wanita kopi

Kopi Pagi Sri

Cerpen Imam Solikhi
Editor Ragil Koentjorodjati

Pagi. Kopi. Akhirnya aku bisa ngopi, meski dengan sembunyi-sembunyi. Ini adalah yang pertama kali di tahun ini. Karena sejak enam bulan yang lalu aku tidak bisa, dan tidak boleh meneguk kopi. Bukan hanya untuk dua bulan ke depan saja, tapi mungkin untuk selamanya, tidak ada kopi.

wanita kopi
Foto A cup of coffee by Elicice

Kopi, selalu identik dengan laki-laki. Kopi ditanam tidak untuk seorang perempuan. Khususnya di desa Guwalan. Lebih lagi, tidak untuk perempuan yang sedang mengandung 8 bulan. Dan yang lebih khusus dari semua itu, adalah aku. Sri. Perempuan yang pernah tinggal berbulan-bulan di rahim istri dari Pak Supri. Perempuan pecandu kopi, semenjak empat tahun waktu yang terlewati. Semenjak SMP kelas 3, atau semenjak aku mengenal cinta. Juga semenjak aku mengetahui fungsi kedua dari vagina.

Pagi ini, benar-benar sunyi. Benar-benar sepi. Bahkan kesunyian pun merasakan kesepian, dan kesepian pun merasakan kesunyian. Saat-saat seperti ini, aku sangat merindukan sebuah situasi yang biasa kusebut “sendiri”. Sendiri secara jiwa, maupun raga. Aku memang suka menyendiri. Persis seperti saat aku meringkuk di dalam rahim istri dari Pak Supri. Kini aku duduk di kursi dekat jendela kamar selebar seratus senti, meminum kopi yang sudah enam bulan tak kunikmati, dan yang lebih penting lagi, kini aku sendiri.

Daun-daun sudah nyaris sempurna menghijau kembali. Burung-burung kembali bercericit merayakan lepasnya musim kemarau. Bau tanah yang khas berulang kali merasuk ke dalam rongga hidungku. Langit pagi terkesan sendu, setelah tiga hari lamanya hujan menyapa desaku. Kulihat jarum pendek masih berkutat di angka tujuh. Itu artinya masih ada waktu sekitar empat jam sebelum aku kembali bertemu dengan orang-orang yang tertulis dalam KK sebagai keluargaku. Mereka yang bernama Pak Supri dan istrinya-yang kupanggil ibu-serta Dadang yang ditakdirkan sebagai pamanku. Mereka yang sekitar empat jam lagi akan kembali dari Kutu Wetan, setelah mereka merasa puas menyaksikan saudara mereka-saudaraku juga-melahirkan. Mungkin beberapa hari kemudian, mereka akan kembali menyaksikan. Kelahiran. Mungkin tak lama lagi aku juga akan merasakan sebagai salah satu tokoh utama dalam prosesi kelahiran. Meski masih sekitar satu bulan, tapi bisa kutebak itu akan terasa mendebarkan. Sama mendebarkannya ketika sekitar empat jam lagi mereka akan kembali. Lalu mengganggu waktuku untuk sendiri. Kembali memberikan perhatian dan bantuan yang nihil ekspresi. Kasih sayang yang tak berinduk dari hati.

“Tok.. Tok.. Tok..” suara pintu diketok. Sebisa mungkin aku segera bergegas merapikan gelas yang masih tersisa seperempat kopi hitam. Lalu sambil berusaha segera secepat mungkin menuju sumber suara yang berulang kali mengucapkan salam. Rasanya sangat sulit, berjalan dengan tubuh ringkihku ini yang kini dibalut perut yang kian membuncit.

“Ya, sebentar!” jawabku dengan sedikit berteriak. Jarak antara kamarku dan pintu depan terasa lebih jauh ketimbang saat beberapa bulan yang lalu. Perut dan tulangku terasa ngilu. Ditambah lagi kakiku pincang yang sebelah kiri. Bukan karena cacat, tapi kata orang-orang ini disebut gawan bayi. Punggung kaki kiriku telah lama membengkak. Jika tersentuh sedikit saja aku bisa teriak-teriak.

“Ada apa Bulik?” tanyaku pada orang yang mengetok pintu tadi, yang ternyata adalah Bulik Karmi. Tetanggaku. Tetangga yang kerap membantuku dengan kadar ikhlas yang lebih baik dari keluargaku.

“Bapak ibukmu belum pulang to Nduk?”

“Belum Bulik, nanti siang katanya…”

Oalah… Kamu sudah sarapan Nduk?” tanyanya dengan wajah terlihat khawatir.

“Belum bulik, nanti siang sekalian saja..”

Tanpa menunggu hitungan detik sampai ke delapan, Bulik Karmi langsung meninggalkanku sendirian. Di umurnya yang ke-54, jalannya masih terbilang cepat. Jariknya sudah terlihat lusuh, begitu pula dengan bajunya yang terlihat kumuh. Dari belakang terlihat jariknya yang dipenuhi tanah liat. Sudah pasti dia baru pulang dari sawah yang nyaris setiap hari ia datangi selepas salat. Tubuhnya kini lenyap ditelan rumahnya yang gelap. Aku memutar badan untuk kembali masuk. Tak lama, pintu kembali diketuk. Bulik Karmi datang membawa nasi pecel dan kerupuk. Aku tersenyum. Tapi tetap kalah manis dengan Bulik Karmi yang juga ikut tersenyum. Menyejukkan. Seperti tanah kering yang terkena hujan semalaman.

***

Pagi. Entah tinggal berapa pagi lagi aku masih bisa mengelus-elus perut buncitku ini. Memang semenjak beberapa bulan yang lalu, aku memiliki hobi baru. Mengelus-elus perut buncitku ini. Setiap hari, olehku sendiri. Kalau bukan aku sendiri yang mengelus-elus perutku sendiri, lantas siapa lagi? Tak akan ada yang sudi. Yang ada malah pandangan sinis dari orang-orang saat melihatku mengelus perut buncit ini sambil senyum-senyum sendiri. Keluargaku? Jangankan mengelus-elus, tidak membenci perut buncitku ini saja aku pasti sudah sujud syukur pada Gustiku.

Entah sudah elusan ke berapa. Entah sudah seberapa jauh lamunanku melanglang buana. Aku masih sering melamunkan bagaimana bentuk wujud dari janin yang selama ini hidup dalam perutku. Tapi semuanya terasa semu. Semu karena segala perasaan yang bercampur. Semu karena kebahagiaan dan ketakutan yang kian hari kian membaur. Bukan takut karena aku mungkin saja mati saat melahirkan, tapi ketakutan ini bermuara pada sebuah jawaban yang tak kunjung kutemukan. Kelak, ketika manusia yang saat ini masih dalam kandungan ini keluar dari rahimku. Kelak, ketika dia kerap menangis karena merindukan susu yang terkandung dalam payudaraku. Kelak, ketika dia sudah melepas statusnya sebagai balita. Kelak, ketika dia mulai menyadari bahwa ada yang berbeda dalam hidupnya. Kelak, ketika dia merasa asing melihat teman-teman sebayanya digendong atau dimarahi oleh seorang laki-laki yang ibunya sebut “bapaknya”. Dan kelak, ketika datanglah sebuah pertanyaan, “Ibuk, siapa bapak saya?”.

Mungkin aku ingin segera binasa sekarang juga. Detik ini juga. Sebelum ia keluar dari rahimku. Sebelum ia menyusu di payudaraku. Sebelum ia melepas statusnya menjadi balita dan mulai merasakan ada yang berbeda dalam hidupnya. Sebelum semuanya terjadi. Sebelum datangnya pertanyaan yang mengerikan ini. Dan jauh lebih dari itu semua, sebelum aku menjawabnya dengan terpaksa, “Bapakmu adalah pemerkosa…”.

***

Pagi. Jika saja aku bisa mengulang pagi-pagi yang sudah terlewati. Pasti aku akan kembali pada ratusan pagi sebelum ini. Sebelum perutku bisa sebesar ini. Sebelum Mas Karyo pergi ke Jakarta untuk yang pertama kali.

Dulu, atau 541 pagi yang lalu. Aku dan Mas Karyo adalah sebuah sinonim dari kata cinta sejati. Di mana kami adalah dua cucu Adam yang melewati kehidupan hanya berpedoman pada kata hati. Cinta. Terserah apapun namanya. Yang kutahu kami berdua satu hati, satu misi dan satu janji. Cukup sulit memang untuk menjelaskannya. Yang jelas, kami bahagia.

Mas Karyo adalah seorang pemuda yang berselisih umur sekitar 4 tahun denganku. Dia juga salah satu penghuni tanah desaku. Orangnya tidak terlalu tampan. Tapi tubuhnya yang kekar membuatnya terlihat menawan. Jelas dia sangat kuat, makanya orang-orang di desaku selalu mengandalkannya dalam urusan angkat-angkat. Mas Karyo dengan rambut cepaknya adalah sosok sempurna untuk dijadikan kuli bangunan. Sebuah pekerjaan yang ia geluti sejak berpuluh-puluh bulan.

Mas Karyo yang hanya tamatan SD adalah pemuda tersukses di desaku. Dia adalah salah satu dari segelintir pemuda yang mampu membeli sepeda onthel dan kebutuhan cerutunya dengan murni mengandalkan peluh yang keluar dari tubuhnya itu. Dia tidak seperti kebanyakan pemuda di desa Guwalan. Dia tidak suka minum-minuman, tidak suka berjudi sabung ayam, apalagi pergi ke tempat pelacuran. Sebaliknya, dia justru pandai mengaji dan menjadi muadzin tetap di langgar kami. Suaranya merdu, seperti burung Kutilang di pohon Randu. Tapi lupakan itu semua, bukan itu alasanku mencintainya. Sungguh, aku mencintainya tanpa alasan, tanpa tujuan. Hanya murni getaran jiwa yang tak terelakkan. Persis seperti yang sering ia ucapkan.

Dari Mas Karyo-lah aku mengenal cinta. Dan dari mas Karyo pula aku membenci Jakarta. Jakarta adalah tanah terkutuk yang lihai mengubah segalanya. Seperti sebuah mesin pendoktrin yang dapat mengubah siapapun yang berani datang ke sana.

Masih di pagi yang sama, masih di arah lamunan yang sama pula. Sudah sejuta kali lebih aku mencoba bersembunyi dari kenangan. Tapi perut buncit ini selalu hadir untuk kembali mengingatkan. Masa lalu yang belum lama berlalu, kembali hadir diantar lamunanku. Delapan belas bulan yang lalu tepatnya, ketika mas Karyo berpamitan padaku akan pergi ke Jakarta untuk bekerja. Hari itu hari Selasa. Tepat tiga hari setelah keluargaku menolak lamarannya. Bukan, ini bukan tentang masalah derajat ataupun masalah kekayaan. Ini semua hanya karena mitos konyol yang dipercayai orang-orang tolol. Hanya karena letak rumah kami, pernikahan ini selamanya mustahil akan terjadi. Di desa Guwalan, menikah dengan rute ngalor-ngulon (rumah pria berada di utara, sedangkan rumah wanita yang akan dinikahinya berada di barat) adalah sebuah pantangan. Orang-orang di desaku bilang, pernikahan ngalor-ngulon akan membawa musibah, perceraian bahkan kematian. Entah itu aturan macam apa, yang jelas aku sangat tidak mempercayainya. Tapi mau bagaimana lagi, banyak hal yang nyata-nyata menjadi bukti. Nyaris semua orang yang berani menentang adat ini, akhirnya percaya dan menyesali. Musibah, perceraian dan kematian benar terjadi di masing-masing keluarga yang berani menentang. Entah itu merupakan pembuktian, entah itu hanyalah kebetulan. Yang jelas, keluargaku memegang adat itu dengan tegas.

Mendengar alasan penolakan lamaran itu, mas Karyo tidak hanya diam menopang dagu. Dia pergi ke kota untuk belajar dan bekerja, dengan harapan pengalamannnya di sana dapat mengubah paradigma gila di desa Guwalan tempatku menunggu kepulangannya.

“Ya, kita sama-sama tahu, orang tuamu tak kan pernah memberi restu. Tapi kita juga sama-sama tahu mereka bukanlah Tuhan. Bukan sosok yang menentukan segala cerita kehidupan. Jika kau memiliki cinta yang sama, mari kita tiru Adam dan Hawa. Mereka tetap bisa menikah tanpa restu orang tua atau siapapun juga. Hanya lampu hijau dari Tuhan semata.” Katanya panjang mencoba meyakinkanku agar mau mengikutinya pergi ke Jakarta dan menikah di sana. Tapi tak satu pun kata yang terucap dari bibirku. Lidahku terasa kelu. Seperti sehabis mengunyah tujuh buah simalakama hingga tak tersisa.

“Baiklah, yang jelas semoga kita masih memiliki cinta yang sama. Aku akan pergi ke Jakarta. Aku akan merubah segalanya. Sri, tunggu kang mas kembali..” Ucapnya lirih, namun tegas. Sorot matanya tajam, namun di sana tersimpan sejuta harapan. Untukku, untuknya. Untuk kita. Sebuah kecupan manis mendarat di keningku, sebelum beberapa saat kemudian dia berlalu. Tubuhnya semakin menjauh, semakin mengecil. Lalu hilang di tikungan dekat bunga Kantil. Gemuruh di dadaku menggelegar menciptakan air bah yang keluar dari balik kelopak mataku. Ada banyak sekali kata yang tak terucapkan, lalu mereka menjelma menjadi tangisan.

Sembilan bulan kemudian, Mas Karyo kembali tiba di desa Guwalan. Sudah menjadi tebakan basi jika akulah manusia yang paling bahagia atas kedatangan mas Karyo kembali. Aku menantikan oleh-oleh yang dulu ia janjikan. Tentu saja itu adalah pembuktian dari segala harapan yang kutitipkan.

Sore itu, di pematang sawah di desaku. Aku dan Mas Karyo bertemu untuk mengadu rindu. Jarak dan waktu perlahan-lahan menjelma menjadi neraka yang siap menikamku dan mungkin menikam mas Karyo juga. Tatapan kami, genggaman tangan kami, seolah begitu kejam membalas dendam pada jarak dan waktu yang selama ini menjadi jurang-jurang kecil yang setiap saat mampu merobohkan kami. Ada milyaran rindu yang harus dibalaskan atas segala waktu yang terlewatkan.

“Lihat Sri, aku benarkan? Kini aku sudah berubah. Kita tinggal menunggu waktu agar aku dapat merubah pandangan orang-orang tentang mitos setan itu. Terutama orang tuamu. Kita akan menikah. Aku yakin itu!” itulah kalimat yang terucap dari bibir mas Karyo yang hanya berjarak 5 senti dari wajahku.

Jelas aku mempercayainya. Aku pun menyadari ada banyak yang berubah dari dalam dirinya. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara juga cara berpikirnya. Mungkin itulah hasil dari ia berguru pada pengalaman di kota Jakarta. Tapi, ada yang berbeda ketika Mas Karyo mengatakan cinta dengan matanya. Ucapannya yang sangat menyakinkan, entah mengapa justru malah melahirkan keraguan. Dari matanya kurasakan ia sangat berbeda. Benar-benar berbeda dari sebelumnya.

Berawal dari sebuah ciuman, lalu berubah menjadi adu kekuatan, lalu berujung pada penyesalan. Mas Karyo benar, dia memang telah berubah. Aku digagahinya dengan paksa. Katanya, itulah yang disebut ekspresi cinta. Cinta orang kota begitu berbeda dengan cinta orang desa. Perasaan yang ia sebut cinta, kini kebal pada tangisanku, permohonanku dan gigitanku di lengannya. Badan kekarnya menindih tubuhku yang lemah. Ketulusan cintaku ditelan tubuhnya yang sedang bergairah. Aku meringis. Aku menangis. Hari ini untuk pertama kalinya dia nampak begitu bengis. Pikirannya sudah tak lagi mengkultuskan cinta, tapi mendewakan kepuasan hawa nafsunya. Ajaibnya, aku tetap saja mencintainya. Meski Mas Karyo yang dulu, telah lama mati di kota yang terkutuk itu. Yang ada kini Mas Karyo yang mengartikan cinta seperti seekor hewan melata.

Ya, aku tetap mencintainya. Sampai kapan pun juga. Itulah alasanku, mengapa tidak ada satu pun yang tahu bahwa Mas Karyo-lah sang pemerkosa itu. Sampai saat ini, aku tetap yakin untuk menyimpan rahasia itu sendiri. Dan memilih disebut pelacur, jalang, sundal atau hinaan macam apapun saja. Memilih untuk bersedia dibenci keluarga dan orang-orang desa. Dan juga, memilih untuk menjaga janin dalam kandungan ini dari sindirian siapa saja. Itu setara. Demi Mas Karyo agar tetap hidup dan bisa kembali meninggalkanku ke Jakarta. Demi Mas Karyo agar tidak merasakan bagaimana sakitnya ketika parang-parang warga dan celurit bapakku mendarat di sekujur tubuhnya. Agar aku tetap bisa mencintainya. Bagaimana pun juga, meskipun Mas Karyo adalah pemerkosa, adalah pencipta segala penderitaan yang selama ini kurasa, dia tetaplah orang yang selamanya ada dalam dada. Dalam dadaku, di mana kelak anaknya juga akan menyusu.

Aku memang tidak harus melakukan ini semua. Tapi, aku ingin melakukan ini semua. Hanya karena ingin. Aku yakin. Dan biarlah cinta ini seperti secangkir kopi. Meskipun selamanya orang tuaku dan orang-orang di desaku tak kan pernah memberkati, tapi tetap akan kunikmati. Meski hanya sekali-sekali. Meski dengan sembunyi-sembunyi.

Imam Solikhi, mahasiswa Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Beberapa karyanya telah dimuat Majalah Gradasi dan Ponorogo Pos. Aktif menulis di organisasi Himprobsi. Dapat dihubungi melalui surel imamessiah19@gmail.com.

Beri Tanggapan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s