Arsip Tag: eksistensialisme

Hujan

Resensi Riza Fitroh Kurniasih*)

 

“Kalau pun saya masih menulis puisi, karena puisi adalah media yang mampu menyampaikan permasalahan orang kecil (Wiji Thukul)”

Tinta
 
Kisah yang tak pernah mati
Dalam beribu kertas bertuliskan kisahnya
Sepatu pun tak ubahnya jadi dinding-dinding yang bersuarakan keras
Batu-batu hinggap di petilasan para kaum hartawan
Angin pun menempel dalam berbagai kisah yang tak diinginkan
Kini, ia merubah semua jadi nyata
Bahkan nanti, ia merubahnya jadi tiada –

 
kumpulan puisi arif syaifudinSebait puisi sebagai awalan untuk kita mengenali pengarangnya. Arif Saifudin Yudistira dalam bait puisinya ini menyapa para pembaca dengan satu baris dari bait puisinya, yaitu Kisah yang tak pernah mati. Memperkenalkan diri sebagai seorang individu yang tak mengenal kematian. Menjadikan dirinya sebagai seorang yang memiliki paham eksistensialisme. Menjadikan dirinya sebagai seorang penyair yang mampu merekam setiap peristiwa yang dilihat, hingga kematian bosan menjemput kisahnya. Hingga sampai pada saatnya, kematian menjemput kisah itu, membuatnya tiada secara ragawi, namun aromanya masih tertinggal. Arif Saifudin Yudistira sebagai penulis buku ini juga tercatat sebagai seoarang aktivis yang juga aktif menulis di berbagai media. Membuat jiwa sosialnya benar-benar diasah dan diuji keloyalitasannya.
Hujan di Tepian Tubuh layaknya deras air yang selalu membasahi tubuh. Air yang selalu memberikan kesejukan, meskipun kadang air itu menimbulkan keresahan karena derasnya air itu. Air bisa menjelma menjadi banjir yang memporak-porandakan, atau justru memberikan kehidupan di kolam-kolam yang kekeringan. Bagi AS. Yudistira bait puisinya layaknya hujan-hujan yang selalu memberikan kesegaran bagi para pembacanya, meskipun kata-katanya tajam dan menusuk. Namun, rupanya puisi-puisinyalah yang mampu membangkitkan kesadaran atas status quo yang telah lama dinikmati sebagian dari kita. Tak jarang puisi-puisi inilah yang ditakutkan akan menciptakan banjir kegelisahan bagi mereka yang telah lama beromantisme dengan kenyaman.
Kumpulan puisi Hujan di Tepian Tubuh ini menjadi kumpulan puisi yang tidak saja berkutat pada romantisme remaja, kita akan temukan di dalamnya kisah dengan Tuhan-Nya, bahkan buku ini memuat tentang dunia perpolitikan. Sebagaimana yang diungkapkan Han Gagas, penulis buku Sang Penjelajah Dunia dan Tembang Tolak Bala, ia mengungkapkan; “AS. Yudistira, besar dari jaman yang benderang namun puisinya juga menyembulkan kegelapan. Semburan orasi aroma politik, kegelisahan, sosok ibu, pertemuan, cinta, dan keperihan hidup mewarnai puisi-puisinya……
Sebuah kata “perlawanan” bagi penulis yang pernah menjabat sebagai Ketua DPM UMS ini bukanlah sesuatu yang menakutkan. Perlawanan baginya adalah sesuatu yang harus disuarakan. Aroma perlawanan ini akan kita temukan pada puisinya berjudul Titik (8) ……Aku ingin menciptakan titik, tapi bukan akhir, hanya tanda untuk mengakhiri setiap pertikaian, Untuk menutup segala kenangan kelam, dan untuk memulai zaman terang. Ia seolah ingin menegaskan bahwa titik bukanlah pertanda berakhirnya sebuah perlawanan. Titik yang pada umumnya sebagai sebuah pemberhentian, dijadikan oleh dirinya sebagai sebuah tanda jeda untuk berfikir.
Menggunakan jeda sebaik mungkin untuk berfikir membuatnya selalu menemukan hal baru. Hal baru inilah yang selalu tersimpan sebagai sebuah misteri. Seperti yang dituliskan oleh pria kelahiran 30 Juni 1988 ini dalam puisinya Dilema (5) Aku memburu misteri, misteri yang tak kunjung usai hingga hari ini, Aku mengaji, setiap detik yang kita alami, aku hilang…/Ketika mata mulai terbuka,/Kutemukan tubuhku telah bersamanya, Meski tubuhku yang lain meronta. Secara halus ia ingin mengatakan pada para pembaca bahwa misteri baginya bukanlah sesuatu yang menakutkan. Melainkan sesuatu yang penuh tantangan ketika ditelusuri, hingga tanpa sadar misteri itu terpecahkan. Walaupun fakta yang ada di dalamnya selalu menyakitkan beberapa pihak. Namun itulah cerminan titik-tik air yang selalu deras ketika hujan turun di atas payung, dingin menusuk namun menyejukkan untuk dinikmati.
Realita dan kekejian di tengah masyarakat menuntut sang penyair untuk bergerak dengan kepekaan sosialnya. Begitu juga dengan kemampuan penulis dalam merekam setiap peristiwa yang dijumpainya. Permainan kata-katanya membuat orang tergelitik untuk menguak makna di dalam puisinya. Dengan kumpulan 70 Puisi AS. Yudistira, penulis mampu mewakili dirinya sebagai seorang seniman yang peka akan kondisi di sekitarnya. Realita buruk kondisi sosial-politik di tengah masyarakat yang kemudian kita kultuskan menjadi sebuah kekejian, tak akan berarti apa-apa tanpa adanya keberanian menyuarakannya kembali di tengah masyarakat.
Dari buku ini kita bisa mengenal bagaimana sesungguhnya kita sebagai manusia, mengenal diri kita, juga mengenal lingkungan kita. Bahkan mengenal Tuhan kita tanpa harus mengesampingkan ego kita dalam mengenal Tuhan kita. Menafsirkan tiap sajian puisi yang tertuliskan dalam buku ini, hingga sampai taraf kita mengerti akan arti yang sesungguhnya. Hal ini tidak bertanda bahwa pengetahuan akan pemaknaan buah pikir yang tertuang dalam bentuk puisi harus paripurna. Namun kita bisa jadikan buku ini sebagai pemantik awal menuju pengetahuan yang lebih luas.
Hujan di Tepian Tubuh bukanlah hujan yang selalu membuat tubuh menggigil kedinginan. Namun, hujan di sini adalah kumpulan keindahan beningnya butiran-butiran air yang memberikan kesejukan bagi tubuh yang merasa. Kumpulan puisi dalam buku ini menjelma menjadi hujan dengan keindahan butir-butir sajian kata dalam bait puisi. Hujan ini menjadi fatamorgana keindahan Hujan yang sesungguhnya dalam kumpulan buku puisi ini.
 
kumpulan puisi arif syaifudinJudul buku: HUJAN DI TEPIAN TUBUH
Penulis: Arif Saifudin Yudistira
Penerbit: Greentea
Harga: Rp. 30.000
Tahun: September 2012
Tebal: xxii + 70 halaman
ISBN: 978-602-98704-0-2

 

*) Peresensi adalah Mahasiswa FKIP Biologi Semester 5 Universitas Muhammadiyah Surakarta, aktif sebagai asisten laboratorium.

Danau Toba, Perancis dan Sitor

Resensi Arif Saifudin Yudistira

ibuMengapa cerpen menjadi satu cara untuk mengusik perasaan-perasaan manusia?. Karena disanalah letak karya sastra dipertaruhkan dalam hal membagi dunia imajinasi dan dunia realitas. Cerpen adalah jembatan bagi kita memahami dan mengarungi kehidupan yang serba luas ini. Pengarang meski ia tak selalu bicara dirinya,tapi pikirannya itulah yang membuat ia bergerak dalam karya sastra. Ia bersama karya sastra menyatu. Bila pramodya sadar betul dengan metode mistikumnya dalam membuat karya, maka sitor lebih bergerak pada cerpen yang meski singkat tapi ia adalah teks yang tak berhenti. Sitor pandai mengolah bahasa dan setiap kosakata yang menunjukkan betapa ia menekuni khazanah, kajian mendalam, pengamatan yang jitu hingga penulisan yang luar biasa sebelum membuat cerpen. A teeuw menyebut sitor ia menguasai bahasa Indonesia dengan cara yang kadang-kadang luar biasa.

Misal pada cerpennya Fonteny Aux Roses.  Mendengarkan kata itu kita bisa terbayang-bayang tentang perempuan perancis, atau sekilas kita bisa menemui perancis. Dan kita pun tak menyangka nama tempat di perancis bisa dihubungkan ke dalam penguasaan cerita yang meluas. JJ rizal menyebut ini sebagai awal eksistensialisme sitor. Kematian diramu sedemikian mesrahnya, kematian dikemas sedemikian hebatnya dengan permainan ingatan. Ingatan sitor itulah yang membawa kita pada penjelajahan nama-nama tempat, suasana, hingga pada kemampuannya mengemas “tokoh” pada ingatan masa lampaunya. Ia bergerak lihai dan mencoba tidak lurus-lurus dalam bercerita meski pelan. Keunggulan bahasa itulah yang dimanfaatkan sitor dengan memadukan pengalaman ketika ia di perancis dengan menceritakan memori kematian dengan satu gambaran sederhana dan menyenangkan. Ini kita temui di cerpen Fontenay aux Roses yang ditutup dengan kata kunci yang indah : “surga adalah rindu”.

Kemampuannya mengemas ingatan, kenangan dan juga deskripsi peristiwa yang jitu itu pun ada dalam cerpennya “Gerbera”. Ia menutup cerpennya dengan menutup perasaannya pula dengan kalimat sederhana yang mengakhiri ingatannya pula tentang perempuan yang ia kagumi. Di timur fajar memerah. Memerah gerbera. Gerbera. Masihkah bunga mekar di lereng-lereng gunung?. Besok aku hraus terbang ke barat.

Dunia barat

             Dunia barat dalam gambaran cerpen sitor begitu tak sederhana. Ia mengalami dan menyelami betul dunia barat itu ketika ia setahun tinggal di paris pada tahun 1952-1953.  Perjalanan di barat ia salami di tahun 1950 hingga tahun 1953. Selama itu pula ia mengenali belanda, dan perancis sebagai kota yang memberinya ilham dan inspirasi di dalam membuat karyanya. Disebutkan setelah ia pulang dari perancis ia mengukuhkan posisinya sebagai sastrawan dengan menulis puisi, menulis cerpen, naskah drama, keirikus, penerjemah dan pengajar. Meski demikian cerpen-cerpennya yang dihasilkan tak banyak. Tapi di dalam cerpen itulah ia membuktikan kemampuannya sebagai sastrawan yang patut mendapat tempat di dunia international dan negerinya sendiri. Cerpen “kereta api international” dan cerpen “ Peribahasa Jepang” disebut patut masuk dalam cerita antology barat sebagaimana yang dikatakan A teeuw.

Paris membawa inspirasi dan kenangan dalam Cerpen salju di paris. Cerpen ini membawa kita pada suasana perancis dengan hawa berbeda. Ia lebih menonjolkan tempat dan suasana daripada perasaan tokoh.  Sedang cerpen cinta pertama adalah cerpen yang menunjukkan betapa tak mengenakkannya cinta pertama dirasakan oleh gadis perancis. Jarak membawa pada perpisahan meski sebenarnya percintaan itu memungkinkan. Ia menempatkan tokoh pemuda Indonesia ini sebagai pihak jantan, dengan kemampuan menolak cinta si gadis perancis. Dan kelihaian sitor inilah yang menjadi kelebihan sitor dalam memadukan tokoh, identitas, cerita hingga pada kemampuannya menarasikan perasaan-perasaan tokoh.

             Begitupun cerpen peribahasa jepang yang menarasikan identitas yang seperti sudah menyatu, antara keakraban dan betapa tingginya budaya jepang, tapi juga menggambarkan betapa perempuan jepang di deskripsikan dengan indah oleh sitor melalui konflik yang ada pada si gadis. Hingga pada kenangan tokoh pria Indonesia yang membawa ingatannya pada gadis jepang tersebut. Tanpa adanya pengetahuan, dan kemampuan dan data yang bagus tentang jepang, ia tak mungkin membolak-balikkan alur ceritapada imajinasi tempat, perasaan tokoh dan pertautan yang cukup intim antara tokoh dua negara tersebut.

Tanah Lahir

            Meski ia pernah melakukan perjalanan ke barat, ia pernah mengalami “ketegangan dramatik’ seperti yang diungkapkan pengamat sastera Martin Heinschke, ia tak menghilangkan dengan begitu saja ingatan tentang tanah airnya. Ia kental dengan adat batak, di sebelah barat pantai danau toba di lembah gunung Pusuk Buhit. Ingatan itu dituangkan dengan jeli di cerpen “Perjamuan Kudus” dan “kehidupan Daerah Danau toba” .

Perjamuan kudus menceritakan pemeberontakan sitor akan kondisi zending yang membawa pada pelarangan adat masyarakat setempat.  Ia menggambarkan ini di akhir ceritanya dengan menutup upacara terlarang yang digambarkan dengan Pusuk puhit yang merupakan upacara yang aneh dan tidak lazim  di masyarakat batak. Di cerpen  “Kehidupan Daerah Danau toba” ia ingin menjelaskan betapa kepribadian sitor tampak pada bagaimana kehidupan toba tak mempersoalkan perkara muslim maupun Kristen. Ia ingin menegaskan bahwa perkara agama tak menghalangi manusia berhubungan dan bergaul di masyarakat.

Kumpulan cerpen ini memiliki nilai penting di dalam kesusasteraan dunia karena menunjukkan betapa pentingnya relasi antara pengarang dengan dunia realitas di sekelilingnya. Inspirasi itulah dan kerja kreatif itulah yang ditunjukkan Sitor situmorang yang menghasilkan beragam cerpen yang menarik yang tak hanya mengangkat persilangan budaya, sosok kekosongan jiwa, hingga pencarian spiritual dan cinta. Lengkap sudah buku ini sebagai sebuah penyajian riwayat salah satu karya sitor yakni dalam bentuk cerpen. Sekaligus sebagai penyair ia mampu untuk mengolah dan melepaskan bahasa puitisnya dengan bahasa jiwanya. Hingga cerpen-cerpennya tak sekadar hidup, membawa jiwa kita terbang, hingga menyelami peristiwa hingga semua yang digambarkan oleh penulis dalam cerpen. Disanalah letak kerja kreatif dan keunggulan cerpen sebagai salah satu karya sastra kita. Sitor mampu meletakkan bahasa pada tempatnya, pada kebebasannya dan ia tak mau terjerat terlampau jauh kesana. Tiga peristiwa dan tempat penting dalam cerpen ini tak lain adalah Danau toba yang merupakan biografi pengarang dan kelahirannya, kemudian gunung merapi atau Jogjakarta, dan perancis. Ketiga tempat itu mendasari pengalaman yang erat dan menarik bagi pengarang sebagai jejak laku dan jejak kata.

Tanda seru sitor setidaknya mengingatkan kepada kita bahwa sebagai seorang sastrawan dan penulis yang memiliki etos dan kerja spiritualitas dan kerja literasi yang membawa misi bahwa diri, pribadi, lingkungan dan kemanusiaan adalah hal yang tak bisa dilepaskan dan disuarakan dari seorang pengarang. Kejujuran itulah yang dibawa sitor untuk memasuki dunia imajinasi dan dunia cerita yang mampu mengusik dan menggerakkan kita akan kesadaran lingkungan dan juga ketergerakan batin kita melihat berbagai fenomena dan peristiwa di dalamnya. Sitor mampu mengangkat isu kemerdekaan, perjuangan, cinta kasih, hingga kekosongan jiwa yang lembut dan juga silang budaya ketika ia berada di luar negeri. Kesemua itu tentu tak jauh beda dengan metode pram yang mengandalkan mistikum-nya. Sitor memiliki mistikum nya sendiri hingga ia mampu menggerakkan bahasa sebagai sesuatu yang elastic, manis, tapi tak berlebihan. Semua itu ada dalam cerpen-cerpen yang ia olah. Meski cerpen masa lampau dengan karakter yang sedikit, tapi jalan cerita, kekhasan cerita hingga makna cerita tak bisa ditinggalkan begitu saja dari cerpen-cerpen Sitor situmorang. Sitor telah menunjukkan sifat dan jiwanya yang penuh dengan etos intelektual, kejujuran dan kemanusiaan. Setidaknya cerpen ini adalah buktinya.

Kumpulan cerpen sitor dalam ibu pergi ke surga ini setidaknya menunjukkan betapa sitor adalah sastrawan yang tak hanya lengkap dengan kepribadian yang kuat, tapi juga lihai membawa suasana, konflik dan pengamatan yang kuat pada masanya. Ibu pergi ke surga setidaknya memberikan penegasan kembali meski baru 23 cerpen seumur hidup sitor, sitor telah berhasil memadukan danau toba, perancis dan kepribadian yang mengukuhkan dia sebagai sastrawan Indonesia dan patut di perhitungkan dunia.

ibuJudul buku:  Ibu pergi ke surga
Penulis : Sitor situmorang
Penerbit: Komunitas bambu
Hal: 218 halaman
ISBN: 979-3731-88-5
harga: Rp.55.000,00
tahun: januari 2011