kulitnya kusam kekuningan. Rambutnya dikuncir berantakan. Dia gila, tubuhnya mandi gincu yang ternyata darah, di sampingnya bergeletakan onggokan tulang belulang kambing dan mungkin manusia. Matanya benar – benar seperti setan. Dibalik keayu-annya, kusadari dia adalah manusia jadi – jadian. Mungkin dukun teluh, mungkin titisan Durmagati.

Aku? Duduk saja terpaku berjam –jam. Membatin kosong sampai obor habis gosong. Aku rasa aku juga jadi gila. Dunia serasa bertumpuk – tumpukan. Tak ada lagi obor, tak ada lagi ketenangan. Belati tersungkur seakan dipaksa diayun oleh entah sugesti apa. Aku roboh sekarat. Mungkin diteluh, atau mungkin pula bunuh diri sendiri. Satu kepastian akhir, kulihat dia si jawa tulen masih ada, meringis tertawa, ceruk bibirnya berubah fungsi jadi semacam gertakan visual. Seringai mengerikan yang justru tetap membuatku terkesima –meski sekarat – takjub. Sungguh demi dewa yang dia sembah tiap pagi, dia cantik sekali. Dia cantik sekali.

Matahari muncul berganti rupa. Merahnya melunasi hutang – hutang embun pinus yang menguap lepas. Pananjakan, kurasa istriku telah ketemu. Aku jatuh cinta kembali. Tidak dengan duit dan Jakarta. Tapi pada dia si Wanita agung, si Jawa Tulen.


[1] Ada apa Pak? Kok ramai seperti ada kebakaran.

[2] Hus! Jangan bercanda Dik, ini lho Dik, ada bayi!

[3] Bayi apa sih Pak? Siapa yang baru melahirkan?

[4] Bukan Dik, bukan. Bayi mati. Bayi yang hanya tinggal kepalanya saja. Badannya, entah di mana.

Annisa Zahra Maharani, lahir di Karanganyar tahun 1993. Saat ini masih kuliah di sebuah perguruan tinggi di Surakarta.

Erina ke Jakarta

Cerpen Bhima Yudistira
Editor Ragil Koentjorodjati

City_Rain_by_jesidangerously

Senja di desa Wae Sano memang menyilaukan mata, dengan keindahan latar belakang bukit-bukit kapur yang terbentang sepanjang danau belerang, di tepi barat pulau Flores. Seorang gadis, bernama Erina sudah ditakdirkan lahir di alam yang mengagumkan ini. Segalanya akan dimulai dari tanah leluhur ini, tanah penuh harapan sekaligus kebencian, tanah masa lalu sekaligus menyimpan mimpi seorang Erina, gadis Wae Sano, begitu orang biasa memanggilnya. Ia asli Flores, lahir dan dibesarkan di kampung Wae Sano, dengan kondisi yang hampir tidak terjamah manusia kota. Dengan debit air diambang batas kritis, penduduk desa hidup dalam keterbatasan yang mungkin menyebabkan separuh dari penduduk desa meninggalkan kampungnya dalam seperempat abad terakhir ini.  Mereka yang mampu bertahan tinggal orang-orang tua dengan kaki kapalan karena harus menempuh jarak berkilo-kilo meter hanya untuk mendapatkan satu jerigen air bersih. Jangankan berbicara kehidupan layak, listrik pun belum dikenal di desa ini.

Anak-anak yang berangkat ke sekolah tidak membawa buku tulis dan  pensil atau jenis lainnya dari keperluan normal sekolah, mereka membawa jerigen air, bayangkan kawan, jerigen air bukan lainnya. Mereka dengan semangat mendaki bukit-bukit terjal di sisi kampung, masuk ke pedalaman hutan di Lenda hingga ke tepi danau berbau asam, berlarian membawa jerigen kosong yang akan penuh terisi ketika mereka pulang sekolah. Kehidupan manusia-manusia di Wae Sano tidaklah seindah dongeng-dongeng pahlawan atau lagu-lagu yang sering dinyanyikan orang tua saat meninabobokan anak mereka. Kehidupan di Wae Sano sangat keras, dan menyakitkan.

Bukit-bukit terjal di sekeliling Wae Sano menjadi saksi kerasnya kehidupan masyarakat desa. Danau yang elok jika dilihat oleh para wisatawan tidak dapat mendatangkan kemakmuran apapun, bahkan menjadi malapetaka di setiap awal musim hujan. Debit air danau belerang yang tajam baunya perlahan bertambah, seiring dengan racun-racun berwarna kuning kehitaman yang meluap-luap di pesisir danau. “Jangan sekali-kali Kae dekati danau itu! Sebuah laknat akan menimpa setiap orang. Ya benar, danau itu keramat,” ujar Tua Golo. Keramat karena telah menelan puluhan nyawa yang mencoba untuk berenang, atau menyebrangi danau penuh lumpur kuning beracun. “Danau sial!” begitu sebut Tua Golo (adat) ketika berkeliling sekitar danau sebagai tradisi menolak segala celaka yang bisa timbul di tahun-tahun penuh hujan.

Pernah Erina seorang diri berendam di pemandian air panas di balik danau, tiba-tiba warna air berubah menjadi abu-abu penuh lumpur. Erina berteriak, untung Papa Petrus dengan sigap berlari dari rumahnya untuk menyelamatkan Erina yang mulai merasakan mati rasa di kakinya. Danau itu mengalirkan racun yang teramat berbahaya, bahkan pemburu hutan menggunakan lumpur danau untuk menjebak babi hutan, yang tewas seketika memakan daun-daunan bercampur air danau.

Erina memang bukan sembarang gadis, ia tergolong anak cerdas, di tengah penduduk desa yang kurang gizi dan air bersih, soal hitung-menghitung Erina paling pandai. Ia anak tunggal dari Papa Pedo, seorang tukang batu yang menjual keringatnya kepada pemerintah kabupaten. Batu-batu dikumpulkan mulai matahari belum terbit, hingga malam dengan penerangan lampu minyak seadanya, Ayah Erina menggali dan memukul batu kemudian menjualnya untuk perbaikan jalan antar kabupaten di Labuan Bajo. Hasil kerja kerasnya digunakan untuk membeli beras dan kecap di pasar tiap sabtu, itu pun masih berhutang sana-sini. “Yang penting kamu sekolah yang tinggi Nak, capai cita-citamu. Itu pesan bapak, jadilah perempuan seperti Kartini yang pernah Bapak baca waktu seumur kamu dulu, sayang bapak sudah tidak bisa membaca lagi,” pesan Ayah Erina. Ia peluk anaknya dengan kehangatan seorang bapak tukang batu.

Perjalanan kehidupan membuat Ayah Erina sadar, bahwa profesi tukang batu akan segera tergantikan oleh mesin-mesin pemecah batu pesanan kabupaten. Ia bergumam, “Tenaga tua ini segera akan punah, ya Tuhan, harus kerja apa lagi untuk hidup, mengapa hidup begitu penat dan berat seperti ini?” Terkadang Erina mengintip ke dalam kamar ayahnya ketika melihat ayahnya menangis, meratapi tembok-tembok rumahnya yang hampir rubuh. Erina terlahir dari keluarga serba kurang, namun semangatnya tinggi, ia rela menghabiskan waktu tanpa bermain hampir 10 tahun dari waktu hidupnya.

Pulang dari sekolah, Erina mengambil alat pemukul kemiri, lalu membuka karung goni berisi kemiri milik pamannya. Erina diupah per kilogram lima ratus rupiah, tidak pernah naik mulai dari dulu ia pertama kali mencoba membantu pamannya menjadi kuli pecah kemiri. Ibu Erina sudah lama meninggal akibat wabah disentri yang tidak jelas kapan datang dan hilangnya. Ketika bercerita soal ibu Erina, Papa Pedo hanya mengumpat danau belerang yang terkutuk itu, menuduh danau itu penyebab malapetaka hilangnya nyawa Ibu Erina. Walaupun dokter keliling sudah menjelaskan kepada penduduk, bahwa disentri bukan disebabkan karena belerang, tetap saja Ayah Erina tidak percaya, bahkan sekali waktu dokter keliling yang ditugaskan langsung dari Dinas Kesehatan Kabupaten dibentaknya dengan sumpah serapah karena menurutnya dokter itu menyebarkan kebohongan tentang disentri.

Danau yang tidak pernah menghasilkan ikan apapun itu selalu dikutuk oleh penduduk ketika salah seorang diantara mereka meninggal, sakit jantung, ginjal, bahkan tertabrak truk, tetap saja danau itu yang disumpah telah membawa kematian. “Oh. Betapa bodohnya penduduk desa ini, semoga Tuhan memberi kesempatan belajar untuk anak-anak yang tertular penyakit bodoh orang-orang tua itu. Ya Tuhan selamatkanlah anak-anak, aku tidak peduli dengan manusia-manusia kolot sok pintar di desa ini!” Hanya itu yang bisa Pastur Maksimus gumamkan ketika ia mendapati berbagai macam tingkah aneh penduduk ketika meratapi kematian saudara atau teman dekatnya.

Sebulan sudah sejak Ayah Erina tidak mendapatkan pesanan memecah batu untuk perbaikan jalan karena dana kabupaten untuk membeli batu guna memperbaiki jalan dihentikan, anggarannya digunakan untuk membeli mesin pemecah batu yang baru. Waktu mendengar kabar datangnya rencana pembelian mesin itu, ayah Erina segera meloncat dari tempat tidurnya jam dua malam, berlarian seperti orang kesetanan, menyumpah di tepi danau, “Mati kau Danau sial! Terkutuk!”

Ya, gejala orang frustasi, mungkin ia terkena sakit gila pikir penduduk yang terganggu tidurnya akibat teriakan-teriakan ayah Erina. Di jalan ia berteriak-teriak, “Habis sudah kae, habis sudah!” Penduduk mungkin sudah terbiasa mendengar orang tiba-tiba berteriak sambil berlarian di jalan-jalan kampung, kalau bukan ada festival desa, kemungkinan kedua, ada orang gila.

Tua Golo malam itu berkumpul di rumah Pastur Eman, sambil membawa oleh-oleh buah-buahan yang biasa diberikan kepada Pastur sebelum memulai jamuan rohani di minggu pagi. Tua Golo bercerita tentang peristiwa tadi siang yang menimpa Papa Pedo. Ia dengan miris bercerita tentang malangnya kehidupan ayah satu anak itu setelah pemerintah kabupaten tidak membutuhkan tenaganya lagi. “Dua puluh lima tahun sudah ia bekerja menjadi tukang batu, bayangkan Bapa, 25 tahun! Dan sekarang pekerjaan satu-satunya hilang sudah! Nasib benar Kae Pedo!” seru Tua Golo yang bersemangat bercerita tentang malapetaka hari ini. “Lalu, apa kita masih mengumpat pada danau yang membawa celaka itu?” kata Pastur sambil tertawa. “Tentu itu bukan maksud saya Bapa, tapi mungkin danau itu malapetaka juga, lain waktu aku akan menyumpahi danau itu! Sekarang kita harus menolong Kae Pedo mendapatkan pekerjaan. Menurut Bapa bagaimana?” Pastur terdiam sebentar berhenti tertawa sambil melihat mata bulat Tua Golo yang berapi-api memikirkan satu penduduk kampungnya yang baru saja menjadi pengangguran. “Itu yang saya tunggu Tua Golo, kebetulan saya punya kawan di Jakarta, ia kerja jadi tukang bangunan, mungkin Kae Pedo bisa bantu-bantu sedikit.” Secercah harapan muncul di mata Tua Golo, “Baiklah besok saya sampaikan, tolong Bapa bantu atur ya, saya tidak mau penyakit gilanya Kae Pedo menular ke penduduk lain, bencana! Bencana benar itu Bapa! Kasihan juga Erina harus menanggung beban berat, ia sudah banyak berkorban Bapa!”

Setelah berusaha menghibur ayah Erina, Tua Golo memberikan informasi pekerjaan dengan penghidupan yang lebih baik di kota Jakarta. Banyak pemuda yang bekerja di Jakarta setelah lulus sekolah menengah di desa ini, lalu bertaruh nasib menjadi tukang bangunan atau juru parkir di Jakarta. “Ah.. aku memang belum tau Jakarta, tapi aku yakin d isana lebih baik, dan di sana juga tidak ada danau pembawa sial seperti di sini, Semoga kau mendapatkan kerja di sana, aku sudah atur dengan Bapa, apa yang bisa kami bantu, mungkin uang seperlunya dan bekal makanan hingga kau tiba di Jakarta.” Kemudian ayah Erina menatap Tua Golo sambil matanya berkaca-kaca, “Kau memang pemimpin desa, kau bahkan tidak pernah berutang budi padaku, aku yang akan mengingat kebaikanmu dan desa ini, aku berjanji Kae!” Sambil meminum kopi, kemudian ayah Erina memanggil Erina, “Nak, kau sudah besar sekarang, sudah gadis pula, Bapak ingin cari kerja di Jakarta, kau teruslah sekolah, setiap bulan Bapak kirim uang untuk sekolahmu, jangan putus atau kau gunakan untuk membeli barang yang tidak perlu! Ingat! Sekolah! Itu yang utamanya, Mau kau jadi seperti Bapak?” Erina hanya terdiam. Ayah Erina menyadari bahwa keputusan untuk pergi ke Jakarta dan meninggalkan anak gadisnya di desa merupakan hal yang harus dilakukan.

Setahun berlalu..

Sudah tiga bulan Erina tidak mendapatkan kabar dari ayahnya, di mana ia sekarang atau bagaimana kesehatannya. Kiriman uang pun berhenti, Erina hanya membantu menjadi penjaga toko kelontong milik Tua Golo di sudut pasar Lenda. Ia bertanya pada setiap orang yang baru kembali dari Jakarta di terminal pasar Lenda, “Ada yang tau bapak? Pedo namanya, tinggi dan berkumis, dengan tanda bekas luka di dahinya, pernahkah Kae melihat?” sambil ditunjukkan foto ayahnya. Tak satu pun yang tahu keberadaan ayahnya. Selama ini ayahnya hanya menelpon untuk mengetahui kabar Erina dan menanyakan apakah uang kirimannya telah sampai ke tangan Erina, tanpa menyebutkan alamat tempat dia kini tinggal di Jakarta.

Didesak oleh situasi yang membuat hatinya cemas, akhirnya Erina mengambil sisa uang di amplop wesel berwarna biru kiriman terakhir ayahnya sebelum kabar ayahnya tidak terdengar lagi. Dibuka amplop itu dan terdapat selembar kertas, mungkin berisi alamat rumah pikir Erina, ternyata ia tersentak, itu semacam surat pesan yang biasa ditulis oleh orang yang sangat dekat dengan kematian.

Ananda Erina,

Surat ini bukan untuk dijawab, simpanlah baik-baik, dan jagalah. Berikan kepada anakmu kelak…

Apa menurutmu kebahagiaan yang paling ingin Bapak rasakan? Bapak ingin sekali lagi melihat kau dipangku oleh ibumu dalam dekapan yang penuh hangat. Kini aku hanya seongok manusia yang tidak pantas kau panggil Bapak. Aku sudah gagal, gagal di dalam kehidupan ini, uang yang kukirimkan ini, mungkin uang Bapak yang terakhir. Simpanlah baik-baik. Ingat pesan Bapak yang selalu terucap, tapi jangan pernah kau bosan mendengarnya Nak, Bapak ingin kau sekolah setinggi-tingginya, jadilah manusia bebas, lakukan apa saja yang kau inginkan Nak dengan ilmumu, jadilah manusia-manusia yang punya harapan!

Hidup bukan untuk menangisi kesedihan, hidup untuk melawan, melawan nasib yang menidurkanmu Nak, nasib yang berkuasa atas hidupmu. Lawan Nak! Lawan! Kau harapan bapak yang terakhir!

 

Ttd.

Ayah seorang “putri penantang nasib!”

Setelah membacanya, Erina menangis terisak-isak, “Di mana bapak sekarang? Tegakah melihat aku sendiri di sini? Pulang Pak. Erina ingin bersama Bapak.”

Satu bulan telah berlalu sejak wesel terakhir dikirim ke Erina, berisi uang Rp.500.000,-. Teringat akan foto ayahnya yang ia letakkan di bawah bantal, sewaktu-waktu ia ingin menangis, ia lihat foto ayahnya untuk membangunkan semangat yang hampir runtuh. Gadis belia kini tanpa siapa-siapa, tanpa apa-apa, dan hidupnya hanya menunggu dipinang oleh pemuda desa, itu pun jika beruntung mendapatkan pemuda yang ingin menikahinya. Mungkin dijadikan istri ketiga sudah bersyukur.

Sejak saat itu Erina tidak percaya lagi akan adanya doa, ia tidak lagi pergi ke gereja seperti yang pernah ia lakukan dulu. Tuhan baginya tidak pernah ada, kalaupun ada, Tuhan hanyalah gambaran akan nestapa dan rasa sedihnya. “Tuhan tak mampu menjawab doaku. Aku Erina dan aku ingin menjadi manusia-manusia bebas seperti yang bapak bilang dulu,” gumam Erina di dalam hati.

Sudah setahun semenjak surat terakhir bapak, Erina sangat ingin pergi ke Jakarta, berusaha menemukan tempat tinggal terakhir ayahnya, di surat weselnya tercantum alamat pengirimnya yang mungkin saja mengarahkan Erina kepada ayahnya yang sangat ia rindukan. Berangkatlah Erina dengan uang secukupnya, dari Wae Sano ke Jakarta membutuhkan waktu 4 hari pelayaran dan bisa mencapai waktu 1 minggu jika pelabuhan sape di Bima terpaksa ditutup karena tingginya ombak membuat kapal membatalkan jadwal normalnya.

Erina akhirnya sampai di kota Jakarta, kota dengan bayangan-bayangan aneh, wanita-wanita malam di sepanjang stasiun Senen dengan rok mini menjajakan cinta semalam, dan pedagang-pedagang asongan di sekitar Pasar Senen membuat mata Erina berputar-putar mencari nama jalan yang sulit untuk diingatnya, jalan Kampung Rambutan no.3, Pasar Senen seperti yang tertulis di belakang wesel pos berwarna biru. Akhirnya Erina menemukan rumah dengan pintu cat hijau, dan pagar setinggi lutut. Setelah bertanya pada tetangga, ternyata rumah itu memang pernah dijadikan tempat tinggal tukang bangunan yang sedang mengerjakan proyek perumahan tak jauh dari situ. Kini dada Erina berdebar-debar, berharap ia masih bisa mencari alamat tinggal ayahnya, setidaknya jika ayahnya sudah tiada ia masih bisa menemukan tempat ayahnya dikubur. Senja semakin gelap, Erina terpaksa mencari tempat penginapan, sekalian makan, pikirnya. Ada sebuah rumah yang bertuliskan “menerima tamu” tak jauh dari stasiun Pasar Senen. Ia sendirian masuk ke dalam rumah itu, dengan uang seadanya ia memesan satu kamar dengan kipas angin. Hmm ini murah, Jakarta tidak seperti dugaanya dulu, semua begitu mahal, dan orang-orangnya brutal. Ternyata Jakarta sangat ramah dengan tempat penginapan yang murah, “apa mungkin aku sedang beruntung?”. Ia rebahan di atas kasur kemudian tertidur.

Esoknya ketika bangun ia meraba-raba tas yang seingatnya tadi malam di simpan di dalam lemari. Hilang semua. Hilang tak tersisa, beserta uang dan amplop wesel biru dan foto ayahnya. Ia bertanya kepada penjaga penginapan yang tidak tahu menahu masalah tas yang hilang di dalam kamar malah membentaknya dengan kasar. “Maaf Mbak, tapi itu salah lu sendiri ga hati-hati naroh tas di dalam lemari yang ga dikunci, barang hilang gue ga bisa tanggung jawab, lo urus sendiri! Sekarang lo mau bayar pake apa nih?” Dengan nada mengancam ibu penjaga malah menagih uang sewa kamar kepada Erina. Dengan bingung Erina tidak bisa melakukan apa-apa, lalu bu Retno menunjuk rumah di depannya sambil berkata “Udah, mending lo sekarang cari kerja di situ, bantu cuci-cuci piring, atau ngapain deh yang penting ntar lo balikin uang sewa ya! Sana kerja!”

Sebulan sudah semenjak Erina tiba di Jakarta, kini ia menyewa kamar di rumah bu Retno, dan sehari-hari penghasilannya hanya cukup untuk membayar uang sewa dan makan nasi sayur secukupnya bahkan terpaksa berhutang. Ia terjebak, tapi tak bisa apa-apa. “Sekarang aku bekerja mencuci piring, kukumpulkan uangku sedikit demi sedikit untuk mencari rumah ayah,” besar harapan Erina untuk bertemu kembali dengan ayahnya.

Di hari yang panas itu, Erina sedang mengerjakan mencuci piring seperti biasa, kini ia bertugas membersihkan kamar-kamar kosong di lantai dua gedung yang gelap penerangannya. Ketika membersihkan kamar di pojokan, tiba-tiba Erina tersentak hingga ia hampir terjatuh. Di dalam kamar itu ada sosok laki-laki yang dikenalinya, sedang berdua dengan wanita dalam kondisi yang tak layak. Segera ia memekik, “Ayah?” Pria yang sedang asyik berduaan dengan wanita tersebut kemudian berbalik badan dan setengah telanjang ia menarik selimutnya, “Siapa kau?”

“Aku Erina, kaukah Papa Pedo?” seru Erina secara spontan

Dengan keadaan yang aneh itu pria tadi menjawab, “Ah, Anakku,” sambil matanya berkaca-kaca seolah tidak percaya.

“Apa yang sedang Ayah lakukan?” tanya Erina

“Tidak anakku, mari kukenalkan dengan teman Ayah,” sapa hangat ayah Erina

Pertemuan singkat ini bukanlah momen yang diharapkan oleh Erina, aneh, tak terduga dan membuat pikirannya berputar-putar, lutut Erina langsung lemas, “Benarkah ia Ayah yang Erina kenal? Yang ia cari selama ini? Atau aku sedang bermimpi?” gumam Erina.

Sambil memakai baju, pria yang memang ayah Erina berkata, “Mendekatlah anakku, aku takut sekali menghadapi Jakarta. Aku ingin kita pulang ke kampung lagi, menyumpahi danau Wae Sano yang telah membawa laknat kepada tanah leluhur kita. Mari anakku, bukan tempatmu di sini,” sambil ia berusaha memeluk Erina.

Erina tidak menangis sedikitpun, ia masih belum percaya pria setengah telanjang yang beberapa menit yang lalu sedang tidur dengan wanita entah dari mana kini memanggilnya lembut “Mari pulang Anakku”. Pria yang dulu menjadi teladan hidupnya, kini begitu asing.

Di tengah-tengah hiruk pikuk Jakarta, Erina dan Ayahnya keluar dari kamar itu, sambil berpengangan tangan, dengan latar gedung tempat Erina bekerja sebulan ini, di kamar penuh tanda tanya itu tertulis “Panti Pijat Sinar Melati”.