Flash Fiction Ragil Koentjorodjati
Awalnya ia bertanya, “Kata apa yg mewakili hati penuh syukur, berpasrah dan meletakkan segala persoalan pada-Nya?”
“Cukup rumit kurasa. Kenapa tidak kaupakai metafor saja?”
Hingga di satu ketika, ia menuliskan dua kata pertama, kerudung jiwa. Lalu serupa mantra, kata-kata menggelora dari hatinya.
Kerudung Jiwa
Inginku hanya sederhana,
menjadi perempuan seutuhnya
menghamba Ia Sang Maha Cinta
dengan segenap pujian dari setiap degup dada
Kututupi jiwaku yang suci sejak di detik pertama kelahirannya
berkerudung doa berenda puja
agar senantiasa perawan hingga ajal menjelang.
Bukankah tidak ada aurat yang lebih berharga selain jiwa suci yang Ia titipkan dalam hati?
Kujaga pandanganku dari buruk prasangka
Kujaga bibirku dari bicara sia-sia
Kujaga tubuhku dari gerak tanpa makna
Kubiarkan mereka yang mengejekku kala tak kukenakan penutup kepala
Kumohonkan maaf bagi mereka yang mengataiku mengumbar nafsu pria
Kulapangkan jalan bagi mereka yang menuduhku berlumur dosa
Sebab Ia tidak memandang apa yang menutup kepala
Sebab Ia menginginkanku mengenakan kerudung jiwa
Agar satu-satunya aurat yang kupunya, layak kupersembahkan pada-Nya.
Itulah puisi kekasih hatiku. Lucu ya? Tapi, ia tidak sempat menuliskannya. Sang Maha Cinta memilih jiwa perawan kekasih hatiku bersemayam di kalbu-Nya. Hanya bisiknya yang kudengar dari surga.
Medio juni 2011
pesannya antara mereka berdua saya ya ngkong… syahdu…
SukaSuka
makasih…sering-sering mampir dan berbagi ya… 🙂
SukaSuka