Cerpen DeAnnita
Panas terik matahari siang ini kembali membakar kulit sawo matangku. Setelah lelah sedari pagi membantu mamak dan bapak memanen padi, aku duduk di sebuah gubuk bambu yang sengaja bapak buat sebagai tempat peristirahatan. Kulihat mamak dan bapak tampak begitu lahap menyantap bekal makan siang yang setiap hari mamak persiapkan sebelum pergi ke sawah. Mamak selalu membawanya dalam rantang abu-abu itu.
Aku tak lapar, sama sekali tidak. Di setiap waktu makan siang seperti ini, rasa laparku selalu terkalahkan oleh satu rasa yang begitu menggebu. Rasa yang mengikat hatiku pada sebuah janji yang kau ucapkan dua tahun yang lalu–di gubuk bambu ini. Rasa itu kuberi nama rindu. Lalu hari-hariku seperti anak-anak sekolah. Aku mempunyai pekerjaan rumah untuk menyematkan rindu pada bulir padi yang menguning.
Dulu, sebelum kau pergi membawa mimpimu ke kota megapolitan itu, kita selalu berbagi makan siang di sini. Kau selalu membawa ubi rebus yang mamak-mu rebus sebelum kau pergi bermain ke tanah hijau ini. Sebagai gantinya, aku membawakanmu pisang bakar yang kubakar sendiri di bawah luweng. Kau mengatakan bahwa pisang bakar buatanku adalah pisang bakar terlezat yang pernah kau makan sepanjang hidupmu.
Beberapa detik kemudian, kurasakan batinku mulai mengharu biru kembali. Sementara itu, mamak dan bapak bersiap untuk kembali memanen padi. Mamak dan bapak memakai caping yang di beberapa sisi anyaman bambunya sudah agak berantakan dan mencuat dari jalurnya. Tak bisa kucegah sekeping memori tentang pertemuan kita dulu. Pertemuan yang membawa kita berjalan menuju sebuah rangkaian yang kebanyakan orang menyebutnya dengan panggilan persahabatan.
Waktu itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga dan kau kelas empat. Siang itu aku duduk di kelas sendiri dan menundukkan kepala dalam-dalam. Ruang kelas kita bersebelahan. Kau berhenti tepat di depan kelasku dan menatapku dengan penuh tanda tanya. Terang saja, di saat anak-anak lain sudah pulang, aku masih duduk di kelas dengan sikap yang aneh.
Kau berjalan mendekatiku, duduk di sampingku, lalu berkata, “Kamu ndak pulang?”
Perlahan kutengadahkan kepala untuk melihat wajahmu sambil menghapus sisa air mata yang membasahi pipiku. Aku diam tak menjawab pertanyaanmu. Lalu aku kembali menundukkan kepala dan memilin-milinkan ujung dasiku.
“Aku ndak akan jahatin kamu kok. Kamu ngopo nangis?” rupanya kau seperti bisa membaca pikiranku saat itu. Kau malah semakin ingin tahu mengapa aku menangis sendirian di kelas saat itu.
Sekuat tenaga kutahan tangisku untuk menjawab pertanyaanmu. Kau sedikit memiringkan kepala untuk melihat wajahku yang masih tertunduk.
“Aku mau pulang,” aku masih mengingat dengan jelas bagaimana nada bicaraku saat itu. Sungguh, aku begitu terdengar menderita dan memelas.
Kau tertawa begitu puas setelah mendengar jawabanku. Seketika saja, kau berdiri dan memegang tangaku untuk berdiri. Aku masih menatapmu tanpa kata-kata.
“Pulang tinggal pulang, to? Kalau di sini terus kapan sampai rumah?”
Dengan malu-malu kujawab pertanyaanmu, “Aku ndak punya uang. Uangku diambil sama Si Lemu.” Setelah itu tangisku kembali pecah.
Kau melepaskan genggaman tanganmu dan menghapus air mataku. Aku tersentak kaget dengan perlakuanmu saat itu. Tawamu yang tadi mengejekku berubah menjadi sifat seorang kakak yang mengayomi adiknya.
“Ya, sudah, ayo tak antar pulang,” ucapmu sambil menuntunku keluar kelas.
Siang itu kau mengantarku sampai rumah. Aku tersenyum begitu bahagia saat itu.
Kau mengulurkan tanganmu seraya berkata, “Panji.”
Secepat kilat aku membalas uluran tanganmu, “Ayu.”
Siang itu adalah awal persahabatan kita. Kau dan aku mulai bermain bersama di sekolah ketika istirahat tiba. Tak jarang, kau berkunjung ke rumahku. Kau mengajariku menerbangkan layang-layang. Aku ingat layang-layang pertama yang bisa kuterbangkan berkat ajaranmu. Warnanya putih dengan garis hitam di sisi kirinya. Lalu di tengahnya tertulis nama kau dan aku.
Aku berteriak kegirangan, “Panjiii, layang-layangku bisa terbang!”
Kau berdiri di sampingku sambil melihat ke layang-layang yang berhasil kuterbangkan dengan indah. “Siapa dulu yang mengajari? Panji!” jawabmu bangga sambil membusungkan dada.
Sebagai gantinya, aku mengajakmu bermain di sawah bapakku. Kau begitu sumringah ketika kuajak melihat padi-padi yang menguning dan siap dipanen. Kau juga mengatakan bahwa suara burung pipit di sawahku membuat hatimu ceria.
Aku tersadar dari lamunanku ketika bapak menggerakkan boneka sawah yang sengaja dibuat untuk mengusir burung-burung pipit yang datang mematuki padi-padi kami. Tanpa kusadari ada setetes bulir hangat yang jatuh membasahi pipiku. Ah, jangan menyebutku sebagai gadis desa yang cengeng! Aku memang selalu seperti ini. Rinduku padamu seperti cambuk yang siap mengeksekusi teroris di tiang cambukkan. Tidak, rinduku padamu serupa bulir padi yang menguning begitu indah dan dinantikan berjuta umat manusia.
Seandainya saja aku bisa mencegah kepergianmu untuk tidak menuntut ilmu di kota besar yang kini membuatmu lupa akan ubi rebus, pisang bakar buatanku, bermain layang-layang, dan kicau burung pipit yang membuat hatimu ceria. Seandainya saja aku bisa sedikit berargumen, mungkin kau akan mempertimbangkan kembali kepergianmu. Ah, sudahlah. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu kedatanganmu setiap tahun dan terus fokus pada pendidikanku yang sudah separuh jalan ini.
Aku memang selalu menasihati diri agar bersabar menunggumu, namun batinku meronta karena setiap keping kenangan kita berbunyi seperti logam yang jatuh di atas keramik. Dan memori kepergianmu terputar lagi di benakku.
Senja menguning dengan sempurna sore itu. Padi-padi yang siap dipanen merunduk dan menari setelah angin sore mengecupnya dengan lembut. Suara jangkrik dan katak sawah mulai terdengar melantunkan nyanyian malam dengan penuh semangat. Kau menjemputku di rumah dengan sepeda ontelmu dan membawaku ke gubuk bambu yang bapak buat. Kau bilang ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting. Lagi-lagi kau bilang hal yang akan kau sampaikan menyangkut masa depan kita.
“Bagaimana perasaanmu menunggu hasil ujian nasional?” ucapku saat itu dengan hati yang berdebar. Ujian Nasional yang baru saja kau lewati menciptakan lega sekaligus ketegangan baru untukku.
Sepertinya kau tak mendengar ucapanku. Kau terlihat begitu gelisah. Kakimu kau ayunkan ke depan dan ke belakang yang semakin mempertegas kegelisahanmu.
“Aku harus pergi, Yu,” ucapmu sambil menatap mataku lekat-lekat.
Aku terkaget mendengar ucapanmu. Seketika saja, kurasakan detak jantungku seperti berhenti setelah beberapa detik. Aku tersadar dan dengan cepat menyuruh jantungku untuk berdetak kembali. Namun, hanya diam yang kuberikan sebagai jawaban atas ucapanmu.
“Aku akan melanjutkan kuliah di ibu kota. Aku sudah diterima di salah satu universitas di sana,” ucapmu lanjut. Dari air wajahmu aku tahu ada rasa yang memberatkanmu saat menyampaikannya padaku.

Seketika saja aku terhenyak dan menyandarkan diri pada bambu penyangga gubuk. Aku merasa seperti ada yang menghujam tepat di jantungku. Kau yang menyadari perubahan ekspresiku langsung berkata, “Tenanglah, Yu. Aku ndak akan melupakanmu. Aku akan pulang kampung setiap tahun.”
Kau diam sejenak sebelum akhirnya menggenggam tanganku erat dan berjanji, “Aku berjanji tak akan melupakanmu. Percayalah padaku. Aku akan setia pada janji kita. Kau dan aku di usia 25 tahun nanti.”
Lalu padi yang menguning semakin merunduk saat itu. Senja yang berubah menjadi jingga rasanya begitu kelabu. Sepanjang perjalanan pulang, aku hanya diam dan memegangi pinggangmu dengan erat. Kau mengayuh sepeda ontelmu dengan pelan, layaknya petani yang kelelahan setelah seharian mengurus sawahnya.
Suara mamak memanggilku dengan lantang, membuyarkanku dari lamunan tentangmu.
“Ayo pulang, wis sore mengko ndak kewengen,” mamak berteriak sekali lagi.
“Inggih, Mak,” jawabku singkat.
Aku beranjak dari gubuk bambu yang penuh dengan kepingan kenangan kita dengan malas. Sebelum benar-benar melangkahkan kaki, kupandangi gubuk bambu itu dengan rasa yang mengharu biru. Aku melihat tawa, kata, cerita, dan tangis kita menguap di udara menuju peristirahatan hari. Lalu kepingan-kepingan itu berserakan, usang karena lama tak kau sentuh.
Sejenak aku berdiri memandangi padi-padi yang menguning dengan rasa haru yang luar biasa. Isakanku kujelmakan pada lukisan langit jingga yang sempurna. Ah, aku tak akan berharap terlalu banyak. Sebab kedatanganmu selalu membuatku kecewa bahwa kau melupakan setiap hal yang pernah kita lalui dengan alasan setumpuk tugas dan hal baru di ibu kota yang kau anggap sebagai modernisasi.
Kau mengernyitkan dahi melihat pisang bakar yang kusodorkan. Dengan penuh semangat dan sukacita aku membakarnya untukmu, namun kau membalas kegembiraanku dengan tanda tanya.
“Aku tak lagi memakan pisang bakar seperti ini, Yu. Jorok dan tidak menarik. Di kampus aku diajari kebersihan yang begitu ketat. Aku baru menyadari bahwa pola hidupku selama ini sungguh jorok,” ucapmu ringan sambil memainkan handphone layar sentuh yang kau bilang sedang trend.
Aku hanya diam, mengangguk, dan berkata “oh” atau “iya” atas segala ceritamu tentang isi ibu kota. Lalu kau membuat hatiku hancur berkeping-keping. Rasanya seperti banjir yang membuat semua isi kolam ikan mbah kakung meluap, berserakan ke jalanan dan ikan-ikan di dalamnya tak bisa bernafas. Akulah ikan itu.
“Setelah selesai S1, aku ditawarkan untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri oleh salah satu kawanku. Bagaimana menurutmu, Yu?” kali ini kau bertanya sambil menatapku.
Aku diam sejenak, kebingungan dengan jawaban yang harus kupersembahkan untukmu. “Ya, itu bagus. Lalu bagaimana dengan janji kita di usia 25 tahun?” kuberanikan diri untuk melontarkan pertanyaan itu.
“Yang terpenting saat ini adalah pendidikan. Kau tak perlu memikirkan hal yang belum tentu terjadi,” lalu kau mengeluarkan sebuah gantungan kunci dengan boneka beruang biru yang menggantung pada lingkaran pengaitnya.
Kau memberikannya untukku. Aku memandangi gantungan kunci itu dengan hampa. Tak tahu lagi harus berkata apa. Lalu kuseka air mata yang hampir saja memberontak ingin menampar kata-katamu.
Sekuat tenaga kukatakan padamu, “Aku menunggumu di usia 25 tahun itu, Panji. Aku menunggu janjimu, janji kita.” Kau tersenyum mendengar ucapanku. Lalu tanganmu menggenggam erat tanganku. Kurasakan ada kehangatan yang mendarat di keningku. Ah rasanya begitu manis.
Aku berdebar mengingatnya, selalu berdebar. Aku melangkah perlahan menyusuri pematang sawah. Dan biarlah, tetap dan terus kusematkan rindu pada bulir padi yang menguning.
Kampus GG IPB
10:42
DeAnnita, kelahiran kota hujan. Mencintai hujan, rindu, senja, dan pantai.