Cerpen Octaviana Dina

Tak sampai satu menit seusai pemaparan mengenai rencananya seputar proyek baru, Winardi segera menyergapnya dengan kontra opini yang tajam. Ia menyuarakan ketidaksetujuannya. Hm, perang dimulai, pikirku. Seperti biasanya, perempuan itu tak berkata sepatahpun dan menyimak dengan seksama sampai Winardi selesai bicara. Lantas, dia mementahkan opini lelaki itu dengan argumennya yang dinyatakan dalam kalimat-kalimat jelas, lugas dengan dalil-dalil logis yang sulit dibantah. Ia menyampaikan sanggahannya pada Winardi dengan suara mantap dan penuh keyakinan.
Akan tetapi, bukan Winardi namanya jika cepat menyerah. Lelaki itu kembali menyerangnya. Dan perempuan itu dengan percaya diri mematahkan serangan Winardi. Begitulah, kedua orang itu laksana sepasang kutub negatif dan positif. Sama-sama kuat, tapi senantiasa berlawanan. Harus kuakui, aku sangat menikmati pertarungan pendapat di antara keduanya. Pertarungan itu menunjukkan kemampuan dan keahlian yang mereka miliki. Mereka telah membuatku kagum. Terlebih lagi perempuan yang satu itu. Lugas, brilian, berani, dan -tentu saja- keras kepala.
Namanya Maria. Setelah mengenalnya beberapa lama, aku berpendapat nama itu tak cocok untuknya. Aku tak tahu kenapa, namun setiap kali mendengar nama Maria aku selalu membayangkan sosok seseorang yang benar-benar berbeda dengan dirinya. Sosok perempuan yang pendiam dan tenang. Barangkali aku terlalu berlebihan dalam hal ini. Namun itulah yang selalu muncul dalam benakku setiap kali aku mendengar nama Maria.
***
Aku ingat, pada suatu hari – saat itu aku berusia lima tahun- aku dibawa ibuku pergi. Kami naik becak dan kemudian tiba di depan sebuah rumah mungil bercat putih. “Ayo, sayang, kasih salam sama Tante Maria,” ujar ibuku. Kuulurkan tanganku pada seorang perempuan dengan rambut hitam panjang tergerai tengah tersenyum padaku. Matanya menatapku dengan hangat dan ramah. “Halo, sayang,” katanya. Tangannya mengelus kepalaku. Aku masih ingat caranya bertutur: manis dan lembut. Pada saat itu juga aku merasa nyaman berada di dekatnya. Itu pertama kalinya aku mendengar nama Maria, dan Tante Maria adalah sosok Maria pertama yang kukenal.
Aku bertemu sosok Maria yang kedua beberapa tahun kemudian saat bersekolah di sekolah dasar. Suatu hari, aku mengikuti teman sekelasku menyelinap masuk ke sebuah sekolah Katolik yang terletak tak jauh dari sekolah kami. Sekolah itu cukup besar, dengan beberapa gedung untuk TK, SD dan SMP.
Semula aku takut untuk masuk. Aku takut penjaga sekolah itu menangkap basah kami yang tanpa ijin menyelinap ke dalam.
“Ayo, ikuti saja aku. Tidak apa-apa,” kata temanku menenangkanku. “Sekolah ini punya tempat rahasia. Akan kutunjukkan padamu,” lanjutnya lagi ketika kami tiba di sebuah taman sunyi yang terdapat di belakang sekolah. Aku mengikutinya menuju sebuah tempat serupa gua kecil yang tersembunyi di balik pohon besar. Di dalamnya aku mendapati sebuah patung berukuran besar. Patung seorang perempuan berkerudung terbalut gaun panjang berwarna putih berlapis jubah biru. Kedua tangannya terbuka dan terulur ke depan seolah ia tengah menyambut hangat kedatangan kami. Ketika pandanganku sampai pada matanya, aku merasa ia sedang menatapku dengan sorot mata menyejukkan. Aku merasa ia tesenyum padaku. Meski tempat itu sunyi dan sedikit gelap, namun hatiku dirambati perasaan nyaman.
“Siapa dia ini?” aku bertanya pada temanku.
“Dia Bunda Maria. Kata orang, dia adalah ibunya Yesus Kristus,” jawab temanku. Sambil terus memperhatikan patung itu, aku melihat rambut hitam di bagian atas dahinya menyembul sedikit dari balik kerudungnya.
Kemudian, ketika duduk di kelas dua SMP aku mempunyai teman sekelas bernama Maria. Mungkin lantaran kami selalu duduk berjauhan, aku jarang sekali bercakap-cakap dengannya. Meski begitu, aku masih bisa mengingatnya sebagai seorang gadis pendiam yang santun dengan rambut hitam panjang. Sangat pintar, tapi juga amat rendah hati.
Lalu, saat aku duduk di kelas tiga SMA, lagi-lagi seorang bernama Maria masuk dalam kehidupanku. Ia adalah guru Bahasa Inggrisku. Ia selalu berpakaian serasi dan rapi, serta senantiasa mengikat rambut hitamnya dan membentuknya menjadi sanggul kecil. Aku yakin, rambutnya pasti panjang. Klasik, begitu kesanku padanya. Pembawaan Bu Maria selalu tenang, tanpa banyak riak emosi. Aku tak pernah melihatnya tertawa; hanya senyum yang menyejukkan yang kerap terbit di wajahnya. Kudengar usianya sudah mencapai empatpuluhan saat itu, namun ia terlihat jauh lebih muda.
“Ibu Maria itu perawan tua yang cantik,” bisik salah seorang teman sekelasku suatu ketika. Walaupun aku punya reputasi jelek sebagai pembuat onar di sekolah, aku tak pernah berani menjahili Bu Maria seperti halnya yang sering aku lakukan pada guru-guru lainnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku menaruh hormat. Tak peduli bagaimanapun buruknya tingkah laku murid-muridnya dalam kelas, Bu Maria tak pernah menaikkan nada suaranya. Ia tampak super sabar, hingga aku bertanya-tanya sendiri apakah ia pernah benar-benar marah dalam hidupnya.
“Ia tak punya emosi. Aku berani bertaruh ia tak pernah jatuh cinta. Mungkin itu sebabnya kenapa sampai sekarang ia belum juga menikah. Tahu nggak, umurnya sudah empatpuluh tahun lho,” ujar teman sekelasku. Aku amat bersimpati pada Bu Maria. Bagiku, ia adalah guru yang benar-benar baik dan cakap.
***
“Hei, ada apa dengan rambutmu?” tanyaku pada Maria suatu hari.
“Memangnya ada apa dengan rambutku?” ia balik bertanya.
“Itu lho, banyak sekali uban bermunculan. Kok dibiarkan saja?” ucapku.
“So? Lantas kenapa?” lagi-lagi ia balik bertanya.
“Kau kan perempuan, seharusnya kau memperhatikan rambutmu. Kau kan bukan nenek-nenek berumur tujuhpuluh. Rambutmu seharusnya tidak boleh terlihat seperti itu,” ujarku terus terang.
“Kenapa tidak boleh? Kalau aku suka begini, kau mau apa?” balasnya sambil mengangkat dagu dan menaikkan alis matanya. Jelas ia menantangku.
“Kuberitahu ya, ini memang sudah keturunan. Rambut mendiang nenekku mulai beruban saat beliau masih muda. Ibuku juga begitu. Ubannya mulai muncul pada usia tigapuluh,” lanjut Maria.
“Ya, tapi akan lebih baik kalau kau cat saja rambutmu itu,” jawabku.
“Kenapa sih kau jadi rewel soal rambut ubanku? Ini kan kepalaku, bukan kepalamu. Lagipula, ini cuma rambut. Bagiku, yang terpenting adalah apa yang berada di bawah rambut di kepalaku ini. Otak. Otakku,” tukasnya dengan kukuh. Perempuan ini memang benar-benar keras kepala.
“Kamu ini terobsesi dengan rambut perempuan ya? Hmmm, dasar laki-laki. Jangan-jangan, sepanjang hidupmu selama ini kau selalu dikelilingi perempuan-perempuan berambut hitam panjang. Aku rasa, aku tahu seperti apa perempuan idamanmu. Shampoo girl, gadis shampoo! Gadis dengan rambut panjang hitam berkilat-kilat, iya kan?” sambungnya tajam. Sepasang bibirnya lalu mengukir senyum lebar.
“Sudahlah, Maria,” kataku. Kurasakan wajahku memerah.
“Kau pasti cukup sengsara bekerja di tempat ini. Tak ada perempuan berambut hitam nan panjang di sekitar sini,” ledeknya terus menyudutkanku.
“Oke, cukup. Cukup, Maria. Kau menang. Kau memenangkan pertempuran, seperti biasanya,” sahutku. Aku segera bangkit dari kursiku. Lebih baik aku cepat-cepat menyingkir dari hadapannya.
“Katakan, kenapa sih kamu jadi rewel soal rambutku? Kau tidak sedang jatuh cinta padaku kan? Atau, jangan-jangan, memang iya? C’mmon, honey, tell me, are you falling in love with me?” kejar Maria lagi. Oh, my God, dia ini benar-benar… ah! gumamku dalam hati. Lantas, sebelum aku menjawabnya (aku tak yakin aku mampu menjawabnya), ia tertawa terkikik-kikik. Aku tak kuasa lagi membuka mulutku. Segera kutinggalkan ruangan itu dengan wajah semerah bunga anyelir.
Semenjak hari yang memalukan itu, aku tak pernah lagi menyinggung soal rambut. Lebih dari itu, aku bahkan tak bisa mencegah wajahku memerah tiapkali Maria menatap langsung ke mataku. Sepertinya perempuan itu bisa membaca apa yang kusimpan rapat dalam hatiku. Dan, ia tetap membiarkan uban menyeruak dari sela-sela rambut hitamnya.
Hingga beberapa minggu kemudian. Pada suatu pagi Maria datang ke kantor dengan penampilan yang sangat berbeda. Rambutnya. Ia mengecat rambutnya dengan warna merah tua kecokelat-cokelatan yang kemilau. Semua orang dibuatnya terpana , termasuk aku.
“Wow, kau tampak cantik dengan rambut seperti itu, Maria. You undeniably look great!” ujar Winardi. Meski Winardi kerap bersikap berseberangan dengannya, namun ia seorang lelaki yang jujur dan fair. Aku percaya kata-kata Winardi itu benar dan jujur karena, sama seperti dirinya, aku pun berpendapat Maria begitu cantik dengan rambut berwarna demikian. Warna merah kecokelatan tersebut amat cocok untuk wajahnya dan juga untuk kepribadiannya yang terbuka dan kuat.
“Terimakasih ya,” jawab Maria seraya tersenyum senang. Aku berpura-pura tak melihatnya dan berusaha menyibukkan diri dengan tumpukan kertas kerja saat ia akan melewati ruanganku.
“Hai!” Tiba-tiba Maria sudah berdiri di depanku. “Sibuk nih?” celetuknya.
“Yah, begitulah seperti yang kau lihat,” jawabku. Kurasakan wajahku kembali memerah ketika ia mendekatiku.
“Nah, bagaimana pendapatmu soal warna rambutku ini? Kau pasti suka, iya kan?” Jantungku berdetak kencang. Memang benar, namun aku tak ingin perempuan itu mengetahui perasaanku yang sebenarnya.
“Sejujurnya, kurasa warnanya tak cocok untukmu,” kataku berbohong.
“Aku tahu, kau lebih suka hitam.”
“Bukan begitu maksudku, Maria…”
“Ssst, dengar, lebih baik kamu berhati-hati…,” tukasnya dengan matanya berbinar.
“Kenapa?”
“Hati-hatilah kau. Kau bisa benar-benar jatuh cinta padaku. You could be, you know, truly..madly..deeply..fall in love with me,” ucapnya dengan suara sedikit berbisik. Ia tersenyum saat mengatakannya. Maria mengedipkan mata kanannya padaku, lantas segera berlalu.
Aku membeku di kursiku. Kurasakan tubuhku gemetar. Mulutku terkunci. Astaga, berani-beraninya dia mengucapkan hal itu! Bagaimana kau bisa berkata seperti itu, Maria? Apa yang kau tahu soal perasaanku padamu? Tapi… tapi… tapi harus kuakui kalau kau memang benar, Maria. Kau benar sekali. Aku sangat mengagumimu. Aku memang telah jatuh cinta padamu! seruku lantang. Hanya dalam hati.
***
Octaviana Dina, adalah penulis sekaligus penerjemah. Sejumlah cerpen dan essainya dimuat di beberapa media cetak dan online. Ia juga menjadi peneliti untuk Yayasan Yap Thiam Hien –lembaga nirlaba yang berfokus pada isu hak asasi manusia.
Reblogged this on Cuma Nulis.
SukaSuka