Cerpen M Taufan Musonip

Di Karawang aku menemukan The Caunt of Monte Cristo dari seorang tauke, kupikir yang menerjemahkannya adalah Robert Mallema seorang kolektor novel yang pernah sesumbar akan menerjemaahkan semua roman Eropa kepunyaannya ke dalam Bahasa Melayu. Mallema adalah pelatihku dan pernah memberikanku Hikayat Robinson Crusoe sebagai kenang-kenangan. Dia adalah orang yang ditunjuk oleh Gubernemen melatih para bromocorah untuk disiapkan menjadi weri. Minat bacaku terhadap novel tumbuh di sana. Dan aku adalah satu dari sedikit anggota Macan Item yang tahu membaca. Tiga tahun aku pernah bersekolah karena jatah bapakku yang seorang ambtenaar rendahan. Bapakku tewas karena ambil bagian dalam pergerakan kaum tani. Aku kehilangan arah, mengekor ke dalam kelompok Jawara yang berguru pada seorang kanuragan dari Banten.
Ternyata novel itu diterjemaahkan dan disadur oleh seorang J. Kuo, mirip nama Cina. Tauke menawarkanku membeli buku itu, harganya sepadan dengan sepotong kaki sapi, aku menyetujuinya dan berarti dia memotong pembayaran untuk sepuluh ekor sapi. Sapi-sapi itu adalah hasil rampokan dari Rawa Binong, keuntungannya akan dibagi buat kepala desa yang penduduknya telah menjadi korban, dan sebagian kecil untuk Bupati, daftar baru yang kubuka jalannya sebagai pemenuhan kehendak penjajah, melepasku sebagai weri, penyusup yang ditugaskan untuk mengawasi dan memecah-belah kelompok-kelompok jawara. Samaji, pemimpin kelompok Macan Item, menurut saja ketika kusarankan padanya agar memberi sebagian kecil saja jatah kepada Bupati, sebagai jaminan bahwa kelompok saingan terbesarnya Naga Hitam tak akan memakan wilayahnya.
Naga Hitam adalah kelompok jawara yang dibesarkan dengan pesat oleh Bupati Bagurdi. Pembagian kepada Bagurdi tentu akan sampai kepada Pemerintah. Sementara ini Samaji hanya memberikan dua potong kaki setiap sepuluh ekor sapi hasil rampokan. Bagurdi menguasai dua belas kelompok jawara, sebagian dipimpin oleh para weri bawahannya yang berhasil menduduki kekuasaan di tiap kelompoknya, sebagian lagi meski bukan dipimpin seorang weri, kelompok mereka diarahkan untuk bersekutu pada Bagurdi, berkat kepiawaian para weri juga. Masing-masing weri memberikan satu ekor sapi dari tiap sepuluh ekor hasil rampokannya. Dua belas kelompok itu disatukan menjadi Naga Hitam. Hanya kelompok Macan Item sajalah yang belum sepenuhnya tunduk, Samaji terlalu kuat untuk dikalahkan, pengikutnya terlalu rapat, dan sangat setia. Sebagai seorang weri akulah yang bertugas mematahkannya dari dalam, sehingga seperti para weri di Naga Hitam, setidaknya aku dapat duduk dalam posisi penting di Macan Item, semuanya butuh proses, tetapi Samaji memang sulit dijatuhkan.
***
Setelah pengiriman sapi-sapi itu aku dan anak buahku kembali ke tempat masing-masing dengan cara berpencar. Aku yang mengatur hal itu agar tak terendus pihak kepolisian.
Ketika yang lain sudah kembali, aku memilih pulang paling akhir sambil menikmati Roman baruku, di sebuah penginapan. Tapi sebelum ke sana, seorang indo yang sejak dari tempat penadah mengawasiku, mendekat, mengatakan bahwa dirinya punya lebih banyak koleksi novel, dan ia menawarkan agar aku singgah di rumahnya. Namanya, Kaspari, nama yang tak sesuai dengan warna kulitnya. Dan aku menyebut diri Komar, nama samaran.
“Kau tahu, aku bahkan memiliki novel Matahariah, ditulis di Belanda oleh orang kita.” Katanya, kita -maksudnya orang pribumi. Aku bertanya dalam hati, apakah dia telah merendahkan dirinya sendiri setelah menyebut namanya itu, mengaku bahwa dirinya bagian dari kaum pribumi yang masih dianggap monyet oleh orang kulit putih.
Dia tampak terengah-engah mengikuti langkahku yang lebih cepat darinya. Orang berkulit putih bernama Kaspari ini terus menggodaku agar bersedia beristirah di rumahnya dengan menyebutkan beberapa roman lainnya lagi, di antaranya aku mendengar Serlock Holmes dari mulutnya.
“O, ya? Maaf kenapa tuan nampak bernafsu agar aku ikut bersamamu?” Jalanku semakin cepat. Dia tertinggal. Lalu kudengar teriakannya dari belakang. “Aku hanya mau kau singgah! Ayolah!”
Sebagai seorang weri aku diajarkan agar tidak cepat mempercayai siapapun di jalanan, dilatih agar peka bahwa setiap kebaikan orang selalu punya maksud tertentu. Kaspari, kupikir adalah orang yang perlu dicurigai, tapi tawarannya menarik. Aku juga diajarkan bagaimana mendapatkan keuntungan lebih cepat, dan mampu mengantisipasi gerak lawan. Tapi kupikir orang Indo ini perlu diselidiki juga, apa maunya, dan yang paling penting dia punya banyak buku bacaan.
Aku berbalik. Dia memekik, “Ayolah, rumahku tak jauh dari sini!”
***
Aku masih mencari cara bagaimana bisa menjatuhkan Samaji, dan merapatkan Macan Item pada Bagurdi. Samaji semakin gencar menyulut emosi anak buahnya untuk segera masuk wilayah lain. Dan itu sudah didengar pihak penjajah, tentunya termasuk Bagurdi. Itu orang cuma punya omong gede saja, tapi Bagurdi tak pernah tahu, dia pikir Samaji memang benar-benar jawara sejati.
Bagiku tak peduli perseteruan dingin yang terjadi antara Bagurdi dan Samaji. Aku hanya ingin menuntaskan dendamku bertahun-tahun lalu ketika lelaki dengan sorot mata sembilu itu merebut kekasih hati yang baru kunikahi setahun lamanya, kemudian mati karena kolera atau karena kecewa harus menjalani hidupnya bersama lelaki yang tak dicintai dalam penantian terhadap kekasih sejatinya yang tertangkap saat melakukan ekspedisi ternak-ternak hasil rampokan ke Karawang beberapa tahun yang lalu. Samaji menjebakku dengan informasi yang salah dari para mata-mata yang disiapkan di setiap jalur-jalur ekspedisi, sebelum kami berangkat, untuk memastikan jalanan aman dari operasi kepolisian. Samaji tak pernah membuka rahasia bagaimana ia mengatur dan menghidupi para mata-mata, hanya saja aku tahu beberapa di antaranya adalah orang pribumi yang bekerja di pemerintahan.
Aku juga tak pernah tahu, dari beberapa orang jawara yang tergabung dalam kelompok ekspedisi itu hanya aku terpilih sebagai seorang weri, atau jangan-jangan, di antara kami saat itu semua telah menjadi weri, bodohnya hingga sekarang Samaji tak pernah mengendus gerakan weri yang sudah semakin kuat.
Pada masa penahanan itulah aku dididik menjadi seorang weri dan kembali ke Macan Item setelah resmi dilepas pemerintah. Samaji menerimaku kembali tanpa curiga ada perubahan yang terjadi padaku.
Dua persoalan dan kenangan itu berputar-putar dalam pikiran, meski terkadang terlupakan karena petualangan Caunt, dan suara mesin tik di luar kamar, mereka adalah para pemuda yang ikut merintis koran pergerakan milik Kaspari, seorang anak haram, dari ayah Belanda tak bertanggung jawab. Nasibnya sama kurang baik seperti si Amat dalam Monte Cristo anak indo yang menuntut dendam pada bapaknya sendiri karena telah ditelantarkan. Aku tak tahu, kenapa bisa kebetulan seperti itu, tapi kupikir anak indo yang terlantar memang bukan mereka saja di negeri ini.
Kaspari mengajakku berbicara di teras depan sore tadi, mendengarnya bicara tentang pemikiran yang terkandung dalam setiap novel. Menurutnya novel-novel yang diterjemaahkan dalam bahasa melayu pasar kurang disukai penjajah, karena banyak mengandung pesan perlawanan, dan dikhawatirkan akan memintarkan penduduk pribumi. Aku bilang padanya, bahwa aku hanya senang membaca.
“Penjajah telah membentuk dua kelas bahasa.”
“Benarkah?”
“Itu semua buat mengatakan bahwa novel-novel bahasa melayu pasar adalah bahan bacaan rendahan.”
“Untuk apa?”
“Buat menekan suara pergerakan, buat mencekal perjuangan kemerdekaan.”
“Maaf, aku hanya suka membacanya saja.”
“Oh, itu sangat disayangkan, sebab kita manusia punya hak untuk merdeka.”
Pembicaraan kami dimurami awan hitam yang menggelayut di langit Karawang. Kaspari mangajakku ke ruang bacanya, dan meminjamkan beberapa buku. Kuambil Matahariah, yang ditulis oleh Mas Marco Kartodikromo, sebagaimana sering ia sarankan.
Aku masuk ke dalam kamar yang disediakannya. Dia seorang Indo yang sangat menghargai tamunya. Katanya aku orang aneh, seorang petani yang suka membaca. Aku tak pernah mau mengatakan padanya bahwa aku seorang weri. Dan adalah melawan aturan jika harus jujur padanya.
***
Aku bersiap pulang, ketika Kaspari masih sibuk dengan tulisannya. Saat seperti itu anak Indo ini tak pernah lepas dari rokok kretek dan kacamatanya. Gederap kereta api melewati keberadaan kami, rumah itu memang di dekat perlintasan kereta api.
Dia memberiku beberapa edisi koran terbitannya, Soeara Baroe, begitu judul yang tertulis di dalamnya. Seorang gadis disuruhnya untuk menyiapkan secangkir kopi, ketela rebus buat sarapan dan perbekalan buat perjalananku. Wajah gadis itu tampak sangat bercahaya, meski tidak cantik.
“Naik kereta api saja, Komar.” Kaspari menyebut namaku cukup hangat, meski aku kurang suka dia memanggilku dengan cara itu, umurku lebih tua darinya, aku tahu dari sudut matanya. Dari gelora semangatnya.
“Aku suka berjalan kaki,” kataku.
“Sudahlah, ayo kuantarkan kau ke statsiun.”
Mungkin stasiun maksudnya. Si gadis tersenyum padaku saat Kaspari menghentikan tulisannya untuk bersiap mengantarkanku. Kami menaiki dokar ke stasiun, Kaspari tak pernah berhenti berbicara soal pembebasan, soal kemerdekaan dan hak sejati seorang manusia. Dia baik, tetapi aku masih berpikir bahwa tak ada kebaikan tanpa maksud tertentu.
Kaspari menungguku sampai aku benar-benar menumpang kereta ke Bekasi. Di kereta aku membayangkan bagaimana soal prinsip pembebasan itu dapat memerdekakanku dari keinginan menjatuhkan Samaji, dan terus berkutat pada tugas rahasia yang dibebankan pemerintah kepadaku. Tapi aku lebih senang mengingat perempuan di rumah Kaspari tadi, aku lupa menanyakan padanya siapakah perempuan itu, dan tiba-tiba dadaku terasa berdebar ketika di benakku terngiang suara lelaki indo itu berkata saat perpisahan tadi: datanglah balik, bawa bukuku kembali untuk digantikan yang baru.
“Ya, aku akan kembali… aku akan kembali, Kaspari” Gumamku.(*)
Cikarang-Bandung, 15 Maret 2013
CATATAN:
Weri: diambil dari tulisan Schulte Nordholt dan Margrett van Till dalam esai Jago dan Kriminalitas pedesaan, seperti diceritakan di atas, dia merupakan agen atau intel yang diambil dari para jago yang sering beraksi melakukan pencurian/perampokan ternak penduduk desa, meskipun setting sejarah Nordholt dan Margrett diambil di daerah Kediri pada tahun 1872. (etnohistory.org: Kumpulan Esai, Jago, Preman dan Negara).
Ambtenaar: Sebutan untuk pegawai negeri pada masa kolonial Belanda.
Tauke: profesi pedagang bagi orang Tionghwa, dalam cerita ini dia berperan sebagai penadah hewan hasil curian/rampok.
Novel The Caunt of Monte Cristo adalah novel populer pada abad ke 19, dikarang oleh Dumas, banyak diterjemaahkan dan disadur oleh orang tionghwa, tapi dalam cerpen ini, Monte Cristo merujuk pada novel yang disadur oleh Kuo (terbit tahun 1928).