Arsip Tag: kuil

Melihat Jianzhen di Jepun

Puisi John Kuan

golden-hall
Toshodaiji Nara Nara pref02s3s4560” by 663highland663highland. Licensed under CC BY 2.5 via Wikimedia Commons

Setelah kau nirwana lebih dari 12 abad

Sepasang matamu yang buta masih belum lelap

Berpijar, menyorot ke dalam kelam dunia

若葉して 御目の雫    ぬぐはばや

wakaba shite / onme no shizuku / muguwabaya

Basho ingin dengan tetesan hijau tunas baru

Menyeka duka di dalam bola matamu

Awal musim dingin tahun pertama tarikh Tianpo

Dua biksu Jepang dari Chang’an ke Yangzhou

mohon di depan Kuil Daming

bertemu denganmu di antara pagoda dan kuil agung

kau tegak kokoh bagai sebuah candi

dua biksu kelana gugup membuka mulut

Bahasa Tang logat Jepun bagai angin subuh lembut bercampur kukuh

pelan dan tegas melewati puncak pagodamu

Kau berkata gunung dan sungai negeri berbeda,

angin dan bulan pada langit serupa

Dharma Buddha Negeri Jepang walau jaya, namun belum ada

orang menyebarkan Vinaya, tumben hari ini ada undangan,

saudara-saudara yang duduk bersila, siapa mau ikut

menyeberang? Murid-muridmu saling tatap

bagai air muka kolam beku, tak tampak satu riak pun

Kau lalu dari ujung kerongkongan lempar kepada mereka sebiji

batu maha besar: menyeberang laut kelabu

Aku mau coba jalan susah, hari ini tiada orang pergi

Ai, pergi aku!

Begitu kau gerak, Buddhisme baru dan sejarah penyebaran

benda seni Tiongkok juga bergerak, dan selembar

sejarah baru maritim ikut terbuka

Begitu kau gerak, air di kanal yang membelah Kota Yangzhou,

murid-muridmu yang tertegun dan bimbang,

semua roh generasi setelahmu juga ikut bergerak

( dan saya mesti bagaimana gerak pena, di dalam syair, menulis ceritamu

seolah sungguh seolah tidak itu? Bagaimana menarik kursor

buka jendela baru, membuktikan makna hidupmu? )

[ Shoku Nihongi ] menggunakan seratus kata

Membonsai 12 tahun penyeberanganmu yang lima kali

ingin hemat tinta mencatat detil perjalananmu yang gagal

serta orang-orang yang kau bawa:

Pengrajin giok, tukang gambar, tukang ukir, tukang sulam,

Pematung, tukang batu, kelasi lebih kurang 185 orang

Juga daftar barang-barang yang siap kau bawa:

Avatamsaka Sutra aksara emas 1 jilid. Mahaprajnaparamita Sutra aksara emas 1 jilid.

Mahasamnipata Sutra aksara emas 1 jilid. Mahaparinirvana Sutra aksara emas 1 jilid.

Tripitaka 100 buku. gambar Manjusri 1 lembar

gambar Buddha 1 lembar. patung tembikar sepuh emas 1 buah.

Shoji enam daun gambar Bodhisatwa 1 papan. Shoji gambar peredaraan bulan 1 papan.

Panji dojo 120 lembar. Panji manik 14 potong.

Kotak kitab berlapis kulit mutiara 50 buah. Bejana tembaga 20 buah.

Permadani 24 lembar. Kasaya 1.000 helai. Baju biksu 1.000 pasang.

Tempat duduk 1.000 buah. Ember tembaga 4 buah. Piring tembaga besar 40 buah.

Piring tembaga sedang 20 buah. Piring tembaga kecil 44 buah

Tikar rotan putih 14 lembar. Tikar rotan pancawarna 6 lembar

Wangi kasturi 20 formula. Gaharu, wangi operculum, wangi sumbul,

damar kruing, benzoin, akar puyan, kemenyan arab

lebih dari 600 kati. Haritaki, getah hingu, gula merah, gula tebu

lebih dari 500 kati. Madu 10 botol, tebu 80 ikat,

koin perunggu 10.000 ikat, koin kepala tungku 10.000 ikat,

koin tepi ungu 5.000 ikat, sepatu serat ganja 30 kotak.

Tentu, juga tidak mencatat kapal menabrak karang, seluruh muatan

kurang lebih terbawa ombak, deskripsi gerak hati kalian yang terkurung di pantai

Lebih tidak usah sebut penelusuran terhadap hal-hal abstrak

semacam kesabaran, ketidakpastian, keyakinan

Pelayaran kelima, tetap bertolak dari Yangzhou

Angin badai membuat kapal kalian mabuk pusing haluan

Hanyut 14 hari mendarat di ujung selatan Pulau Hainam

Bulan Yangzhou merah bara terbit

di langit Laut Cina Selatan. Di antara pokok kelapa

dan pokok pinang, suara seruling merembes dari celah mimpi

udara kering, pantai pasir putih, kalian lewat segugus-segugus

bunga warna-warni, sepanjang jalan kau bangun

kuil, ceramah Vinaya, sebar Dharma dari Danzhou sampai Sanya

Saya tidak pasti apakah kalian juga mencerahkan

penduduk asli yang suka main tato ngecat gigi

tapi saya bisa pasti sederet pohon ara di luar kuil Kaiguan

pasti pernah mendengar kau menyebar Dharma, bahkan amat sukacita

Setelah menyeberang Selat Hainam, panorama Guilin juga tidak mampu

menyembuhkan kawan seperjalananmu, biksu Jepun

Seperti dicatat buku sejarah, mati ( di tengah perjalanan ), dia datang

ke tanah leluhurmu mengajak kau terapung ke tanah leluhurnya: di atas peta waktu

dia telah mendorong Tiongkok ke arah timur ½ centimeter

tentu kau akan tersedu, ada versi mengatakan kau buta karena itu

ada versi mengatakan cuaca dan stamina jatuh

ada versi mengatakan pada pelayaran ke enam yang sukses

kau baru buta mendarat di Okinawa  pada tahun 753 Masehi

Bulan 2 Tahun 6 Tenpyo-shoho, kalian tiba

di Osaka, Bulan 4 sampai di Nara kau lakukan prosesi jukai

kepada Kaisar Shomu dan putrinya Kaisar Koken di Todai-ji

tahun itu, kau telah 67, sejarah peradaban Jepang

Kuno baru mulai ke dalam mesin pencari data simpan dokumen

Tahun 3 Tenpyo-hoji, Toshodai-ji berdiri

Di sini kau ceramah Dharma, mengajar Vinaya, Hondo yang hening

Di dalam cahaya petang berpijar bagai mimpi

Bagai bayangan utuh Dinasti Tang. Murid-murid dan tukang-tukang

yang mengikuti kau menyeberang, satu papan satu papan

satu genteng satu genteng membangun kuilmu. Bayang kuil

bersambung bayangmu, bersambung senyum Kwan Im

di atas altar, bersambung wangi rumput dan jamu di udara, tumbuh

tumbuh, memantul ke dalam selembar-selembar sejarah arsitektur,

sejarah kerajinan, sejarah seni, sejarah pengobatan Jepang…

Kau tentu tidak bisa melihat bunga teratai dan sakura di sisi setapak

tapi kau bisa menciumnya, kau tahu hilang penglihatan bagai seekor anjing buru

terikat di dalam bola mata, kau tahu kau dan tanah lelehurmu terpisah sebentang

laut dan sebuah negeri kepulauan yang susah payah, namun kau berdiri

kau duduk kau tidur kau berjalan: seorang biksu kelana dengan langit dan bumi

sebagai atap meja dan tikar, seorang warga semesta

yang tidak bisa melihat cahaya bintang semesta

rindu kampung halaman, tentu masih punya…

terhadap gugus awan di atas kepala, terhadap jerit serangga,

terhadap umat. Kau rindu bayang dedalu di Yangzhou, rindu

kitab kau salin karam ke dasar laut. Dan laut

juga satu bagian kekaisaranmu yang misterius, serupa derita

adalah laku dan tobat selalu ada di dalam hidup. Kau tentu

tidak kelihatan gagah pucuk atap kuilmu , tapi kau tahu

di ujung lintang atapmu, ada genteng menonjol lengkung

bagai tanduk mimpi, bagai ekor burung, bagai sepasang

ikan sisa nabi, berenang di dalam akuarium semesta. Mereka adalah

kacamata selammu, sepasang mata kau yang lain

Mata yang berpijar di dalam kelam malam

Musim semi tahun 7 Tenpyo-hoji, muridmu bermimpi balok lintang rubuh

Buru-buru mematungmu, dua tiga bulan

kemudian kau meninggal dunia. Balok tetap kokoh,

yang patah terbang naik jadi cakrawala, di puncak mimpi

Tentu kau masih punya airmata, gelantung

di dalam malam lembab yang ingin menetes, atau biarkan

ia menetes, menyusuri elevator waktu yang transparan dan terang

dari Dinasti Tang milikmu, dari cakrawalamu

mengalir lewat daun pisang muda Basho

mengalir lewat gunung dan sungai pelukis Kaii Higashiyama

mengalir lewat jaring maya bermata jarang

menetes di atas jendela layarku

di Kuil Daming, matamu berpijar

di Tosodai-ji, di Balai Bayangan

kau mengatup, mata yang telah buta

bukankah itu juga benderang?

Inti hidup pada suka duka

Saling mengikat, pahit seolah manis

Inti seni pada cermin

ilusi, memantul inti hidup, saya mengambil

Pelepah Basho, mencuri peti kemas tukang cerita 

di dalam jendelaku yang tidak nyata, kau

demikian hidup, pakai jubah

duduk bersila, buka mata tersenyum

di atas sungai, awan tipis angin sepoi

Jariku menyentuh layar kristal

Mengayuh di atas gelombang elektron

Perlahan menabrak buka

tirai matamu, biarkan yang di dasar sungai

sebutir airmata mengarung ribuan tahun

masih belum sampai tepian, meluap

ke permukaan, perlahan

menetes: sebagai bukti

kesungguhanku

welas asi

mu

Catatan:

Jianzhen adalah seorang pendeta Budha dari Cina yang menyebarkan ajaran Budhisme di Jepang. Lihat referensi.