Apresiasi Hudan Hidayat

Saya adalah anak sejarah yang masamasa lalu itu seolah sejarah itu sendiri. Sejarah pahit yang gelap. Hingga saat ini pun masih gelap. Tak tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Ada pernah saya diberitahukan, bahwa karya sastra orang-orang LEKRA adalah tak lebih dari pamplet belaka. Semua kata yang mencungkup peristiwa dan makna memuara ke satu arah: politik revolusi. Sehingga cerita-cerita mereka, demikian sejarah itu memberitahukan,tak ada yang bermakna.
Tapi waktu membaca Pramoedya Anantatoer, semua kesimpulan semacam itu pupus. Apalagikah makna kalau kita berhadapan dengan cerita besar seperti Bumi Manusia itu misalnya.Lalu kini saya tertumbuk dengan sebuah cerita kecil hidup seseorang, yang dilambangkannya dengan terowongan. Terowongan, aduh, alangkah pas tanda ini untuk mengatakan hidup itu sendiri. Hidup adalah terowongan panjang yang kita tak tahu ujungnya. Sehingga berteriaklah orang seperti Albert Camus: absurd. Dan karena absurd, aku memilih tak Bertuhan saja.
Tapi lihatlah cerita A Kohar Ibrahim ini. Tiap katanya adalah sapaan lembut kepada Tuhannya. Kata yang berlapis membentuk dan mencampur dari jenis kata yang sama, seolah menganya labirin, seolah memasuki dan terowongan kata itu sendiri.
Tak sekalipun ia bercerita mati dalam peristiwa singkat yang diceritakannya ini. Ia begitu detil memapar daerah asing dari suatu peristiwa medis, detil asing seolah alam dari suatu daerah yang kita tak kenal tumbuhan dan batuannya. Ia pasrah saja berjalan melalui alam yang tak ia kenal itu. Pasrah dari sebuah tingkatan jiwa yang telah meninggi dari tempaan hidupnya sendiri. Seakan ia hendak berkata: sudah kulalui macam-macam terowongan fisik dan terowongan makna- seperti yang disebutkannya dengan mengutip beberapa cerita fiksi dari awal karangannya ini. Lalu apa lagi yang harus kutakuti?
Tentu saja takut bukanlah kata yang tepat. Yang lebih tepat lagi asing. Perasaan asing yang aneh seperti yang bolak-balik dikaitkannya dengan alat-alat medis agar ia selamat dari terowongan yang bernama operasi itu. Tapi dari cerita ini saya melihat sekali suatu ekspose dari manusia fakta dan manusia fiksi (yang lagi menuliskan ceritanya – seorang narator bernama aku) dengan terowongan itu seolah mengajak kita mengenang akan sepenggal kehidupan. Agar dari sepenggal kehidupan itu kita merenungkan apakah artinya dan apakah kesudahannya.
Di ruang yang sangat kecil ini, perasaan itulah yang saya alami. Mungkin kalau saya mengetik di ruang layar yang lebar komputer kelak, beberapa denyar yang merasuki hati saya ini bisa saya elaborasi ke dalam detildetil yang mungkin menjadi hak bagi peristiwa dan makna yang diletakkan, atau telah terjadi di sana. Saya kagum dengan cerita anda, Bung kohar.