Cerpen Ewin Suherman

Sajak-sajak itu berceceran di atas meja lusuh. Meja lembab karena tersiram tumpahan kuah sayur bening yang meluber dari piring saat aku mengambilnya dari panci peot, untuk teman makan nasi pera. Nasi yang dimasak dari beras dolog. Beras raskin yang dihargai lima ribu rupiah per dua kilo.
Sajak-sajak itu tidak hanya berceceran. Namun juga lapuk digelayuti debu. Kusut disesapi udara sembab dengan aroma asin pengab menusuk penciuman. Sajak yang telah sama renta dengan ragaku. Ragaku yang lelah seperti hari yang menyerah kepada senja. Lalu pasrah ditindih malam, dilekatkan kepada gelap.
Dia, sajak-sajak itu, sebelum terbengkalai seperti mati, aku telah melupakannya terlebih dahulu. Aku melupakannya tiap kata. Per kalimat. Lalu paragraf. Aku telah melupakannya, kadang karena tidak disengaja. Namun lebih sering karena aku yang menyengaja.
“Kenapa?” tanya Sumitro, kakak laki-lakiku, yang semenjak kecil telah mengajarkanku bersajak. Menggantikan Abah selepas beliau mangkat, tepat satu jam beliau pulang dari bersajak karena ditanggap salah seorang kerabat di desa sebelah.
Kenapa? Pertanyaan yang sekalipun tak pernah aku jawab. Pertanyaan yang terus dia ulang, adalah ketika ia mulai mencium gelagat kejauhanku dari sajak dan bersajak. Ketika ia mulai sadar, bahwa aku lebih sering meluangkan waktu untuk bersama dengan teman-teman baruku, yang diberikan oleh Mas Rahmadi dan Yusuf, suami dan anakku, sebagai ganti mereka menemaniku, sebelum mereka pergi jauh dan malah meyakinkan bahwa mereka tak akan pernah kembali. Kecuali aku yang justru akan menemui mereka kelak. Di rumah baru mereka, yang entah di mana, aku tak tahu. Juga sama sekali tak mengerti apa maksud yang mereka katakana sebelum masing-masing pergi meninggalkanku bersama dengan teman yang mereka berikan sebagai ganti.
Terkadang, pada saat-saat tertentu, di dalam kebersamaanku dengan Sumitro, pikiranku akan menemui titik cerna. Melumat perkataan, baik Mas Rahmadi dan Yusuf, adalah menyoal kematian. Hidup setelah mati.
Akan tetapi, aku tak bisa menelannya lebih banyak lagi. Akan ada rasa sakit yang luar biasa. Yang saking sakitnya, malah membuatku tak bisa menahan tawa. Dan dari sana, hanya teman-temanku saja yang ikut menemaniku. Tertawa terpingkal-pingkal tanpa ada rasa takut orang akan menyebut kami gila.
Terus kami tertawa, hingga aku mulai lupa, dan membiarkannya itu terjadi, lupa dengan sajak dan bersajak. Dan lagi dan lagi, Sumitro bertanya, kenapa? Perihal yang terkadang membuatku jengah terhadap sikapnya. Alih-alih menampakkan dirinya yang kembali memegang tanggung jawab penuh atas diriku, karena aku kembali melajang, justru membuatku merasa dipagari. Aku merasa seperti didikte.
Seperti hari ini, beberapa jam yang lalu, sebelum malam dan hening, Sumitro tergopoh-gopoh mendatangiku. Meninggalkan dua orang tamunya di depan, hanya untuk bertanya, kenapa? Lalu, tanpa memperhatikan jawaban dariku, dia memintaku untuk tidak tertawa keras-keras untuk demi menghormati dua orang tamunya.
Oh, tidakkah ia melihat perihal apa yang membuat diriku tak bisa berhenti menahan tawa? Bahwa Nyi Dewi, temanku yang diberikan oleh Yusuf dan Mas Rahmadi, tengah menirukan bagaimana lucu dan konyolnya seorang lurah dari desa sebelah. Lurah itu meminta Nyi Dewi agar tidak pergi meninggalkannya dan berteman denganku. Nyi Dewi menyulap tubuhnya menjadi lebih gempal sekaligus lusuh. Perutnya buncit dan melorot, seakan hendak jatuh ditarik gravitasi. Mulutnya ia monyong-monyongkan, sesekali menyeringai, memperlihatkan gigi-giginya yang kuning beraroma tengik.
Aku tak mengerti dan bertanya, apakah karena Nyi Dewi yang selalu bersamaku, membuatku lupa untuk bersajak, membawa Sumitro begitu membencinya? Sehingga melihatnya pun ia tak sudi. Oh, bukankah dia sendiri yang memintaku untuk tidak larut dalam luka atas kepergian Yusuf dan Mas Rahmadi? Menyuruhku untuk menjemput kebahagiaanku yang lain? Lantas, inilah kebahagiaanku. Bersama dengan Nyi Dewi dan terkadang juga teman-temannya yang lain. Akan tetapi mengapa Sumitro berkeberatan dan tak memperbolehkan diriku untuk tertawa?
“Karena kalau mereka teman. Mereka tidak akan membiarkanmu lupa dan malah melupakan sajak-sajak yang diajarkan Abah dulu,” kata Sumitro pelan, setelah ia dengan begitu tidak sopan mengusir Nyi Dewi dari beranda rumah kami, beranda tempat biasa kami bersua.
Oh, dua kubu dalam saat yang bersamaan membuatku limbung. Nyi Dewi dengan dunianya mampu menyingkirkan segala lara yang pernah menghujamku beberapa saat. Beberapa saat namun rasanya membuatku jatuh dan mengeluh, kenapa aku dilahirkan untuk menikmati segala lara itu? Menyaksikan semuanya terjadi di depan mataku?
Sementara Sumitro, ia dengan pelukan dalih peran dan tanggung jawabnya lagi terhadap diriku, paling tidak sampai nanti aku kembali menikah. Sumitro dengan segala kebenaran yang dilakukannya. Dan aku yang melihatnya demikian. Tak ada celah di dalam dirinya. Tak ada tempat meski sejengkal untuk satu laku timpang. Ah..
Namun begitu, seperti ujar yang sangat lama dan tua, yang digembar-gemborkan, bahwa hidup adalah sebuah pilihan. Maka rasanya tidak salah, jika jalan yang kupilih untuk kembali tertawa adalah dengan menerima apa yang ditinggalkan oleh suami dan anakku. Nyi Dewi. Tidak selalu dengan Sumitro, meski tak boleh aku menyangkal, atau menolak bahwa ia adalah orang yang paling bertanggung jawab di dalam hidupku kini. Walaupun keberadaannya tidaklah ia bisa mengangkatku dari ingatan terhadap Yusuf dan Mas Rahmadi. Ingatan yang terus melemahkan dan melukaiku.
Pun untuk bersama-sama dengan Nyi Dewi, tetap harus ada yang kutinggalkan. Harus ada yang aku korbankan. Dan itulah sajak-sajak. Yang diajarkan Abah yang kemudian diteruskan Sumitro. Itulah yang kutinggalkan. Sebab seiring dengan ingatanku terhadap anak dan suamiku, sajak-sajak itupun melukai Nyi Dewi. Membuatnya sangat kesakitan bila aku menyenandungkannya. Meski hanya selarik, tetapi itu akan membuat Nyi Dewi sangat merasa kesakitan.
“Itu salah, Murni,” bantah Sumitro dengan suaranya yang selalu halus dan pelan. “Pemikiranmu ,mengenai apa yang harus kau lakukan untuk mengambil keputusan itu keliru. Tidak seperti itu caranya. Melainkan…”
Ah, Sumitro belum juga mengerti. Atau mungkin dia malah menutup mata kepada hidup? Bahwa ia selalu mengenai pilihan. Seperti dirinya menjalani kebaikan apa yang menurutnya benar. Bukankah demikian pula dengan diriku? Kenapa dia harus memaksa? Bahkan untuk diriku bisa legowo atas kepergian anak dan suamiku.
Aku legowo. Hatiku sudah ikhlas. Toh itu semua juga berkat dirinya karena membuatku memutar kembali langkah-langkahku dan memulainya lagi dari awal. Tetapi mengapa dia berbicara -selalu berbicara- yang seolah-olah mengalihkan kalimatnya ke dalam bahasa yang lain menyebutku gila? Tak waras?
Menyindir hanya karena aku tak pernah lagi bersajak dan menemui-Nya. Tidakkah alasanku sangat jelas? Jawabanku begitu lugas ditanya kenapa aku tidak lagi menemuiNya? Itu karena Dia yang meninggalkanku. Dua kali malah Dia meninggalkanku. Pertama adalah ketika Yusuf pergi. Disusul dua tahun berikutnya adalah Mas Rahmadi. Lalu, untuk apakah aku menemui-Nya? Sementara aku sudah mendapatkan penggantinya untuk tersenyum?
Tetapi Sumitro memaksaku mengingat kembali sajak-sajak yang akan membuat kepalaku terasa sangat sakit bukan kepalang. Tak hanya itu, pun dia menghina Nyi Dewi. Baru setelah itu, aneh sekali, Sumitro tertawa terpingkal-pingkal sambil berkacak pinggang. Berbicara sendirian menggunakan bahasa yang sama sekali aku memahaminya, dan membuatku heran bagaimana ia bisa menguasainya sementara Nyi Dewi tidak sembarangan mengajarkannya? Atau dia menguping kami sewaktu-waktu, sehingga ia sangat lugas berintonasi dengan menggunakan bahasa kami?
Pradugaku, mungkin, mungkin sekali ini Sumitro kalah. Tak bisa menahan diri dari melihat kelucuan yang Nyi Dewi tampilkan? Sumitro tertawa terpingkal-pingkal dan berbicara sendirian. Sejenak seakan ia sedikit bertoleransi dan melupakan sajak-sajak. Ia lupa menemui-Nya. Dan, oh, sungguhkah aku diperkenankan untuk menyebutnya gila? Dia, Sumitro tidak waras? Sebab yang terlihat di mataku seperti itu. Atau hanya aku saja yang memang tidak waras? Aku gila. Ah..
Sumitro terus tertawa terpingkal-pingkal. Sampai matanya berair dan ia mengaku perutnya kram. Dia menyutujui tertawa membuat satu kesenangan tiada tara rasanya. Lalu, kulihat Nyi Dewi mulai menjauhiku. Mendekati Sumitro yang kini memandangnya setara dengan ketika ia menyebut sajak.
Kenapa? Pertanyaan itu kini bergilir memenuhi rasa ingin tahuku. Menjadi milikku sendiri. Sebelum semuanya dalam pandangannku menjadi senyap. Kecuali tawa-tawa Sumitro dan Nyi Dewi, yang gaungnya terdengar hingga larut malam.
Ewin Suherman dilahirkan di Tegal, 5 Pebruari 1985. Penulis bisa dihubungi melalui surel ewin.suherman@yahoo.com Atau kontak 0856-4349-2570.