Cerpen Willy Wonga
Editor Ragil Koentjorodjati

Aku ingat sekarang. Sebelum hari kematiannya, malam sebelum itu aku bermimpi. Mimpi Trisa sedang berenang. Separuh tubuh belangnya meliuk-liuk mirip ular di dalam air. Hidung merah mudanya mengapung di depan wajah lucunya. Mata hitam bulatnya menatapku dengan lugu. Aneh. Biasanya dia takut air. Selain aneh karena tiba-tiba dia berenang ke sana-kemari dengan kebahagiaannya, Trisy tidak nampak dalam mimpi tersebut. Sepanjang hidup Trisa, dia selalu bersama saudari kembarnya Trisy. Tidak terpisahkan. Mereka berbagi piring makanan. Tidur saling berpelukan. Setelah mandi biasanya keduanya saling bergantian mengeringkan tubuh mereka dengan lidah masing-masing. Yang kutahu, mereka adalah dua kembar yang sangat bahagia selama ini.
Beberapa waktu kemudian, setelah kesedihanku mereda, aku memikirkan kembali mimpi itu. Mata hitam Trisa itu sangat menggangguku, belum lagi tatapannya yang lugu. Sampai-sampai sepanjang hari pikiran tentang mimpi tersebut menggangguku. Kalau saja setelah mimpi Trisa tidak mati, aku akan baik-baik saja. Tetapi dia mati. Itu bisa jadi pertanda buruk. Jadi Aku giat membaca buku-buku tentang ilusi, penglihatan, mimpi-mimpi aneh, yang menurutku bisa sedikit menerangiku.
Sebulan berlalu, tidak ada hasil. Mimpi itu membuatku takut tidur malam.
Aku tahu itu hanyalah mimpi, tetapi sebuah suara dari dalam diriku mengatakan tidak. Bila aku bermimpi tentang Trisa sebelum kematiannya, itu berarti ada sesuatu yang hendak disampaikan. Entah berupa pesan atau sesuatu yang lain.
Tiga bulan setelah itu, pernikahanku yang baru dua tahun terancam rubuh. Istriku memutuskan mengikuti rombongan yang berwisata di pulau Flores selama sebulan. Dengan sengaja dia memberiku waktu untuk memikirkan semuanya, sekaligus mengambil keputusan bila mungkin. Keputusan istriku sudah seratus persen; kalau menurutnya aku tidak pernah berubah selama setidaknya dua bulan ke depan, maka pernikahan kami hanya akan menjadi kenang-kenangan di hari tua.
Suara orang asing dalam diriku bilang; pertanda buruk.
Sejak saat itulah aku mulai memikirkan berbagai kemungkinan yang membuat hubungan kami tersendat-sendat. Semula aku mengambil sudut pandang perselingkuhanku sebagai akar masalahnya. Perselingkuhan itu sendiri baru sekitar sebulan sebelumnya, kemungkinan istriku mengetahuinya adalah kemungkinan kecil. Kalau dipikir-pikir seharusnya aku mengambil sudut pandang lain. Mungkinkah ketidakcocokan itu sendiri yang membuat kami tidak akur lagi? Apakah sebenarnya kami tidak cocok dan pernikahan ini tidak perlu dilakukan dari dulu? Oh, tidak. Orang bisa menjadi tidak cocok kapan saja dan sering tanpa perlu alasan. Aku pun menoleh ke belakang. Melihat bulan-bulan terakhir kami, percintaan kami yang tidak semenggelora sebelum-sebelumnya.
Apakah itu pertandanya?
Aku terus memikirkannya sepanjang tiga hari pertama. Tetapi pemikiranku hanya seputar ketidakcocokan dan perselingkuhanku. Tidak pernah aku menaruh prasangka buruk terhadap istriku, Mawar. Dia tidak mungkin bermain dengan pria lain. Aku tahu saja mengenai itu, dan orang asing menyetujui pendapatku tentang istriku. Dari hari ke hari aku memilah-milah, mereka dan menebak. Lantas membuat serangkaian keputusan yang tentunya mempertahankan pernikahan kami. Mawarku tidak boleh meninggalkanku. Seharusnya aku tidak selingkuh, aku menyalahi diri sendiri. Bisa jadi perselingkuhan itu, sekalipun tidak diketahui Mawar, tetap saja mempengaruhi sikapku.
Hari berikutnya, aku membuat keputusan dengan berat hati. Sebelum Mawar pulang, perselingkuhanku harus sudah berakhir.
Hari berikutnya lagi, si orang asing menggangguku. Keputusanku goyah. Menurutnya, aku akan sia-sia sebab masalahnya bukan itu. Aku tidak masuk kantor hari itu hanya untuk bergumul dengannya. Aku membuat opini-opiniku sendiri, tetapi dia selalu berhasil membuka mataku untuk melihat kebenaran kata-katanya. Aku memohon padanya. Aku berdoa kepada Tuhan agar, siapapun yang sedang berbicara kepadaku saat ini memperjelas maksudnya. Doaku baru terkabul dua hari berikutnya lagi. Tuhan kadang bermain dengan perasaan mahkluk ciptaanNya, pikirku.
Orang asing dalam diriku menyebutnya suatu pagi. Chemistry, katanya. Sesuatu yang lebih dari sekedar kecocokan, bahkan lebih dari cinta itu sendiri. Aku kelabakan. Chemistry merupakan sebuah kata yang tidak asing dalam duniaku, bersama mitraku, selingkuhanku bahkan dengan Mawar pernah kami membahasnya.
“Apa kau pernah merasakannya?” tanya suara asing.
“Ya,” jawabku.
“Apa kau pernah berusaha menciptakannya?”
“Maksudmu?” aku tidak tahu kalau chemistry bisa diciptakan.
“Seperti energi, begitulah chemistry. Ketika dia habis, orang harus menciptakannya lagi.”
Kata si orang asing selanjutnya; seharusnya aku melihat kucing hitam itu sebagai sudut pandang. Hah? Aku sampai berpikir mungkin aku semakin gila sekarang. Namun, suara asing itu bersikeras. Di sanalah kau akan menemukan apa yang kauperlu, katanya. Aku merenung. Ah, yang benar saja. Kupandang Trisy dari seberang meja. Mencari-cari petunjuk. Biasanya ilham dapat diperoleh dari apa saja. Trisy merasakan pandanganku, dia mendongak. Dan..astaga, di matanya, warna matanya maksudku, membuatku tertegun. Lantas orang asing dalam diriku menghargai keterkejutanku. Dia membimbingku menyelami kedalamam mata Trisy. Dia berbisik, di sana aku akan menemukan masalahku.
Dua tahun lalu kami menikah. Kebetulan kami berdua dilahirkan katolik jadi secara katolik pula kami mengikat janji. Dalam suka maupun duka….
Kami menikah dalam suasana serba tidak berlebihan. Demi menghindari campur tangan adat istiadat di negeri asal kami masing-masing, pernikahan itu terjadi di kota ini. Bahkan tidak pernah ada acara lamaran dan pertunangan sebelumnya. Kami berpacaran tiga tahun di bangku kuliah, lalu setelah kami lulus pada tahun yang sama dan bekerja pada dua kantor yang berbeda kami akhirnya memutuskan untuk menikah. Perwakilan dari keluargaku hanya mengirimkan empat orang dalam pernikahan itu yakni ayah dan ibu serta kedua saudara. Dari pihak Mawar cuma bapak dan ibunya. Satu-satunya biaya yang kupikirkan adalah resepsi buat teman-teman kuliah serta teman-teman kantor. Itu saja.
Aku dan Mawar berdebar-debar sejak malam pertama kami. Lalu pada bulan madu kami di Pulau Komodo. Bahkan sepanjang setahun kemudian kami masih selalu berdebar-debar dan was-was kalau duduk berdua untuk membicarakannya. Kami sangat mengharapkan kehadiran anak-anak. Pada suatu malam, kami duduk berpelukan dekat jendela. Memandang lampu jalan yang menggantikan sebentuk bulan di langit dari balik kaca.
“Aku menginginkan anak laki-laki sebagai anak sulung, saying,” kataku bermaksud bercanda sebab Tuhan yang menentukan jenis kelamin bayi-bayi yang lahir ke dunia.
“Kalau itu baik bagimu, ya aku manut.” Mawar menyahutku. Dia meletakan kepalanya di pangkuanku agar aku membelai rambutnya.
“Anak laki-laki lebih kuat sebagai pembuka jalan. Dia akan menjadi pelindung buat adik-adiknya.” Aku bertaruh kalau teoriku itu benar. Dan Mawar menertawaiku. Kami saling bertatapan lama sekali. Aku menangkap pijar-pijar yang bergeletaran di selaput hitam bola matanya. Aku ingin mencium istriku namun dia cepat-cepat mengalihkan pandangan kembali kepada lampu jalan. Tentu Mawar tak ingin mendesakku, apalagi menuduhku. Kami selalu yakin kalau anak itu anugerah Yang Di Atas.
“Aku pengen miliki dua bayi kembar, deh.” Giliran Mawar mengeluarkan candanya. Aku menggodanya dengan mengatakan bisa-bisa rahimnya tidak sanggup menampung dua janin sekaligus. Kalau jebol gimana?
“Hus,” Mawar memasang tampang serius.”Jangan bicara begitu tentang rahim deh. Ibuku selalu bilang bagi seorang wanita rahim adalah sesuatu yang sangat sakral. Bahkan ketika hatinya sendiri sangat kotor oleh dosa, rahimnya masih tetap suci. Itulah mengapa Tuhan masih menitipkan bayi-bayi lewat wanita-wanita tuna susila.”
“Ibumu pasti menjadi Imam kalau dilahirkan laki-laki, ya.” Lagi-lagi aku menggodanya. Mawar memberengut pura-pura. Menggemaskan melihat istriku menjadi manja begitu.
“Jadi bagaimana dengan wanita-wanita yang tidak pernah melahirkan dan yang mandul?” aku bertanya dan membuat Mawar salah tingkah. Melihat wanita itu menjadi rapuh, aku merasa remuk. Aku mendekapnya sampai Mawar benar-benar menangis.
Dua tahun berlalu. Debaran jantung kami yang menunggu kelahiran bayi lesap oleh hitungan hari. Kami berhenti berharap pada Tuhan. Lalu pada suatu malam, aku membawa pulang dua ekor kucing kembar ke rumah. Mawar melihatnya namun diam saja. Padahal tadi aku berharap ini kejutan menyenangkan untuk Mawar. Dia malah menyuruhku cepat-cepat makan dan segera tidur karena sudah sangat larut sekarang. Hatiku mencelos.
Pada hari setelah kematian Trisa, Aku bertanya apakah dia sesedih diriku? Mawar bilang tidak sesedih itu. Dia mengatakan dia sangat marah pada Tuhan.
“Aku tidak tahu mengapa Tuhan mengirim kucing ketika aku senantiasa berdoa mohon dua bayi kembar darinya?” kata Mawar dingin.