Puisi John Kuan

Setelah kau nirwana lebih dari 12 abad
Sepasang matamu yang buta masih belum lelap
Berpijar, menyorot ke dalam kelam dunia
若葉して 御目の雫 ぬぐはばや
wakaba shite / onme no shizuku / muguwabaya
Basho ingin dengan tetesan hijau tunas baru
Menyeka duka di dalam bola matamu
Awal musim dingin tahun pertama tarikh Tianpo
Dua biksu Jepang dari Chang’an ke Yangzhou
mohon di depan Kuil Daming
bertemu denganmu di antara pagoda dan kuil agung
kau tegak kokoh bagai sebuah candi
dua biksu kelana gugup membuka mulut
Bahasa Tang logat Jepun bagai angin subuh lembut bercampur kukuh
pelan dan tegas melewati puncak pagodamu
Kau berkata gunung dan sungai negeri berbeda,
angin dan bulan pada langit serupa
Dharma Buddha Negeri Jepang walau jaya, namun belum ada
orang menyebarkan Vinaya, tumben hari ini ada undangan,
saudara-saudara yang duduk bersila, siapa mau ikut
menyeberang? Murid-muridmu saling tatap
bagai air muka kolam beku, tak tampak satu riak pun
Kau lalu dari ujung kerongkongan lempar kepada mereka sebiji
batu maha besar: menyeberang laut kelabu
Aku mau coba jalan susah, hari ini tiada orang pergi
Ai, pergi aku!
Begitu kau gerak, Buddhisme baru dan sejarah penyebaran
benda seni Tiongkok juga bergerak, dan selembar
sejarah baru maritim ikut terbuka
Begitu kau gerak, air di kanal yang membelah Kota Yangzhou,
murid-muridmu yang tertegun dan bimbang,
semua roh generasi setelahmu juga ikut bergerak
( dan saya mesti bagaimana gerak pena, di dalam syair, menulis ceritamu
seolah sungguh seolah tidak itu? Bagaimana menarik kursor
buka jendela baru, membuktikan makna hidupmu? )
[ Shoku Nihongi ] menggunakan seratus kata
Membonsai 12 tahun penyeberanganmu yang lima kali
ingin hemat tinta mencatat detil perjalananmu yang gagal
serta orang-orang yang kau bawa:
Pengrajin giok, tukang gambar, tukang ukir, tukang sulam,
Pematung, tukang batu, kelasi lebih kurang 185 orang
Juga daftar barang-barang yang siap kau bawa:
Avatamsaka Sutra aksara emas 1 jilid. Mahaprajnaparamita Sutra aksara emas 1 jilid.
Mahasamnipata Sutra aksara emas 1 jilid. Mahaparinirvana Sutra aksara emas 1 jilid.
Tripitaka 100 buku. gambar Manjusri 1 lembar
gambar Buddha 1 lembar. patung tembikar sepuh emas 1 buah.
Shoji enam daun gambar Bodhisatwa 1 papan. Shoji gambar peredaraan bulan 1 papan.
Panji dojo 120 lembar. Panji manik 14 potong.
Kotak kitab berlapis kulit mutiara 50 buah. Bejana tembaga 20 buah.
Permadani 24 lembar. Kasaya 1.000 helai. Baju biksu 1.000 pasang.
Tempat duduk 1.000 buah. Ember tembaga 4 buah. Piring tembaga besar 40 buah.
Piring tembaga sedang 20 buah. Piring tembaga kecil 44 buah
Tikar rotan putih 14 lembar. Tikar rotan pancawarna 6 lembar
Wangi kasturi 20 formula. Gaharu, wangi operculum, wangi sumbul,
damar kruing, benzoin, akar puyan, kemenyan arab
lebih dari 600 kati. Haritaki, getah hingu, gula merah, gula tebu
lebih dari 500 kati. Madu 10 botol, tebu 80 ikat,
koin perunggu 10.000 ikat, koin kepala tungku 10.000 ikat,
koin tepi ungu 5.000 ikat, sepatu serat ganja 30 kotak.
Tentu, juga tidak mencatat kapal menabrak karang, seluruh muatan
kurang lebih terbawa ombak, deskripsi gerak hati kalian yang terkurung di pantai
Lebih tidak usah sebut penelusuran terhadap hal-hal abstrak
semacam kesabaran, ketidakpastian, keyakinan
Pelayaran kelima, tetap bertolak dari Yangzhou
Angin badai membuat kapal kalian mabuk pusing haluan
Hanyut 14 hari mendarat di ujung selatan Pulau Hainam
Bulan Yangzhou merah bara terbit
di langit Laut Cina Selatan. Di antara pokok kelapa
dan pokok pinang, suara seruling merembes dari celah mimpi
udara kering, pantai pasir putih, kalian lewat segugus-segugus
bunga warna-warni, sepanjang jalan kau bangun
kuil, ceramah Vinaya, sebar Dharma dari Danzhou sampai Sanya
Saya tidak pasti apakah kalian juga mencerahkan
penduduk asli yang suka main tato ngecat gigi
tapi saya bisa pasti sederet pohon ara di luar kuil Kaiguan
pasti pernah mendengar kau menyebar Dharma, bahkan amat sukacita
Setelah menyeberang Selat Hainam, panorama Guilin juga tidak mampu
menyembuhkan kawan seperjalananmu, biksu Jepun
Seperti dicatat buku sejarah, mati ( di tengah perjalanan ), dia datang
ke tanah leluhurmu mengajak kau terapung ke tanah leluhurnya: di atas peta waktu
dia telah mendorong Tiongkok ke arah timur ½ centimeter
tentu kau akan tersedu, ada versi mengatakan kau buta karena itu
ada versi mengatakan cuaca dan stamina jatuh
ada versi mengatakan pada pelayaran ke enam yang sukses
kau baru buta mendarat di Okinawa pada tahun 753 Masehi
Bulan 2 Tahun 6 Tenpyo-shoho, kalian tiba
di Osaka, Bulan 4 sampai di Nara kau lakukan prosesi jukai
kepada Kaisar Shomu dan putrinya Kaisar Koken di Todai-ji
tahun itu, kau telah 67, sejarah peradaban Jepang
Kuno baru mulai ke dalam mesin pencari data simpan dokumen
Tahun 3 Tenpyo-hoji, Toshodai-ji berdiri
Di sini kau ceramah Dharma, mengajar Vinaya, Hondo yang hening
Di dalam cahaya petang berpijar bagai mimpi
Bagai bayangan utuh Dinasti Tang. Murid-murid dan tukang-tukang
yang mengikuti kau menyeberang, satu papan satu papan
satu genteng satu genteng membangun kuilmu. Bayang kuil
bersambung bayangmu, bersambung senyum Kwan Im
di atas altar, bersambung wangi rumput dan jamu di udara, tumbuh
tumbuh, memantul ke dalam selembar-selembar sejarah arsitektur,
sejarah kerajinan, sejarah seni, sejarah pengobatan Jepang…
Kau tentu tidak bisa melihat bunga teratai dan sakura di sisi setapak
tapi kau bisa menciumnya, kau tahu hilang penglihatan bagai seekor anjing buru
terikat di dalam bola mata, kau tahu kau dan tanah lelehurmu terpisah sebentang
laut dan sebuah negeri kepulauan yang susah payah, namun kau berdiri
kau duduk kau tidur kau berjalan: seorang biksu kelana dengan langit dan bumi
sebagai atap meja dan tikar, seorang warga semesta
yang tidak bisa melihat cahaya bintang semesta
rindu kampung halaman, tentu masih punya…
terhadap gugus awan di atas kepala, terhadap jerit serangga,
terhadap umat. Kau rindu bayang dedalu di Yangzhou, rindu
kitab kau salin karam ke dasar laut. Dan laut
juga satu bagian kekaisaranmu yang misterius, serupa derita
adalah laku dan tobat selalu ada di dalam hidup. Kau tentu
tidak kelihatan gagah pucuk atap kuilmu , tapi kau tahu
di ujung lintang atapmu, ada genteng menonjol lengkung
bagai tanduk mimpi, bagai ekor burung, bagai sepasang
ikan sisa nabi, berenang di dalam akuarium semesta. Mereka adalah
kacamata selammu, sepasang mata kau yang lain
Mata yang berpijar di dalam kelam malam
Musim semi tahun 7 Tenpyo-hoji, muridmu bermimpi balok lintang rubuh
Buru-buru mematungmu, dua tiga bulan
kemudian kau meninggal dunia. Balok tetap kokoh,
yang patah terbang naik jadi cakrawala, di puncak mimpi
Tentu kau masih punya airmata, gelantung
di dalam malam lembab yang ingin menetes, atau biarkan
ia menetes, menyusuri elevator waktu yang transparan dan terang
dari Dinasti Tang milikmu, dari cakrawalamu
mengalir lewat daun pisang muda Basho
mengalir lewat gunung dan sungai pelukis Kaii Higashiyama
mengalir lewat jaring maya bermata jarang
menetes di atas jendela layarku
di Kuil Daming, matamu berpijar
di Tosodai-ji, di Balai Bayangan
kau mengatup, mata yang telah buta
bukankah itu juga benderang?
Inti hidup pada suka duka
Saling mengikat, pahit seolah manis
Inti seni pada cermin
ilusi, memantul inti hidup, saya mengambil
Pelepah Basho, mencuri peti kemas tukang cerita
di dalam jendelaku yang tidak nyata, kau
demikian hidup, pakai jubah
duduk bersila, buka mata tersenyum
di atas sungai, awan tipis angin sepoi
Jariku menyentuh layar kristal
Mengayuh di atas gelombang elektron
Perlahan menabrak buka
tirai matamu, biarkan yang di dasar sungai
sebutir airmata mengarung ribuan tahun
masih belum sampai tepian, meluap
ke permukaan, perlahan
menetes: sebagai bukti
kesungguhanku
welas asi
mu
Catatan:
Jianzhen adalah seorang pendeta Budha dari Cina yang menyebarkan ajaran Budhisme di Jepang. Lihat referensi.