Cerpen Octaviana Dina

“Begitulah awalnya, saya mencuri sandal. Sepasang sandal pria yang bagus dan kokoh bentuknya. Saya tak tahu nomor berapa ukurannya. Barangkali empat puluh dua. Saya tak sempat mengeceknya karena terburu-buru. Dan karena terburu-buru, saya jatuh tersandung,” ujarnya mengawali kisah di tengah dingin udara malam. Malam yang tak seperti biasanya.
“Sandal itu terlalu besar untuk kaki saya. Tapi saya tak punya pilihan lain kecuali memakainya. Saya tak membawa kantong, apalagi tas untuk menyimpan sandal itu. Saat itu saya hanya bertindak cepat menuruti kata hati saya. ‘Tanggalkan sandal bututmu, dan pakai sandal kulit itu’, begitu perintahnya. Lantas saya pun berbuat demikian.”
“Lalu apa yang terjadi selanjutnya?” tanya sosok lain yang berdiri bersandar pada sebuah tiang beton. Seorang lelaki muda berumur sekitar tujuh belas tahun. Berkulit terang dengan wajah bagai pahatan tangan seniman jenius. Sempurna dan menyenangkan mata.
Sosok yang ditanya, seorang pria paruh baya bertubuh pendek dan kurus, kembali bersuara. “Setelah memakai sandal itu saya segera pergi, terburu-buru karena takut dipergoki orang. Saya mencuri. Saya tahu itu perbuatan tak terpuji, tapi saya tak sempat lagi berpikir panjang. Kata hati saya tegas-tegas menyuruh saya mengambil sandal itu. Saya berjalan secepat mungkin, lalu entah bagaimana sandal itu lepas dari pijakan dan membuat saya tersandung. Sandal itu memang kelewat besar buat kaki saya. Saya terjatuh. Seseorang datang membantu saya berdiri. Kelihatannya ia warga setempat. Saya buru-buru mengucapkan terima kasih dan berniat segera berlalu dari situ, namun orang itu mendadak menahan tangan saya. Ia mengamati saya dengan pandangan tajam. Sepertinya ia mulai curiga. Saya jadi gugup, apalagi saat matanya menghunjam ke kaki saya. Saya makin gugup dan berusaha melepaskan diri, tetapi ia mencengkeram saya dan bertanya tentang sandal itu. Saya katakan sandal itu milik saya. Tapi orang itu tampak tak percaya. Ia terus mencecar dengan serentetan pertanyaan seputar sandal itu: ukuran, merek, harga, di mana membelinya.
“Aduh, saya sungguh panik. Saya jawab sekenanya. Saya tak ingat lagi apa yang saya katakan, namun pastilah jawaban saya amburadul. Orang itu menghardik saya dengan keras, menuduh saya telah mencuri sandal. Katanya, saya pasti mencurinya karena sandal itu terlalu bagus untuk orang sekumuh saya. Saya ketakutan. Orang itu tinggi besar. Saya pasti mati jika dipukulinya. Sebisanya saya berusaha berkelit. Saya katakan, apa orang sekumuh saya tak boleh pakai sandal bagus? Memangnya orang yang berkulit dekil seperti saya sudah pasti miskin dan tak mampu membeli sandal bagus? Tapi…yah, usaha saya itu sia-sia. Saya tak bisa meyakinkannya. Saya memang tak pandai berbohong,” tuturnya getir. Kemudian ia terdiam. Lama.
Lelaki muda yang mendengarkan ceritanya dengan seksama juga tak berkata sepatah pun. Udara dingin. Bulan sabit menyeruak redup dari balik awan gelap. Tengah malam masih jauh, namun entah kenapa suasana telah teramat lengang. Tak terlihat satu pun orang lalu-lalang di situ. Malam yang tak biasa.
Laki-laki paruh baya itu menghela nafas panjang. Berat dan sarat kepedihan. Sesaat, suaranya terdengar kembali. “Begitulah. Kejadian itu cepat sekali. Tiba-tiba saja orang banyak telah mengerumuni saya. Orang bertubuh tinggi besar itu terus berteriak-teriak menuduh saya mencuri. Saya sangat ketakutan. Saya takut mati dikeroyok.”
“Akhirnya saya mengaku. Percuma saja berkelit, toh saya memang mencuri. Saya katakan bahwa saya terpaksa mencuri karena lapar. Sudah dua hari nyaris tak makan apa-apa. Saya baru tiga hari datang dari daerah. Saya ke sini untuk mencari kerja, tapi sial, saya dirampok orang. Ludes semua. Tak tersisa seperak pun. Saya sebatang kara, tak kenal siapa-siapa di sini. Saya berjalan ke mana saja kaki melangkah demi mencari kerja. Saya bahkan mencoba mengemis di jalanan, tapi malah diusir pengemis yang biasa mengemis di situ. Saya bingung harus bagaimana. Saya lapar, jadi saya terpaksa mencuri. Sumpah mati, baru kali ini saya mencuri. Habis bagaimana lagi, tak ada yang mau menolong saya. Mungkin karena saya kumuh begini…,” ujarnya dengan suara memelas.
“Saya pasrah kalau saya dibawa ke kantor polisi dan dipenjara, saya memang bersalah. Tapi yah…dasar nasib, orang-orang itu lebih suka mengeroyok saya. Saya menjerit minta ampun, tapi mereka makin gencar memukul, menonjok, dan menendang hingga saya terkapar. Lalu ada yang menyiram saya. Baunya menyengat. Saya tak bisa bangun, badan saya seperti remuk. Lantas… Lantas orang itu menyulut api dan melemparkannya ke badan saya. Saya…saya terbakar. Saya berusaha bangun untuk memadamkan api, tapi aduh, badan saya sakit sekali. Panas, pedih luar biasa. Saya menjerit-jerit minta ampun, tapi tak ada yang mau menolong saya. Lihat, badan saya sampai rusak begini. Apa kesalahan saya sedemikan besar sehingga saya harus dihukum seperti itu…,” ungkapnya diakhiri tangis tersedu yang menyayat.
Pemuda itu trenyuh. Sebetulnya ia ingin sekali menepuk-nepuk pundak lelaki paruh baya itu, sekedar untuk menenangkannya. Namun rasanya hal itu mustahil dilakukan. Hatinya amat terharu hingga tak sanggup berkata sepatah pun. Ia memutuskan untuk diam, menunggu isak yang mengibakan tersebut reda.
Tak berapa lama kemudian sosok itu kembali meneruskan ceritanya. “Memang malang nasib saya. Yah…apa mau dikata. Tapi saya tak dendam pada orang-orang itu. Saya justru kasihan, mereka jadi berdosa karena saya. Mereka sudah membuat dan membiarkan saya begini, bukankah itu dosa? Sudahlah, tak ada gunanya menyesali. Sudah terjadi…,” katanya dengan nada pasrah. Tak ada sedikit pun kemarahan tersembunyi dalam suaranya. Ia menghela nafas, “Hanya saja, saya kesepian di sini. Tak bisa ke mana-mana. Tak ada yang bisa saya ajak bicara. Tapi syukurlah, malam ini saya beruntung berjumpa orang sepertimu sehingga saya bisa bercerita. Setidaknya, masih ada yang mau menemani saya di sini. Meski cuma sebentar saja, saya sudah beruntung. Saya berterimakasih padamu, Nak,” ujarnya seraya tersenyum. Diamatinya anak muda itu. Anak ini pastilah bukan dari kalangan sembarangan, pikirnya.
“Ehm, tampaknya Ananda sudah biasa ya mengalami hal-hal begini? Kau sama sekali tidak ketakutan,” lanjutnya lagi.
Pemuda itu tersenyum. “Dulu saya memang sering terkejut, juga takut-takut. Namun kini sudah biasa. Saya sudah terlahir begini. Orang-orang bilang ini adalah karunia. Anugerah dari Sang Pencipta, “ katanya sambil menatap lawan bicaranya. Lelaki paruh baya itu mengangguk-angguk. Anak ini memang istimewa, batinnya. Sinar kebijaksanaan dan welas asih terpancar kuat dari dirinya.
“Baiklah, apakah masih ada lagi yang ingin Bapak ceritakan?” Lelaki paruh baya itu menggeleng.
“Kalau begitu saya permisi. Sudah hampir tengah malam, saya harus segera pulang,” kata lelaki muda itu santun.
“Terima kasih banyak, Nak. Saya senang malam ini bisa bercerita padamu,” sahut sang lelaki paruh baya. Pemuda itu berpamitan dengan sikap sopan yang menyenangkan hati dan berlalu menuju mobilnya. Lelaki tua itu melambaikan tangan.
***
Pemuda itu menghela nafas. Walau terkadang terasa berat, ia berlapang dada menghadapi hal-hal demikian. Takdir telah memberinya kemampuan itu. Melihat yang tak terlihat, berbicara pada yang tak terlihat. Itu sebabnya tadi ia merelakan diri tatkala lelaki paruh baya tersebut menyapa dan memintanya untuk berhenti sejenak.
Lewat kaca spion pemuda itu menatap sosok yang kian jauh di belakang. Benar-benar mengibakan hati: melepuh, terkelupas dan sebagian lagi gosong. Sosok itu kemudian menyala sesaat, berselubung api, lalu padam berselimut asap. Lenyap dalam telikungan gelap. Kembali pada abu yang semula. Seonggok abu.
Octaviana Dina, alumni Fakultas Sastra (kini FIB) jurusan Sastra Perancis UI. Selain menjadi penulis dan penerjemah, ia menjadi peneliti untuk Yap Thiam Hien Award (2009-2012) dan menulis beberapa artikel dalam buku 20 Tahun Wajah HAM Indonesia 1992-2011 terbitan Yayasan Yap Thiam Hien. Sebagian tulisannya dapat dibaca di Blog Octavianadina